Saturday 10 March 2012

Tafsir Dan Takwil; Upaya Memahami Kitab Suci

Oleh Ahmad Hadidul Fahmi, Lc

Bagaimanapun, al-Qur'an sebagai kalam suci telah menyita perhatian banyak pihak. Sebab, selain al-Qur'an mencakup aspek ritual, al-Qur’an juga tidak hadir sekonyong-konyong menjadi teks dengan lekukan-lekukan rapi di tengah cover mahal yang mengitarinya. Ada bentangan sejarah panjang semenjak masa diturunkannya wahyu sampai menjadi seperti sekarang. Dari para sarjana Islam klasik, modern, dan bahkan orientalis[1], telah melakukan kajian mendalam terhadap kitab agung ini. Tak terkecuali jika berbincang sejarah penafsiran al-Qur’an. Dalam sejarahnya, hierarki capaian akal yang membentuk perbedaan perspektif manusia terhadap suatu fenomena, meniscayakan pengaruh besar terhadap pola interpretasi terhadap al-Qur’an. Keanekaragaman tersebut ditunjang pula oleh al-Qur'an itu sendiri, seperti dikatakan oleh Abdullah Darraz, "layaknya berlian yang setiap sisinya memancarkan cahaya yang tak seragam: yang berbeda dengan sisi-sisinya yang lain".[2]

“Terhadap Injil, setiap orang meminta keyakinannya, dan di dalamnya pula, setiap orang mendapatkan apa yang ia pinta.” Tampaknya, ungkapan Peter Werenfels ini, ujar Goldziher, selain sesuai dengan konteks pembaca Injil, pun menemukan relevansinya dengan umat Islam terhadap al-Qur’an.[3] Dalam perjalanannya, teks suci selanjutnya mirip ‘mainan’: ditarik ulur untuk menopang kepentingan politik atau ideologi sekte tertentu. Dari sini muncul pertanyaan menarik, sejauh mana “batasan” interaksi umat Islam dengan al-Qur’an?

Sisi Historis Tafsir; Analisa Atas Sebab Perbedaan

Peneliti perkembangan tafsir sepakat bahwa upaya untuk memahami dan menjelaskan kandungan al-Qur’an sudah muncul semenjak masa nabi SAW: terutama saat beberapa shahabat merasa kesulitan mengungkap maksud suatu ayat.[4] Yang membedakan penafsiran pada masa Nabi dan generasi setelahnya pada implikasi perbedaan memahami teks. Dalam arti, masa Nabi belum membuahkan banyak perbedaan, karena Nabi mempunyai otoritas mutlak ketika menjelaskan maksud al-Qur'an, juga permasalahan pada masa itu belum kompleks serta belum mengalami perkembangan signifikan. Baru selepas wafatnya Nabi SAW, di saat perkembangan masalah semakin melebar, beberapa pembesar shahabat mengambil inisiatif untuk melaksanakan ijtihad menginterpretasi ayat.[5] Oleh para ulama, pada masa ini dianggap sebagai "embrio" munculnya beberapa model penafsiran yang beraneka ragam yang muncul di kemudian hari.

Huseyn al-Dzahabi menyebutkan dalam bukunya al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, shahabat dalam memahami ayat tidaklah seragam: di antara mereka ada yang kuat pemahamannya terhadap bahasa Arab, atau yang kerap mendampingi Nabi hingga mengetahui sebab turunnya ayat (asbâb al-nuzûl) secara langsung, dan tak jarang pula di antara mereka yang lemah pemahamannya terhadap bahasa Arab.[6] Dengan demikian, keanekaragaman bentuk penafsiran yang terjadi setelahnya tidak bisa lepas dari perbedaan pandangan yang sudah terjadi di kalangan shahabat. Adalah Ibnu Mas'ud yang cenderung dominan pada daya nalarnya, Ibnu Abbas yang lebih mencolok penafsiran melalui periwayatan (riwâyah). Menurut Huseyn al-Dzahabi, sumber penafsiran al-Qur’an pada masa ini berkisar pada al-Qur’an itu sendiri, sabda Nabi[7], ijtihad, dan Ahl al-Kitab. Ada karakter yang membedakan penafsiran di masa shahabat dengan generasi setelah mereka: penafsiran pada masa ini tidak mencakup keseluruhan ayat, dan hanya ditafsirkan secara global.

Ibnu 'Abbas kemudian mempunyai murid dikalangan tabi'in—generasi setelah shahabat, di antaranya Mujahid (w. 104 H), Atha’ bin Abi Rabbah (w. 114 H), Ikrimah (w. 104 H), Thawus (w. 106 H), Sa'id bin Jubeir (w. 95 H), dll. Sedang ‘Alqamah bin Qays (w. 61 H), Masruq bin Abd al-Rahman (w. 63 H), al-Aswad bin Yazid (w. 74 H), adalah periwayat dari Ibnu Mas’ud. Abu al-Aliyah (w. 90 H), Zaid bin Aslam (w. 136 H) dan Muhammad bin Ka’b (w. 118 H) meriwayatkan dari Ubay bin Ka’b. Ibnu Taymiah dalam Muqaddimah fî Ushûl al-Tafsîr menyatakan, tokoh-tokoh tersebut kemudian yang mendominasi berdirinya tiga madrasah penting dalam sejarah perkembangan tafsir di era tabi’in: madrasah di Mekah yang didirikan oleh Ibnu Abbas, di Iraq yang didirikan oleh Ibnu Mas’ud, dan di Madinah yang didirikan oleh Ubay bin Ka’b. Metode tafsir yang diriwaytkan (transmisional) dari Nabi, shahabat, serta tabi'in ini yang kemudian diistilahkan dengan al-Tafsîr bi al-Ma'tsûr.[8]

Pada tahap ini tafsir al-Qur’an sudah banyak tercampur dengan riwayat Judeo-Kristiani (isrâiliyyât) sebab semakin banyaknya Ahli Kitab yang masuk Islam.[9] Tafsir pada tahap ini juga ditandai dengan banyaknya perbedaan yang diakibatkan kompleksitas masalah yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Akan tetapi, tafsir pada generasi Nabi, shahabat dan tabi’in masih sebatas disampaikan secara oral.

Secara sederhana, setelah masa ini, pembukuan tafsir (al-Tadwîn) mulai digalakkan. Dr. Rumzi al-Na’na’ah memetakan sejarah kodifikasi tafsir dalam empat fase; pertama, bersamaan dengan kodifikasi hadis. Pada fase ini tafsir dikodifikasi secara tematik disesuaikan dengan tema hadis. Tafsir di fase ini tidak berperan menginterpretasi al-Qur’an per-kata, namun hanya mengandalkan interpretasi transmisional yang dinisbatkan pada nabi, shahabat serta tabi’in secara global. Tokohnya adalah Yazid bin Harun al-Silmi (w. 206 H), Syu’bah bin al-Hajjaj (w. 160 H) serta Sufyan bin ‘Uyainah (w. 198 H); kedua, independensi tafsir dari hadis. Tafsir pada fase ini menginterpretasi kata per-kata sesuai dengan urutan mushaf. Corak tersebut dapat dijumpai dari Ibnu Majah (w. 273 H), Ibnu Jarir al-Thabari (w. 310 H), serta Ibnu Abi Hatim (w. 327 H). Sebagai catatan penting, model tafsir ini pun mengandalkan riwayat-riwayat dari Nabi, shahabat, serta tabi’in (transmisional), terkecuali tafsir Ibnu Jarir al-Thabari. Al-Thabari mengupas banyak pendapat, kemudian melakukan seleksi dari sekian pendapat tersebut, terkadang pula menginferensi suatu hukum dari ayat terkait.

Ketiga, tafsir dengan corak transmisional (al-ma’tsûr) disertai mata rantai lengkap. Namun ada beberapa penafsir yang mencukupkan pada rantai tanpa menyebut pengucapnya. Model demikian yang disinyalir sebagai akar kemunculan riwayat Judeo-Kristiani dalam buku-buku tafsir. Hal itu disebabkan tidak jelasnya kualifikasi terhadap riwayat yang datang; keempat, tafsir mengalami perkembangan secara massif. Di samping mengandalkan riwayat transmisional (al-ma’tsûr), corak tafsir rasional (al-‘aqlî) pada masa ini pun menggema. Tafsir yang berdimensi rasional kemudian semakin melebarkan sayapnya tatkala pemerintahan Abasiyah mulai membuka “kran” dengan peradaban luar Islam: Yunani. Corak rasional murni dapat kita jumpai pada Mafâtîh al-Ghaib, karya Fakhr al-Din al-Razi, atau al-Bahr al-Muhîth, karangan Abu Hayyan al-Tawhidi.[10]

Secara umum, para penafsir memulai uraiannya—terhadap suatu ayat—ditopang dengan riwayat yang bersumber dari Nabi. Seandainya tak menjumpai, mereka berpindah menuju perkataan para shahabat, kemudian tabi’in. Karakter para penafsir sendiri berbeda; ada beberapa penafsir yang mendasarkan pendapatnya—secara paripurna—terhadap riwayat transmisional, namun terdapat pula yang bercorak rasional murni. Atas dasar ini, buku tafsir klasik kemudian dijumpai seperti “lautan ilmu”. Jamal al-Banna memetakan dengan apik tipologi penafsir klasik dalam tiga corak; pertama, yang berorientasi terhadap bahasa (al-lughawiyyun); kedua, orientasi sektarian (al-madzhabiyyûn); ketiga, orientasi menafsirkan al-Qur’an mempergunakan riwayat (al-ikhbâriyyûn).[11]

Bagi Jamal sendiri, ketiga corak tafsir ini mempunyai kecacatannya tersendiri. Untuk yang pertama, penyebabnya adalah perbedaan metode antar penafsir yang didasarkan pada unsur bahasa. Mereka terlalu masuk dalam pada persoalan pelik bahasa; entah itu gramatika (al-nahw wa al-sharf) atau keindahan bahasa (balâghah). Imbasnya, al-Qur’an ditundukkan pada kaidah-kaidah gramatika, atau balaghah. Sebagai misal, dalam perbincangan gramatika, struktur asal suatu kalimat tersusun dari tiga unsur: subyek (al-fâ’il), predikat (al-fi’l), dan obyek (al-maf’ûl) yang terangkum dalam susunan “fi’il-fa’il” atau “mubtada-khabar”. Jika tidak terdapat salah satu dari ketiga unsur ini, maka yang bermain kemudian “spekulasi”—atau dibahasakan dengan “taqdîr”. Mari kita simak penuturan Jamal al-Banna—mengutip Abd al-Sattar al-Jawari--terkait hal ini,

“Firman Allah dalam surat al-Nisa: “dan keinginanmu untuk mengawini mereka” (targhabûna an tankihûhunna). Kata kerja “raghiba” akan sampai pada dua obyek dengan dua kata (‘an serta fî), dan akan menghasilkan dua makna yang kontradiktif; apabila mempergunakan “raghiba fî” akan sampai pada makna positif, jika mempergunakan “raghiba ‘an” akan menghasilkan makna negatif […]. Oleh karena itu, Zamakhsyari, ketika mengurai masalah ini mengatakan: “kemungkinan maknanya adalah menyukai, hingga berkehendak menikahinya karena cantik, atau membenci, sehingga tidak mau menikahinya karena jelek”. Namun beberapa pakar dalam permasalahan ini mengatakan: raghbah dalam kalimat ini, entah itu mempergunakan fî atau ‘an sama saja, sehingga tidak dicantumkan. Menurut saya (‘Abd al-Sattar al-Jawari), perkaranya tak sesulit itu. Karena makna kata kerja itulah yang harus dijadikan pegangan. Adapun huruf tambahan hanya untuk membatasi relasi dengan obyek: negatif atau positif. Kata raghbah yang membatasi relasi (negatif atau positif) dengan obyek adalah raghbah fî syain (menyukai suatu hal). Adapun makna negatif (raghbah ‘an syain) merupakan cabang (al-far’) yang tak diketahui terkecuali dijumpai huruf ‘an secara tersurat”.[12]

Al-Qur’an sendiri, dari kacamata gramatika, dapat diklasifikasi pada dua bagian; pertama, bagian yang selaras dengan kaidah-kaidah gramatika; kedua, bagian-bagian yang berbenturan dengan kaidah-kaidah gramatika. Untuk yang kedua ini, sikap penafsir terpetakan mejadi tiga; pertama, secara frontal menyatakan ketidakcocokannya; kedua, masih berupaya mendamaikan walaupun kemudian “mengalahkan” al-Qur’an; ketiga, mentakwil ayat-ayat yang tak selaras dengan kaidah gramatika.[13] Sebagai misal, dalam kaidah nahwu, "la yajûzu wuqû' al-istisnâ al-mufarragh ba'da al-îjâb." Padahal dalam al-Qur'an ada delapan belas “al-istisna al-mufarragh” yang jatuh dalam kalimat postif. Di antaranya lagi, “la yajûzu 'athf al-ismi al-dzâhir 'alâ al-dlamîr al-makhfûdz illâ ba'da i'âdat al-khâfidz." Padahal firman Allah berbunyi (Qira’at Hamzah), "wattaqullah al-ladzî tasâalûna bihi wa al-arhâmi." Lafadz “al-arhâm” dibaca kasrah dan diikutkan ('athaf) pada isim dlamir tanpa mengembalikan khâfidz—dalam qiraat Hamzah. Padahal bacaan ini adalah dari sebagian besar tabi'in, shahabat. Dan menurut Abu Hayyan al-Tawhidi, itu adalah bacaan mutawatir dari Nabi. Oleh karena itu, pakar nahwu jika menjumpai ayat yang tak cocok dengan kaidah nahwu mengatakan, “ini kesalahan penulis”.

Kedua; orientasi sektarianistik (al-madzhabiyyûn). Contoh yang paling kentara ketika al-Qur’an berbicara tentang atribut Tuhan. Sebagaimana dalam tafsir al-Kasysyâf, karangan Zamakhsyari dari sekte Muktazilah, yang terkadang berlebihan menafsirkan suatu ayat agar selaras dengan ideologi sektenya: penafian sifat. Kita melihat bagaimana saat Zamakhsyari memaknai kalâm (berbicara) dengan al-kalmu (luka), sehingga—menurut Muktazilah--maknanya: “Allah menguji Nabi Musa dengan pelbagai macam fitnah.” Karena memang, menurut Zamakhsyari, pada praktiknya al-Qur’an mendedah argumen eksistensi Tuhan hanya melalui “kontemplasi” terhadap keindahan alam raya. Dan penafian “pembicaraan” ini berakibat pula penafian sifat—sebagaimana ideologi Muktazilah. Begitu pula dari sekte Khawarij ketika menafsirkan ayat: “fa minkum kâfir wa minkum mu’min”, bahwa manusia hanya pada dua jalur: mukmin dan kafir. Yang demikian itu karena mereka menganggap bahwa pelaku dosa besar—jika tidak bertaubat—masuk pada golongan kafir.

Ketiga; orientasi menafsirkan al-Qur’an mempergunakan riwayat (al-ikhbâriyyûn). Metode yang ditempuh mempergunakan riwayat transmisional, sehingga kemudian dinamakan “al-Tafsîr bi al-Ma’tsûr”. Faktanya, menurut Jamal al-Banna, riwayat dari Nabi terhadap ayat al-Qur’an sangat sedikit sekali. Bahkan, tafsir terhadap suatu ayat yang datang dari Nabi bukan dari Nabi sendiri, melainkan Nabi hanya mempergunakan ayat al-Qur’an yang lain untuk menafsirkan (tafsîr al-Qur’an bi al-Qur’ân). Sampai riwayat yang dari shahabat serta tabi’in pun kemudian dipakai, jika tak ditemukan pernyataan dari Nabi terhadap ayat tertentu. Bahkan ada yang menuliskan semua riwayat yang datang dari Ibnu ‘Abbas dalam sebuah buku dengan tajuk “Tafsîr ibni ‘Abbas”.[14] Padahal, mayoritas riwayat yang ada dalam kitab tersebut diriwayatkan oleh al-Kalbi, al-Sadiy, serta Muqatil bin Sulaiman. Mereka adalah nama-nama yang sudah mendapat predikat pemalsu. Imam Suyuthi sendiri—yang telah didahului oleh Ibnu Taymiah—berujar, bahwa perkataan Ahmad bin Hanbal, “tiga kitab yang tidak bisa dipertanggungjawabkan; peperangan, mimpi, serta tafsir,” ditujukan untuk periwayat dalam tafsir Ibnu ‘Abbas. Rasyid Ridla meneruskan pernyataan Ahmad bin Hanbal tersebut hingga sampai pada nama-nama buku tafsir yang di“black list” karena berisikan riwayat yang tak dapat dipertanggungjawabkan: al-Wahidi, al-Tsa’labi, Zamakhsyari, Baidlawi. Ada tiga karakter perbincangan corak tafsir model ini; pertama, berbincang tentang para Nabi secara spesifik, Bani Israil, hari Akhir, surga, neraka; kedua, mengerucutkan pembahasan yang disamarkan oleh al-Qur’an (ta’yîn al-mubhamât); ketiga, memaparkan sebab diturunkannya suatu ayat (asbâb al-nuzûl).

Tafsir dan Takwil; Upaya Menumbuhkan Toleransi Penafsiran

Nashr Hamid Abu Zaid, mewakili para pengkaji tafsir dan tafsir al-Qur’an saat mencari legitimasi takwil, mengatakan bahwa tafsir dan takwil sebagai dua terma yang bersinonim telah dinyatakan oleh generasi awal Islam. Ibnu Jarir al-Thabari mempunyai kitab tafsir yang bertajuk Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ay al-Qur’an. Takwil dari penamaan Ibnu Abbas untuk tafsirnya—menurut banyak pengkaji tafsir—mempunyai makna “tafsir”. Begitu pula Nabi saat mendoakan Ibnu Abbas mengatakan, “allahumma faqihhu fi al-dîn wa allimhu al-takwil”—semoga Allah menjadikan dia orang yang memahami agama dan mengerti tentang tafsir. Akan tetapi sinonimitas tidak lantas mempunyai implikasi tak berbeda. Sebab belakangan, terma takwil lebih diidentikkan untuk penjelasan alegoris dan metaforis terhadap al-Qur’an, sebagaimana yang sering dipraktikkan oleh sebagain tokoh-tokoh sufi, teolog dan filsuf. Pada tataran praksis, muncul model-model takwil-an “liar” melalui penjelasan alegoris, hingga memaksakan gagasan-gagasan nakal ke dalam teks literal al-Qur’an. Sebab itulah terma takwil menjadi tidak begitu mendapat apresiasi di kalangan ortodoksi Islam. Walaupun begitu, takwil tetap dinilai sebagai salah satu unsur keindahan bahasa al-Qur'an.[15]

Takwil sendiri sebenarnya terminologi yang problematis dalam babakan sejarah Islam: sebab antar sarjana kerap berbeda-beda memaknai takwil dari masa ke masa. Jika di awal Islam takwil diposisikan sinonim dengan tafsir, selanjutnya berkembang definisinya menjadi “maksud dari sebuah perkataan”. Sedang tafsir merupakan penjelasan terhadap maksud redaksi. Dengan kata lain, jika terdapat redaksi, “Matahari muncul”, maka takwilnya adalah realisasi di alam riil bahwa matahari muncul. Sedang tafsir menjelaskan dan menjabarkan bagaimana kronologis kemunculan serta waktunya. Pun berkembang definisi bahwa definisi tafsir lebih ke transmisi (al-naql) sedang takwil lebih ke penjelasan eksploratif (ijtihâdî) yang didasarkan pada perenungan dan kontemplasi. Sebagai misal, diferensiasi yang dilontarkan oleh al-Raghib al-Ishfahani, bahwa tafsir lebih ke redaksional, berhubungan dengan struktur kalimat, sedang takwil lazimnya berelasi dengan makna susunan kalimat.[16]

Perkembangan takwil juga erat kaitannya dengan implikasi-implikasi ayat yang sebenarnya tak tunggal. Misalnya, jika kita tengok bagaimana Syihab al-Din al-Lusi dalam pengantar tafsirnya, Rûh al-Ma’âni, memberikan argumen untuk pengukuhan makna-makna ayat esoterik. Menurut al-Lusi, makna ayat esoterik bukan hendak meniadakan makna eksoterik. Sebab, keyakinan yang demikian merupakan keyakinan orang-orang murtad. Akan tetapi pemaknaan esoterik berupaya menyibak rahasia-rahasia yang terlampau agung di dalam al-Qur’an. Tanpa melihat ke pemaknaan esoterik, maka mustahil melihat rahasia agung kitab suci ini. Al-Lusi mendasarkan pandangannya, misalnya, pada riwayat, “setiap ayat mempunyai enampuluh ribu pemaknaan.”[17] Contoh yang sama juga bisa kita lihat dari pernyataan al-Razi di Mafâtih al-Ghayb—penafsir al-Qur’an yang bisa menafsirkan surat al-Fatihah sampai tiga ratus halaman. Ia mengatakan di awal kitabnya,

“saya sudah mengatakan dalam beberapa kesempatan, bahwa dari surat ini mampu disimpulkan sepuluh ribu permasalahan. Akan tetapi orang-orang yang bodoh tidak mempercayainya. Dan mereka mengomentari surat al-Qur’an ini dalam buku-bukunya dengan komentar kosong tanpa arti, dan kalimat yang tidak bisa memberikan substansi. Ketika aku menganggit kitab ini, aku mengajukan kata pengantar ini sebagai pengingat bahwa apa yang sudah aku sampaikan sesuatu yang bisa dan dekat kemungkinan terjadi."

Dengan demikian, argumen takwil, disamping mempergunakan riwayat-riwayat yang datang, sebenarnya erat pula kaitannya dengan argumen interpretasi jamak terhadap al-Qur’an: bahwa satu ayat al-Qur’an maknanya tidak tunggal, dan bisa bermacam dengan pelbagai sudut pandang. Berbeda di tangan para teolog, takwil acapkali dipergunakan untuk mentakwilkan ayat-ayat yang secara rasional tidak mungkin dimaknai secara literal. Pemaknaan rasional mempergunakan takwil untuk menghindari inklinasi penyerupaan Tuhan dengan manusia. Jika bagi sebagian teolog porsi takwil tidak begitu besar, di tangan Muktazilah, takwil terhadap ayat sangat berlebihan, sehingga memunculkan bermacam resistensi yang cukup tajam dari sarjana-sarjana Asy’ariyyah. Permisalan yang paling kentara, sebagaimana disebutkan di muka, adalah penafsiran Zamakhsyari, penafsir otoritatif Muktazilah yang memaknai “kalam” (berbicara) dengan “al-kalmu (luka). Yang demikian karena Muktazilah hendak menafikan sifat-sifat yang tak berawal (qadîm) Allah—atau Shifat al-Ma’âni. Sebab, prinsip fundamental dalam teologi Muktazilah dikatakan, segala yang tak berawal tak mungkin mempunyai keserupaan yang tak berawal. [18]

Oleh karena itu, sebenarnya justifikasi takwil bisa dipergunakan untuk legitimasi pemahaman ayat yang multi-interpretatif. Para ulama memberikan batasan-batasan pada takwil yang bisa diterima dan ditolak. Di antaranya, takwil yang bisa diterima harus memperhatikan aspek lafadz melalui kemungkinan-kemungkinan makna lain dengan meneliti struktur kalimat, kosakata, redaksi secara umum, relasi antara satu ayat dan lainnya (munasâbat al-ayât), dan lain sebagainya. Sebenarnya bisa dibahasakan juga, bahwa penerimaan takwil dengan catatan jika masih berada dalam koridor “tafsir”—sebab pensyaratan takwil yang diterima tak jauh berbeda dengan tafsir. Oleh karena itu, Abu Ashi menyebut, setiap bentuk takwil pasti termasuk tafsir, tetapi belum tentu semua tafsir adalah takwil, karena takwil dimaksudkan untuk menjelaskan suatu hal dengan kontemplasi dan perenungan secara mendalam.[19] Bagi penulis, jelas ketetapan ini bisa ditarik dalam batas interaksi antar umat Islam untuk saling menghargai penafsiran masing-masing sekte terhadap al-Qur’an.

Penutup

Ini hanyalah usaha kecil yang tidak komprehensif untuk sekedar menuliskan babakan sejarah yang cukup panjang tentang tafsir dan takwil. Sebetulnya ada yang absen dari tulisan kali ini: muncul madzhab-madzhab baru dalam tafsir di era modern yang belum penulis sebutkan di sini. Pada praktiknya, sebuah pembacaan terhadap terhadap “teks” akan selalu memunculkan pandangan dari pelbagai sudut pandang. Menurut Imam ‘Ali, “al-Qur’an hammâl awjah; kâin mayyit, wa innamâ yuntiquhu al-rijâl”. Dan hal itu pula yang mengantarkan merebaknya varian metode pembacaan, baik pada masa klasik ataupun kontemporer. Semoga tulisan ini bermanfaat.[]


Catatan Kaki
[1] Studi Orientalis terhadap al-Qur’an ditujukan pada dua aspek penting: pertama, “lingkungan sektarian”, atau lingkungan yang turut membentuk al-Qur’an. Kajian terhadap aspek ini berkesimpulan, banyak doktrin, konsep hukum dalam Islam yang sebetulnya tidak otentik; kedua, proses kodifikasi al-Qur’an, untuk melacak sejauh mana sumber-sumber primernya dapat dipercaya. Sedangkan tipologi Orientalis dalam mengkaji al-Qur’an juga terpetakan menjadi dua: pertama, rasionalis-analitis, di mana mengkaji al-Qur’an dengan kacamata Barat, baik melalui sudut pandang Yahudi-Kristen maupun humanis-sekular. Di antaranya, Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, William Montgomery Watt, Kenneth Cragg, Patricia Crone, dll; kedua, kaum mistis-romantis. Di antaranya Martin Lings, Henry Corbin, Titus Burckhardt, Toshihiko Izutsu, dll. Kajian kedua ini umumnya lebih disukai oleh orang Islam. Lihat Ulil Abshar Abdalla, Luthfi Assyaukani, Abd. Moqsith Ghazali dalam Metodologi Studi al-Qur’an, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009, hlm. 31-35

[2] Abdullah Darraz, al-Naba' al-'Adzîm, Kairo: Dar al-Urubah, 1960, hlm. 111

[3] Ignaz Goldziher, Madzâhib al-Tafsîr al-Islâmî, Kairo: Maktabah al-Khonji, peny. Dr. ‘Abdul Halim al-Najjar, 1955, hlm. 15

[4] Lazimnya, penafsiran Nabi terhadap suatu ayat direkam dalam kitab-kitab hadis dengan judul Kitâb al-Tafsîr yang disusun mengikuti susunan mushaf Utsmani. Bisa dilihat misalnya pada Shahih Bukhari/Muslim, serta Sunan Turmudzi. Satu contoh yang masyhur saat nabi menafsirkan kata al-dzulm (6:82) dengan syirik (31:13).

[5] Di antaranya adalah 'Umar bin al-Khattab, Ali bin Abi Thalib, Ibnu 'Abbas, Ibnu Mas'ud, dan selainnya. Pada masa ini, penafsiran shahabat terhadap al-Qur'an banyak menjadikan syair pra-Islam (jahiliyyah) sebagai rujukan. Satu contoh, Ibnu Abbas saat menterjemahkan kata haraj dalam 22:27, beliau berkata: “Jika terlihat kata di dalam al-Qur’an yang terlihat asing, maka jawabnya di dalam syair…”. Lihat Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ây al-Qur’an, peny. Mahmud Muhammad Syakir dan Ahmad Muhammad Syakir, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1966. surat 22:78

[6] Muhammad Huseyn al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Kairo: Maktabah Wahbah, juz I, cet V, 2000, hlm. 30

[7] Para sarjana berbeda pendapat mengenai nominal ayat yang ditafsirkan oleh Nabi: menurut Ibnu Taymiah, Nabi menjelaskan semua makna dan lafadz al-Qur’an. Akan tetapi sebagian yang lain memandang, bahwa Nabi tidak menjelaskan seluruh ayat al-Qur’an, hanya sedikit yang dijelaskan oleh Nabi. Pendapat ini dianut oleh Imam Jalal al-Din al-Suyuthi, dan al-Khuwwi. Tetapi Huseyn al-Dzahabi memandang dua kelompok ini terlalu berlebihan: yang tepat adalah Nabi menafsirkan banyak ayat, walaupun tidak semua ditafsirkan oleh Nabi.

[8] Ada perbedaan signifikan antara tafsir pada masa shahabat dan tabi’in. Pada masa shahabat, tafsir lebih merupakan penjelasan terhadap ayat-ayat yang belum jelas. Itupun tidak seluruhnya, lebih bersifat global dan banyak merujuk pada pendapat Ahl al-Kitab. Sedang pada masa tabi’in, pembahasan menjadi lebih detail, ditandai dengan banyaknya ayat-ayat yang ditafsirkan.

[9] Judeo-Kristian (al-Isrâiliyyât) sendiri merupakan istilah yang merujuk pada umat Yahudi dan Nashrani. Bani Israil merupakan keturunan Ya’qub, sampai pada umat Musa, kemudian ‘Isa. Sedang Nashrani sendiri adalah umat Nabi ‘Isa. Masuknya riwayat Nashrani dalam peradaban Islam sejatinya karena pergumulan Yahudi dan Nashrani yang sudah terjadi sebelum datangnya Islam. Di Madinah, kala itu, terdapat perkampungan murni Yahudi. Sebagian bertempat di Madinah, seperti Bani Qainuqa’, Bani Nadlir, Bani Quraidlah, dan sebagian lagi bertempat agak jauh dari Madinah, seperti Yahudi Khaibar, dan Wadi Qura’. Mereka, kaum Yahudi, membawa tradisi pendahulu; mereka adalah Yahudi dari segi agama, kebiasaan, ataupun etika. Terdapat perdebatan waktu pasti kedatangan Yahudi ke Arab; sebagian berpendapat, Yahudi hijrah ke Arab pada masa Nabi Dawud, sebagian lagi berasumsi pada masa Nabi Yehezkal (Zulkifli). Namun tidak ada argumen valid yang menopang kedua pandangan tersebut, oleh karenanya tidak dipakai oleh para sejarawan. Pendapat yang menjadi konsensus sejarawan, kedatangan Yahudi ke tanah Arab adalah antara abad ke II dan ke III M. Yahudi pra Islam mempunyai tempat untuk belajar berdiskusi yang dinamakan “Midras”. Terdapat riwayat valid yang menyatakan bahwa Nabi dan Abu Bakr serta Umar pernah mengunjungi Midras untuk mengajak kaum Yahudi memeluk Islam. Dalam al-Qur’an pun banyak ayat yang mengutip perdebatan Yahudi dan Umat Islam. Sampai kemudian beberapa pemuka Ahli Kitab masuk Islam, semisal Ka’b al-Ahbar, ‘Abdullah Ibnu Salam, serta Wahb bin Manbah. Interaksi umat Islam dengan kaum Yahudi yang terejawantahkan dalam pertanyaan seputar cerita dalam al-Qur’an secara detail; nama orang, tempat, dan kronologi cerita, merupakan embiro riwayat Judeo-Kristiani dalam tafsir al-Qur’an. Faktor dominan pengadopsian cerita-cerita Ahli Kitab yang diterapkan dalam al-Qur’an karena al-Qur’an pada hakikatnya diturunkan sebagai “pembenar”, sehingga ada kesamaan cerita dengan kitab-kitab sebelumnya. Yang demikian karena cerita di dalam al-Qur’an bersifat umum. Sebagai misal, cerita tentang Nabi Adam, seperti disebutkan dalam al-Qur’an, pun dicantumkan dalam Taurat. Perbedaannya, cerita tentang Nabi Adam dalam al-Qur’an bersifat global; tidak mencantumkan nama tumbuhan yang dimakan oleh Adam, nama sorga, perincian dialog Tuhan dengan Adam, tempat diturunkannya Adam dari sorga, dll. Namun semuanya ini dijelaskan secara spesifik dalam Taurat. Dapat dilacak pada Tafsir Thabari dan Tafsir Muqatil bin Sulaiman ketika menjelaskan peristiwa ini. Thabari dan Muqatil terkadang meriwayatkan dari Wahb bin Manbah, terkadang pula dengan mata rantai: dari Israil dari Asbath, dari al-Sadi. Bahkan riwayat Judeo-Kristiani tak hanya menghiasi buku tafsir klasik, namun merambah pula ke buku sejarah, seperti perbincangan sejarah Bani Israil dan para Nabinya (târîkh banî isrâîl wa anbiyâ’ihim), sebagaimana dituliskan oleh Ibnu Jarir al-Thabari dan Ibnu Ishaq dalam Târîkhnya, serta Ibnu Qutaibah dalam al-Ma’ârif. Lihat Abu Syuhbah, al-Isrâiliyyât wa al-Maudlû’ât fî Kutub al-Tafsîr, Kairo: Maktabah al-Sunah, cet. IV, 1408 H, hlm. 12. Untuk lebih mengetahui efek dari keterpengaruhan ini, bisa dilihat di Musthafa Bouhindi, al-Ta’tsîr al-Masîhî fî Tafsîr al-Qur’an, Beirut: Dar al-Thali’ah, cet. I, 2004

[10] Dr. Rumzi Na’na’ah, al-Isrâ’iliyyât wa Atsaruhâ fî Kutub al-Tafsîr, Beirut: Dar al-Dliya’, cet. I, 1970, hlm. 19-20

[11] Jamal al-Banna, al-Tafsîr baina al-Qudâmâ wa al-Muhditsîn, Kairo: Dar al-Fikr al-Islami, tt, hlm. 58

[12] Ibid., hlm. 64-65

[13] Ibid., hlm. 71

[14]Terdapat fakta menarik seputar buku Ibnu ‘Abbas ini, tutur Nashr Hamid Abu Zaid, untuk melegitimasi “sikap hermeneutis”nya. Asumsi bahwa tafsir Ibnu ‘Abbas ini hanya berisi riwayat transmisional tidak sepenuhnya tepat. Karena Ibnu Abbas sendiri dalam tafsirnya sepakat dengan pentakwilan Khawarij yang kontradiktif dengan riwayat-riwayat yang terdapat dalam buku tafsir. Karena memang, faktanya, diferensiasi terminologi tafsir dan takwil baru muncul pada kurun belakangan. Bahkan Ibnu Jarir al-Thabari, dalam tafsirnya Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl al-Qur’an, tidak membedakan antara terminologi tafsir dan takwil. Nashr Hamid Abu Zaid, Falsafah al-Ta’wîl; Dirâsah fî Ta’wîl al-Qur’ân ‘indâ Muhyiddîn Ibn ‘Arabî, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, cet. VI, 2007, hlm. 12-13

[15] Lihat Jalal al-Din Suyuthi, al-Itqân fî 'Ulûm al-Qur'an, Kairo: Dar al-Hadis, peny. Ahmad bin Ali, juz II, 2004, hlm. 36

[16] Lihat Al-Raghib al-Ishfahani, Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, Kairo: Mushthafa el-Babi al-Halabi, 1961, hlm. 31.

[17] Lihat Abu al-Fadl Syihab al-Din Mahmud al-Lusy, Rûh al-Ma'ânî fî Tafsîr al-Qur'an al-'Adzîm wa al-Sab' al-Matsânî, peny. Sayyid Muhammad Sayyid dan Ibrahim ‘Imran, Kairo: Dar al-Hadis, juz 1, 2005, hlm. 28-29

[18] Muhammad bin Muhammad al-Amir, Hâsyiah al-Amîr ala Syarh Abd al-Salâm bin Ibrâhîm al-Mâlikî li Jawharat al-Tawhîd, Mesir: Musthafa el-Babi el-Halabi, 1948, hlm. 26-27

[19] Muhammad Salim Abu al-Ashi, Maqâlatâni fî al-Ta’wîl: Ma‘âlim fî al-Manhaj wa Rashd li al-Inhirâf, Kairo: Dar al-Bashair, cet. I, 2003, hlm. 13
Selengkapnya...

Thursday 8 March 2012

Penolakan FPI, Toleransi Dan Relevansi Kafir Harbi

Oleh Ahmad Hadidul Fahmi, Lc

Penolakan masyarakat Dayak terhadap FPI yang hendak membuka cabang di Kalimantan Tengah adalah sikap tegas yang patut diapresiasi. Bahwa Indonesia menjamin kebebasan warganya untuk berorganisasi dan membolehkan setiap organisasi untuk membuat cabang, memang betul—tentunya dengan catatan, selama aktivitas sebuah organisasi tidak mengarah pada aksi anarkis. Faktanya jika melihat aksi-aksi anarkis atau kekerasan atas nama agama yang kerap terjadi di Tanah Air, nama FPI selalu ada di balik itu semua.

Penolakan tersebut membuahkan respon balik dari ketua bidang Amar Makruf Nahi Munkar DPP FPI, Munarman, bahwa aksi penghadangan terhadap kelompok Rizieq Syihab yang bermaksud dakwah, pelakunya bisa dikategorikan kafir harbi—non Islam yang bisa diperangi, halal darahnya. Entah atas dasar apa penghukuman tersebut, yang jelas kafir harbi sudah kehilangan relevansi sejak lama.

Organisasi Intoleran
Dalam perbincangan kerukunan antar umat beragama, Mohammad Abed al-Jabiri menyatakan bahwa toleransi mempunyai cakupan ke “dalam” (dalam konteks sepaham) dan ke “luar” (konteks yang tak sepaham) bersamaan. Cakupan yang sifatnya internal wujud dari sikap penerimaan terhadap segala aktivitas keagamaan kelompok yang berbeda interpretasi keagamaannya. Sedang jika ke “luar”, merupakan perwujudan dari penerimaan segala aktivitas pemeluk agama lain dengan perbedaan prinsip-prinsip fundamentalnya. Dengan kata lain, toleransi merupakan penerimaan “the other” dalam batas pengertian toleran itu sendiri.

Oleh sebab itu, toleransi meniscayakan “pemberangusan hegemoni” sampai pada batas yang paling bisa dilakukan oleh madzhab mayoritas dalam internal agama mereka (dalam konteks yang sepaham), atau toleransi agama mayoritas terhadap agama minoritas dalam sebuah kelompok masyarakat (konteks tak sepaham). Dalam tataran aplikatif, Jabiri mencoba membawakan sampel Ibnu Rusyd sebagai representasi tokoh toleran ketika memandag keanekaragaman pendapat dalam bingkai ‘keadilan’: dua kelompok harus sama-sama bisa menerima eksistensi kelompok lain dalam batas yang sama. Karena menurut Jabiri, toleransi bisa benar-benar maksimal dalam batas interaksi yang didasari ‘keadilan’, bukan suara mayoritas yang memberikan “rambu-rambu” tertentu pada kelompok lainnya. Atau hanya sebatas toleransi dalam batas-batas yang diyakini kewajarannya oleh kelompok mayoritas. Dalam tahap ini, al-Jabiri membawa pemaknaan toleransi dalam prinsip filosofis.

Lalu apakah penolakan terhadap FPI oleh masyarakat Dayak merupakan sikap yang intoleran?

Dasar keadilan—dalam toleransi—bukan lantas menerima eksistensi “the other” secara mutlak. Jabiri memberikan garis pembatas mengenai aplikasi toleransi itu sendiri: bahwa ia akan selalu berlawanan dengan “keberlebihan dalam beragama” (al-ghuluww fi al-din). Sebab historisitas toleransi merupakan respon dari keberlebihan dalam agama. Pada akhirnya keberlebihan dalam agama ini menghasilkan sikap yang intoleran: kekerasan. Walaupun al-Jabiri juga memberikan diferensiasi ekstremis (muthatarrif) dan fundamentalis (ushûlî). Keduanya berbeda dari cara mensosialisasikan keyakinan terhadap yang tak sepaham; ekstremis kerap mempergunakan kekerasan agar keyakinannya juga dianut oleh yang tak sepaham. Banyak kelompok disebut fundamentalis akan tetapi mereka bukan ekstremis.

Track-record FPI semenjak tahun 12 tahun terakhir, terutama saat menjelang Bulan Ramadhan, mengukuhkan tesis bahwa organisasi garis keras ini jelas akan menimbulkan kekacauan di belahan bumi Indonesia lainnya. FPI dengan sendirinya adalah ekstremis, atau berusaha memaksakan interpretasi terhadap agama dengan jalur kekerasan. Penolakan terhadap FPI tidak lantas menegasi substansi toleransi, sebab akan ada efek-efek yang tak baik jika FPI sampai “mengukir nama” di Kalimantan Tengah.

Keyakinan yang selama ini dianut oleh kebanyakan, dan bagi penulis kurang tepat, adalah pengakuan eksistensi “yang lain” (the other) merupakan ekses dari pengakuan terhadap lurusnya keyakinan yang bersangkutan. Padahal sejarah berbicara lain. Majusi dianggap sebagai “ahlu dzimmah”—penduduk kafir yang mendapat perlindungan dari orang Islam dengan kriteria tertentu—pada masa Nabi, sedang Zoroaster masuk sebagai “ahlu dzimmah” di masa Abbasiyyah. Akan tetapi perlindungan ini bukan lantas menyepakati keyakinan mereka. Sebab prinsip-prinsip fundamental dalam Islam jelas berbicara sebaliknya. Bahkan dalam al-Durr al-Mukhtar, jika seorang muslim menghilangkan kebebasan non muslim meminum khamr atau makan anjing, maka orang Islam mempunyai tanggung jawab untuk menggantinya. Non muslim juga bebas untuk memproduksi khamr.

Al-Qur’an dan al-Hadis sendiri kerap mengajarkan toleransi, bahkan pada agama lain. Lihatlah ayat yang berisi larangan mencaci agama lain yang sudah terang tidak sesuai dengan prinsip fundamental Islam, “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan” (QS: Al-An’am: 107). Dr. Ali Gomah Mohammad, mufti Mesir, mengatakan, ayat ini berbicara tentang bahaya yang ditimbulkan oleh sebagian umat Islam yang menyangka dirinya sedang melakukan kebaikan, akan tetapi justru menimbulkan efek negatif yang sangat besar bagi diri dan agamanya. Ia mencontohkan bagaimana para shahabat Nabi menguasai Mesir, tetapi tanpa menghancurkan bangunan-bangunan bersejarah warisan Mesir Kuno, seperti patung Sphinx, misalnya.

Meninjau Ulang Istilah “Kafir Harbi”
Fahmi Huwaidi dalam bukunya Muwathinûn lâ Dzimmiyyûn mengatakan, pemberian kebebasan terhadap non muslim sesungguhnya levelnya setingkat dengan pentingnya umat Islam berakidah secara baik. Menurutnya, interaksi toleran tersebut harus lebih dari sekedar berbuat baik atau etika terhadap minoritas, akan tetapi naik pada level ideologi: bahwa interaksi yang demikian memang tertuang secara eksplisit di dalam al-Qur’an. Jika sampai berbuat aniaya terhadap minoritas, maka sama saja melakukan aniaya terhadap al-Qur’an.

Yang paling menarik dari tesis Fahmi Huwaidi ini, ia berusaha merentet historisitas “kafir dzimmi”, pembagian negara yang dikuasai oleh umat Islam (Dar al-Islam) dan negara yang dikuasai non muslim (Dar al-Harb) bersamaan—di mana sampai pada kesimpulan, bahwa “kafir dzimmi” untuk sekarang telah hilang diganti warga negara yang disatukan oleh nasionalisme (muwathin). Tentunya ini akan berakibat hilangnya istilah yang menyertai kafir dzimmi: Dar al-Islam, Dar al-Kufr atau Kafir Harbi. Baginya, awal kemunculan Islam yang mendapat resistensi dari internal Jazirah Arab maupun luar Arab: siksaan Musyrik Mekah terhadap umat Islam, konspirasi Yahudi Khaibar, Bani Nadlir dan Bani Qaynuqa’, dan selainnya—memberikan pengaruh besar terhadap sarjana fikih dalam merumuskan interaksi dengan “the other”. Terminologi Dar al-Islam sendiri muncul semenjak Nabi berhijrah ke Madinah. Dan selain Madinah, seperti disebutkan oleh Ibnu Hazm, dihitung sebagai negara kafir yang bisa diperangi. Kemudian terminologi “Dar al-Harb” dan “Dar al-Islam” menghiasi buku-buku fikih, sejarah, sampai muncul kesan, parameter yang dipergunakan untuk berinteraksi dengan “the other” adalah berdasar keyakinan mereka: Islam atau bukan Islam.

Akan tetapi, neraca “keyakinan” ini bukan satu-satunya parameter yang harus diimani. Beberapa pemuka Hanafiyyah dan Zaydiyyah mempergunakan parameter “aman” untuk sebuah negara disebut “Dar al-Islam” atau bukan: jika aman untuk orang Islam, maka bisa disebut Dar al-Islam, jika tidak aman, maka Dar al-Harb. Beberapa sarjanapun merumuskan ijtihad mutakhir: jika sebuah negara bisa dihuni oleh orang Islam dan mayoritas bisa melakukan aktivitas keagamaan mereka—walaupun nominal umat Islam di negara tersebut termasuk minoritas, status negara tersebut tetap dikatakan “Dar al-Islam”. Di antara yang berpendapat demikian adalah Abdul Wahhab Khalaf, sarjana fikih kontemporer Mesir, kemudian Dr. Subhi Mahmashani. Pandangan ini ditopang dari banyak data sejarah. Di antaranya perjanjian Nabi dengan Yahudi Bani ‘Auf: bahwa Yahudi dan umat Islam merupakan umat yang satu. Pun “Dar al-Islam” setelah masa Nabi mengalami pergeseran istilah: di mana negara-negara jajahan Islam mulai diberlakukan syariat. Atas dasar ini, Imam al-Sarkhasi, sarjana yang dijuluki “bapak Undang-Undang” mengatakan, “negara Islam adalah negara yang menerapkan syariat Islam. Tandanya, di tempat tersebut merupakan tempat yang aman bagi umat Islam.” Ini artinya, ijtihad fikih yang muncul belakangan sangat didominasi oleh konteks masa itu.

Yang kemudian menjadi catatan, bahwa klasifikasi “Dar al-Islam” atau “Dar al-Harb” merupakan produk ijtihad yang tidak didasarkan pada teks yang jelas, akan tetapi didasarkan “realitas”. Dan eksistensi Dar al-Islam yang dibicarakan oleh para sarjana fikih sekarang hanya di buku-buku sejarah. Untuk mengukuhkan tesisnya itu, Fahmi Huwaidi berusaha meruntut redaksi “dzimmi” dalam al-Qur’an dan al-Hadis. Di dalam al-Qur’an, “dzimmah” hanya disebutkan dua kali. Adapun untuk menyebut “the other”, lazimnya dengan redaksi “Ahl al-Kitab” dan “Musyrikin”. Sedang di hadis, redaksi “dzimmi” merupakan redaksi yang dipergunakan oleh Nabi sebatas pada interaksi dengan “the other” yang sudah ada akarnya semenjak masa Jahiliyyah. Dengan kata lain, “dzimmi” sebatas penyebutan “sifat—yang diadopsi dari interaksi Arab pra Islam dengan “the other”, bukan istilah yang lazim dipergunakan oleh sarjana fikih dalam kitab-kitab mereka.

Lalu, apakah “ahli dzimmah” bisa dianggap sebagai warga negara?

Menurut Fahmi Huwaidi, non muslim yang berdomisili di suatu negara yang mayoritas dihuni oleh umat Islam merupakan warga negara resmi, bukan berstatus kelompok minoritas yang “numpang” di daerah orang Islam. Teks sejarah memang berbicara demikian: pernyataan Nabi dan empat khalifah setelahnya. Redaksi “ahlu dzimmah” sendiri dalam Undang-Undang dinasti Utsmani tahun 1876 dihapus, sekaligus menegaskan persamaan hak di antara warga Negara. Jika kemudian ulama Syafi’iyyah memandang Ahlu Dzimmah harus membayar “jizyah” (upeti) sebagai “ganti” untuk tinggal di Negara Islam, utamanya adalah al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Shulthaniyyah, maka hal itu harus dipahami sebagai ijtihad yang disesuaikan dengan konteks. Nyatanya, upeti ini bukan hukum paten, sebab, ia bisa gugur dengan beberapa kriteria: masuk Islam, meninggal, ada alasan rasional, negara tidak bisa melindungi eksistensi “kafir dzimmi”, dan keikusertaan kafir dzimmi untuk melindungi negara Islam. Tesis ini dikukuhkan dengan pandangan Syibli al-Nu’mani dan Rasyid Ridla: upeti sudah ada semenjak pra Islam, dan berasal dari Persia. Al-Thabari dalam Tarikhnya juga berpandangan serupa.

Sedang untuk konteks sekarang, di mana sudah tidak ada yang disebut negara Islam—dalam pengertian mayoritas pakar fikih klasik, menurut Dr. Isma’il al-Faruqi, pakar perbandingan agama Palestina, Undang-Undang sebuah negaralah yang menjadi rujukan bagi umat Islam ataupun non Islam. Artinya, penyematan predikat kafir harbi pada non muslim apabila terjadi konflik antar agama kehilangan konteks, seakan umat Islam masih hidup berpuluh abad silam.

Lantas atas dasar apa kemudian orang Islam boleh untuk berperang dengan orang non muslim, bahkan membunuhnya? Pertanyaan ini menimbulkan perbedaan di kalangan sarjana fikih. Ulama Syafi'iyyah memandang, non muslim wajib diperangi sampai memeluk Islam. Akan tetapi mayoritas pakar fikih, termasuk pakar fikih Maliki, Hanafi dan Hanbali, non muslim bisa diperangi dan dibunuh jika mereka mulai memerangi orang Islam.

Dalam kasus penyematan kafir harbi oleh Munarman, siapa yang diperangi dan siapa yang memerangi? Jawabannya sudah bisa ditebak. FPI tidak mewakili Islam. Penolakan terhadap FPI juga tidak bisa dikategorikan penolakan terhadap umat Islam—apalagi dianggap memerangi umat Islam. Penolakan FPI disebabkan karena aksi-aksi anarkis mereka. Bukan yang lain. Meminjam redaksi Gus Shalah, FPI seharusnya introspeksi.
Selengkapnya...

Ulama Nusantara Dan Problem Pengakuan Dunia Islam

Oleh Ahmad Hadidul Fahmi

Tradisi penulisan naskah pada masa lalu di Nusantara pernah terjadi dalam waktu yang relatif panjang. Menurut Oman Fathurrahman, diantara sekian banyak naskah yang dihasilkan, naskah keagamaan merupakan naskah yang jumlahnya relatif banyak dibanding yang lain. Hal ini merupakan konsekuensi dari fenomena akulturasi masyarakat Indonesia dengan peradaban Islam—yang oleh Edi Setyawati—disebut sebagai salah satu dari pengalaman terbesar dalam sejarah akulturasi di Indonesia. Dalam konteks naskah keagamaan ini, proses transmisi keilmuan pada gilirannya membentuk dua kelompok bahasa naskah: pertama, naskah yang ditulis dalam bahasa Arab; kedua, naskah yang ditulis dalam bahasa daerah.

Naskah yang ditulis dalam bahasa Arab dengan kerangkanya yang universal, dalam arti yang lebih mengikuti arus utama intelektual di Arab Islam, lazimnya muncul dari sarjana Nusantara yang pernah bermukim di tanah Arab. Walaupun ada beberapa sarjana Nusantara yang pernah bermukim di Arab, pulang ke Tanah Air, kemudian ikut berdinamika dengan mengarang pelbagai karya yang merupakan respon atas konteks lokal. Tentu saja kita mendapat pengecualian dari kelaziman ini, sebagai misal dari sosok syaikh Ihsan Jampes. Tokoh yang tidak pernah menimba ilmu di Timur Tengah ini, namanya tetap menjulang tinggi sampai ke tanah Arab. Beberapa biografi ulama besar Nusantara, dimuat dalam buku-buku biografi penting: semisal Siyar wa al-Tarâjim Afâdlil Makkah karangan Umar Abd al-Jabbar, Nasyr al-Nawr wa al-Zahr karangan Mirdad Abu al-Kayr, dan al-A’lâm karangan al-Zirkili.

Universalitas Ulama Nusantara
Generasi Nusantara pernah menuai ‘masa keemasannya’ pada abad ke XVIIII, dengan terbentuknya komunitas yang diberi nama Jamâ’at al-Jawiyyin (komunitas Jawa) pada abad ke XVII. Komunitas ini sekaligus sebagai mediator dalam sosialisasi keilmuan Islam hingga sampai ke Nusantara. Secara sosio-politik, terdapat tiga kekuatan raksasa yang bertarung pada masa itu: kesultanan Turki Utsmani, Imprealisme Inggris dan Prancis, ekspansi dinasti Saud dengan kelompok Wahabinya—sampai akhirnya Mekah jatuh ke tangan Saudi pada tahun 1925. Kita bisa merujuknya pada buku Ahmad Zaini Dahlan, Mufti Mekah kala itu, dalam bukunya yang bertajuk Khulashat al-Kalâm fi Bayâni Ulâma Balad al-Haram. Tokoh ini sezaman dengan Syaikh Nawawi al-Bantani—tokoh penyambung keilmuan Islam hingga sampai ke Nusantara.

Semenjak abad XVII, menurut Martin Van Bruinessen, ada semacam ‘purifikasi’ disiplin keilmuan Islam yang terbatas pada fikih saja. Upaya tersebut berkonsekuensi, beberapa sarjana Nusantara dengan pelbagai karyanya, lebih dikenal sebagai seorang fakih dari predikat kebesaran lainnya, walaupun pada faktanya mereka menguasai pelbagai disiplin keilmuan Islam lainnya. Tak terkecuali sosok Nawawi al-Bantani. Di kalangan pesantren, karya-karya fikih beliau cukup populer. Akan tetapi dalam bidang tasawuf, teologi, bahkan tafsir, kalangan pesantren kurang mengapresiasi karangan tokoh besar ini. Padahal, jika dikalkulasi, karangan Imam Nawawi mencapai nominal seratus lebih.

Satu contoh, kita bisa melihat karangan Nawawi al-Bantani dalam teologi, semisal Nur al-Dzalam, penjabaran atas Nadzam Aqidat al-‘Awam karangan Ahmad al-Marzuqi, dan naskahnya ada di King Saud University, Arab Saudi. Kemudian Bahjat al-Wasail, merupakan penjabaran dari kompilasi karangan Zainuddin al-Habsyi dalam bidang Tawhid, Tasawuf, dan Fikih; Tijan al-Durari adalah syarh/penjabaran beliau terhadap Risalat al-Bayjuri fi al-Tawhid; Qathr al-Ghaits merupakan penjabaran beliau terhadap kumpulan permasalahan yang diajukan pada Abi Layts; Fathul Majid penjabaran beliau terhadap al-Dur al-Majîd karangan Ahmad Nahrawi; dan Mirqât Shu’ûd al-Tashdîq syarh Sullam al-Tawfîq. Nur al-Dzallam dan Mirqât al-Shu’ûd lebih argumentatif dan corak rasionalnya lebih kentara dari kitab-kitab teologi yang lain. Dan yang menarik adalah, beberapa kali Imam Nawawi mengutip Zamakhsyari, penafsir otoritatif Muktazilah dalam beberapa persoalan, seperti jumlah para Nabi dalam kitabnya Bahjat al-Wasâil. Syaikh Nawawi al-Bantani adalah tokoh pertama yang mengarang tafsir berbahasa Arab, bertajuk Marâh Labîd fî Tafsîr al-Qur’an al-Majîd dan dicetak pertama kali tahun 1305 H.

Di daerah Kairo, karya Imam Nawawi al-Bantani sendiri cukup banyak yang diapresiasi dengan terus dicetak ulang. Semisal, di Dar al-Bashair, kawasan Darb al-Atrak belakang Azhar, dan Mushtafa el-Babi el-Halaby, kita bisa mendapati kitab Nihâyat al-Zein dan Qût al-Habîb al-Gharîb yang merupakan catatan pinggir atas Fath al-Qarîb al-Mujîb karangan Abu Syuja’.

Dari Tremas, kita mengenal Syaikh Mahfud al-Turmusi. Biografi beliau, sebagaimana Nawawi al-Bantani, termaktub bersama pembesar Mekah dalam kitab Siyar wa al-Tarajim Afâdlil al-Makkah dan karangannya mencapai angka 14. Karangan beliau antara lain, Manhaj Dzawi al-Nadzar Syarh Alfiyyat al-Atsar, Nayl al-Ma’mûl Hasyiah Ghayât al-Wushûl ‘alâ Lubb al-Ushûl sebanyak 3 jilid, kemudian Is’âf al-Mathâli’ bi Syarh al-Badr al-Lâmi’ Nadzm al-Jam’ al-Jawâmi’ sebanyak 2 jilid, kemudian Takmilat al-Minhaj al-Qawîm, Ghaniyyat al-Thalabah bi Syarh al-Thayyibah fi al-Qirâ’ât al-‘Asyr, Kifâyat al-Mustafîd li Mâ ‘Alâ min al-Asânîd yang dikomentari oleh Syaikh Yasin Padang, dan lain sebagainya. Hasyiyah al-Turmusi sendiri dicetak beberapa waktu lalu oleh Dar al-Minhaj sebanyak 7 jilid, dan dijual di Pameran buku Intenasional Kairo awal tahun kemarin di Haul Saudi.

Seperti dituliskan biografinya oleh Syaikh Yasin padang dalam buku Kifâyat al-Mustafîd, murid Syaikh Mahfudz Tremas dari Nusantara cukup banyak. Antara lain, Kyai Raden Dahlan Semarang, Kyai Muhammad Dimyathi Tremas, Mbah Kholil Lasem, yang merupakan sekretaris pribadi Syaikh Mahfud Tremas, Mbah Dalhar, Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, Kyai Faqih Abdul Jabbar Maskumambang, Kakak beradik Mbah Baidlawi Lasem dan Abdul Muhaymin, keduanya putra Kyai Abdul Aziz Lasem, Kyai Nawawi Pasuruan, Kyai Abbas Buntet Cirebon, Abdul Muhith bin Ya’qub Sidareja.

Ulama Nusantara yang menulis karangan dalam kerangka universal lainnya adalah Syaikh Muhammad bin Isa Yasin al-Fadani. Syaikh Sa’id Mamduh pernah menulis biografi cukup detail mengenai Syaikh Yasin al-Fadani dalam buku yang bertajuk Sadd al-Urab, di mana syaikh Yasin juga menulis catatan pinggir dalam kitab itu. Saya berhutang budi terhadap Sa’id Mamduh dalam menghidangkan karangan Yasin al-Fadani, baik yang hilang ataupun yang tak sempat dicetak, entah itu yang berbentuk catatan pinggir, atau tentang sanad. Mengingat selama ini, kita kesulitan mendapatkan data mengenai karya lengkap tokoh besar ini. Karya syaikh Yasin Padang murni di antaranya, al-Fawâid al-Janniyyah, Tasynîf al-Sam'i fi Ilm al-Wadl'i, Manhal al-Ifâdah yang merupakan catatan pinggir atas kitab Thasy Kubri (Adab al-Bahts wa al-Munâdzarah), Husnu al-Shiyâghah Syarh Kitab Durûs al-Balaghah, Syarh Risâlah Sayyid Ahmad al-Dardiri fi Ilm al-Bayân, Risalah fi al-Mantiq 'an Tharîq al-Su'âl wa al-Jawâb, Risâlah fi Ilm al-Farâidl, Bulghat al-Musytâq fi Ilm al-Isytiqâq, Syarh Mandzûmat Manâzil al-Qamar.

Diantara karya yang dicetak dalam ilmu riwayat: Ithâf al-Ikhwân bi Ikhtishâr Mathmah al-Wujdân min Asânid al-Syaikh Umar Hamdan, Tanwîr al-Bashîrah bi Thuruq al-Isnâd al-Masyhûrah, al-Qawl al-Jamîl bi Ijâzat Samahat al-Sayyid Ibrahim bin Aqil, Asânid al-Faqîh Ahmad bin Hajar al-Haytami, al-Ujâlah fi al-Ahâdits al-Musalsalah, Asânid al-Kutub al-Hadîtsiyyah al-Sab'ah, Al-Aqd al-Farîd min Jawâhir al-Asânid, Ithâf al-Bararah bi Asânid al-Kutub al-Hadîtsiyyah al-Asyrah, Ithâf al-Mustafîd bi Gurar al-Asânid, Qurrat al-Ain fi Asânid A'lâm al-Haramain, Warâqat fi Majmûat al-Musalsalât wa al-Awâil wa al-Asânid al-Âliyah, al-Muqthataf min Ithâf al-Akâbir bi Marwiyyât Abdil Qadir al-Shiddiqi, Ikhtishâr Riyâdl Ahl al-Jannah min Atsâr Ahli Sunnah, Arbaûna Haditsân min Arbaîna Kitâban an Arbaîna Syaikhân, Al Arbaûna al-Buldâniyyah; Arbaûna Haditsân 'an Arbaîna Syaikhân min Arbaîna Baladan,Tidzkâr al-Mashafi bi Ijâzat al-Fakhr Abdillah bin Abd al-Karimal-Jarrafi, Faydl al-Mabdi, Nahj al-Salamah, al-Musalsalât al-Hadîtsiyyah, al-Raudl al-Faih bi Ijâzat Muhammad Riyadl al-Malih.

Komentar-komentar beliau: komentar atas Sadd al-Urab, Komentar atas Awâil al-Sunbuliyyah (al-Ujâlah al-Makkiyyah dan al-Nufkhah al-Miskiyyah), Waraqât ala al-Jawhar al-Tsamîn, Ithâf al-Bahits al-Sariy ala Tsabti Abdirrahman al-Kazbari, komentar atas Kifâyat al-Mustafîd karangan Mahfud Termas, Tahqîq al-Jâmi' al-Hâwi fi Marwiyyât Abdillah al-Syarqawi.

Adapun kitab-kitab beliau yang tdk sampai ke kita: Syarh Sunan Abi Dawud, Syarh Luma' karangan Abi Ishaq al-Syairazi (dua jilid) yang dinamai Bughyât al-Musytâq bi Syarh Luma' Abi Ishaq, catatan pinggirnya atas kitab Nahj al-Taysîr syarh Mandzûmat al-Zamzami fi Ushûl al-Tafsîr. Sedang yang masih berbentuk Makhtutath: Thabaqât al-Syâfi'iyyah, Kanz al-Tsiqqat fî Ulamâ al-Falak wa al-Mîqat, catatan pinggir atas kitab Lubb al-Ushûl karangan Zakariya al-Anshari (3 jilid), melanjutkan karangan Mahfud Termas ketika mensyarahi kitab al-Muqaddimah al-Hadramiyyah.

Nama lain yang bisa direpresentasikan sebagai ulama kaliber dunia adalah Syaikh Ihsan Jampes. Karangannya yang masih spektakuler sampai sekarang adalah Sirâj al-Thâlibin, penjelasan atas Minhâj al-‘Âbidin karya Imam al-Ghazali, terbit pertama kali pada 1932 setebal sekitar 800 halaman. Syekh Ihsan mendapatkan penghargaan dan legitimasi ilmiahnya di mata dunia Islam, ketika kitab tersebut diterbitkan oleh sebuah penerbit besar di Mesir, Musthafa al-Bab al-Halaby, sebuah penerbit yang berorientasi menerbitkan kitab-kitab kuning (turats), yang sampai saat ini masih eksis. Kemudian Manâhij al-Imdâd , sebuah penjelasan atas kitab Irsyâd al-‘Ibâd karya Syaikh Zainudin al-Malibari, terbit pertama kalinya pada tahun 1940 setebal 1088 halaman.

Universalisasi Ulama Nusantara
Jika mencermati perjalanan beberapa tokoh Nusantara, kita bisa mendapati salah satu faktor determinan kenapa karangan mereka bisa mendunia. Satu faktor dominan bagi penulis adalah, tokoh-tokoh di atas, dalam menganggit sebuah buku, mempergunakan bahasa Arab—yang sebenarnya syarat tak tertulis, agar karangan mereka bisa diakui oleh dunia. Hal ini dapat penulis lihat, dari kitab-kitab ulama Nusantara—yang mempergunakan bahasa daerah—yang tertumpuk kumuh di Musthafa el-Baby el-Halaby, sedang konsumennya hampir punah. Secara kuantitas, karangan mereka dapat dengan mudah diapresiasi oleh anak Negeri, akan tetapi secara kualitas, karangan mereka sama sekali tak dilirik oleh ulama dunia, selain beberapa kalangan untuk motif penelitian. Hal itu disebabkan, karya-karya dengan bahasa daerah tak mendapat tempat, karena tentu saja selain anak Negeri tak mempunyai kemampuan untuk membacanya. Dengan kata lain, bahasa Arab merupakan pintu masuk bagi pengakuan ulama dunia terhadap mereka.

Penulis mempunyai data kitab-kitab Nusantara yang pernah dicetak oleh Musthafa el-Baby el-Halaby, dan tak dicetak lagi karena tidak ada konsumen. Pada saat menelusuri kekumuhan el-Halaby bersama Pak Oman Fathurrahman dan Yumi Sugahara, ada sekitar 40 kitab yang tak ditemukan. Sedang yang berhasil kita temukan ada sekitar 81 judul buku. Beberapa buku yang mempergunakan bahasa Arab, dicetak ulang oleh Dar al-Bashair, dan disebarkan oleh Dar al-Salam. Akan tetapi, buku-buku yang dikarang mempergunakan bahasa Melayu, Sunda, atau Jawa, tetap menumpuk kumuh di Musthafa el-Baby el-Halaby.

Padahal, gagasan sarjana Nusantara jelas tak kalah dengan ulama dunia. Walaupun secara garis besar karya yang ditulis mempergunakan bahasa daerah merupakan respon atas konteks lokal, bukan berarti tak boleh diterjemahkan dan disosialisasikan untuk skala Internasional. Bagi penulis hal itu merupakan keharusan. Sebab, karangan-karangan ulama Arab secara garis besarpun merupakan respon untuk konteks lokal. Sebut saja Zaini Dahlan yang mengarang bantahan terhadap ulama Wahabi karena ketika itu doktrin-doktrin Wahabi teramat gencar disosialisasikan dalam konteks Mekah. Atau beberapa pakar hadis dari Maroko yang secara langsung berpolemik dengan pakar hadis Wahabi. Tetapi toh, karangan mereka tetap menjadi rujukan oleh dunia Islam secara umum walaupun muncul sebagai respon atas konteks lokal.

Untuk menyejajarkan ulama Nusantara dengan ulama dunia Islam, harus ada penerjemahan masif dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Arab. Empat contoh ulama Nusantara yang sudah penulis tuliskan di atas, merupakan sampel penting, bahwa kapabilitas ulama Nusantara, layak disejajarkan dengan ulama di dunia Islam secara umum. Seperti Mbah Sahal Mahfudz, dengan pelbagai karyanya dalam ushul fikih (mempergunakan bahasa Arab), berdasar informasi dari kolega penulis di Yaman, karyanya kerap dijadikan rujukan ulama di sana. Penerjemahan itu menjadi penting, jika kita menghargai kepakaran mereka dalam satu disiplin tertentu, kemudian mendialogkan gagasan mereka dengan gagasan ulama dunia. Bahkan Hassan Hanafi pernah mengutarakan satu hal penting pada saat penulis ‘sowan’ ke kediamannya. Pada saat kami mengabarkan bahwa Gus Dur telah meninggal, ia mengungkapkan, “saya tidak tahu Gus Dur sudah meninggal. Karena tidak ada yang memuat berita meninggalnya Gus Dur di koran-koran Timur Tengah. Kenapa kalian tidak menerjemahkan koran-koran di Indonesia itu, ke dalam bahasa Arab, atau minimal, tulislah info aktual mengenai negara kalian, agar kami yang di sini bisa terus mengetahui perkembangannya.” Tentu saja, kita, Mahasiswa Timur Tengah, yang harus memulainya.
Selengkapnya...

 

© free template by Blogspot tutorial