Saturday 11 December 2010

Fenomenologi Pemikiran Arab-Islam

Semakin merasa “lemah” seorang hamba, semakin kuat pula keinginan untuk “memuji”. Akhirnya bentuk penghambaan terhadap Tuhan bermetamorfosa menjadi penghambaan terhadap penguasa. Kekuasaan agama teralih –secara tak sadar—pada kekuasaan politik. [Hassan Hanafi]

Prolog

Wacana keislaman yang berkembang sekarang masih saja berkutat pada bagaimana menghadapkan Islam pada kejayaan the other, sebuah rivalitas dari pengadopsian secara mutlak keberislaman pada tiga generasi 'terbaik' umat Islam. Yang pertama meniscayakan keterbukaan terhadap the other . Akibatnya, di satu pihak ada imitasi secara massif kebudayaan Barat oleh Timur, dan di pihak lain, filterisasi the other pun digalakkan untuk menemukan identitas ke'diri'an umat Islam. Gejala pertama kemudian disebut westernisasi; sikap pembebekan terhadap Barat secara total. Memang benar tutur Ibnu Khaldun bahwa peradaban yang 'dikuasai' –secara hukum alam—akan selalu mengikuti peradaban yang 'menguasai'. Di satu kondisi, filter terhadap gegap gempita modernitas menumbuhkan ‘sikap apresiatif’ terhadap metode yang sedang lead di Barat untuk menganalisa sebab kemunduran umat Islam dalam segala lini. Seketika itu, peradaban Islam yang konvensional dan dipenuhi mistisisme kian menampakkan taringnya tatkala dibenturkan dengan progresivitas akal Eropa yang sarat rasionalitas. Kondisi demikian ini yang menjadikan fundamentalisme Islam semakin teguh dalam pencarian identitasnya; bahwa semakin ‘dalam’ peradaban Eropa ‘menjajah’ Islam, semakin menjadi pula ‘pencarian jati diri’ umat Islam.

Menguaknya rasionalitas melalui persinggungan intim dengan peradaban Barat semakin meneguhkan persepsi, bahwa ‘salafisme’ dirasa tak lagi mampu menghadapi problematika kemunduran peradaban. Ketika itu muncul sebuah ‘pendekatan baru‘ yang digelindingkan oleh Begawan pemikir kontemporer; Muhammad Abid al-Jabiri dengan pisau strukturalis mengklasifikasi nalar Arab pada bayâni, burhâni dan ‘irfâni. Sebab kejumudan peradaban Islam –bagi Jabiri sendiri—karena peng-anak tirian burhâni. Padahal, burhâni menyatukan watak bayâni dan ‘irfâni. Alternatif yang diajukan adalah Ibnu Hazm dengan kritiknya, Ibnu Rusyd dengan rasionalismenya, Syathibi dengan Ushulnya, dan Ibnu Khaldun dengan historiografinya. Dari perspektif lain, Muhammad Arkoun melalui arkeologi pengetahuan membuat terma ‘peradaban ideal’ disandingkan dengan ‘interpretasi’ terhadapnya. Di sini Arkoun memperlakukan ‘materi dasar’ atau teks keagamaan sebagai tindak kebahasaan yang harus dipahami dalam suatu momen dan sikap tertentu. Nasr Hamid Abu Zaid dengan perangkat hermeneutika; bahwa interpretasi terhadap ‘teks utama’ tidak akan terlepas dari konteks sosio-historis pembaca. Sementara perangkat materialisme-historis didengungkan oleh Khalil Abdul Karim, Sa’id al-Asymawi serta Sayyid al-Qumni dalam menganalisa masyarakat Arab-Islam semenjak masa kenabian, bahkan proses pembentukannya pada masa Pra Islam. Sedang Hassan Hanafi sendiri mendaku mempergunakan perangkat fenomenologi. Ia mengkritik perangkat materialisme dan idealisme karena tidak sesuai dengan karakter hukum Islam.

Dalam hal ini, pemikir Arab kontemporer -- berdasarkan “rujukan” pemikiran--dapat diklasifikan pada dua kelompok besar; pertama, kelompok yang memusatkan studinya pada masa kenabian karena pertimbangan ‘moral’. Dalam kelompok ini kita mendapati nama Sayyid al-Qumni, Sa’id al-Asymawi, Adonis, Khalil Abdul Karim, serta Husein Muruwah; kedua, kelompok yang memusatkan studinya pada era kodifikasi sebagai rujukan ‘pemikiran’. Kelompok kedua disuarakan oleh Muhammad Arkoun, Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Hassan Hanafi, serta Nashr Hamid Abu Zaid. Namun begitu, dari varian metode yang dipergunakan oleh para pemikir tersebut, sejatinya dapat ditarik beberapa konklusi penting; pertama, baik era kenabian ataupun kodifikasi tidak dipahami dengan mata telanjang tanpa mempertimbangkan proses pembentuknya; kedua, semuanya bertitik tolak pada kemampuan nalar untuk menjembatani dialektika antara teks utama dan realitas yang senantiasa mengalami perubahan dan perkembangan. Dengan demikian, meminjam istilah Muhammad Arkoun, ‘interpretasi’ terhadap “tradisi ideal” harus selalu diperbaharui agar selaras dengan tuntutan modernitas. Pada tulisan kali ini, penulis hendak mendedah perangkat fenomenologi serta aplikasinya dalam menganalisa tradisi keisalaman.

Fenomenologi; Akar Dan Perkembangan Pemikiran

Salah satu perubahan terbesar dalam perspektif manusia tentang dirinya sendiri berlangsung di Eropa, pada abad 13 dan 17 M. Sebab, di abad pertengahan, manusia memandang segala hal dari sudut pandang ‘ketuhanan’; kaitannya dengan Tuhan yang menciptakan, mengarahkan, mempertahankan, serta penyelamat manusia dan seluruh alam raya. Munculnya modernitas mengubah paradigma berpikir ini, bahkan peralihan tersebut –pada satu keadaan-- bersifat dekonstruktif; reformasi abad-16 yang menolak banyak klaim Gereja, serta dasar-dasar atheism yang dirumuskan oleh filsuf era itu. Hal ini yang mengantarkan peradaban Eropa menuju masa pencerahan. Titik poin yang hendak disinggung adalah, di dalam era kebangkitan terdapat satu kunci pokok modernitas: kesadaran akan ‘subyektivitas’. Subyektif di sini bukan sebagai lawan dari obyektif, melainkan dari kata subyek (aku) sebagai yang menghendaki, bertindak serta mengerti. Kiranya dapat dimaklumi tatkala Hegel berujar, manusia adalah kesadaran diri; manusia tak hanya hadir di dunia sebagai benda, melainkan sebagai subyek yang berpikir, berefleksi, serta bertindak secara kritis dan bebas. Subyektivitas adalah unsur hakiki dalam paradigma antroposentris. Dengan demikian, pada abad 15 dan 16 M, selain masa revitalisasi agama (al-Ishlâh al-Dînî) dan masa kebangkitan Eropa (‘ashr al-Nahdlah), pada saat itu pula muncul penekanan segala hal pada sudut pandang manusia; antroposentris (al-Ittijâh al-Insânî).

Titik sentral dalam peradaban Eropa—sebagaimana dikatakan Husserl—adalah ego Cogito Cartesian. Dari ego Cartesian muncul dua aliran yang bertentangan, pertama, rasionalisme (al-Tayyâr al-‘Aqlî). Tokohnya adalah Cartesian pertama, Spinoza; kedua, empirisme (al-Tayyâr al-Tajrîbî), dengan tokohnya David Hume (w. 1776), John Stewart, serta John Locke (w. 1704). Pertentangan ini berlanjut pada perseteruan dua aliran besar filsafat Eropa; idealis (al-Mitsâlî) dan realis (al-Wâqi’î). Immanuel Kant (w. 1804) pernah berupaya menyatukan dua kecenderungan ini, namun yang terjadi justru pengunggulan idealistik atas realistik. Begitu pula Hegel. Selanjutnya ia-pun terjebak pada prioritas ide dan konsep atas materi. Imbasnya, tesisnya lebih mirip ke mitos, serta konsepsi dari pada ke realitas. Edmund Husserl (w. 1938) hadir 4 kurun setelah muculnya kesadaran Eropa pada abad ke 19, dan disebut-sebut sukses menyatukan kecenderungan idealis dan realis. Husserl berupaya membongkar filsafat Barat, dengan menghancurkan ketertutupan kesadaran. Karena “kesadaran” sesuai kodratnya mengarah ke realitas. Kemudian Husserl menciptakan pendekatan filsafat yang menganalisa “kesadaran” dan obyek-obyeknya secara sistemik dan berdasarkan pengalaman. Pendekatan ini yang kemudian dinamakan “fenomenologi”. Istilah ini terus mengalami perkembangan. Tahap-tahap perkembangan istilah fenomenologi dimulai dari Lambert (w. 1777), Hegel (w. 1831), Hamilton, Eduard von Hartmann, dan sampai pada Husserl, Max Scheler, Heidegger (w. 1976), Sartre, dan Merlau-Ponty. Secara genealogis, fenomenologi juga merupakan respon terhadap dominasi ‘rasio’ –abad 17 dan 18. Dominasi rasio terejawantahkan dalam pertimbangan segala hal, termasuk alam raya, pada sikap matematis (hisâb ‘aqlî). Sehingga pada tahap ini rasio telah menjadi “kesadaran” serta “penggerak kehidupan”.

Fenomenologi sendiri merupakan ilmu tentang “gejala” yang menampakkan diri (phainomenon) pada “kesadaran” kita. Istilah ini diperkenalkan pertama kali oleh J.H. Lambert tahun 1764 yang mengarah pada “teori penampakan”. Namun secara garis besar, terdapat tiga pandangan yang dominan dalam fenomenologi; pertama, fenomenologi kritik (al-Finûminûlujiyâ al-Naqdiyyah) atas absolutisme. Pandangan ini dinahkodai oleh Immanuel Kant. Kant menjelaskan, bahwa fenomenologi kritik mengungkap syarat yang harus dilalui guna mendapatkan obyektivitas “subyek” demi terwujudnya rivalitas terhadap persepsi absolutisme; kedua, fenomenologi penampakan (fînûminûlujiyya al-Madzâhir) yang dinahkodai Hegel. Hegel merinci tahap-tahap yang harus dilalui –secara ontologis-- agar sampai pada pengetahuan mutlak; ketiga, fenomenologi sistematis/pendasaran (finûminûlujiyâ al-Ta’sîs), dengan tokohnya Edmund Husserl. Huseerl pada hakekatnya hanya berkosentrasi terhadap pendasaran disiplin filsafat agar menjelma menjadi ilmu yang rigorus. Dengan demikian, fenomenologi berasal dari pembedaan yang dilakukan oleh Immanuel Kant terhadap noumenal (alam sesungguhnya) dan phenomenal (alam yang terlihat), serta pengembangan dari phenomenology of spirit-nya Hegel.

Husserl pada prakteknya hanya meninggalkan dua kaidah penting dalam fenomenologi: reduksi fenomenologis (al-Tawaqquf ‘an al-Hukm) serta konstitusi (al-Takwîn). Reduksi fenomenologis merupakan upaya peralihan pandangan dari alam real menuju “kesadaran”. Dalam arti, jika sikap natural terhadap fenomena alam “menerima apa adanya”, maka reduksi fenomenologis berarti penangguhan “kepercayaan” terhadap dunia riil. Namun sikap tersebut tidak berarti menafikan realitas, sebab reduksi fenomenologis hanya semacam upaya “netralisasi”—dalam istilah Husserl diberi tanda kurung (eingeklammert). Di sini Husserl membedakan antara reduksi fenomenologis (al-Tawaqquf ‘an al-Hukm al-Fînûminûlujî) dan reduksi eidetik (al-Tawaqquf ‘an al-Hukm al-Transindintâlî). Perbedaannya adalah, reduksi fenomenologis mengindahkan alam riil untuk sementara, guna menyibak ‘esensi’ (mâhiyyah). Sedang reduksi eidetik mementingkan esensi (eidos) tetapi dalam bentuknya yang paripurna. Reduksi fenomenologis ini yang kemudian dinamakan “sikap fenomenologis”. Adapun konstitusi (al-Takwîn) merupakan proses tampaknya fenomena terhadap “kesadaran”. Konstitusi merupakan fase kedua setelah reduksi fenomenologi; tampaknya fenomena dalam “kesadaran”, selanjutnya akan bersatu dengan “kesadaran”, dan subyeknya kemudian disebut “pelaku kesadaran”. Dengan demikian, fenomenologi berarti mengurai relasi antara subyek (al-Dzât) dan kesadaran (al-Syu’ûr).

Fenomenologi Husserl demikian terlihat dalam buku Martin Heidegger, Being and Time, sebuah karya yang ia tulis pada tahun 1927, serta didedikasikan secara khusus pada Edmund Husserl. Heidegger menuturkan, bahwa manusia tak mungkin memiliki “kesadaran” jika tidak ada “lahan kesadaran”, suatu tempat, panorama, dunia, agar “kesadaran” dapat terjadi di dalamnya; sehingga suatu eksistensi bersifat duniawi. Atau “ada” dan dunia tak dapat dipisahkan. Eksesnya, suatu eksistensi bersifat temporal karena ia selalu terkungkung dimensi waktu. Dan “kesadaran” sendiri tak pernah berinteraksi langsung dengan realitas jika eksistensi tidak menyeruak menembus “kesadaran”. Titik akhirnya, ke-ada-an mempunyai struktur tiga lapis yang berhubungan dengan masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Jelas bahwa Heidegger hendak menyatukan antara fenomenologi dan ontologi (makna “ada”); mempertanyakan fenomena “ada”. Dalam arti, bagaimana “ada” menjadi “ada”, dan kenapa tidak menjadi “tidak ada”? Satu poin penting, pendekatan Heidegger berbeda dengan Husserl. Di sini Heidegger “meluaskan sekup” konsep Husserl terkait “keterarahan kesadaran”. Pada kenyataannya Husserl sendiri memang menyangkal bahwa Heidegger merupakan pewaris sah pemikirannya.

Kritik yang kemudian menggema adalah dari Emmanuel Lêvinas (w. 1995), bahwa perangkat fenomenologi Husserl berhenti terlalu cepat sehingga tidak mampu menyingkap struktur realitas yang sebenarnya. Ia justru terperangkap pada kerangka obyek-subyek; obyek hanya sebagaimana digambarkan subyek. Dalam arti, obyek tidak mampu menampakkan kediriannya karena terperangkap dalam “kesadaran”. Alih-alih menemukan solusi, Husserl justru mengulangi kecacatan seluruh filsafat yang berupaya meleburkan pluralitas kedalam satu kesatuan. Alasan yang diangkat oleh Lêvinas adalah data paling dasar dari “kesadaran” kita sebenarnya tampaknya obyek dalam ke-”diri”-annya yang seolah hendak mendobrak masuk ke dunia “subyek” yang tertutup. Dari kritik terhadap Husserl, sebenarnya Lêvinas hendak mengembangkan fenomenologi Husserl melalui pijakan yang sama. Fenomenologi –ditangan Lêvinas-- bermetamorfosa menjadi seni untuk mengamati fenomena yang sejatinya “ada”, namun jarang atau bahkan tidak menjadi perhatian manusia.

Husserl dalam perjalanannya sepakat dengan Descartes, bahwa eksistensi yang selalu hidup dalam diri manusia adalah “kesadarannya” sendiri. Sehingga, pemahaman yang kokoh atas suatu realitas adalah pemahaman yang didasarkan pada “kesadaran”. Dus, fenomenologi merupakan metode yang ditempuh guna sampai pada fenomena hakiki; tanpa tercampur pra-sangka, pra-teori, ataupun pengetahuan-pengetahuan tradisional dan bahkan agamis sekalipun. Penolakan pengalaman inderawi disisihkan terlebih dahulu sehingga sebuah fenomena akan mengungkapkan dirinya sendiri melalui “kesadaran”. Teori ini didendangkan oleh penganut fenomenologi dengan sebuah ungkapan: zu den sachen selbst (terarah kepada benda itu sendiri).

Problematika Orisinalitas dan Modernitas; Hassan Hanafi Sebagai Sample

Hassan Hanafi, pemikir yang terkenal dengan proyek Islam Kirinya, disebut-sebut sebagai pengusung fenomenologi Edmund Husserl. Fenomenologi Husserl dengan jelas terbaca pada Essai sur la method d’exeges; disertasi Hassan yang menghadapkan disiplin Ushul Fikih pada fenomenologi. Walaupun ada testimoni bahwa Hassan juga mempergunakan dialektika-materialisme, namun arah pemikiran Hassan lebih dominan pada fenomenologi. George Tharabisyi berujar bahwa Hassan Hanafi memang mendaku mempergunakan perangkat fenomenologi, sebagaimana penuturan Hassan dalam artikelnya yang bertajuk al-Tafkîr al-Dînî wa Izdiwâjiyyah al-Syakhsiyyah. Begitu pula dalam kedua bukunya fî fikrinâ al-Mu’âshir serta fi al-Fikr al-Gharbî al-Mu’âshir Hassan menegaskan statement serupa. Selain itu, proyek Hassan Tradisi dan Pembaharuan (al-Turâts wa al-Tajdîd), dalam penjelasan teoritis rekonstruksi teologi (Min al-‘Aqîdah ilâ al-Tsawrah) serta rekonstruksi Ushul Fikih (Min al-Nash ilâ al-Waqi)’ pun cukup representatif untuk mengatakan bahwa Hassan ‘tergila-gila’ dengan perangkat fenomenologi . Terkait tradisi (turâts) Islam, ia mengatakan, umat Islam tak akan menemukan solusi apapun –dalam tradisi Islam-- terhadap realitas yang sedang dihadapi. Hilangnya aspek kemanusiaan dalam turâts umat Islam berkonsekuensi hilangnya “kesadaran” akan realitas yang sedang dihadapi untuk konteks kekinian. Dengan begitu, krisis umat Islam sekarang adalah krisis menghadapi realitas, dan ironisnya, hal itu justru diimbangi dengan pembacaan terhadap tradisi secara skriptural dan imitatif. Kesamaan mencolok antara Hassan dan Husserl saat keduanya mengaplikasikan fenomenologi pada tradisi masing-masing; Husserl pada tradisi Barat dan sampai pada konklusi “rekonstruksi tradisi Barat”, sedang Hassan pada tradisi Islam untuk menyibak krisis peradaban umat Islam.

Yang demikian itu, karena problematika yang mencuat sekarang adalah harmonisasi orisinalitas dan modernitas (al-Ashâlah wa al-Mu’âshirah). Revitalisasi agama (al-Ishlâh al-Dînî) yang berkembang –pada kenyataannya—lebih dekat ke ‘orisinalitas’, sedang era kebangkitan (‘Ashr al-Nahdlah) lebih mengarah ke modernitas. Perbincangan orisinalitas tanpa modernitas maka akan terjatuh pada “pembebekan”. Imbasnya, kecenderungan semacam ini akan mengabaikan “realitas” serta bangga dengan kegemilangan masa lampau (Fakhr bi al-Târikh al-Qadîm). Sebaliknya, modernitas yang mengabaikan orisinalitas seolah ingin membuat babakan sejarah baru (al-Judzuriyah al-Mubkirah) yang terputus dengan masa lampau. Padahal, ‘kekinian’ merupakan bentukan dari masa lampau. Dengan demikian, membincang relasi modernitas dan orisinalitas merupakan perbincangan antara relasi pemikiran dan realitas. Orisinalitas –dalam istilah Hassan Hanafi—merupakan pemikiran pada level historis (al-Fikr ‘alâ Mustawâ al-Târikh), sedang modernitas merupakan realitas pada level praksis (al-Wâqi’ ‘alâ Mustawâ al-Sulûk). Pada tataran praksis, ada asumsi memahami ‘yang orisinil’ sebagai ‘yang tak berubah’, dan tak menghalangi –secara interaktif—dengan modernitas. Bagi kalangan ini, ‘yang orisinil’ akan terus sebagaimana bentuk asal, bahkan ‘esensi’nya pun tak bisa elastis. Konsekuensinya, respon terhadap modernitas sarat dengan nuansa politis, fanatik, serta apologetik. Sebabnya adalah, seorang pemikir atau budayawan, disamping ‘mengimani’yang orisinil serta respek terhadap ‘wewangian’ modernitas, namun tidak berupaya mengharmoniskan keduanya. Dalam artian, mereka terlebih dahulu ‘beragama’ sebelum menjadi seorang budayawan atau pemikir. Kita bisa dengan mudah mencium semerbak aroma fenomenologi Husserl di sini. Hassan menolak pra-asumsi memahami ‘yang orisinil’; bahwa ‘topeng ideologi’, untuk memahami ‘yang orisinil’ harus lah dilepaskan. Dari fenomenologi Husserl kita mendapati reduksi fenomenologis; penangguhan ‘kepercayaan’ terhadap alam riil, atau semacam upaya ‘netralisasi’.

Untuk memahami teori ini lebih mendalam mengharuskan merentet fenomena tradisi dan kondisi sosio-historis yang melingkupinya. Ia lahir pada saat peradaban Arab-Islam masih sangat kuat. Sebagai misal, dalam perkara teologis, isu“superioritas” Tuhan yang digambarkan dengan teori-teori ketuhanan, atribut (al-Shifât), dan perbuatan sangat kentara. Hal tersebut wajar saja, karena ketika itu Islam dihadapkan pada tantangan ‘dekonstruktif’ dari luar. Atau dalam disiplin ushul fiqh, universalitas teks juga masih sangat mendominasi; dalam disiplin filsafat nalar masih menjadi tonggak berpikir; dalam disiplin Tashawuf, muncul asumsi, kesementaraan (al-Fanâ’) sebagai “kunci” untuk memperoleh semua hal. Namun “laju gerbong” kereta keilmuan ini terhenti tatkala Barat mengalami puncak superioritasnya dan menjajah Arab-Islam. Dan keadaan berubah total, sejarah kini memasuki babakan baru, yaitu kemunduran dan stagnasi disiplin keilmuan Islam. Tatkala pembentukan keilmuan Islam disesuaikan dengan superioritas Islam, isu-isu yang berkembang adalah isu “kemenangan”. Kemenangan tersebut –ketika itu-- adalah “realitas”. Dan kini realitas tersebut telah tergantikan melalui pergeseran “kedudukan”; inferioritas Islam. Dengan demikian, warisan klasik jika ditransformasikan –secara paripurna-- untuk konteks sekarang merupakan tindakan semena-mena. Dan apabila dipaksakan, relasi realitas sekarang dan warisan masa lampau ibarat jiwa yang berada di suatu tempat, dan badan di tempat yang lain. Hal itu menimbang, tradisi merupakan satu dari tiga unsur yang melingkupi peradaban Arab-Islam; pertama, warisan masa lampau (al-Mawrûts al-Qadîm); kedua, ‘pihak lain’ yang selaras modernitas (al-Wâfid al-Hadîs); ketiga, realitas (al-Wâqi’). Menghendaki kemajuan Arab-Islam, maka harus memperhatikan pula ketiga aspek ini

Sebagai misal, background sekte Mu’tazilah dengan lima prinsip pokoknya (al-Ushûl al-Khamsah) perlu dipandang secara kontekstual. Keadilan (al-‘Adl) sebagai kritik atas Jabariah; ke-esa-an (Tawhîd) merupakan kritikan atas filsafat Yahudi dan Nashrani; janji dan ancaman (al-Wa’d wa al-Waîd) sebagai kritik atas pandangan sekte Murjiah; perintah melakukan kebaikan dan larangan melaksanakan keburukan (al-Amr bi al-Ma’rûf wa al-Nahy ‘an al-Munkar) sebagai kritik atas Syi’ah Imamiah di satu sisi, serta Murjiah di sisi yang lain; kedudukan di antara dua tempat (al-Manzilah baina al-Manzilatain) sebagai kritik atas Murjiah di satu sisi, serta Khawarij di sisi yang lain. Artinya adalah, gagasan yang berkembang ketika itu –dalam konteks ini Mu’tazilah, misalnya, tidak terlepas dari background historisnya. “Realitas” pada masa itu mengharuskan diimbangi dengan gagasan teosentris, berpusat pada Tuhan. Melalui perspektif fenomenologis, tradisi Islam muncul ‘untuk mengawal’ realitas historisnya. Kungkungan realitas tersebut dengan sendirinya akan membatasi esensi, konstruksi, metodologi, serta bahasanya. Dalam arti, realitas historis dari tradisi itulah yang menjadikannya relatif. Karena tradisi sendiri merupakan “pengolahan” terhadap teks yang didasarkan pada realitas; interpretasi yang bersifat temporal. Yang demikian itu karena relasi teks dan realitas merupakan relasi ‘yang tunggal’ terhadap plural (‘alâqâh al-Wahdah bi al-Ta’addud)

Fenomena-fenomena pemikiran masa lampau yang muncul dari interpretasi terhadap teks dianalisa ulang melalui dua langkah; pertama, meruntut kembali munculnya fenomena interpretatif –antitesa ‘peradaban ideal’ Muhammad Arkoun-- sebagai konstitusi (al-Takwîn) yang menjelaskan kemunculan suatu gagasan dan perkembangannya; kedua, merujuk --untuk yang kedua kali-- sebuah fenomena terhadap teks dasar sebagai ‘pemudaran’ keterpengaruhan lingkungan atau peradaban lain agar sesuai dengan konteks kekinian. Dalam istilah Hassan Hanafi, langkah ini dinamakan Tahlîl al-Khubrât. Karena bagaimanapun, tradisi adalah sesuatu yang ditransformasikan kepada kita, kemudian ia dipahamkan, sekaligus menjadi tuntutan kehidupan kita. Pada tahap transformasi, tradisi memberikan “kesadaran historis”; pada tingkat pemahaman, tradisi bermetamorfosa menjadi “kesadaran eidetis”; sedang pada tataran tuntutan kehidupan, tradisi menjadi “kesadaran praksis”. Meruntut fenomena masa lampau sebagai sebuah interpretasi terhadap ‘teks’ mengharuskan pula merombak tatanan disiplin keilmuan Islam. Dengan demikian, ashâlah di sini berperan menyibak realitas sesungguhnya, karena pada dasarnya ashâlah bukanlah tujuan utama, melainkan hanya perantara.

Dalam tataran aplikatif, disiplin keilmuan Islam yang berdimensi teosentris diarahkan menuju antroposentrisme pemaknaan. Ia dicari akar “kesadarannya” melalui perbandingan dengan aspek kemanusiaan. Misalnya saja, pembahasan tentang entitas (dzât), atribut (al-Shifât) serta perbuatan (af’âl) diarahkan menuju pemaknaan manusia sempurna (al-Insân al-Kâmil). Oleh karena itu, dalam buku Min al-‘Aqîdah ilâ al-Tsawrah, Hassan memfokuskan pada pembahasan; dzât al-Insân, shifât al-Insân, fi’l al-Insân, ‘aql al-Insân, dan seterusnya; serta pada pemaknaan manusia sempurna (al-insân al-kâmil); mendedah aspek keadilan (al-‘Adl) yang merombak ideologi keberagamaan kaum Sunni dan menjadikan nalar Mu’tazilah sebagai alternatif karena mengarah pada kebebasan berkehendak, dan seterusnya. Dalam filsafat, mantiq ditransformasikan menjadi logika kesadaran (al-Mantiq al-Syu’ûrî), berdasar premis, dalam filsafat, ada tiga wacana yang menggema; logika (al-Mantiq), ketuhanan (al-Ilâhiyyât), alam (al-Thabî’iyyat). Sedang naturalisme –dalam perspektif sarjana klasik—adalah naturalisme rasional, dan sekarang bermetamorfosa menjadi naturalisme matematis. Adapun ketuhanan harus dipahami secara integral dengan alam, guna melekatkan kesadaran integralitas alam dengan Tuhan dalam benak manusia. Sehingga akan muncul wacana, melestarikan alam atas nama Tuhan. Jika pada kalam dan filsafat, “nash” menghasilkan makna dan teori serta konseptualisasi universal, maka dalam disiplin ushul fiqh, “nash”ditelorkan menjadi metode-rasional-realistis (Manhaj ‘Aqliy Wâqi’î). Problem yang mencuat dalam rekonstruksi Ushul adalah pada bagaimana mentransformasikan ushul fiqh yang istidlâlî-istinbâthî-mantiqî menuju falsafî-insânî-sulûkî. Atau transformasi kesadaran teoritis (al-Wa’y al-Nadzarî) menuju kesadaran praksis (al-Wa’y al-‘Amalî). Hal ini akan menjadikan pelaksanaan tendensi wahyu tertransformasikan menuju hamba; tindakan Tuhan akan terwujud dalam tindakan manusia. Sejalan dengan hal ini, maka Ushul Fiqh merupakan ilmu tanzîl: ilmu pengetahuan yang menginferensikan ketentuan-ketentuan yuridis yang berorientasi pada Allah (teosentris), menuju manusia (antroposentris).

Dus, garis akhir dari proyek Hassan Hanafi ini adalah pada unifikasi ilmu yang berpusat pada wahyu untuk menghadapi realitas kekinian. Karena, pada akhirnya, wahyu ditransformasikan pada satu teori, atau metodologi. Hassan Hanafi mendasarkan alasannya pada proses dialektis antar disiplin ilmu; teologi mengkritik filsafat, begitu pula ia ‘mengganyang’ tasawuf dalam teori pantheistik serta zuhud. Relasinya dengan ushul fikih dan fikih, terkadang teologi mencakup beberapa pembahasan fikih serta ushulnya, ataupun permasalahan bahasa, analogi dan ijtihad. Dalam ranah filsafat yang berelasi dengan teologi, kritik untuk ilmu kalam digalakkan karena di dalamnya masih saja sarat nuansa taklid. Berdiri di atas teks, bukan rasio. Bahkan pada satu keadaan filsafat mengarah ke tasawuf, yang terejawantahkan dalam filsafat iluminasi al-Farabi serta Ibnu Sina. Hal serupa terjadi dalam ranah tasawuf terkait kritiknya terhadap filsafat dan teologi. Bahwa Tuhan bukan lah sebagaimana dikonsep oleh teolog dan filsuf, namun harus melalui kontemplasi. Kita pun bisa menjumpai relasi ushul fikih dan tasawuf dalam perumusan ‘tindakan’ yang mampu menjadi acuan secara universal, serta dengan filsafat dalam beberapa pembahasan logika. Semuanya ini berpusat pada, jika relasi antar disiplin ilmu ditemukan, maka unifikasi disiplin keilmuan akan sangat memungkinkan. Kongkretnya, seringkali dijumpai seorang filsuf sekaligus teolog, bahkan sekaligus Juris atau sufi. Seperti dalam sosok Abu Hamid al-Ghazali, Ibnu Taimiah, dsb.

Dalam kacamata fenomenologi, realitas tersebut terejawantahkan dalam dimensi kemanusiaan (antroposentris). Jika semua disiplin keilmuan berpusat pada wahyu, serta diunifikasi ke arah antroposentrisme pemaknaan, seterusnya hal itu akan menjadi “kesadaran” –dalam istilah Hassan Hanafi, antroposentrisme pemaknaan itu akan menjadi ideologi dalam “kesadaran” manusia. Sadar bahwa yang sedang dihadapi sekarang adalah kemunduran peradaban; kesadaran sebagai sebuah ideologi yang berelasi secara langsung dengan realitas. Karena “kesadaran individual” itu akan menjelma menjadi “kesadaran sosial” (min al-Wa’y al-Fardî ila wa’y al-Ijtimâ’i). Dan dari dunia “kesadaran” akan menjelma menjadi “dunia realitas”. Realitas yang sedang dihadapi sekarang adalah problematika tanah Palestina, krisis demokrasi dalam setiap Negara karena dominasi penguasa, keadilan sosial, serta problem persatuan umat, dan seterusnya.

Epilog

Tentunya tulisan ini hanya usaha kecil penulis untuk menyibak aplikasi fenomenologi dalam menyorot peradaban Arab-Islam. Tapi itu tak penting. Yang terpenting adalah bagaimana umat Islam memahami realitas yang melingkupinya sekarang; inferioritas serta dominasi Barat dalam segala lini. Kapankah “kesadaran individual” menjelma menjadi “kesadaran sosial”?


Footnote:
1. Istilah ego (al-Anâ) merujuk pada umat Islam, dan the other (al-Akhâr) pada Barat. Penamaan tersebut karena terdapat dialektika akut antara Barat dan Islam; yang pertama menghendaki peradabannya menahkodai peradaban seluruhnya, dan kedua terus menerus berupaya menemukan identitas ke’diri’annya. Transliterasi al-Anâ dengan “ego” dan al-akhâr dengan “the other” penulis ambil dari terjemahan Muqaddimah fî ‘Ilm al-Istighrâb yang bertajuk; Oksidentalisme; Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat, Jakarta: Penerbit Paramadina, Cet. I, 2000.
2. Adonis, misalnya, mengatakan bahwa identitas seharusnya tidak merujuk ke belakang (al-mâdli), sebagaimana dakwaan kaum fundamental selama ini; sebuah persepsi bahwa identitas Islam adalah sebagaimana keberagamaan tiga generasi pertama Islam. Namun ‘identitas’ meniscayakan memandang ‘ke depan’. Lihat Adonis, al-Tsâbit wa al-Mutahawwil; Bahts fi al-Ibdâ' wa al-Ittibâ' indâ al-'Arab, Beirut: Dar al-Saqi, Vol. I, Cet II, 2002.
3. Lihat selengkapnya dalam Adonis, Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam, Jogjakarta: LKiS, Vol. II, 2007, pada pengantar penerjemah.
4. Hassan Hanafi, al-Turâts wa al-Tajdîd; Mawqifunâ min al-Turâts al-Qadîm, Beirut: al-Muassasah al-Jami’iyyah li al-Dirasat wa al-Nasyr wa al-Tawzi’, cet. V, 2002, hlm. 13-21
5. Adonis, Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam, Op. Cit., pada pengantar penerjemah.
6. Franz Magnis Suseno, Menalar Tuhan, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006, hlm. 50
7. Ibid.,
8. Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyyah, Kairo: Maktabah al-Anglo al-Mishriyyah, tt, hlm. 275
9. Bryan Magee, The Story of Philosophy, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2008, hlm. 210
10. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005, hlm. 234 dan 235
11. Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyyah, Op.Cit.,hlm. 277
12. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Op.Cit., hlm. 234 dan 235.
13. Dikutip dari makalah Muhammad Syauqi Zain yang bertajuk; al-Finûminûlujiyâ wa Fann al-Ta’wîl.
14. Lihat Lorens Bagus dalam Kamus Filsafat, Op.Cit., hlm. 236, dan keterangan lebih mendalam dapat dibaca pada Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyyah, Op.Cit., hlm. 307
15. Bryan Magee, The Story of Philosophy, Op.Cit., hlm. 209 dan 212
16. F. Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian: Suatu Pengantar Menuju Sein und Zeit, peny. Christina M. Udiani, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, Cet. I, 2003, hlm. 28
17. Franz Magnis Suseno, 12 Tokoh Etika Abad 20, hlm. 89-90
18. Bryan Magee, The Story of Philosophy, Op.Cit.,hlm. 210
19. George Tharabisyi, al-Mutsaqqafûn al-‘Arab wa al-Turâts; al-Tahlîl al-Nafsî li ‘Ashâbin Jama’î, London: , Riyad ar Risy li al Kutub wa an Nasr, Cet. I, 1991, hlm.106.
20. Yang dimaksud dengan tradisi menurut Hassan adalah pembahasan tentang dimensi kemanusiaan (antroposentris) dalam tradisi Sunni. Karena dalam tumpukan turâts Mu’tazilah, misalnya, ada pembahasan tentang kebebasan manusia atas dirinya sendiri (hurriyah), baik dan buruk, serta ideologi serta perbuatan. Dengan demikian, umat Islam di sini dipandang sebagai “manusia” (al-Insân min haistu huwa al-insân), bukan sebagai “umat” atau “imam”.
21. Lihat pada Hassan Hanafi, Li Madzâ Ghâba Mabhats al-Insân fî Turâtsinâ al-Qadîm, pada Dirâsât Islâmiyyah, Op.Cit., hlm. 394
22. Yang perlu menjadi catatan penting, yang dimaksud peradaban dalam istilah Hassan Hanafi adalah segala hal yang bersumber pada agama. Begitu pula jika ada terma tradisi, maka pemaknaannya akan berkisar pada segala hal yang bermuara pada agama/wahyu. Lihat Rifa’at Salam, Bahtsan ‘an al-Turâts al-‘Arâbi; Nadzrah Naqdiyah Manhajiyyah, Kairo: al-Haiah al-‘Amah al-Mishriyah, 2006, hlm. 79-81.
23. Hassan Hanafi, Fî Fikrinâ al-Mu’âshir, Beirut: Dar al-Tanwir, 1981, hlm. 49 dan 50
24. Ibid., hlm. 51.
25. Hassan Hanafi, Humûm al-Fikr wa al-Wathan; al-Fikr al-‘Arabi al-Mu’âshir, Kairo: Dar al-Quba’ Li al-Thiba’ah wa al-Nasyr wa al-Tawzi’, Juz II, 2003, hlm. 126
26. Hassan Hanafi, Humûm al-Fikr, Op.Cit, hlm. 91
27. Lihat Ibnu al-Murtadla, Thabaqat al-Mu'tazilah, Beirut : Lebanon, cet II, 1987. Bandingkan dengan Ahmad Syauqi Ibrahim, al-Mu'tazilah fi Baghdad wa Atsaruhum fi al-Hayât al-Fikriyah wa al-Siyâsah, Kairo: Madbouli, Cet I, 2000, hlm. 18. Bandingkan juga dengan pengantar M. Imarah pada Rasâil al-'adl wa al-tawhîd oleh Hasan Bashri al-Qadli Abduljabbar al-Qasim al-Rassy al-Syarif al-Murtadla dan al-Imam Yahya bin Husein, Tahqiq; M. 'Imarah, Kairo: Dar al-Syourouq, cet II, 1988, hlm. 16
28. Hassan Hanafi, al-Turâts wa al-Tajdîd, Mawqifunâ min al-Turâts al-Qadîm, Op. Cit., hlm. 139
29. Ibid.
30. Hassan Hanafi, Fî Fikrinâ al-Mu’âshir, Op. Cit., hlm. 180
31. Oleh karena itu Hassan Hanafi dalam proyek besarnya al-Turâts wa al-Tajdîd merekonstruksi disiplin keilmuan Islam, yang ia bahasakan “penjelasan teoritis”. Al-Turats wa al-Tajdîd merupakan proyek besar Hassan yang memuat tiga agenda yang masing-masing mempunyai penjelasan teoritis; Mawqifunâ min al-Turâts al-Qadîm (sikap kita terhadap tradisi lama), Mawqifunâ min al-Turats al-Gharbî (sikap kita terhadap tradisi Barat), dan Mawqifunâ min al-Wâqi’(sikap kita terhadap realita), atau yang lebih dikenal teori interpretasi (Nadzariyyah al-Tafsîr). Agenda pertama memuat tujuh penjelasan teoritis; 1). Min al-‘Aqîdah ilâ al-Tsawrah; Muhâwalah lî I’âdah binâ’ ‘Ilm Uû al-Din (Dari Teologi ke Revolusi; Upaya Rekonstruksi Ilmu Ushul al-Din); 2) Min al-Naql ilâ al-Ibdâ’; Muhâwalah lî ‘I’âdah binâ’ Ulûm al-Hikmah (Dari Transferensi ke Inovasi; Upaya Rekonstruksi Ilmu Hikmah); 3) Min al-Fanâ’ ilâ al-Baqâ’; Muhâwalah lî I’âdah binâ ‘Ulûm al-Tashawwuf (Dari Kesementaraan Menuju Keabadian; Upaya Rekonstruksi Tashawuf); 4) Min al-Nash ilâ al-Wâqi’; Muhâwalah lî I’âdah binâ Ushûl al-Fiqh (Dari Teks Menuju Realita; Upaya Rekonstruksi Ushul Fiqh); 5) Min al-Naql ilâ al-‘Aql; Muhâwalah lî I’âdah binâ’ al-‘Ulûm al-‘Aqliyyah (Dari Teks ke Akal; Upaya Rekonstruksi Ilmu Tekstual); 6) al-‘Aql wa al-Thabî’ah; Muhâwalah lî I’âdah binâ’ al-‘Ulûm al-‘Aqliyyah (Akal dan Alam; Upaya Rekonstruksi Ilmu Rasional); 7) al-Insân wa al-Târikh; Muhâwalah lî I’âdah binâ al-‘Ulûm al-Insâniyyah (Manusia dan Sejarah; Upaya Rekonstruksi Ilmu Kemanusiaan). Lihat pada Hassan Hanafi, Muqaddimah fi ‘Ilm al-Istighrâb, Kairo: Dar al-Fanniyah li al-Nasyr wa al-Tawzi’, 1991, hlm. 9-11. Atau lihat pada Hassan Hanafi, Oksidentalisme; Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat, Jakarta: Penerbit Paramadina, cet. I, 2000, hlm. 1-4. Untuk penjelasan masing-masing dapat ditilik pada Hassan Hanafi, al-Turâts wa al-Tajdîd; Mawqifunâ min al-Turâts al-Qadîm, Op.Cit., hlm. 176-186
32. Lihat Hassan Hanafi, Min al-Aqîdah ilâ al-Tsawrah, Beirut: Dar al-Tanwir li al-Thiba’ah wa al-Nasyr, cet. I, 1988. Bandingkan dengan al-Turâts wa al-Tajdîd; Mawqifunâ min al-Turâts al-Qadîm, Op. Cit., hlm. 134
33. Hassan Hanafi, Humûm al-Fikr wa al-Wathan; al-Turâts wa al-‘Ashr wa al-Haddâtsah, Kairo: Dar al-Quba’ li al-Nasyr wa al-Tawzi’, Juz I, 2003, hlm. 104
34. Hassan Hanafi, Min al-Nash ilâ al-Wâqi’, Kairo: Markaz al-Kitab li al-Nasyr, cet. I, 2005, juz II, hlm. 585
35. Hassan Hanafi, al-Turâts wa al-Tajdîd; Mawqifunâ min al-Turâts al-Qadîm, Op. Cit., hlm. 173
36. Hassan Hanafi, Humûm al-Fikr wa al-Wathan; Al-Fikr al-‘Arâbi al-Mu’âshir, Op. Cit. hlm. 63-66
Selengkapnya...

Filsafat Sejarah Menurut Ibnu Khaldun

Oleh Ahmad Hadidul Fahmi

Nama Ibnu Khaldun tak akan terlewatkan jika membincang filsafat sejarah. Terucap dari satu lisan pemikir kontemporer, tiada seorang pemikir atau sejarawan Arab, yang lebih banyak dibincang dari Ibnu Khaldun. Statement tersebut mungkin tak berlebihan, jika melihat murid al-Ghazali ini –oleh kebanyakan pemikir-- didaku peletak pertama teori filsafat sejarah. Terbukti, istilah ini baru muncul di Eropa pada abad ke-18. Namun begitu, menurut Robert Flint --dosen Universitas Edinburgh-- dalam philosophy of history in France and Germany, embrio filsafat sejarah telah terlihat pada tiga buku penting filsafat Yunani; pertama, republic (al-jumhuriyyah) karangan Plato; kedua, politics (al-siyâsah) buah karya Aristoteles; ketiga, city of god (madînatullah) karya St Augustin. Thaha Husein mengungkapkan, Ibnu Khaldun –sebagaimana banyak disebut kebanyakan pemikir, seperti Ferroro dan Gamplowiez-- bukanlah peletak ilmu sosiologi. Namun hanya pengusung rasionalitas untuk menganalisa fenomena sosial. Sikap tersebut selanjutnya diaplikasikan dalam menginterpretasi sejarah.

Lazim dalam menyibak pemikiran tokoh, hal yang dituliskan awal mula dalam falsafah al-târîkh ‘indâ Ibn Khaldun buah karya Zainab Mahmud al-Khudlairi adalah biografi Ibnu Khaldun sendiri. Keturunan Wail bin Hujr ini –shahabat masyhur yang pernah secara langsung didoakan oleh Nabi-- hidup pada saat babakan sejarah hendak memasuki masa kebangkitan (‘ahsr al-nahdlah), tepatnya abad ke-4 H. Ia dilahirkan di Tunisia, tahun 732 H, dan wafat tahun 808 H. Muqaddimah merupakatan magnum opuse Ibnu Khaldun. Dari kajian terhadap buku ini, muncul pandangan, bahwa Ibnu Khaldun merupakan penggagas filsafat sejarah. Belakangan ini Ibnu Khaldun dikatakan inkonsisten, sebab, bukunya bertajuk al-‘ibar fî dîwân al-mubtada’ al-khabar ternyata tidak mempergunakan metode yang ia tuliskan dalam muqaddimahnya.

Selanjutnya Zainab mendeskripsikan gagasan Ibnu Khaldun seputar filsafat sejarah. Menurut pembacaannya, filsafat sejarah merupakan pandangan rasional terhadap peristiwa-peristiwa masa lampau, atau sebuah upaya untuk mengetahui ‘faktor penentu’ yang berperan dalam menganalisa sejarah. Selanjutnya, faktor tersebut dijadikan ‘neraca umum’ dalam membaca sejarah. Para pemikir sendiri berbeda mengenai ‘penggerak’ perjalanan sejarah. Sebagian menyebut, bahwa Tuhan adalah pengatur laju sejarah. Sebagian lagi melihat bahwa manusia dan segala hal yang melingkupinya yang berperan dalam membentuk sejarah. Filsafat sejarah mengarah pada pandangan bahwa peristiwa sejarah “ada” didasarkan pada sebab-sebab, atau aturan-aturan tertentu. Oleh karena itu, Ibnu Khaldun membedakan antara “sejarah” dan “analisa sejarah”. Sejarah hanya rentetan dari kejadian masa lampau. Sedang analisa sejarah berperan menganalisa sebab kejadian tersebut. Analisa sejarah ini yang kemudian disebut sebagai “filsafat sejarah”.

Pandangan terhadap fenomena alam terklasifikasi menjadi dua; pertama, asumsi bahwa fenomena alam dalam laju sejarah tidak mengalami perkembangan; stagnan. Pandangan ini diimani oleh penganut filsafat metafisik. Bahwa fenomena-fenomena alam tidak terkait satu dengan yang lain; kedua, asumsi yang mengatakan bahwa laju sejarah terus berkembang (tathawwur dâim). Pandangan ini merupakan pandangan dialektis terhadap sejarah. Kemajuan peradaban yang akhirnya memfalsifikasi pandangan metafisik terhadap fenomena alam, terjadi tepatnya abad ke-19, tatkala Darwin muncul dengan teori evolusinya. Namun begitu, Sathi’ al-Hashri melihat, Ibnu Khaldun telah memaparkan fakta tersebut 5 abad sebelum Darwin. Tesis Sathi’ al-Hashri ini didasarkan pada kesalahan cetak (atau penghapusan?) yang dilakukan oleh penerbit-penerbit Timur Tengah. Mereka mengganti kata “qirdah” menjadi “qudrah”, sehingga secara tidak langsung mempengaruhi perspektif masyarakat tentang Ibn Khaldun. Jelas, dalam konteks perbincangan Ibnu Khaldun tentang “qirdah” (kera), pandangannya telah terlebih dahulu mendahului teori Darwin. Baginya, kera adalah spesies yang menghubungkan antara hewan dan manusia. Statement ini tertulis jelas dalam Muqaddimah Ibn Khaldun cetakan ‘Ali Abdul Wahid Wafi, volume II. Namun, Mahmud Isma’il dalam kajiannya terhadap Ibn Khaldun berpendapat, semua tesis Ibnu Khaldun tentang filsafat sejarah sejatinya dikutip dari Rasâil Ikhwân al-Shafâ.

Teori evolusi ini selanjutnya diaplikasikan oleh Ibnu Khaldun dalam menganalisa fenomena sosial dalam laju sejarah. Karena, menurutnya, evolusi dalam fenomena sosial lebih kentara dari aplikasi teori ini dalam fenomena alam. Pandangan evolutif kemudian berkembang menjadi analisa dialektis terhadap sejarah; bahwa terdapat keterpengaruhan antara peradaban baru dan peradaban lama, atau terdapat keterpengaruhan satu peradaban dengan yang lain. Bukti konkretnya adalah, satu peradaban baru tak akan terlepas dari peninggalan dan unsur peradaban sebelumnya, serta membentuknya menjadi sebuah peradaban baru. Di sisi lain, proses evolusi tersebut membutuhkan ‘faktor penunjang’ yang menjadikan berpindah dari satu keadaan/peradaban pada keadaan/peradaban lain. Ekonomi merupakan faktor yang paling banyak dituliskan Ibnu Khaldun. Ia membedakan antara perabadan kota dan desa yang didasarkan pada mata pencaharian masyaraktnya. Tesis ini, sekaligus mengisyaratkan bahwa Ibnu Khaldun telah mendahului Karl Marx menyangkut doktrin ‘materialisme-historis’. Nampaknya asumsi ini tak berlebihan, jika kita menilik ungkapan senada dari Muhammad Abid al-Jabiri, pemikir Islam garda depan, tatkala ia berkutat dengan karya Yves Lacoste terkait kajiannya terhadap Ibnu Khaldun.

Satu poin penting yang nampaknya tak boleh tertinggal dari buku ini adalah sebab-sebab kesilapan dalam penulisan sejarah. Diantara sebab tersebut, tutur Zainab Mahmud al-Khudlairi, meyakini doktrin sekte tertentu sebagai kebenaran sejati, atau karena faktor psikologis. Konsekuensinya, analisa obyektif terhadap suatu data telah dikalahkan oleh data-data kontras yang telah terlebih dahulu ‘bertengger’ dan diimani dalam benak sejarawan. Sebab yang lain, label baik atau buruk terhadap pembawa data (al-râwi) didasarkan pada perspektif sejarawan pribadi (subyektif). Dalam ilmu hadis, metode ini dinamakan al-jarh wa al-ta’dîl. Dengan demikian, jelas, bahwa Ibnu Khaldun hendak mengaplikasikan metode dalam musthalah hadis pada data-data sejarah. Namun satu hal yang tampaknya perlu digaris bawahi, aplikasi metode ini setelah terlebih dahulu menguji suatu data mustahil atau tidak.

Penulisan sejarah mempergunakan metode ini akan memandang sejarah secara obyektif, tanpa tercampur fanatisme sektarianistik, atau tendensi tertentu. Zainab mengajari kita, bahwa kita perlu melihat sejarah dengan menempatkan diri bukan bagian dari ‘pelaku sejarah’. Kekhawatiran tersebut muncul tatkala kita mengamati fenomena penulisan sejarah Arab-Islam yang sarat dengan tendensi politik; dipergunakan untuk mengukuhkan posisi golongannya. Perpecahan antar sekte yang timbul sekarang salah satunya karena ‘korban sejarah’.

Judul: Falsafah al-Târîkh ‘indâ Ibn khaldûn
Pengarang: Zainab Mahmud al-Khudlairi
Penerbit: Dar al-Farabi
Kota Terbit: Beirut
Tahun Terbit: 2006
Tebal Buku: 215 Halaman
Resentator: Ahmad Hadidul Fahmi
Selengkapnya...

Thursday 9 December 2010

Menelisik Ruang Episteme Tasawuf Sunni Nusantara

Oleh Ahmad Hadidul Fahmi

Diskursus tasawuf telah menarik perhatian antropolog, sejarawan serta peminat kajian komparasi agama, sosiolog, bahkan psikolog semenjak abad-19. Antropolog dan sosiolog memandang tasawuf sebagai fenomena sosial (dzâhirah ijtimâ’iyyah); analisa yang dominan pada aspek material belaka. Sosiolog berasumsi para sufi--dengan berbagai terminologi yang mengitarinya--mengidap penyakit patologis. Begitu pula filsuf menafsirkan tasawuf sebagai fenomena yang bisa merasionalkan sebuah eksistensi secara intuitif. Bagi sarjana Islam klasik, tasawuf justru tawaran dan batu loncatan pengembaraan intelektual mereka. Ibnu Sina (w. 427 H), filsuf sekaligus dokter terkemuka; al-Ghazali (w. 505 H) dan gurunya, Imam al-Haramain (w. 478 H), juris sekaligus teolog Asyari; Ibnu Khaldun (w. 406 M), sejarawan dan perumus sosiologi—semua pada akhirnya menjadikan tasawuf sebagai titik akhir pengembaraan intelektual. Titik akhir pengembaraan ini bukanlah sebagai titik akhir kreativitas, bukan pula mengarahkan pada totalitas hamba dalam berinteraksi dengan Tuhannya sembari menafikan hal-hal selainNya. Mungkin asumsi ini yang membuat tokoh semisal Hassan Hanafi tak sepakat dengan cara keberislaman kaum sufi yang cenderung stagnan dan pasif. Tapi jika boleh jujur, tesis Hassan tak sepenuhnya tepat. Sebab, tokoh-tokoh sufi—dalam perjalanan sejarahnya--justru mempunyai andil yang cukup besar bagi kemajuan peradaban, baik itu yang berinklinasi tasawuf sunni, falsafi, atau bahkan tarekat sekalipun.

Di Indonesia, tasawuf juga berperan dalam proses pribumisasi Islam. Suksesnya Islam di Indonesia diantaranya berkat jasa-jasa kaum sufi. Oleh karena itu, tasawuf dengan semua inklinasinya bisa dijumpai di Nusantara: dari falsafi sampai tarekat bahkan salafi sekalipun. Ketiganya ini jelas mempunyai andil masing-masing bagi keberlangsungan Islam di Nusantara. Akan tetapi saya hendak meneropong proses Islamisasi yang dilakukan oleh sufi dengan orientasi Sunni-nya saja, bukan falsafi. Walaupun penulis sendiri mengetahui, bahwa tasawuf falsafi mempunyai capaian signifikan dalam pribumisasi Islam, seperti nama Syeikh Siti Jenar ataupun Ronggo Warsito, penganut konsep panteisme yang terkenal itu. Pengerucutan tema ini melalui beberapa pertimbangan; pertama, tasawuf Sunni oleh beberapa kalangan dinilai mengandung sikap ketidakberdayaan (khumûl); kedua, ketika dibenturkan dengan fakta bahwa Indonesia sekarang masih terbelakang, konsep-konsep tasawuf Sunni—paling tidak—turut membentuk watak regresif masyarakat Nusantara; ketiga, tawaran reinterpretasi konsep tasawuf Sunni yang akan disesuaikan dengan konteks Nusantara.

Tasawuf Dan Umat Islam di Indonesia
Apabila merujuk pada sejarawan Perancis, B Bousquet, profil muslim Indonesia—berdasarkan cara pakaiannya--seakan mempunyai “lubang-lubang kecil” yang menyiratkan agama asli penduduk Indonesia: animisme. Hal itu bisa dimaklumi, karena umat Islam di Indonesia pada hakikatnya tak bisa dilepaskan secara mutlak dari agama pendahulu, bahkan setelah Undang Undang Dasar membatasi eksistensi agama terbatas pada lima agama sekalipun. Hal ini merupakan titik pijak awal bahwa aroma mistisisme masih demikian kental di masyarakat Indonesia, sekaligus mengindikasikan potensi harmonisasi tasawuf yang kental mistisisme dan kepercayaan asli Indonesia.

Jika Islam pada hakikatnya adalah agama inklusif dan tidak mempersoalkan perbedaan etnis, ras, bahasa serta letak geografis, tasawuf membuka wawasan lebih luas bagi keterbukaan yang meliputi agama-agama lain. Intensitas para sufi ketika terjun ke dalam hal-hal praksis (‘amalî) yang menjadikan mereka bisa harmonis dengan penduduk setempat. Menurut Snouck Hurgronje, walaupun tasawuf berperan nyata dalam proses Islamisasi di Indonesia, akan tetapi ajaran-ajarannya lebih berorientasi ke praktik bid’ah, mistik, serta khurafat. Oleh karena itu, tasawuf, baginya, dihormati masyarakat Indonesia karena bekas-bekas Hinduisme masih melekat pada mereka, sekaligus menjadi faktor dominan bagi keberhasilan proses Islamisasi yang dilakukan kaum sufi. Pandangan serupa juga dikemukakan oleh Supardi, penulis Indonesia, yang mempunyai tesis bahwa proses Islamisasi di Indonesia berkat jasa-jasa pedagang Arab dan India yang menerima ajaran yang sarat mistisisme, sebagai upaya penyesuaian ajaran-ajaran Islam dengan kepercayaan Hindu-Budha di Jawa (sinkretis). Lebih jauh, studi Dr. Hadi Wiyono telah berhasil mencari titik temu antara ideologi Islam versi kaum sufi dan kepercayaan Hindu-Buda yang sudah mengakar di Indonesia sebelum datangnya Islam.

Tesis di atas—jika merujuk pada data-data yang dituliskan Alwi Shihab--sebenarnya didasarkan pada pemikiran pemikir Indonesia yang hidup pada abad ke 19 M. Sebut saja pemikiran Hamzah al-Fansuri dan Syams al-Din al-Sumatrani yang dianggap cukup merepresentasikan metodologi kaum sufi dalam proses Islamisasi di Indonesia; menawarkan Islam pada masyarakat dengan memberikan kesan bahwa Islam tidak berbeda dengan kepercayaan mereka sebelumnya. Bahkan pemikiran Hamzah Fansuri dan Syams al-Din al-Sumatrani telah dikenal sebelumnya di kalangan Hindu dengan nama “Niskala”, dan Budha dengan “Dharmakaya”. Apabila kita mengetahui bahwa pemikiran Hamzah Fansuri dan Syams al-Din al-Sumatrani berinklinasi panteistik (wahdat al-wujûd), apakah benar paham tersebut yang berjasa besar dalam “membumikan” Islam di Indonesia?

Sebelum menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita kembali melihat secara ringkas perjalanan panjang polemik tasawuf Sunni dan falsafi. Abad ke 3 H merupakan titik awal bermulanya pusaran panas ini. Pada abad ini muncul tokoh besar tasawuf, al-Husein Ibn Mansour al-Hallaj, yang dihukum mati akibat konsep al-hulûlnya. Selepas periode ini, Abu Hamid al-Ghazali dengan gigihnya menumbangkan segala bentuk kecenderungan tasawuf yang dianggap menyimpang. Kritik-kritiknya yang tajam terhadap filsafat, pemikiran-pemikiran Mu’tazilah, serta al-Bathiniyyah, seolah menancapkan pondasi kuat bagi tasawuf Sunni untuk bisa survive di tengah masyarakat Islam ketika itu. Tak bisa dipungkiri, memang sosok ini mempunyai andil besar “membentuk” nalar bawah sadar umat Islam, baik pada era itu, ataupun masa-masa jauh setelahnya. Jika boleh menyebut permisalan, kritiknya terhadap filsafat, bahkan, sampai sekarang masih sangat membekas pada diri umat Islam.

Sejak tampilnya al-Ghazali, tasawuf Sunni mulai menancap dan mengakar dengan kuat di benak umat Islam. Bahkan mulai bermunculan tokoh sufi terkemuka yang mendirikan “tarekat” sebagai piranti sosialisasi tasawuf Sunni. Kita mengenal nama Ahmad Rifa’i (w. 570 H), ‘Abdul Qadir al-Jaylani (w. 651 H), Abu Hasan al-Syadzili (w. 650 H) dan muridnya Abu al-‘Abbas al-Mursi (w. 686 H), serta Ibnu ‘Athaillah al-Sakandari (w. 709 H). Model tasawuf yang mereka kembangkan adalah perpanjangan dari corak tasawuf yang dipopulerkan oleh al-Ghazali: tasawuf Sunni.

Sementara itu, pada abad ke 6 H muncul corak tasawuf yang mengadopsi teori-teori filsafat, serta mempunyai orientasi filosofis. Corak tasawuf ini dipopulerkan oleh al-Suhrawardi al-Maqtul (w. 587 H), al-Syaikh al-Akbar Muhyiddin Ibnu ‘Arabi (w. 638 H), Umar ibn Farid (w. 632 H), serta Ibnu Sab’in (w. 669 H). Dalam corak filosofis inilah berkembang tasawuf yang berorientasi panteistik (wihdat al-wujud): sebuah unifikasi Tuhan dengan makhlukNya. Tasawuf falsafi mencapai puncaknya di tangan Ibnu Arabi, dimana ia mampu membangun pilar tasawuf falsafi di atas prinsip-prinsip filsafat yang kukuh dalam sebuah kesatuan visi yang sempurna. Faktor dominan yang memunculkan aliran tasawuf falsafi adalah adanya interaksi dengan aliran-aliran mistik, baik itu akibat penerjemahan, ataupun konsekuensi dari ekspansi Islam ke negeri yang mempunyai kecenderungan mistik, semisal India dan Persia. Akibatnya muncul konsep-konsep dalam tasawuf falsafi--seperti al-fanâ’, al-ittihâd, al-hulûl, serta wahdah al-wujûd--yang menurut beberapa kalangan agak sulit ditemukan dasarnya dalam Islam. Konsekuensi lain juga, serangan-serangan terhadap tasawuf yang berinklinasi filosofis semakin gencar digalakkan oleh kalangan Sunni.

Betul, bahwa Hamzah Fansuri dan Syams al-Din adalah penganut panteisme. Alwi Sihab menyebut, di buku-buku Hamzah disebutkan nama Ibnu Arabi beberapa kali. Para peneliti pada umumnya juga menganggap bahwa Hamzah dan Syams al-Din sangat terpengaruh dengan Ibnu Arabi dan al-Jilî. Bahkan, Hamzah disinyalir sebagai orang pertama yang menyebarkan paham wihdah al-wujûd di kawasan Asia Tenggara—walaupun tesis ini jelas mengabaikan tokoh yang sezaman dengan Wali Songo, Syeikh Siti Jenar. Mereka misalnya, menurut Azyumardi Azra, menjelaskan alam raya dalam pengertian serangkaian emanasi-emanasi neo-Platonis dan menganggap setiap emanasi sebagai aspek Tuhan itu sendiri. Hal ini pula yang mendorong tokoh setelahnya, Nur al-Din al-Raniry, memberangus habis paham ini sebab dikategorikan sebagai paham sesat (heretical) dan menyimpang (heterodox). Perlu diingat, keterkaitan antara al-Fansuri dan al-Raniry seperti keterkaitan al-Ghazali dan Ibnu Rusyd. Akan tetapi—hemat Athif Iraqi--kritikan Ibnu Rusyd baru mempunyai dampak belakangan, dan “hegemoni” al-Ghazali masih terasa kuat mencengkram. Hal itu berbeda dengan al-Raniry; disamping mempunyai legitimasi sah, ia mampu memilah dan meyakinkan masyarakat bahwa tasawuf yang dibawa oleh Fansuri adalah tasawuf yang menyimpang. Pada saat al-Raniry mengkritik pemikiran Fansuri, murid Fansuri, al-Sumatrani yang memahami betul pemikiran gurunya, telah wafat. Sehingga, ketika itu tidak ada rintangan berarti yang menghalangi jalan al-Raniry. Mungkin secara politis, sikap al-Raniry bisa dibaca hendak mengukuhkan posisinya sebagai satu-satunya rujukan kapabel dalam masalah agama. Dengan demikian, al-Raniry cukup berperan menancapkan tasawuf Sunni di Indonesia.

Secara genealogis, tentu saja pemikiran al-Raniry dan al-Fansuri diakarkan pada polemik tasawuf Sunni dan falsafi pada abad 5 dan 6 H. Lebih-lebih jika melihat bahwa al-Raniry sebenarnya juga sebagai mursyid tarekat Rif’aiyah—corak tasawuf yang merupakan perpanjangan dari tasawuf yang diperkenalkan oleh al-Ghazali. Akan tetapi, sebenarnya di Nusantara sendiri tasawuf Sunni telah menemukan lahannya jika kita merujuk pada cara keberislaman yang dianut oleh Wali Songo. Data inilah yang dikritik oleh Ahmad Baso karena tidak disebutkan oleh Azyumardi Azra dalam bukunya. Memang benar, bahwa Wali Songo mempunyai andil besar dalam Islamisasi Nusantara pada abad ke 15. Akan tetapi, menurut Martin van Bruinessen, data-data tentang Islam Nusantara pada abad ke 15 masih sangat sedikit, dan kalaupun ditemukan, hal tersebut banyak bercampur dengan mitos.

Baiklah, penulis tak ingin berpanjang-panjang untuk mengatakan bahwa tasawuf yang sekarang berkembang di Indonesia merupakan perpanjangan dari tasawuf yang dipopulerkan oleh al-Ghazali. Entah itu lewat Wali Songo, dengan kecenderungan tasawuf Sunni, ataupun tokoh Nusantara paska Wali Songo yang berkontribusi besar menumbangkan paham panteisme. Hanya sedikit menambahkan data, bahwasanya Wali Songo datang ke Indonesia pada abad ke 14 M atas nama keturunan ‘Alawiyyîn (Ahmad Muhajir Muhammad bin Isa al-‘Alawi). Beberapa alasan yang menjadikan Wali Songo disebut-sebut perpanjangan tasawuf al-Ghazali—sebagaimana disebutkan oleh Alwi Sihab adalah; pertama, terdapat buku “primbon” peninggalan Sunan Bonang yang menjelaskan hakikat pemikiran Wali Songo dalam tasawuf, syariat dan akidah. Pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh Wali Songo—apabila merujuk pada peninggalan tersebut—sama dengan pemikiran Ahl al-Sunah wa al-Jama’ah dan Madzhab Syafi’i; mengajak tauhid, menjauhi syirik, serta mengajak untuk menjauhi ritual-ritual yang bertentangan dengan kepercayaan Sunni. Tak heran mereka menjadikan buku Ihya ‘Ulum al-Din buah karya al-Ghazali sebagai rujukan dalam dakwahnya; kedua, Wali Songo merupakan keturunan Ahmad Muhajir. Al-Ghazali dan Ahmad Muhajir sama-sama membangun pemikiran tasawufnya berdasarkan doktrin Abu Thalib al-Makky; ketiga, salah seorang pemimpin tarekat ‘Alawiyyah (tarekat Wali Songo) mempunyai banyak kesamaan dengan al-Ghazali. Jika kita hendak meruntut keturunan mereka di era belakangan, pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari merupakan keturunan Basyaiban yang sanad keluarganya bersambung pada Ahmad bin Isa.

Dengan demikian, kesamaan pemikiran panteistik Fansuri dan Sumatrani dengan ritual Hindu dan Budha tidak bisa serta merta menunjukkan bahwa tasawuf yang berorientasi panteisme telah berjasa membumikan Islam di Nusantara. Boleh jadi, iya. Tetapi mereka mempunyai andil dalam proses Islamisasi an sich, tidak secara langsung membentuk dan mengejawantah dalam etika masyarakat Indonesia, sebagaimana “hegemoni” tasawuf Sunni sekarang. Sebab, masuknya Wali Songo ke Nusantara--dengan tasawuf yang berinklinasi Sunni--sudah dengan sendirinya mengeliminasi andil mereka. Walaupun tentu saja saya tidak hendak mengabaikan tokoh semisal al-Palimbani yang disinyalir mempunyai inklinasi panteistik.

Reinterpretasi Epistemologi Tasawuf Sunni; Sebuah Tawaran Solusi
Sebenarnya untuk menjelaskan epistemologi Tasawuf Nusantara, saya seharusnya merujuk secara langsung pada karangan Wali Songo sebagai sumber otoritatif. Akan tetapi lagi-lagi saya tak mendapati data-data tentang hal tersebut di sini. Tetapi tidak menjadi masalah, sebab saya akan merujuk secara langsung pula pada konsepsi tentang tasawuf Sunni pada pionir awal corak ini sebagai pijakan: Abu Hamid al-Ghazali.

Kita tahu bersama bahwa al-Ghazali pernah mengalami kegundahan jiwa yang menjadikannya harus melepaskan atribut juris (fakih), filsuf, serta teolog untuk kemudian diganti dengan predikat “sufi”. Alasannya sebagaimana yang ia kemukakan dalam kitabnya al-Munqidz min al-Dlalal, bahwasanya tasawuf—dengan inklinasi Sunni-nya--merupakan satu-satunya jalan untuk sampai kepada Tuhan secara sempurna, dan ritualnya merupakan praktik yang mendapat legitimasi secara langsung dari ayat al-Qur’an ataupun hadis-hadis Nabi. Mengandalkan akal an sich, mustahil seseorang bisa sampai kepada Tuhannya. Beliau juga meyakini bahwasanya hati merupakan pondasi iman. Al-Ghazali juga mengkritik pengingkaran terhadap tasawuf, dengan argumentasi; ketika seseorang mensucikan diri (al-thahârah), hal pertama yang harus dilakukan adalah mensucikan hati dari semua hal selain Allah. Penyucian terhadap segala selain Allah merupakan prinsip dasar dalam tasawuf.

Satu hal penting yang ada dalam magnum opuse al-Ghazali ini, bahwa ada satu konstruk epistemologi atau sub-sub pembahasan di dalam tasawuf Sunni yang sampai sekarang membentuk sifat pesimistis pada nalar bawah sadar umat Islam Nusantara; tasawuf Sunni sebagai representasi inferioritas peradaban. Hal tersebut bisa dimaklumi ketika kita menelisik bangunan tasawuf yang telah dibangun al-Ghazali dalam al-Ihya’ Ulum al-Dîn. Sebagai misal, al-Ghazali membubuhkan kecacatan dunia dan segala isinya dalam satu pembahasan yang disebut dzamm al-dunya (ketercelaan dunia). Dunia, dalam epistemologi tasawuf Sunni, disebut sebagai sebab terjerumusnya umat dalam lubang kesesatan. Al-Ghazali menyitir ungkapan Musa bin Yasar yang meriwayatkan hadis Nabi Saw., “Allah tidak menciptakan makhluk yang paling dibenci dari penciptaanNya terhadap dunia. Dan Allah—semenjak diciptakannya dunia—tak pernah sekalipun melihat pada dunia”. Ekses dari pengebirian “dunia”, dalam pandangan al-Ghazali, mempelajari ilmu-ilmu yang tidak berhubungan secara langsung dengan Tuhan bukan menjadi prioritas. Apakah definisi dunia menurut al-Ghazali? Bagi al-Ghazali dunia adalah semua hal yang merupa, dan manusia terhadapnya mempunyai hak, sedang untuk melestarikannya membuat manusia dalam kesibukan. “Hal yang merupa” adalah bumi dan segala isinya; barang tambang, tumbuh-tumbuhan dan hewan. Al-Ghazali juga memaparkan relasi dunia terhadap hati dan terhadap badan yang masing-masing mempunyai konsekuensi serta implikasi yang berbeda. Inti dari pandangan al-Ghazali ini, dunia merupakan piranti untuk mengantarkan hamba terhadap akhirat. Kebutuhan serta kecintaan manusia terhadap dunia haruslah pada batas “sewajarnya”. Oleh karena itu, ketika “interaksi” manusia terhadap dunia pada “batas maksimal”, hal itu—dalam pandangan tasawuf Sunni—adalah sesuatu yang tercela.

Pun ketika kita melihat pada klasifikasi al-Ghazali terhadap sub pembahasan Ihya’ Ulum al-Din, ia menyertakan rubu’ al-Munjiyyât (seperempat hal yang berperan sebagai penyelamat) pada bab terakhir. Di antaranya ia menyertakan asketisme dan kemiskinan (al-faqr zuhud), takut dan harapan (al-khawf wa al-rajâ’), tawhid dan tawakal (al-tawhîd wa al-tawakkul), dll, sebagai piranti “keselamatan”.

Indonesia berpenduduk umat Islam terbesar di dunia. Islam hadir dalam kesadaran penduduk Nusantara dan membentuk, membatasi, serta mengubah keseharian mereka. Islam kemudian berfungsi sebagai “penggerak” dan “kontrol sosial” bersamaan. Kita tentu mengetahui perihal fase perkembangan tasawuf—yang disebutkan oleh Ali Sami Nasyar dalam Nasy’at al-Fikr al-Falsafî fî al-Islâm—yang terpetakan dalam tiga perkembangan; asketisme (zuhud), kemudian dibakukan dalam prinsip-prinsip tasawuf, dan mengejawantah dalam bentuk etika (al-akhlâq). Maka, apabila Islam mengatur etika yang termaktub dalam tasawuf, tasawuf mempunyai porsi yang sangat besar dalam mengatur keseharian masyarakat (sulûk) Indonesia. Ketertinggalan masyarakat Indonesia, baik dari sudut pandang teknologi, intelektual, dan politik tak ubahnya karena tasawuf dipahami sebagai lambang kemalasan dan ketidakberdayaan (khumûl): kemajuan bisa didapatkan dengan tulusnya doa, bukan dengan usaha. Singkatnya, bagaimana hendak memajukan negara jika usaha tersebut sudah dikategorikan sebagai hal yang memalingkan manusia dari Tuhannya? Dengan redaksi lain, memajukan sebuah negara tidak memerlukan pengetahuan Fikih dan Tafsir ataupun Hadis. Bagaimana pula mengentaskan Indonesia dari 100 Negara termiskin di dunia, apabila doktrin agama yang diajarkan justru “anjuran untuk miskin”?

Jika hendak melihat dampak secara langsung dikotomi dunia dan akhirat perspektif tasawuf Sunni, kita bisa melihat kultur di pesantren yang dengan jelas membedakan antara ilmu agama dan ilmu umum. Walaupun klasifikasi al-Ghazali terhadap ilmu tidak dikotomis, akan tetapi prioritas “yang agama” terhadap “yang bukan agama” paling tidak menunjukkan pemisahan ini. Misalkan, al-Ghazali mengkategorikan ilmu umum sebagai ilmu yang boleh dipelajari melalui status fardlu kifayah. Doktrin-doktrin yang diajarkan oleh pesantren pun tak bisa dipisahkan sepenuhnya dari pemahaman Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah yang dikembangkan oleh Wali Songo. Penulis sebut tak bisa dipisahkan sepenuhnya karena jaringan ulama Nusantara yang berada di Timur Tengah juga cukup berperan dalam membentuk nalar pesantren “di dalam kisaran doktrin Aswaja”. Bahkan, apabila melihat pemikiran-pemikiran ulama Nusantara yang disebutkan Azra dalam bukunya, serta pemikiran Wali Songo seputar Aswaja, mereka tidak berasal dari sumber yang berbeda. Sedang keterikatan pesantren dengan Wali Songo, kita bisa melihatnya dari pesantren sendiri yang pertama kali didirikan oleh Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M).

Dalam hal ini saya menawarkan dua alternatif reinterpretasi konsep tasawuf; pertama, bahwasanya tasawuf yang dipahami sebagai ‘yang tak terpisah dari agama’ harus direinterpretasikan dengan melihat konteks sosio-historis yang melingkupinya: sebagai ‘yang terpisah dari agama’. Hal itu dimaksudkan, agar fungsi tasawuf sebagai “penggerak” dan “kontrol sosial” bisa berjalan maksimal dan kontekstual. Jika merujuk pada tesis Ibnu khaldun dan Ignaz Goldziher, bahwa fase tasawuf diawali dengan praktik asketis, maka saya ingin membukanya dengan mengutip pernyataan Nicholson dalam bukunya Fi al-Tasawwuf al-Islâmî; bahwasanya praktik asketisme itu sendiri merupakan dampak dari perang saudara, tidak stabilnya kondisi politik, despotisme penguasa, serta kelaliman hakim. Kita tahu bahwa chaos paska pemerintahan Utsman semakin parah. Ada bermacam golongan di situ. Al-Nawbakhti dalam Firaq al-Syi’ah menggambarkan kejadian kala itu sebagai berikut,

“tatkala Utsman terbunuh, mereka menamakannya dengan kebersamaan (al-jama’ah)”. Kemudian mereka terpisah menjadi tiga kelompok: kelompok yang mendukung Ali, dan kelompok lain mengasingkan diri bersama Sa’d bin Malik, mereka adalah Sa’d bin Abi Waqash, Abdullah bin Umar [..]”

Husein Muruwah mengatakan, awalnya sikap mengasingkan diri tersebut sebagai bentuk ketidakberpihakan (in’izâlan ‘adamiyyan). Akan tetapi, ketidakberpihakan sikap mereka yang mengasingkan diri kemudian bermetamorfosa menjadi gerakan asketisme yang sekaligus menyiratkan “penolakan pasif” terhadap kelaliman penguasa dan kekacauan di tengah masyarakat. Jika dahulu Abdullah bin Umar mengasingkan diri karena sikap netral, maka pada masa Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafi ia mengasingkan diri karena penolakan terhadap pemerintahan Hajjaj yang semena-mena (despotis). Abdullah bin Umar yang mengatakan pada pemerintahan Hajaj: “ma syabi’tu mundzu maqtal al-‘Utsman”, bukan hendak memberitahukan pada khalayak bahwa ia dalam keadaan lapar. Akan tetapi hendak memberitahukan bahwa praktik zuhudnya menunjukkan sikap penentangan (al-mawqif al-mu’âridl) terhadap pemerintahan Hajjaj.

Kita juga dapat melihat permisalan ini pada sosok Hasan Bashri (w. 110 H), dari kelompok zâhid kurun pertama. Dalam praktik asketismenya, ia bersikap sangat sedih. Akan tetapi Husein Muruwah menafsirkan kesedihannya tersebut secara dialektik-materialistik: kesedihan tersebut karena aksi-aksi aniaya sudah demikian parah di masyarakat ketika itu dan tidak ada kemampuan untuk mengubah keadaan tersebut. Hasan Bashri dan para zâhid pada waktu itu terus merasa berdosa, dengan merasa bahwa merekalah yang berkewajiban memikul semuanya di hadapan Tuhan. Akhirnya mereka—dalam keadaan sedih yang teramat sangat—memilih untuk meninggalkan dunia dengan harapan mampu menghapus dosa-dosa (takfiran ‘an al-dzunûb) dengan sikap zuhudnya. Adapun asketisme Hasan yang berbentuk “penolakan pasif” terjadi pada pemerintahan Ali bin Abi Thalib.

Dengan demikian, praktik asketisme pada awalnya adalah sikap “penolakan secara pasif” bagi kondisi politik pada masa itu, kemudian berkembang kedalam praktik lelaku (sulûk) yang terejawantahkan pada pemisahan diri dari aktivitas sosial (al-nasyâth al-ijtimâ’î) untuk berkonsentrasi melaksanakan ibadah terhadap Tuhan. Akan tetapi sikap tersebut dilaksanakan oleh para sufi setelahnya secara a-historis. Hal ini yang—dalam istilah Marxisme--disebut alla istimrâriyyah al-târîkhiyyah: keterputusan akar historis. Sikap asketis yang pada mulanya merupakan respon terhadap aksi-aksi politik kemudian dipisahkan sepenuhnya dari percaturan masa lampau untuk ditarik dalam “wilayah ideologis”: agama.

Artinya, ketika asketisme atau ruang epistemologi tasawuf yang lain dihadapkan pada keterbelakangan di Nusantara, sikap yang harus dimunculkan justru sikap responsif dan kritis terhadap wewangian modernitas. Bagaimana agar orientasi akhirat dan dunia bisa seimbang, menciptakan sufi-sufi yang ‘ramah lingkungan’ dan berpikiran progresif, dan sufi yang peka terhadap problem sosial.

Kedua, reinterpretasi konsep tasawuf—yang diasumsikan lambang ketidakberdayaan--dengan pemurnian kembali ajaran-ajarannya yang sudah tereduksi. Hal itu disebabkan, terkadang tidak ada pemilahan secara cermat sehingga menimbulkan kesalahan konsepsi pembaca atau sufi itu sendiri. Boleh jadi hal itu karena ranah praksis lebih dominan dari pembekalan secara teoritis, sehingga aspek-aspek teori malah terabaikan. Al-Najjar--dalam bukunya al-Thuruq al-Shufiyyah fi Mashr--menuturkan wejangan al-Ghazali terhadap seorang sufi yang harus mengetahui keilmuan tentang tasawuf (aspek teorinya) dan mengaplikasikannya dalam ranah praksis. Faktanya, pada beberapa tarekat yang berkembang di Indonesia, penekanan ke hal praksis lebih dominan dari pembekalan teorinya. Padahal, di Somalia, tarekat Syadziliyah dan Rifa’iyah mengawali pendirian sekolah-sekolah agama untuk mengentaskan kebodohan masyarakat di sana. Muhammad Fahmi Abd al-Latif dalam al-Fann al-Ilâhi menuturkan bahwa sufilah yang memelihara nyanyian Arab terus lestari hingga kini. Hal itu disebabkan, setelah runtuhnya Baghdad dan Cordova, banyak praktik-praktik kesenian dalam Islam yang terlupakan, salah satunya musik, karena aktivitas mereka dalam bermusik seketika terhenti. Akan tetapi praktik ini masih tetap dilestarikan dalam “majlis sufi” hingga kini. Selain itu, Abu al-Hasan al-Syadzili, peletak tarekat Syadziliyah, bergabung dengan pemuda Mesir untuk menumpas penjajahan ketika itu.

Jika kita melihat fakta di atas, ternyata pembesar sufi dan tarekat yang kini digandrungi di Indonesia memberi contoh semangat yang patut ditiru. Mereka bergabung dalam aktivitas masyarakat dan memberikan kontribusi berarti bagi negaranya. Jika demikian, bukankah ada “keterputusan epistemologis” antara praktik konsep sufistik yang dilaksanakan oleh pembesar sufi dahulu dan praktiknya pada masa sekarang? Jika dahulu mereka menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat, sekarang dimensi akhirat sangat dominan sekali. Jika dahulu pembesar sufi turun ke medan perang melawan kolonialisme, sekarang para sufi identik dengan doa dan beribadah kepada Tuhan an sich. Faktanya memang demikian.

Keterputusan ini yang membuat pembaharu Mesir, Jamal al-Din al-Afghani (w. 1314 H), mengkritik tasawuf. Tasawuf—di matanya--dianggap bertanggungjawab terhadap merebaknya spirit berserah diri (tawakkul), ideologi predestinasi (al-jabar), dan mengimani qadla dan qadlar untuk berpangku tangan mencari rizki. Dan secara langsung akan berbanding lurus dengan angka kemiskinan suatu komunitas masyarakat. Inilah, bagi Jamal al-Din, tasawuf yang kontradiktif dengan spirit Islam itu sendiri. Tawakal sama sekali tidak menegasi “ambisi positif” manusia. Oleh karena itu, mungkin analisa Najm al-Din al-Thusi dalam al-Luma’ menarik untuk dipaparkan. Di sana disebutkan beberapa penyebab kesalahan pemaknaan konsep sufistik, diantaranya adalah seorang sufi yang mengalami kecacatan dalam hal-hal fundamental, sebab tidak pernah mempelajari syari’at. Kemudian yang mengalami kesalahan dalam memahami cabang-cabang tasawuf, yakni yang berkaitan dengan adab dan akhlak, maqâm dan ahwâl.

Paling tidak dua corak reinterpretasi terhadap tasawuf akan bisa menggugah kesadaran masyarakan Indonesia bahwa mereka dalam keterbelakangan. Dan untuk membangun sebuah peradaban harus diawali dari sikap opitimis. Di sisi lain, sufisme tidak melulu berorientasi teosentris, jikapun antroposentris, bukan yang berseberangan dengan nilai-nilai humanisme dan menghambat laju kreativitas. Allahu a’lam.
Selengkapnya...

Rekonstruksi Ilmu Kalam Menurut Muhammad Abduh

Oleh Ahmad Hadidul Fahmi

Ilmu Kalam pada kurun terakhir mengalami stagnansi yang signifikan. Fanatisme sektarianistik demikian membumi. Imbas fanatisme ini pada akhirnya membuahkan konflik yang berkepanjangan. Di satu sisi, ilmu pengetahuan kian berkembang. Teori-teori klasik semakin kentara kecacatannya. Abd al-Jabbar al-Rifa’i menuturkan, stagnansi Ilmu Kalam cukup kentara semenjak Nashir al-Din al-Thusi (w. 672 H) mengeluakan al-Tajrîd-nya. Para teolog--setelah al-Thusy--seperti mati suri. Karena, pada seperempat terakhir abad ke 7, al-Tajrîd kemudian menjadi tolak ukur para ahli Kalam dalam proses menganggit kitab; seperti al-Mawâqif buah tangan ‘Idl al-Din al-Ijiy (756 H), atau al-Maqâshid karya Sa’id al-Din al-Taftazani (792 H). Dari semenjak ini, perkembangan Ilmu Kalam sebatas pada tinjuan ulang terhadap karya-karya klasik tanpa ada inovasi yang berarti.

Di lain pihak, pada penghujung abad 18, umat Islam mulai bersentuhan dengan peradaban Barat. Khususnya Mesir, yakni semenjak berpulangnya Syekh Rifa’at al-Tahtawi dari Perancis (1831 M). Melalui beberapa disiplin ilmu yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, ia mampu membangunkan geliat intelektual dunia Arab yang mati suri. Sebagaimana di Mesir, di India terjadi fenomena yang tak jauh berbeda: seruan Sayyid Ahmad Khan untuk menyatu dengan peradaban Barat. Sayyid Ahmad Khan (w. 1898 M) kemudian mengarang tafsir yang mengharmoniskan maksud suatu ayat dengan ilmu kontemporer. Dengan metode barunya ini, ia menyerukan untuk melepaskan ideologi umat Islam untuk diganti dengan keyakinan yang lebih relevan. Sebagaimana ia juga menyerukan humanisasi agama dalam bukunya Tibyân al-Kalâm.

Tak ayal, gagasan Ahmad Khan di atas cukup menimbulkan kontroversi di tubuh umat Islam saat itu. Sanggahan-sanggahan untuk Ahmad Khan bermunculan, seperti dari Jamal al-Din al-Afghani (w. 1897 M), Sayyid Akbar Husein Ilah Abadiy (w. 1921 M), dll. Namun justru dari babak ini pula kebangkitan Ilmu Kalam perlahan berjalan. Pakar teolog mulai melepaskan diri dari budaya syarah, hâsyiyah, ta’lîq, serta sikap lain yang tidak menampakkan produktivitas mereka. Gagasan rekonstruktif mereka bisa digolongkan pada dua haluan besar: pertama, pendasaran filosofis (ta’sîs falsafiy), dengan tokoh garda depan Muhammad Iqbal, Muhammad Husein Thabataba’i, Muhammad Baqir Shadr, Murtadla Mutahari, dll. Kedua, pendasaran rasio (ta’sîs ‘aqlî), dengan tokohnya Jamal al-Din al-Afghani, ‘Abdurrahman al-Kawakibi, Muhammad Thahir bin ‘Asyur, Muhammad Husein Kasyif al-Ghita’, dll.

Salah satu deretan nama yang mencoba melepaskan diri dari budaya yang tidak produktif adalah al-Imam Muhammad Abduh (1849-1903 M); murid Jamal al-Din al-Afghani. Ia menyerukan rekonstruksi (i’adat al-binâ’) Ilmu Kalam dalam konsep-konsepnya yang dipandang tak lagi relevan untuk umat Islam sekarang. Ide rekonstruktif tersebut berawal dari sebuah pertanyaan, bagaimana jika tauhid memainkan peranannya tidak hanya pada kehidupan spiritual semata (al-hayât al-ruhiyyah), akan tetapi juga pada kehidupan material (al-hayât al-mâdiyyah)? Serta bagaimana agar sebuah kepercayaan juga bisa dipahami semua nalar masyarakat, sehingga mampu dilaksanakan, dan memberi efek/dampak pada kejiwaan mereka?

Baginya, stagnansi muncul karena mematikan peran rasio dalam kebertuhanan umat Islam. Oleh karena itu, salah satu cara solutif untuk masalah ini-–menurut Abduh–-adalah; pertama membiarkan rasio kembali memainkan perannya dalam memahami suatu teks, sebagai oposisi kejumudan proses berpikir (fa’âliyyat al-‘aql fî muwâjahat al-jumûd); kedua, mendeskripsikan kembali paham tentang ketuhanan (al-ilâhiyyat), yang berkaitan dengan relevansi tauhid untuk konteks sekarang. Menurut penulis, solusi kedua Abduh sebenarnya perpanjangan dari yang pertama.

Optimalisasi Rasio
Revolusi yang dilakukan oleh Abduh sangat kentara pada perlawananya terhadap tradisi taklid. Taklid, secara tidak langsung, menjadikan umat Islam tak mampu menciptakan inovasi apapun. Pada generasi yang mengembangkan taklidisme, sikap yang muncul merupakan pembacaan tautologis (tahsîl al-hâsil) dari generasi dahulu. Konsentrasi mereka berpusat sepenuhnya pada literatur klasik, tanpa mau melihat relevansi sebuah wacana untuk konteks kekinian. Seperti dikatakan Abduh dalam tafsîr sûrat al-‘ashr :

“innahum hasharû ‘ilmahum fî al-syurûh wa al-hawâsyi wa al-taqârîr ‘alâ nushush al-qadîmah, wa jahilû kulla syain siwaha, hatta asbahû wa ka annahum laisû min ahl al-‘ashr, bal laisû min ahl hadzihi al-dunyâ”

Stagnansi tersebut, sebagai misal, dapat diukur dari pola bahasa yang dipergunakan—tidak berkembang. Maka tepat jika Zaki Najib Mahmoud kemudian mengatakan, bahasa adalah acuan pertama yang harus diperhatikan jika menghendaki pembaharuan (al-lughah nuqtath al-bidâyah fî tsawrat al-tajdîd). Karena hal ini pula perkembangan bahasa Arab tidak bisa mengiring laju modernitas. Namun yang terpenting, stagnansi bahasa merupakan faktor determinan hilangnya spirit sebuah gagasan. Jika spirit sebuah ide termarginalkan, niscaya suatu pemikiran akan terputus dengan realitas.

Keadaan yang demikian juga terjadi pada ilmu tauhid; terputus dengan realitas. Teori-teori yang dikemukakan tak ada lagi relevansinya untuk konteks sekarang. Betul bahwa dahulu Ilmu Kalam berdiri gagah; para teolog mengadopsi mantik Yunani, mengkritik, menjawab serta merobohkan upaya destruktif dari luar. Hilangnya relevansi itu akan demikian terlihat apabila kita sedikit menengok khazanah klasik; menurut para teolog, ilmu yang bermanfaat hanya ilmu yang mempunyai dampak langsung terhadap agama. Oleh karena itu, kita bisa melihat upaya-upaya apologetik teolog belakangan yang kerap menggunakan konsep tempo doeloee untuk menghadapi tantangan sekarang. Bahkan kita kerap menjumpai mereka yang tidak sampai pada apa yang telah dicapai sarjana klasik pada umumnya, atau dengan redaksi lain, mereka mengalami degradasi epistemologis. Fenomena seperti ini bisa dijumpai dalam Umm al-Barâhin-nya al-Sanusi, atau al-Jawâhir al-Kalâmiyyah fi al-‘Aqâid al-Islâmiyyah Thahir al-Jazairy.

Dari kenyataan di atas, Abduh melihat perlunya menghancurkan kecenderungan taklid dalam ranah teologis. Potensi taklid tersebut bisa dihancurkan dengan mengoptimalkan peran rasio dalam memahami teks. Ia menawarkan beberapa corak optimalisasi rasio; pertama, mendasarkan keyakinan pada akal (ta’sîs al-i’tiqâd ‘alâ al-‘aql). Abduh berujar, bahwa keyakinan yang rasional lebih bisa diterima oleh masyarakat dari hanya tunduk pada maksud suatu teks. Dan kecenderungan semacam ini sudah bisa dijumpai dari para teolog klasik, semisal al-Asy’ari, al-Baqilani, Imam al-Haramin, Abdul Jabbar, dll. Analisis rasional–-bagi Abduh-–merupakan keharusan atas dasar syariat (wajib syar’i). Dalam hal ini ‘Abduh sejalan dengan Asy’ariyyah, dan berseberangan dengan Mu’tazilah, yang melihat keharusan tersebut sebagai keharusan secara logis (wajib ‘aqli). Namun keduanya-–Mu’tazilah dan Asy’ariyyah–-sama-sama sepakat bahwa rasio mampu mengantarkan pada kebenaran.

Kedua, melihat keharusan ijtihad. Pandangan Abduh bukan terhitung baru, karena gagasan ini sudah dipopulerkan oleh para teolog klasik. Dalam ranah Fikih, kita mendapat al-Syawkani (1173-1250 H) yang selalu merobohkan kecenderungan taklidisme. Al-Syawkani termasuk pakar fikih Zaidiyyah yang terpengaruh Mu’tazilah. Bahkan, menurut al-Syawkani, ijtihad pada kurun akhir bisa lebih mudah, karena era kodifikasi telah terlewati. Pandangan kontras disuarakan oleh Ibnu Rajab al-Hanbali (w.790 H) dalam bukunya Fadl al-salaf ‘alâ al-Khalaf. Senada dengan Abduh, kita bisa menjumpai nama Jamal al-Din al-Afhghani dalam al-Radd ‘alâ al-Dahriyyin.

Ketiga, interpretasi logis terhadap teks-teks agama (al-Ta’wîl al-‘Aqlî li al-Nushûs al-Dîniyyah). Hal ini bertujuan untuk mensinergikan ilmu klasik dengan wacana kontemporer. Sebagaimana dikuatkan oleh Muhammad al-Amin dalam Râid al-Fikr al-Mishriy, Abduh cenderung meninggalkan metode penafsiran literal. Ia kerap kali abai terhadap aspek bahasa suatu ayat, dan menitiberatkan pada nilai-nilai universal yang terkandung di dalamnya. Bahkan Abduh seringkali mengabaikan riwayat-riwayat yang berkenaan dengan sebab turunnya ayat (asbab al-nuzul) serta mengindahkan pendapat-pendapat penafsir klasik. Satu contoh, penafsirannya terhadap Malaikat dalam al-Manâr, ia berujar,

“apakah engkau tidak mengetahui bahwa Allah mempunyai malaikat di bumi dan di langit? Namun apakah engkau mengetahui dimana mereka tinggal? Dan apakah engkau tidak merasa bahwa badan-badan mereka menyinarimu di kegelapan? [....] Ketahuilah bahwa Malaikat adalah kekuatan-kekuatan dan ruh yang ada pada dirimu”

Rasyid Ridla dengan sigap menimpali, bahwa Abduh dengan interpretasinya bukan hendak mengingkari eksistensi Malaikat. Bahkan Abduh sebenarnya malah ingin membantah golongan yang mengingkari keberadaan Malaikat. Maka Abduh menggunakan penafsiran yang tidak bertentangan dengan rasio agar maksud suatu teks dengan fenomena kontemporer bisa sinergis. Begitupun Abduh menginterpretasikan sujudnya Malaikat pada Adam, atau kemaksiatan Iblis, tidak dengan yang termaktub secara eksplisit dalam ayat terkait.

Keempat, menghancurkan fanatisme sektarianistik dalam diskursus teologis (tahtîm al-madzhabiyyah fî ilm al-tawhîd). Baginya, fanatisme sektarianistik merupakan keyakinan pra Islam--yang pada hakikatnya--diperangi oleh Islam sendiri. Karena fanatisme-–dalam segala bentuknya–-seakan menyempitkan porsi kebenaran itu sendiri. Bahkan-–sebagaimana dikatakan Muhammad al-Baha dalam al-Fikr al-Islâmi al-Hadîs wa silatuhu bi al-Isti’mar al-Gharbiy-– fanatisme berdampak pada terpecahnya umat Islam yang bermuara pada melemahnya semangat juang secara keseluruhan. Atas dasar ini, Abduh melihat semua kelompok--dalam ranah teologis--tidak layak untuk diunggulkan satu dari yang lain. Namun ia memposisikan varian sekte dalam Ilmu Kalam sebagai penjelas terhadap Islam dengan prinsip-prinsip dasarnya; memungkinkan untuk benar di satu kelompok, dan salah di kelompok yang lain. Pun sebaliknya.

Ada yang cukup menarik dari penafsiran Abduh terhadap riwayat kelompok yang selamat: al-Firqah al-Nâjiyah. Abduh tidak meragukan validitas riwayat terkait. Akan tetapi ia menggeret riwayat itu ke dalam realitas sekarang. Karena terdapat petunjuk (qarinah) dalam riwayat yang menunjukkan “akan” (sataftariqu). Ia mendasarkan asumsinya pada perkataan Nabi yang tidak membatasi kebenaran pada satu golongan saja, seperti yang termaktub dalam sabdanya, “mâ anâ ‘alaih wa ashâbî”. Dengan demikian, Abduh berkata,

“kita belum mengetahui apa yang dimaksud mâ anâ ‘alaih wa ashâbî, namun Alam raya ini ada yang menciptakan, dan Hari Akhir pasti ada, serta Nabi adalah benar-benar diutus oleh Allah. Ini yang mejadi kesepakatan semua golongan.”

Dari sini setidaknya bisa diambil dua konklusi penting: pertama, jika kita mengembalikan masalah pada al-Qur’an dan al-Sunnah, ada enam pondasi rukun Iman: Allah, Malaikat, Kitab Suci, Rasul, dan Hari Akhir. Dari Sunnah muncul Iman pada al-Qadar. Rukun Iman ini oleh beberapa teolog, semisal al-Ghazali (Faishal al-Tafriqah, tt) dan Ibnu Taimiyah (Syarh al-‘Aqidah al-Isfahaniyyah, 1965), diringkas lagi pada al-Ushul dan al-Furu’. Yang inti (ushul) mencakup ketuhanan (ilâhiyyat), kenabian (nubuwwat) serta Hari Akhir (ma’âd). Sedang yang lain merupakan cabang (furu’); kedua, yang dikatakan Ushul—dalam perbincangan ini--adalah yang disepakati oleh semua kelompok Islam. Oleh karena itu, yang mengingkari aksioma itu dengan sendirinya keluar dari wilayah Iman. Maka, bagi Abduh, “kesepakatan aksiomatik” itulah yang merepresentasikan maksud mâ anâ ‘alaih wa ashâbi. Masalah apakah Allah bisa dilihat di Hari Akhir, ataukah tidak berawal (qadim) dan berawal (hadis) nya Alam, adalah masalah yang tidak perlu untuk dibahas terlalu mendalam.

Kelima, analisis rasional terhadap prinsip dasar Islam, serta mengaplikasikannya dalam ranah praksis. Artinya, al-tahlîl al-‘aqliy (analyse rationnelle) dibutuhkan agar suatu teori bisa diaplikasikan pada kehidupan real; tidak berhenti pada teori semata. Menurutnya, pemisahan teori dan praktek tidak diajarkan oleh Islam, namun berasal dari peradaban Yunani, khususnya Aristoteles yang melihat konsep ketuhanan lebih utama dibanding pengusung naturalis.

Dalam konteks Ilmu Kalam, umat Islam-–menurut Abduh-–terperdaya pada keindahan-keindahan teori. Karena tauhid bukan hanya kajian untuk membuktikan keberadaan Allah semata, namun juga berfungsi untuk menjelaskan tata cara sampai pada hakikat Sang Kuasa. Atau dalam bahasa Malik bin Nabi “berfungsi pula untuk menghidupkan Tuhan, sebagaimana yang sudah dipraktikkan oleh salaf: ‘alâ an yahyâ hadza al-wujûd kamâ hayyâhu al-salaf” (wujhat al-‘âlam al-islâmi, 1959).

Kelima, harmonisasi Islam dengan tuntutan modernitas (al-muwâ’amah baina al-islâm wa mutathallibât al-‘ashr). Abduh melihat bahwa Islam tidak hanya agama untuk konteks dimana kita atau generasi dahulu saja, namun juga untuk generasi jauh setelah kita nanti. Oleh karena itu, harmonisasi di sini teramat penting, karena akan menampakkan relevansi Islam itu sendiri. Salah satu bentuk harmonisasi, menurut Abduh, mendahulukan rasio jika terdapat pertentangan antara akal dan teks, selagi teks tersebut bukan dikategorikan teks permanen (qath’iy al-tsubût). Begitupun ia melihat kewajiban menolak kecenderungan sufi tentang asketisme; penolakan terhadap segala hal yang berbau dunia. Namun bukan berarti Abduh menolak sufisme secara mutlak. Yang ia tidak sepakati adalah kencenderungan berpangku tangan yang sampai pada tahap merendahkan dunia.

Harmonisasi juga harus mewujud pada relasi Islam dan ilmu. Bagi Abduh, tidak benar bahwa Islam menghalangi pemeluknya mempelajari selain ilmu agama. Fenomena ini dapat kita jumpai pada sosok Syekh Thantawi Jawhari (1287-1358 M), yang tak segan belajar ilmu biologi, falak, serta ilmu alam (al-thabi’iyyah), tidak lain karena melihat indikasi tauhîd di dalamnya (Nahdlat al-Ummah wa Hayâtuhâ, 1908). Sebagaimana Abduh mengharuskan umat Islam untuk terbuka pada peradaban luar. Para teolog terdahulu yang belajar mantik, filsafat, tidak lain karena melihat bahwa Islam harus diharmonisasikan dengan tuntutan zaman.

Ketuhanan
Dalam tahap ini, Abduh mengklasifikasi dua masalah penting yang berkembang dalam ranah teologi, baik pada kurun lama ataupun kontemporer; pertama, mengenai pembuktian keberadaan Tuhan; kedua, perbincangan seputar sifat-sifatNya. Untuk masalah pembuktian Tuhan, Abduh cenderung eklektis; di satu permasalahan ia menggunakan argumen filsuf, di permasalahan lain menggunakan argumen teolog. Lompatan Abduh cukup brilian, karena di sini ia sekaligus menegaskan keselarasan perspektif filsuf dan para teolog. Padahal seperti sudah maklum, pada awal perkembangannya, para teolog muslim telah “memasang tameng besi” terhadap pemikiran filsuf.

Masalah pertama, Abduh menilai, setiap manusia, entah itu dominan kemampuan nalarnya ataupun lemah, selalu mempunyai keyakinan bahwa di luar sana terdapat kekuatan yang melampuinya. Mungkin, kencenderungan Abduh di sini bisa disebut meyakini argumen empiris. Sejatinya argumen ini cukup rapuh dan kurang mendapat sorotan, karena berpijak pada pengalaman subjektif. Karena itu, tak mungkin untuk diverifikasi dan tak bisa untuk dijadikan landasan untuk membangun pengetahuan yang objektif. Namun tak sampai pada tahapan ini lalu selesai, karena dari argumen empiris ini dibangun pula landasan teoritis. Artinya, landasan teoritis pembuktian Tuhan dibangun tidak dengan pra-konsepsi.

Model tersebut bisa dijumpai pada argumen teolog muslim, seperti Fakhr al-Din al-Razi dalam Mafâtîh al-Ghaibnya, begitu juga Zamakhsyari dalam al-Kasysyâf. Seperti bisa dilihat pula pada argumen empiris sufi. Atau juga al-Raghib al-Isfahaniy dalam al-Dzarîah ilâ Makârim al-Syari’ah. Hal senada juga disampaikan pemikir modern Jamal al-Din al-Qashi dalam Dalâil al-Tawhîdnya. Perspektif ini juga diamini oleh beberapa filsuf, walaupun pada akhirnya mendapat kritik tajam dari penganut filsafat empiris. Dengan demikiran, pada perbincangan keyakninan Tuhan yang sudah ada pada naluri alamiah manusia (sebelum dibuktikan dengan teori), Abduh sepakat dengan pandangan teolog dan beberapa filsuf.

Lalu Abduh mengambil landasan teoritis para teolog dan filsuf. Teori itu sendiri mengacu pada eksistensi Alam Semesta; gerak, sebab, kontingensi, keteraturan. Berdasarkan fakta ini, orang sampai pada kesimpulan bahwa Allah ada sebagai penggerak fakta-fakta ini, atau sebagai causa prima (al-illah al-ûlâ). Dari pembuktian ini, Abduh sepakat secara total dengan filsuf muslim, khususnya Ibnu Sina dan al-Farabi. Namun Abduh selanjutnya melirik argumen teolog: yakni Ibthal Tatâbu’ al-Hawâdits (mematahkan kontinuitas sesuatu yang diawali dari tidak ada). Walhasil, Abduh mengkritik argumen penetapan awal mula Hawâdis para teolog, sebagaimana ia mengkritik diskontinuitas “sebab” dan “yang disebabkan” filsuf.

Jelas sekali, saat mengetengahkan bukti berawalnya Alam, Abduh mengambil argumen filsuf dan teolog. Namun saat melangkah lebih jauh, ia membuat kreasi baru dalam membuktikan adanya Tuhan: kontemplasi “yang berkemungkinan” (mumkin) dan “yang niscaya” (wajib). Jika yang disebut mumkin adalah “sesuatu yang ada” tidak dari dirinya sendiri, maka pastinya membutuhkan pada creator. Ia ada karena adanya sang kreator, dan tidak ada karena tidak adanya sang kreator. Maka, Abduh mengatakan,

“jika engkau merentet sesuatu yang “mungkin mewujud” sampai tak terhingga, aku tak akan mengatakan padamu sebab-sebab wujud tersebut. Namun aku akan bertanya, dimana pencipta pertama “sesuatu yang berkemungkinan ada” (mumkin)? Apakah ia adalah hakikat “mungkin” itu sendiri? Bagaimana mungkin hakikat “yang berkemungkinan” itu sendiri jika ia terbentuk dari “tidak ada”? Bagi saya (Abduh), sudah demikian jelas, karena pada hakikatnya pembuktian tersebut tak perlu keluar dari batas “mungkin”: bisa dilogikakan dari “yang mungkin ada” itu sendiri.

Sedang permasalahan kedua, Abduh cenderung membatasi nalar manusia untuk terlalu jauh masuk pada perenungan sifat-sifat Tuhan (attribute divins). Baginya, cukuplah mengetahui bahwa Tuhan tak serupa dengan makhlukNya. Karena bagaimanapun, selain tak memberi manfaat yang berarti, justru akan semakin memperuncing perbedaan.

Terlepas relevan atau tidak pembuktian itu untuk konteks sekarang, yang jelas Abduh dengan sikap eklektisnya ingin melepaskan umat Islam dari sekat-sekat fanatisme sektarianistik. Lebih jauh, ia ingin membebaskan umat Islam dari budaya taklidisme yang telah lama membelenggu mereka. Pada akhirnya, Abduh hendak meyakinkan bahwa “tawaran konsep” yang keluar dari kelompok dalam Ilmu Kalam bukan sebuah harga mati yang “tanpa tawar” dan “tanpa diskon”. Namun dari masing-masing mempunyai potensi untuk benar di satu permasalahan, dan salah di permasalahan yang lain. Pun sebaliknya.
Selengkapnya...

Kritik Atas Kritik Sastra Pra Islam

Oleh Ahmad Hadidul Fahmi

Theodor Nôldeke dalam bukunya Min Tarikh wa Naqd al-Syi’r al-Qadîm berujar, bahwa menentukan ‘batas akhir’ (nihâyah) sastra pra-Islam lebih mudah dari menentukan awal kemunculannya (bidâyah). Benarlah apa kata Nôldeke, menelusuri akar genealogis sastra pra-Islam merupakan permasalahan yang memunculkan perdebatan sengit diantara peminat kajian sastra. Ia disebut-sebut tak ditemukan akar kemunculannya. Faktornya pun beragam. Sebut saja, penelusuran terhadap transmisi sastra pra-Islam hanya berujung pada riwayâh syafawiyyah (dari mulut ke mulut), dan tak didasarkan pada kualifikasi yang jelas.

Satu sampel, kodifikasi sastra pra-Islam berbeda sepenuhnya dengan kodifikasi hadis. Untuk mendaku validitas sebuah hadis harus melalui seleksi secara ketat. Berbeda dengan sastra pra-Islam; setelah periwayat hilang satu demi satu, syair-syair tersebut segera dikumpulkan sebanyak-banyaknya, baru kemudian diseleksi (al-jam’ tsumma al-tamhîsh). Padahal, signifikansi syair pra-Islam tak bisa dipandang sebelah mata, khususnya ketika berbicara bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur’an. Sebut saja sya’ir pra-Islam dipergunakan untuk menafsirkan lafadz al-Qur’an yang ambigu. Ia pun dijadikan standar bahasa Arab yang sah dan orisinil (fushâ).

Atas dasar riwayat dari mulut ke mulut tersebut, dan tidak jelasnya kualifikasi terhadap penyampai riwayat, konsekuensinya, nalar kritis yang tidak terikat oleh doktrin lampau akan meragukan eksistensi syair pra-Islam. Nampaknya ‘keraguan’ terhadap eksistensi syair pra-Islam sendiri sudah muncul semenjak abad ke-II H, dan semakin merebak saat babakan sejarah memasuki abad ke III dan IV. Namun baru dimunculkan lagi oleh Thaha Husein dengan fî syi’ir al-jâhilî-nya. Cacatnya transmisi sastra ini pun disinggung oleh Musthafa Shadiq Rafi’i. Walaupun kajian tersebut baru tenar belakangan, namun analisa ini sejatinya sudah dimunculkan oleh sarjana Islam klasik, Muhammad bin Salam al-Jamhi dalam thabaqât al-syu’arâ-nya, walaupun konklusi yang dihasilkan berbeda sepenuhnya. Begitu pula dari Orientalis Jerman, Theodor Noldeke yang bahkan telah 65 tahun mendahului Thaha mengkaji sastra pra-Islam dan menemukan konklusi serupa, tepatnya tahun 1891 M. Abdurrahman Badawi mengumpulkan kajian Orientalis terhadap sastra pra-Islam dalam arâ’ al-musytasyriqîn hawla al-syi’r al-jâhili.

Ilusi Sastra Pra-Islam

Mengencani lembaran buku-buku yang mengupas sastra, semisal al-Aghânî buah tangan al-Isfahani atau al-Mughnî buah karya Suyuthi serta al-Hammâsah karangan Abu Tamam, pastinya akan menemukan fakta menarik. Bahwa terkadang satu syair dinisbatkan kepada penyair yang berbeda. Hal tersebut wajar saja, karena kala itu penggunaan peralatan tulis-menulis sebagai sarana kodifikasi masih sangat minim. Dan jarak antara penyair dan era kodifikasi sendiri berkisar 150 tahun. ‘Kekacauan’ tersebut tampak kentara saat ditemukan satu sya’ir mempunyai penutup, namun pada saat yang sama, dari sumber lain tidak ditemukan penutup (khâtimah), atau susunan suatu syair berbeda satu dengan yang lain, padahal keduanya disuarakan oleh satu penyair. Wilhelm Ahlwardt, Orientalis Jerman, menuturkan, kekacauan penisbatan serta susunan pada syai’r terdahulu bisa dikembalikan pada analisa terhadap sejarah pengumpulannya. Perbincangan sejarah pengumpulan syair Jahili sendiri mengharuskan membincang dua tokoh penggerak pengumpulan ini. Mereka adalah Hammad bin Salamah bin Dinar (w. 167 H) dan Khalaf al-Ahmar (w. 180 H).

Nama pertama, Hammad bin Salamah, tutur Ibnu Salam, adalah orang pertama yang mengumpulkan syair pra Islam. Suyuthi dalam Thabaqât al-Nuhât menegaskan, Hammad bin Salamah adalah orang yang bisa menyanyikan 3000 ribu syi’ir jahili di luar kepala. Namun ia, hemat Wilhelm Ahlwardt, tidak terpercaya. Karena ada beberapa data yang menyebutkan bahwa Hammad bin Salamah tidak tahu sama sekali saat beberapa pertanyaan seputar syair pra-Islam dialamatkan padanya. Lebih jauh, pemuka madrasah Bashrah, salahsatu sekolah bahasa kala itu, telah melabeli Hammad dengan ‘pemalsu’. Nama kedua adalah Khalaf al-Ahmar. Ia, tutur Ibnu Qutaibah dalam al-Syi’r wa al-Syu’arâ’, adalah orang yang mempunyai kapasitas mencengangkan dalam sastra. Ia mampu mendendangkan beribu bait syair pra-Islam dengan dialek yang sama persis dengan mereka. Ia pula yang menisbatkan banyak syair terhadap Imru’ al-Qais, ‘Untarah, dll. Namun Khalaf mengalami permasalahan serupa dengan Hammad. Sampai di sini, Ahlwardt mencium ada konspirasi dari sarjana Islam terkait transmisisi syair pra-Islam yang sampai pada kita sekarang.

Menguatkan tesis Ahldwardt di atas, Thaha Husein dalam Fî Syi’r al-Jâhilînya mengungkapkan hal senada. Bahwa ada sederetan nama penyair pra-Islam, beserta syair-syairnya yang ditransfer dan ‘dipersembahkan’ oleh para sarjana Islam hingga sampai pada kita sekarang, namun data-data yang ada tidak valid. Deretan nama penyair beserta syairnya kian ‘sakral’ tatkala muncul era kodifikasi (‘ahsr al-tadwîn), yang kemudian terekam dalam sebuah tumpukan buku-buku sejarah. Bahwa ada nama Imru’ al-Qais, ‘Amru bin Kultsum, atau klasifikasi kaum Arab pada ‘âribah (Arab asli) dan musta’rabah (ter-arabkan), serta perkataan bangsa Arab yang mencakup natsar dan syi’ir, dan lain sebagainya, adalah konsumsi publik yang kian ‘membumi’. Ketetapan-sakral-sastrawi ini menghasilkan kubu kontra yang mengawali studinya dengan metode ‘skeptisisme’ ala Descartes terhadap konsensus sarjana Islam pada masa awal. Mereka akan mengkaji ulang –catatan yang dianggap oleh manusia—sebagai sejarah, bukan sebagai sejarah, atau bahkan akan merubah sejarah itu sendiri. Bahwa syair-syair yang selama ini disematkan pada penyair-penyair pra Islam; Imru’ al-Qais, ‘Untarah, Ibn Kultsum, Zuheir, dan lain sebagainya, ternyata –melalui aspek kebahasaan-- tidak mungkin berasal dari nama-nama tersebut. Melainkan sebuah varian dialek, mitos yang berlebihan, serta asumsi dan pemalsuan yang dilakukan oleh para sarjana tafsir, hadis dan kalam yang terlahir dari upaya apologetik. Dan ternyata tidak ada yang dinamakan sastra pra-Islam (syi’ir jâhilî), karena ia hanya produk penyair paska munculnya Islam.

Problematika dari sudut pandang lain adalah mengenai akar genealogis bahasa Arab itu sendiri. Sebab secara genealogis, bangsa Arab pra-Islam terklasifikasi menjadi dua kubu besar; pertama, Qahthaniyyah, kaum yang dinisbatkan pada Ya’rab bin Qahthan; keturunan Nabi Nuh, dan bermukim pertama kali di Yaman;kedua, ‘Adnâniyyah yang bermukim di Hijaz. Para sejarawan sepakat, bahwa Qahthan telah teristimewakan dengan bahasa Arab sebagai bahasa asli. Sedang bahasa kaum ‘Adnan adalah bahasa Ibrani. Interaksi dengan bangsa Arab membuat mereka perlahan mempelajari bahasa Arab. Keseriusan kaum ‘Adnan berbuah pada terhapusnya bahasa pertama; Ibrani. Oleh karena itu, kaum Qahthân disebut al-‘Arab al-‘Âribah, sedang ‘Adnân disebut al-‘Arab al-Musta’rabah. Kaum ‘Adnan inilah yang dikenal sebagai keturunan Isma’il bin Ibrahim. Pada kenyataannya, setelah melalui riset serius, kedua bahasa yang dipergunakan oleh bangsa asli Arab (al-‘âribah), dan yang ter-arabkan (al-musta’rabah) berbeda dari sudut pandang kaidah-kaidah gramatika yang dipergunakan. Perbedaan ini diakui oleh Abu ‘Amru bin al-‘Ala, sembari berujar: “Mâ Lisânu Himyar (al-‘âribah) bi Lisânina, wa lâ Lughatuhum bi Lughâtinâ”. Jika demikian, maka keganjilan ditemukan di sini. Bahwa kaum Qahthan dan ‘Adnan tidak pernah berinteraksi. Atau kemungkinan lain, kaum ‘Adnan membuat bahasa tersendiri yang berbeda dengan yang dipergunakan oleh kaum Qahthan. Konsekuensinya, sekarang ditemukan dua bahasa yang berbeda.

Sedangkan nama-nama penyair yang didaku sebagai penyair pra-Islam berasal dari tanah Yaman; kaum Qahthân. Jika didasarkan pada riwayat Abu ‘Amru bin al-‘Ala --antara Qahthan dan ‘Adnan mempunyai pola bahasa yang berbeda, maka syair pra-Islam yang sampai kepada kita pun harus mempunyai pola bahasa yang berbeda dengan bahasa Arab yang dipergunakan sekarang. Namun kenyataannya tidak demikian; syair pra-Islam yang ada sekarang justru didaku sebagai bahasa orisinil kaum Arab. Oleh karenanya dipergunakan sebagai ‘panduan’ dalam menyibak kerumitan bahasa al-Qur’an, atau bahkan sebagai standar umum jika terdapat pertentangan dalam kaidah-kaidah gramatika. Maka tak salah jika kemudian muncul statement, syair-syair yang dinisbatkan pada kaum Qahthan sejatinya bukan dari mereka. Namun merupakan plagiasi yang dilakukan oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab karena sebab politik, agama, ataupun persengketaan antar kabilah.

Kritik Pijakan Referensial Ilusi Sastra pra-Islam

Seperti yang sudah penulis singgung di atas, kajian terhadap syair pra-Islam cukup menyita perhatian pemikir, baik Arab-Islam, atau Orientalis, semisal, Theodor Noldeke (w. 1931 M), Wilhelm Ahlwardt (w. 1909 M), D. S. Margoliouth (w. 1940 M). Di kalangan Arab-Islam, kajian progresif terhadap sastra pra-Islam dimunculkan dikembangkan oleh Thaha Husein dalam bukunya yang menuai banyak kontroversi, Fî Syi’r al-Jâhilî. Metode yang dipergunakan untuk mengkritik sastra pra-Islam adalah sama; “skeptisisme”. Di Barat sendiri, Ernest Renan (w. 1892), sang filsuf Perancis, dalam bukunya Histoire générale et système comparé des langues sémitiques, adalah orang pertama yang mempergunakan “metode” ini untuk menganalisa seputar sastra pra-Islam. Ia, misalnya, mengawali sikap skeptisnya dengan pertanyaan, apakah bahasa sastra ini telah mendahului bahasa al-Qur’an? Sedang Thaha Husein, apakah syair pra-Islam memang benar ada? Noldek meragukan turats, transmisi, serta pembawa berita (ruwât); Margoliouth menyoal mukjizat al-Qur’an –dari aspek kebahasaan—jika didahului oleh bahasa serupa. Semuanya kemudian berpusat pada satu konklusi menarik; sastra pra-Islam muncul setelah al-Qur’an diturunkan.

Kritikus sastra pra-Islam di atas mendasarkan tesisnya pada bahasa baku yang dipergunakan oleh kaum Arab sekarang sama persis dengan syair pra-Islam. Sedangkan bahasa Arab sendiri baru dibakukan dengan dialek Quraisy. Jika sastra pra-Islam baru dikodifikasikan pada masa dinasti Umawi, maka hal ini bermuara pada dua kemungkinan; pertama, bahasa baku sastra pra-Islam adalah dialek Quraisy; kedua, sastra pra-Islam yang ada sekarang bukanlah bentukan peradaban pra-Islam. Tampaknya kritikus sastra pra-Islam, dengan beberapa argumen di atas lebih condong pada kemungkinan kedua. Ahmad ‘Ustman dalam bukunya Fî Syi’r al-Jâhilî wa al-Lughahatsar menuturkan, Thaha Husein tidak total mempergunakan metodenya. Dalam arti, jika ada konsistensi dengan metode Descartes, seharusnya ia mempertanyakan dialek Quraisy sebagai bahasa Arab baku. Faktanya, bahasa Arab baku yang dipergunakan semenjak zaman dahulu (abad ke 14 SM) –sebagaimana Homerus, dialek sastrawan Yunani, dan Qibti Mesir-- merupakan bahasa sastra dan tulisan, bukan bahasa lisan. Dan ia mencakup unsur-unsur bahasa dari bermacam dialek yang berbeda-beda, sebagaimana yang terekam dalam ‘Surat Imaranah’ –sebuah surat yang ditulis oleh raja Palestina, Fenisia, dan Suria, walaupun secara resmi penulisannya mempergunakan Akkadia. Nah, bahasa Arab baku yang berkembang sekarang merupakan perpanjangan dari percampuran dialek ini. Tutur Ahmad ‘Utsman, sastra-satra pra-Islam ditulis mempergunakan bahasa ini. Hal senada juga diungkapkan oleh Dr. Khalid al-Tuwaijiri yang menegaskan, dakwa bahwa bahasa Arab yang baku adalah dialek Quraisy tidak sepenuhnya benar. Karena faktanya dalam bahasa Arab yang baku ditemukan bahasa Yunani serta Persia. Hal tersebut wajar saja, karena akar historis bahasa Arab sendiri erat kaitannya dengan perbincangan sejarah Mesir kuno.

Jika terekam dalam catatan sejarah, pemimpin dan raja-raja terdahulu melakukan standarisasi penulisan mempergunakan bahasa Akkadia, maka dalam dunia Arab-Islam, para penyair pra-Islam lah yang melakukan standarisasi bahasa Arab dalam penulisan syair mereka. Standar ini yang seterusnya menjadi bahasa Arab baku. Unsur-unsur yang melingkupi bahasa baku tersebut –sebagaimana disinggung di atas—tersusun dari bermacam dialek yang berbeda. Adalah Abu ‘Ubaid al-Qasim Ibnu Salam (w.838 M) salah satu pengkaji bahasa Arab yang mengumpulkan dialek-dialek bahasa Arab baku, serta menelusuri akar dialeknya dari berbagai macam suku. Ia mengupas hal ini dalam tiga bukunya yang bertajuk gharîb al-musannaf, gharîb al-qur’an, dan gharîb al-hadîts. Walaupun bahasa Arab baku sekarang tersusun dari bermacam dialek, namun ada satu karakter dominan, yakni dialek Najd, karena fushâ disusun oleh penyair-penyair dari tanah Najd. Sebagai misal, kata “hal”, “kadzalik”, serta “in” hanya dipergunakan di daerah Selatan Najd, walaupun ada pula yang merupakan serapan dari non-Arab, suku Barbar, Utara Afrika; seperti lafadz “ghad”.

Selain itu, penyematan ‘Arab asli’ (‘Aribah) pada kaum Qahthan dan ‘ter-arabkan’ Musta’rabah pada kaum ‘Adnan cukup tak berdasar, sehingga kemudian ada asumsi, bahwa bahasa Arab kaum Qahthan harus mempunyai kesamaan dialek dengan bahasa Arab yang baku sekarang –atas dasar pertimbangan, kaum ‘Adnan pernah ‘belajar’ bahasa Arab Qahthan. Hal itu menimbang, tidak ada data sejarah valid yang menyebut demikian, selain dari mitos-mitos dalam Taurat yang menisbatkan Ibrahim pada negara Kaldani. Dan mitos ini tidak didasarkan pada data historis yang kokoh. Karena rata-rata penulis Taurat pada abad ke-6 SM adalah kaum Yahudi dari Babilonia yang hendak menisbatkan Ibrani pada negara tersebut, atas dasar, di sanalah terbentuk “peradaban” pertama kali. Oleh karena itu muncul opini kemudian, Babilonia merupakan kota pertama yang dibangun oleh manusia. Padahal faktanya, Ibrahim berasal dari Madyana, sebuah suku di Sina’ yang juga merupakan bagian dari Arab. Luthfullah Qari menuturkan, belakangan terungkap, bahasa Arab di Yaman dijumpai telah tertulis menggunakan “khath musnad”, penulisan gaya kaum Himyar. Sedang bahasa Arab di Najran sendiri mempergunakan bahasa Arab sebagaimana yang dikenal selama ini. Najran sendiri –berdasar klasifikasi Musthafa Shadiq Rafi’i dalam Târikh al-Adâb al-‘Arabî—termasuk daerah Yaman pada masa pra-Islam. Artinya adalah, antara beberapa suku Qahthan dan ‘Adnan sejatinya tidak ada perbedaan dialek. Juga ditemukan –mempergunakan “khath” serupa-- bahasa Arab yang sama di Saudi yang berasal dari abad ke II dan ke III SM. Qahthan sendiri –menurut Khudlari Beik dan analis belakangan-- merupakan percampuran dari banyak rumpun. Misalnya saja, Qahthan banyak mengadopsi lafadz-lafadz Finisia yang dipergunakan dalam praktek penulisan mereka. Hingga berlebihan jika mengatakan Qahthan merupakan bahasa Arab baku yang dipergunakan selama ini. Baku dan tidak baku dalam bahasa Arab hanyalah standarisasi yang dilakukan oleh penyair pra-Islam guna menulis syair-syair mereka. Dari sini kita bisa memahami secara lebih jernih perkataan Abu ‘Amru bin al-‘Ala terkait bahasa kaum Himyar yang dikatakan tidak sama dengan bahasa Arab baku yang sekarang.

Namun begitu, penulis sendiri tidak mengingkari ada upaya pemalsuan yang dilakukan oleh beberapa oknum. Namun pemalsuan itu tidak mesti berimbas pada penafian eksistensi syair pra-Islam. Ibnu Salam al-Jamhi, ataupun Muhammad Shadiq Rafi’i, walaupun mengamini indikasi pemalsuan, namun tidak bisa ditarik pada kesimpulan, bahwa Ibnu Salam al-Jamhi misalnya, sebagaimana asumsi Abdurrahman Badawi, menafikan pula eksistensi syair pra-islam. Pemalsuan hadis oleh beberapa oknum yang tidak bertanggung jawab untuk mengukuhkan golongannya, sebagai sample, tidak mesti menghilangkan eksistensi hadis Nabi dalam sejarah.
Selengkapnya...

 

© free template by Blogspot tutorial