Tuesday 5 June 2012

Memandang Muktazilah Secara Objektif (Analisa Sejarah Efek Muktazilah Terhadap Kemajuan Syi'ah)

Oleh Ahmad Hadidul Fahmi, Lc

Muktazilah dianggap sebagai penggagas awal gerakan rasional dalam tubuh Islam. Bagi Ali Sami Nasyar, tesis ini merupakan asumsi keliru. Sejatinya Muktazilah merupakan perpanjangan dari dua sekte bertentangan: al-Qadariyyah dan al-Jahmiyyah.[1] Tesis ini juga diimani oleh Dr. Rasyid al-Khayyûn dalam bukunya Mu’tazilah Bashrah wa Baghdad. Muktazilah dan keduanya berbeda di beberapa permasalahan, akan tetapi juga berjalan satu jalur di sebagian permasalahan lainnya. Secara genealogis, berdasarkan pendapat yang diikuti oleh mayoritas, Muktazilah muncul pada abad ke II H, dari majlis al-Hasan al-Bashrî (w. 110 H) di Bashrah bersamaan dengan isu predestinasi kekuasaan dinasti Umawiyah di Syam.[2] Berbicara Muktazilah tentu saja akan melewati babakan sejarah yang cukup panjang.

Muktazilah kemudian lebih dikenal dengan sekte yang menyimpang karena bertentangan dengan doktrin mainstream. Faktornya beragam. Satu faktor determinan adalah, referensi primer Muktazilah banyak yang raib entah kemana.[3] Hal ini berakibat wacana yang bergulir tentang sekte rasionalis ini lebih didominasi oleh asumsi penentangnya: Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah, misalnya. Muktazilah pernah benar-benar berjaya di masa al-Makmûn (w. 218 H), khalifah Abbasiyyah, dan kemudian terpasung perlahan sampai tak berbekas di kekuasaan-kekuasaan paska al-Mutawakkil. Zuhdi Jarullah dalam bukunya Al-Mu’tazilah mengutarakan, kebangkitan dunia Arab sekarang bisa disamakan dengan kebangkitan Arab dahulu yang dipimpin oleh sarjana-sarjana Muktazilah. Oleh karena itu, proyek kebangkitan akan lebih sempurna apabila mampu mengadopsi spririt rasional Muktazilah di era sekarang ini.[4] Apalagi, jika benar Syi’ah dan Muktazilah kemudian melebur, serta kebanyakan Syi’ah sekarang juga bisa disebut Muktazilah, ini artinya, kemajuan Syi’ah—terutama dalam ilmu-ilmu rasional—tak bisa dilepaskan dari keterpengaruhan Muktazilah di dalamnya.[5]

Ibnu Murtadlâ dalam Thabâqat al-Mu’tazilah mengklasifikasi babakan periode sarjana Muktazilah dalam dua belas periode.[6] Periode pertama sampai keempat dari generasi shahabat, tabi’in dan generasi selepas tabi’in. Setelah periode keempat, hemat Abdurrahman Badawi, dimulai periode Muktazilah dalam pemakanaan terminologis.[7] Periode keenam merupakan masa keemasan Muktazilah, terdiri dari nama-nama Abû Hudzail, Ibrahim bin Sayyâr al-Nadzdzâm, Mu’ammar bin Ubbâd al-Sullami, dan lain sebagainya. Qadli Abd al-Jabbâr hanya mencukupkan periode Muktazilah sampai sepuluh, kemudian datang al-Hâkim al-Muktazilî yang menambah dua periode lagi, menjadi dua belas. Menurut Abdurrahman Badawi, relasi masing-masing periode lazimnya adalah relasi guru dan murid. [8]

Dimulai dari periode keenam, Muktazilah terpecah pada dua kubu besar, Muktazilah Bashrah dan Baghdad. Jika Muktazilah Bashrah dimulai dari Wâshil bin Athâ’ (w. 131 H) dan Amr bin Ubaid (w. 143 H), maka penggagas Muktazilah Baghdad adalah Bisyr bin al-Muktamir (w. 210 H) di akhir abad ke II H.[9] Akan tetapi secara umum, mereka bersepakat dalam gagasan lima pilar pokok Muktazilah (al-ushûl al-khamsah): tauhid (al-tawhîd), keadilan (al-‘adl), janji dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’îd), kedudukan di antara dua tempat (al-manzilah bayn al-manzilatain), perintah berbuat baik dan larangan berbuat tak baik (al-amr bi al-ma’rûf wa al-nahy ‘an al-munkar).[10] Jikapun kemudian para sarjana Muktazilah mempunyai perbedaan, letaknya hanya pada permasalahan-permasalahan partikular saja. Muktazilah terhitung sebagai kelompok Islam pertama yang menghargai perbedaan.[11]

Pembelaan Muktazilah Terhadap Islam

Tak bisa disangkal bahwa berdiam di antara dua tempat (al-manzilah bayn al-manzilatain) merupakan konsep pertama Muktazilah. Akan tetapi konsep ini pada awal mula masih sebatas “etika fikih” semata. Di saat yang sama, kekuasaan Islam meluas ke pelbagai negeri dengan kompleksitas masyarakatnya yang terdiri dari pemeluk agama non Islam. Di Suriah dan Mesir didominasi oleh Yahudi. Di Irak dan Persia doktrin Majusi. Sebab relasi umat Islam dengan agama-agama ini, akhirnya perlahan menimbulkan keterpengaruhan signifikan terhadap konsep teologi umat Islam.[12] Keterpengaruhan tersebut karena beberapa faktor: pertama, pemeluk agama-agama tersebut meninggalkan agama pertama mereka dan masuk Islam. Akan tetapi mereka tidak bisa lepas sepenuhnya dari teologi agama pertama. Eksesnya, mereka mencampur—secara tak sengaja—pelbagai konsep teologi non Islam terhadap doktrin teologi Islam: kedua, fenomena yang terjadi di Persia, bahwa mereka masuk Islam bukan lantaran iman, akan tetapi menghendaki kedudukan tertentu. Merekapun memasukkan konsep non Islam pada teologi Islam. [13]

Munculnya Muktazilah merupakan konsekuensi dari percampuran ini. Zuhdî Jârullah menyatakan, bahwa Yahudi mempunyai beberapa pengaruh secara tidak langsung dalam doktrin Muktazilah. Di antaranya adalah perihal ‘kemakhlukan al-Qur’an’ yang masuk melalui Ja’d bin Dirham.[14] Agama Kristen mempunyai pengaruh yang lebih besar, terutama dari tokohnya yang juga seorang teolog besar Kristen, Yahya al-Dimasyqi.[15] Keterpengaruhan itu dalam beberapa hal, di antaranya; pertama, keterpengaruhan dari Yahya al-Dimasyqi, bahwa Tuhan adalah sumber segala kebaikan. Kemudian pendapat bahwa Tuhan hanya menghendaki yang terbaik; kedua, Yahya menafikan sifat azali, yang kemudian berpengaruh terhadap Muktazilah dalam penafian sifat al-ma’âni—atribut Tuhan yang sebanding dalam ketidakberawalannya. Argumennya, sebab esensi Tuhan tidak mungkin bisa dicapai oleh nalar. Dan penyemataan atribut (al-shifât) Tuhan yang tak berawal merupakan penyusunan (al-tarkîb) terhadap hakekat Tuhan itu sendiri; ketiga, pentakwilan terhadap ayat-ayat yang potensial bermakna penyerupaan Tuhan dengan makhlukNya; keempat, kebebasan berkehendak hamba (hurriyat al-irâdah).[16]

Walaupun begitu, kitab-kitab Muktazilah pada awal mula diproyeksikan untuk meruntuhkan argumen destruktif Râfidlah, Jahmiyyah, Jabariyyah, Samniyyah, dan Majusiyyah. Menurut Zuhdî Jârullah, perdebatan intelektual Muktazilah yang dilakukan dengan non Muslim kebanyakan di Persia. Sarjana besar Muktazilah yang pertama kali melakukan perdebatan adalah Wâshil bin Atha’. Ia mengarang buku al-Alf Mas’alat fi al-Radd ala al-Mânûwiyyah. Washil bin Atha’ tak hanya melakukan “ekspansi intelektual” di kawasan sekitar, akan tetapi mengirim beberapa shahabatnya ke pelbagai tempat yang disinyalir banyak pemeluk Majusi, seperti Hafsh bin Sâlim yang dikirim ke Khurâsân. Di sana digelar perdebatan dengan Jahm bin Shafwan—dari Jahmiyyah. Wâshil juga mengirim Abdullâh bin al-Hârist ke Maghrib. Begitu pula al-Qâsim bin al-Sa’dî ke Yaman, dan Ayyub ke Jazirah. Serta mengutus al-Hasan bin Dzakwan ke Kufah. Washil juga mengutus Utsmân al-Thawîl, guru Abu Hudzail al-Allâf, ke Armenia.[17]

Hal serupa bisa dijumpai dari Amr bin Ubaid (w. 144 H), sahabat Washil bin Atha’, yang kerap mengajak berdebat orang-orang yang ia temui: seperti Jarîr bin al-Azdî al-Samnî di Bashrah dan mengalahkannya. Ia bersama dengan Wâshil bin Atha’ berdebat dengan Basysyâr bin Burd dan Shâlih bin Abdul Qadûs dan mengalahkan keduanya. Amr bin Ubaid juga berdebat di atas kapal dengan Majusi dan mengalahkan musuhnya.

Abû Hudzail al-Allâf (w. 260 H) merupakan intelektual Muktazilah paska Wâshil yang cukup intens berdebat dengan non Muslim.[18] Nalar debatnya muncul tatkala ia melihat seorang Yahudi memasuki Bashrah, dan mengalahkan semua teolog di sana.[19] Ia sangat produktif dalam menganggit kitab yang meruntuhkan argumen penentangnya. Ia mempunyai enampuluh kitab yang diproyeksikan untuk meruntuhkan argumen non Muslim. Abu Hudzail pernah berdebat dengan Shâlih bin Abd al-Qadûs dan Hisyâm bin al-Hakam dari Rafidlah di Mekah yang dihadiri oleh masyarakat umum dan mengalahkan keduanya. Ibrahim bin Sayyâr al-Nadzdzâm (w. 221 H) juga tak boleh terlewat diperbincangkan apabila membahas perdebatan dengan non Muslim. Ia pernah berdebat dengan Hisyâm bin al-Hakam dan para shahabatnya, serta masuk dalam permasalahan-permasalahan yang teramat pelik.

Apa yang dilakukan oleh empat generasi Muktazilah pertama juga kemudian dilakukan oleh generasi paska mereka. Bisyr bin al-Muktamir mengarang sebuah syair (urjûzah/syair dengan lagu rajaz) sebanyak empat puluh ribu bait yang berisi argumen bagi penentang Islam. Ja’far bin Harb berdebat dengan al-Sakkâk, salah seorang shahabat Hisyâm bin al-Hakam dalam permasalahan ‘alam berawal’. Al-Sakkâk juga pernah didebat oleh Abû Ja’far al-Iskâfi sampai ia tak punya daya lagi untuk menanggapi al-Iskâfi. Ali al-Aswâri berdebat dengan Alî bin al-Maytsam dari Râfidlah terkait permasalahan Imamah. Menurut al-Khayyâth, Ali bin Maytsam kerap didebat oleh sarjana Muktazilah di Bashrah, dan Muktazilah selalu mengalahkannya. Begitu pula Khalifah al-Makmûn, yang kerap mengislamkan banyak orang Majusi dan mengislamkan kembali orang murtad. Kita juga bisa melihat kisah serupa dari al-Jâhidz, sarjana besar Muktazilah, salah seorang murid al-Nadzdzâm, menganggit delapan kitabnya untuk meruntuhkan argumen non Muslim, dan enam kitab lainnya diproyeksikan untuk mengukuhkan konsep Muktazilah.

Setidaknya hal ini bisa menyiratkan dua hal penting: pertama, walaupun Muktazilah kerap mendebat Jabariyyah dan Râfidlah, akan tetapi mereka juga mendebat penentang Islam yang kerap mengkritik konsep teologi Islam. Sehingga pada masa kekuasaan Hârûn al-Rasyîd, khalifah yang awalnya tak menyukai perdebatan dalam agama, tak ada kelompok yang mampu mendebat orang Samniyyah terkecuali dari Muktazilah—dan pada saat itu orang-orang Muktazilah dimasukkan ke penjara oleh al-Rasyid. Al-Jâhidz, misalnya, walaupun mendebat Zaydiyyah, akan tetapi juga turut meruntuhkan argumen-argumen Yahudi dan Nashrani. Sebab ini, banyak orang yang masuk Islam di tangan pembesar Muktazilah. Sebut saja, orang yang masuk Islam di tangan Abu Hudzail al-Allâf, menurut Qadli Abd al-Jabbâr, mencapai nominal tiga ribu lebih, dan masyarakat Khurasan yang diislamkan di tangan Abû al-Qasim al-Bulkhi; kedua, Muktazilah sangat keras dengan kelompok yang berada di luar kelompoknya. [20]

Faktor penentang Islam inilah yang membuat Muktazilah mempelajari dengan serius filsafat Yunani. Pembelajaran filsafat membuat khalifah al-Mansur, shahabat Amr bin Ubaid, merekomendasikan penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab. Hal ini pula yang kemudian membuat al-Makmûn meneruskan perjuangan al-Mansur untuk menerjemahkan buku-buku Yunani. Intelektual Muktazilah yang pertama kali dengan serius mempelajari filsafat Yunani adalah Ibrahim bin Sayyâr al-Nadzdzâm. Ia mengupayakan untuk mengharmoniskan pendapat Muktazilah dan tesis filsuf Yunani. Muktazilah, melalui upaya ini bukan hendak melindungi Islam dari serangan destruktif dari luar semata, akan tetapi juga mensosialisasikan Islam sebagai agama yang rasional. Bersamaan dengan masuknya filsafat ke tubuh Muktazilah, Muktazilah mengalami beberapa pergeseran: pertama, mereka kemudian mendewakan filsafat Yunani, dan mensakralkan pandangan filsuf selayaknya sabda Nabi. Menurut De Lace O’leary, Muktazilah menganggap filsafat sebagai penyempurna agama; kedua, perlahan mereka meninggalkan permasalahan teologis, dan bergelut hebat dalam tesis-tesis filsafat. Yang dibahas selanjutnya adalah murni permasalahan filsafat, seperti “gerak dan diam”, “wujud dan tidak wujud”, “partikel yang tak bisa terbagi”, dan selainnya. Oleh sebab itu, madzhab Muktazilah di era akhir lebih banyak terpengaruh filsafat Yunani dari periode-periode sebelumnya.[21]

Perjalanan Madzhab Kalam Muktazilah

Muktazilah perlahan memasuki jenjang keemasan dari tahun 100-198 H, atau 98 tahun merupakan persiapan menuju masa kegemilangan Muktazilah. Mereka dekat dengan Yazîd bin al-Walîd bin Abd al-Mâlik (w. 126 H). Menurut Zuhdi Jârullah mengutip al-Mas’ûdi dalam Murûj al-Dzahab, Yazid adalah seorang Qadariyah[22] dan menyeru umat Islam untuk mengimani pandangan tentang al-Qadar. Begitu pula dekat dengan Marwan bin Muhammad (w. 132 H), akhir khalifah Umawiyah, yang disebut sebagai “al-Ja’di”, karena pernah berguru pada Ja’d bin Dirham perihal kemakhlukan al-Qur’an dan penafian takdir.

Muktazilah mulai terasa lapang paska kekuasaan Umawiyah, dan diganti dengan dinasti Abbasiyyah, terutama pada kekuasaan Abû Ja’far al-Mansûr (136-158 H). Hal itu disebabkan, Amr bin Ubaid, salah seorang shahabat Wâshil bin Atha’, merupakan sahabat akrab al-Mansur sebelum ia menjadi khalifah. Selepas wafatnya Amr bin Ubaid pada tahun 133 H, kelompok Muktazilah yang condong terhadap pandangan Muktazilah Baghdad bersama Ibrahim bin Abdullah bin al-Hasan pada tahun 145 H lebih memilih di bawah kekuasaan al-Mansur. Fenomena ini agak kontras pada kekuasaan al-Mahdî bin al-Mansur (158-169 H). Pasalnya, Mahdi sangat keras terhadai Zindiq dan penentang Islam. Ia memerintahkan, pada tahun 167 H, untuk mencari mereka ke penjuru negeri. Shâlih bin Abdul Qadûs akhirnya terbunuh tahun 167 H, begitu juga Basysyâr bin Burd di tahun 168 H. Oleh karena itu, suara Muktazilah kurang begitu terdengar, sebab khalifah secara langsung melakukan dakwah Islam dengan tegas.

Memasuki kekuasaan Hârûn al-Rasyîd (170-193 H), Muktazilah perlahan bangkit. Awalnya, Rasyîd tak begitu menyukai perdebatan kalam, akan tetapi kelompok realis (al-Samniyyah) sangat gencar menyerang konsep teologi Islam. Muktazilahpun diberi porsi lebih untuk tampil di depan. Kita melihat Yahya bin Hamzah al-Hadlrami (w. 183 H) menjadi hakim di Damasqus. Al-Rasyid juga kerap meminta nasehat dan fatwa pada Ibnu Sammâk Muhammad bin Shubaih al-Kûfî (w. 183 H). Sedang di masa anaknya, al-Amîn bin Hârûn (193-198 H), Muktazilah tak begitu terdengar lagi suaranya. Masa al-Amîn ini hampir mirip dengan masa al-Mahdî bin al-Mansûr.

Muktazilah menuai masa keemasannya dari tahun 198-232 H, terutama di masa al-Makmûn (w. 218 H). Al-Makmûn besar di tangan pembesar Muktazilah, seperti Yahyâ bin al-Mubârak dan Tsumâmah bin al-Asyras. Di samping itu, al-Makmûn merupakan khalifah yang semangat keilmuannya sangat tinggi. Ia belajar debat pada Abû Hudzail al-Allâf. Begitupula di masa saudara al-Makmûn, al-Mu’tashim (218-227 H), dan selepas al-Mu’tashim, khalifah al-Wâtsiq (227-232 H). Di tangan tiga khalifah ini, Muktazilah menuai masa keemasannya dan memaksakan pada khalayak agar mengimani ideologi kemakhlukan al-Qur’an. Kejayaan Muktazilah terus berada di puncak, sampai al-Mutawakkil naik tahta khalifah pada tahun 232 H.

Al-Mutawakkil kemudian melakukan tiga langkah untuk menghilangkan taring Muktazilah: pertama, pada tahun 232 H diberlakukan larangan untuk berdebat tentang al-Qur’an. Ia juga melarang masyarakat untuk berdebat dan berdiskusi; kedua, Mutawakkil menghadirkan para pakar fikih dan hadis, memfasilitasi mereka, serta memunculkannya di tengah masyarakat. Kehadiran pakar fikih dan hadis di tengah masyarakat bertujuan untuk menyampaikan hadis-hadis yang berlawanan dengan ideologi Muktazilah. Langkah kedua Mutawakkil dilaksanakan pada tahun 234 H; ketiga, secara frontal Mutawakkil meneriakkan kebenciannya terhadap Muktazilah. Ia memenjarakan tokoh-tokoh Muktazilah yang masih tersisa, serta memulyakan tokoh-tokoh Ahl al-Hadis yang sempat terdzalimi di masa ketiga khalifah sebelum Mutawakkil. Hal ini dilaksanakan tahun 237 H.[23]

Dari internal Muktazilah sendiri sudah terjadi perpecahan signifikan. Muktazilah Bashrah mengkafirkan Muktazilah Baghdad. Tak hanya itu, beberapa pembesar Muktazilah saling mengkafirkan satu sama lain.[24] Ketika Muktazilah benar-benar melemah, beberapa tokohnya menyatakan keluar, seperti Abi Isa al-Warrâq (w. 247 H) yang bergabung dengan Râfidlah, Abi al-Huseyn Ahmad bin al-Rawandi (w. 298 H) yang juga bergabung dengan Rafidlah. Al-Syahrasytani menyebut, bahwa Abu ‘Ali al-Jubbâi (w. 303 H) dan anaknya, Abu Hasyim al-Jubbâi (321 H) berbeda-beda dalam permasalahan parsial. Di saat kritis ini justru muncul Abu al-Hasan al-Asy’ari (w. 330 H) yang secara telak menghantam Muktazilah. Uniknya, Asy’ari dibesarkan oleh ayah tirinya, Abu Ali al-Jubbai, yang juga pembesar Muktazilah dan mengikuti madzhab ini selama empatpuluh tahun lamanya.

Muktazilah Di Bawah Buwaihiyyah; Awal Pergumulan Dengan Syi’ah

Munculnya dinasti Buwaihiyyah (334-437 H) menjadikan Muktazilah kemudian melebur dengan dinasti Buwahiyyah—atau Syiah. Muktazilah di masa ini tidak ‘se-garang’ Muktazilah di awal kemunculan dan keemasannya. Zuhdî Jârullah dalam buku al-Mu'tazilah menyajikan dengan apik perubahan-perubahan sekte ini setelah berada dalam genggaman Buwaihiyyah: awalnya mereka menghendaki kebebasan berpikir, kemudian memerangi kebebasan berpikir. Ini adalah perubahan Muktazilah yang kedua kali setelah tragedi inkuisisi (mihnah) sebelumnya. Dengan kata lain, Muktazilah yang masuk ke Buwaihiyyah adalah Muktazilah yang sudah kehilangan taringnya. Syi'ah diuntungkan oleh Muktazilah bahkan memanfaatkannya, sebab mereka yang kemudian getol meruntuhkan doktrin-doktrin Ahlu Sunnah. Dan Madzhab Muktazilah kemudian dengan cepat menyebar ke Irak, Khurasan dan Transoxania. Dukungan Buwaihiyyah terhadap Muktazilah setidaknya karena dua faktor: pertama, madzhab Syiah pada masa itu belum mempunyai madzhab teologi yang mapan. Oleh karena itu mereka dengan sengaja mengadopsi metode Muktazilah untuk menyokong konsep teologi Syi’ah.[25] Sampai dikatakan, Syi’ah secara teologis merupakan ‘pewaris tahta’ Muktazilah; kedua, dalam banyak pandangan, Syi’ah tak berbeda dengan Muktazilah. Hal itu terlihat dari justifikasi ideologi Syi’ah yang mengambil dari pembesar Muktazilah sendiri: al-Nadzdzâm. Al-Nadzdzâm berpandangan bahwa konsensus bukan argumen, serta argumentasi yang sebenarnya berada di perkataan Imam Maksum, keduanya juga sama dari sudut pandang, Muktazilah dan Syi'ah yang tak terlalu banyak berargumen dengan hadis.[26]

Penuturan al-Maqdisi (w. 391 H), sarjana yang banyak melancong ke pelbagai negeri, bahwa mayoritas Syiah di negara selain Arab bermadzhab Muktazilah. Di Rayy sendiri banyak orang awam yang mengikuti pendapat sarjana yang berpendapat 'kemakhlukan' al-Qur'an. Di bawah Buwaihiyyah, Muktazilah memang mendapatkan kejayaannya. Mereka menyebarkan madzhabnya tanpa penentang. Pun muncul sarjana-sarjana baru: Abu al-Huseyn al-Bashri (w. 436 H), Qadli Abdul Jabbar (w. 414 H) yang menjadi hakim agung di Rayy. Pada masa Fakhr al-Dawlah, Rayy mirip Baghdad di masa al-Makmûn dan Mu'tashim. Dan di Rayy ini, Muktazilah mendapatkan legitimasi politisnya. Menurut al-Dzahabi, Muktazilah dan Syi’ah berjalan harmonis semenjak tahun 370 H.

Walaupun Muktazilah di tangan dinasti Buwaihiyyah mengalami masa kejayaan—dalam politik, akan tetapi kemudian mengalami kemunduran bersamaan dengan melemahnya Buwaihiyyah. Hal itu terjadi pada masa al-Khalifah al-Qadir Billah (381-422 H) yang menganggit kitab-kitab teologis untuk menghantam ideologi Muktazilah, serta menghantam ideologi Syi'ah bersamaan (permasalahan keutamaan Shahabat). Kitab tersebut dibacakan setiap Jum’at di Masjid al-Mahdi di Baghdad. Bersamaan dengan melemahnya Buwahiyyah, shultan Mahmud al-Ghaznawi (361-421 H) menguasai Rayy. Dengan ideologi Mahmud al-Ghaznawi yang Sunni-Syafi'i, maka ia mengasingkan Muktazilah dari Rayy ke Khurasan dan membakar kitab-kitabnya. Di Rayy pada saat itu terdapat perpustakaan besar yang berisi buku-buku filsafat dan kalam. Semua buku bercorak rasional di Rayy dibakar tanpa sisa.

Selepas itu, Muktazilah bisa melepaskan diri dari Buwaihiyyah—atau lepas dari Syiah—dan berpindah ke Khawarizmi, dan penyebaran Madzhabnya di tangan Abi Mudlar Mahmud bin Jarir al-Asbhihani (w. 507 H). Dari sini terlahir ulama-ulama besar Muktazilah, di antaranya adalah Mahmud Zamakhsyari (w. 538 H). Ia mempunyai murid Abu al-Fath Nashir bin Abd al-Sayyid al-Mathrazi (w. 610 H). Kepemimpinan terakhir Muktazilah di Khawarizmi ada di tangan Abdul Jabbar bin Abdillah (w. 805 H).

Muktazilah dengan hegemoni Sunni di jagad Islam, tidak musnah sama sekali. Akan tetapi yang tersisa adalah orang Syiah yang 'termu'tazilahkan'. Sebab orang-orang Syiah di Yaman, sebagaimana dikatakan al-Maqrizi—seperti dikutip Zuhdi Jarullah—sepakat dengan konsep-konsep Muktazilah: terkecuali masalah Imamah. Di antara sekte Syiah yang terdekat dengan konsep Muktazilah adalah Syiah Zaidiyyah—sekte ini menurut kelompok Sunni adalah sekte yang paling moderat di antara yang lain. Menurut Syaikh Qâsimî, sekarang yang dinamakan Syiah adalah Muktazilah; Syi'ah Irak, India, Persia, serta Zaidiyyah di Yaman. Bahkan Syi’ah di Irak merupakan Muktazilah secara mutlak.[27] Sedang di India, ada Muktazilah baru yang dibentuk oleh Sayyid Ahmad Khan.[28]

Akan tetapi, menurut penulis, yang perlu menjadi catatan, Muktazilah dari masa ke masa mengalami degradasi pemikiran. Dr. Zuhdi Jarullah menyebutkan, Muktazilah sudah kehilangan nalar debatnya dan 'mandul' pada masa Abu Ali al-Jubbai. Sarjana besar terakhir—menurut Zuhdi Jarullah—yang dimiliki Muktazilah adalah Abu Hasyim al-Jubbai. Selepas ini, tidak terdengar lagi nama-nama besar sarjana Muktazilah seperti al-Nadzdzâm, Bisyr, Muammar, dll. Dengan kata lain, Muktazilah di era akhir tidak mempunyai inovasi atau capaian baru. Mereka banyak menjiplak metode berpikir sarjana klasiknya.

Penutup

Kajian sejarah di atas merupakan pintu masuk bagi percampuran Muktazilah-Syi’ah. Sebab persinggungan keduanya tak akan mungkin terlihat tanpa masuk melalui kajian sejarah. Jika sepakat bahwa Syi’ah yang ada sekarang secara ideologi merupakan Muktazilah[29], maka kemajuan Syi’ah, terutama dalam disiplin filsafat[30] tak bisa dilepaskan sepenuhnya dari Muktazilah.[31] Murtadla Mutahhari mengatakan, buku-buku filsafat Barat pernah diterjemahkan secara massif ke Persia. Salah satunya adalah buku al-Maqâl fî al-Manhaj karya Descartes.[32]Tak hanya itu, kemajuan Iran dalam teknologi yang sekarang menjadi satu-satunya negara yang mampu menandingi Barat, merupakan satu bukti spirit rasionalitas Muktazilah mampu berperan besar di sana.


Referensi:

[1] Beberapa peneliti menyibak relasi antara Jahm bin Shafwan dan kedua tokoh Muktazilah: Wâshil bin Atha’ serta Amr bin Ubaid. Jahm bin Shafwan meninggal tahun 128 H, sedang Wâshil tahun 131 dan Amr bin Ubaid tahun 144 H. Ini artinya, ketiganya adalah tokoh semasa. Ali Sami Nasyar mempunyai tesis, keduanya (Muktazilah dan Jahmiyyah) bertemu di permasalahan pentakwilan rasional (al-ta’wîl al-‘aqlî), serta rasio merupakan sumber pengetahuan, bahkan Muktazilah berpandangan penafian atribut Tuhan dan al-Qur’an merupakan makhluk—dan kita tahu, bahwa Ja’d bin Dirham dan Jahm bin Shafwan merupakan orang pertama yang berbicara hal tersebut. Akan tetapi, Muktazilah dan Jahmiyyah berbeda pula di permasalahan prinsipil: al-Qadar. Oleh sebab itu, terkadang Muktazilah disebut dengan Qadariyah, terkadang pula disebut Jahmiyah. Lihat Alî Sâmi al-Nasyâr, Nasy’at al-Fikr al-Falsafî fi al-Islâm, Kairo: Dar al-Ma’ârif, cet. VIIII, tt, hlm. 313, 330, 359, dan 373.

[2] Muktazilah muncul sebab perdebatan antara Wâshil bin Atha’ dan gurunya, al-Hasan al-Bashri terkait permasalahan pelaku dosa besar: apakah di neraka ataukah di surga? Wâshil berpandangan, pelaku dosa besar tidak berada di surga, tidak pula di neraka. Akan tetapi ia berada di antara dua tempat: antara surga dan neraka, atau yang kerap disebut al-Manzilah bayn al-Manzilatain. Sebenarnya cerita penyematan Muktazilah beragam. Alî Sâmi al-Nasyâr dengan baik sekali menghindangkan pertentangan cerita ini dalam dua bentuk: baik yang memberikan predikat (subjek) ataupun yang diberi predikat (objek). Berdasarkan versi al-Syahrasytânî (al-Milal wa al-Nihal) dan al-Baghdâdî (al-Farq baina al-Firaq), objeknya adalah Wâshil bin Atha. Sedang al-Maqrîzî dan al-Sam’âni berpandangan, objeknya adalah Amr bin Ubaid. Versi lainnya, yang memberi predikat Muktazilah bukan al-Hasan al-Bashrî, akan tetapi Qatâdah bin Di’âmah al-Sadûsi (w. 118 H). Sedang Ibnu Murtadla dalam al-Maniyyah wa al-Amal, menyebut cerita dengan pelbagai versinya itu. Lihat Alî Sâmi al-Nasyâr, Nasy’at al-Fikr al-Falsafî fî al-Islâm, Op.Cit.,hlm. 375

[3] Banyak Manuskrip-Manuskrip Muktazilah yang sampai sekarang masih tersimpan rapi di perpustakaan-perpustakaan Syi’ah di Yaman, atau India. Penulis, di tulisan ini akan memerinci percampuran Muktazilah dan Syi’ah di beberapa Negara.

[4] Dr. Zuhdi Jârullah, al-Mu’tazilah, Beirut: al-Ahliyyah li al-Nasyr wa al-Tawzî’, 1974, pada muqaddimat al-kitâb

[5] Relasi Muktazilah dan Syi’ah akan penulis jabarkan di beberapa baris berikutnya

[6] Lihat Ahmad bin Yahyâ bin al-Murtadlâ, Thabâqat al-Mu’tazilah, Lebanon: Beirut, cet. II, 1987

[7] ‘Pemaknaan terminologis’ yang dimaksud adalah paska Muktazilah mengkodifikasi ajaran mereka.

[8] Periode pertama adalah al-Khulafâ’ al-Rasyîdûn, Abdullah bin al-Abbâs, Abdullah bin Mas’ûd, dll; periode kedua, al-Hasan, al-Husein, Muhammad bin al-Hanafiyyah, Sa’îd bin al-Musayyab, Thâwûs al-Yamânî, Abû al-Aswâd al-Du’âlî, dll; periode ketiga, al-Hasan bin al-Hasan, Abdullah bin al-Hasan, Abû Hâsyim Abdullah bin Muhammad bin al-Hanafiyyah, dll; periode keempat, Ghaylan bin Muslim al-Dimasyqî, Wâshil bin Athâ’, Amr bin Ubaid, dll; periode kelima, Utsmân bin Khâlid al-Thawîl, Hafsh bin Sâlim, al-Qâsim bin Sa’dî, Khâlid bin Shafwân, Hafsh bin al-Qawwâm, dll; periode keenam, Abû Hudzail Muhammad bin al-Hudzail al-Ubadi, Abû Ishaq al-Nadzdzâm, Bisyr bin al-Mu’tamir, dll; periode ketujuh, Amr al-Jâhidz, Isâ bin Shubaih, Muwais bin Imrân, Muhammad bin Syubaib, dll; periode kedelapan, Abû Alî al-Jubbâi, Ahmad bin al-Husein al-Baghdâdî, Abû al-Husein al-Khayyâth, dll; periode kesembilan, Abû Hâsyim al-Jubbâi, Muhammad bin Umar al-Shumayri, Abû Umar, al-Bâhilî, dll; periode kesepuluh, Abû Alî bin Khallâd, Abû Ishaq bin Iyyâsh, Abû al-Qâsim al-Sayrafi, Abû al-Husein al-Azraq, dll; periode kesebelas, Abdul Jabbâr al-Hamadânî, Ismâil bin Hammâd al-Jawharî, Abû Ahmad bin Abi Allân, dll; periode kedua belas, Abû Rasyîd Sa’îd bin Muhammad al-Naysabûri, al-Syarîf al-Murtadlâ, Ibnu Sa’îd al-Labbâd, dll. Lihat selengkapnya pada Abdurrahman Badawi, Madzâhib al-Islâmiyyîn; al-Mu'tazilah wa al-Asyâ'irah, Beirut: Dar al-Ilm al-Malâyiin, 1997, hlm. 40-43

[9] Dr. Rasyid al-Khayyun, Mu’tazilah al-Bashrah wa Baghdâd, London: Dar al-Hikmah, cet. I, 1997, hlm. 7

[10] Penulis tidak akan membahas secara detil kelima pilar pokok Muktazilah. Buku yang secara komprehensif membahas ini adalah Syarh al-Ushûl al-Khamsah, karangan al-Qâdlî Abd al-Jabbâr al-Hamadânî. Kairo: Maktabah Wahbah, peny. Ahmad bin al-Husein Ibn Abî Hâsyim, cet. III, 1996

[11] Dr. Rasyid al-Khayyûn, Mu’tazilah al-Bashrah wa Baghdad, Op.Cit.,hlm. 302

[12] Ali Sami al-Nasysyar mengatakan, Yahudi di awal mula merupakan kelompok yang irrasional. Ia juga menuliskan menuliskan beberapa lembar sisi keterpengaruhan Yahudi dari Islam: khususnya dari kaum tekstualis (al-Qurra’ûn). Bahkan al-Mas’udi menyebut al-Qurra’ûn ini dengan predikat Muktazilah: Ahl al-Adl wa al-Tawhid. Bagi al-Nasysyar, awal isu awal mula yang dimunculkan oleh Yahudi adalah terkait Imamah. Kemudian para sarjana Islam ramai untuk mengorek konsep teologi serta metafisik Islam yang sebenarnya melalui kedua sumber primer Islam. Lihat Ali Sâmi al-Nasysyâr, hlm. 79-89

[13] Dr. Zuhdi Jârullah, al-Mu’tazilah, Op.Cit., hlm. 33

[14] Tidak jelas bagaimana persambungan mata rantai Ja’d ke Yahudi. Akan tetapi Sâmi Nasyâr menyebut, Ja’d bin Dirham mengutip pendapatnya dari Bannân bin Sam’ân, Bannân dari Thâlût, anak saudara perempuan Labîd, anak saudara perempuan A’sham. Labîd ini mengambil perkataan kemakhlukan al-Qur’an dari Yahudi di Yaman. Lihat Alî Sâmi Nasyâr, hlm. 330

[15] Yahyâ al-Dimasyqî mempunyai kitab bertajuk al-Îman al-Urtûduksî, yang menggambarkan kedudukan laki-laki ini dalam ilmu kalam. Ia, dalam kitabnya ini berupaya untuk mengukuhkan konsep ketuhanan Kristen dengan dalil-dalil rasional yang diadopsi dari logika Aristotelian. Kitabnya ini tak hanya berpengaruh untuk teritorial Kristen saja, akan tetapi juga dipelajari dan diterjemahkan oleh Thomas Aquinas. Zuhdî Jârullah, hlm. 24

[16] Ibid.,hlm 27-30

[17] Abdurrahman Badawi, Madzâhib al-Islâmiyyîn, Op.Cit.,hlm. 81

[18] Abid al-Jabiri–dalam pengantar al-Kasyf 'an Manâhij al-Adillah–-mengatakan bahwa kodifikasi madzhab dalam sekte Muktazilah di awal terbentuknya masih belum terlaksana. Sehingga teori-teori mereka masih tercecer. Setelah muncul Abû Hudzail al-'Allâf (w. 235H), kodifikasi madzhab mulai dilaksanakan. Artinya teori-teori ilmu kalam sekte ini baru disusun dengan sistematis pada masa Abû Hudzail al-'Allâf. Namun sistematisasi oleh Abû Hudzail tidak menafikan teori-teori individu yang sudah dibukukan, seperti Wâshil bin Atha' yang menganggit kitâb al-Tawhîd, kitâb al-Futyâ, atau 'Amr bin Ubaid yang menjawab sekte Qadariah dalam al-Rad 'ala al-Qadariyah. Abû Hudzail mengambil teori Muktazilah dari Wâshil bin Athâ'. Buku-buku filsafat teramat akrab dengan Abu Hudzail, disebabkan, ia hidup pada masa penerjemahan ('ashr al-tarjamah). Darinya dikenal istilah al-Jawhar al-Fard (atomisme), yang kelak menjadi pondasi kuat bagi teolog di masa setelahnya. Al-jawhar al-Fard, oleh para teolog, diimplementasikan pada masalah pengetahuan Allah terhadap partikular kehidupan ('ilm Allah bi al-juziyyât). Disusul dengan keberawalan Alam. Ketika Alam berawal, maka membutuhkan pada pencipta, yang dalam hal ini adalah Allah. Jadi peran al-Jawhar al-Fard dalam ilmu kalam sangat signifikan karena mencakup pembahasan inti ilmu kalam, yaitu pembuktian adanya Tuhan. Abu al-Walîd Ibnu Rusyd, al-Kasyf 'an Manâhij al-Adillah, Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-Arabiyyah, cet.I, pengantar M. Abid al-Jabiri, hlm. 20

[19] Zuhdî Jârullah, hlm. 123

[20] Ibid.,hlm. 42-46

[21] Ibid.,hm. 50

[22] Jika menurut Sami Nasyar, Muktazilah dan al-Qadariyyah tidak bisa disamakan, Zuhdi Jarullah berpandangan bahwa Qadariyah, paska munculnya Muktazilah melebur ke mereka. Oleh karena itu banyak sejarawan klasik yang menyebut Muktazilah dengan Qadariyah. Zuhdî Jârullah, hlm. 158

[23] Ibid., hlm. 183-184

[24] Sebelum melemahnya Muktazilah, fenomena pengkafiran ini sebenarnya sudah terjadi. Al-Baghdadi menyajikan beberapa fenomena pengkafiran ini; Abû Hudzail al-Allâf mengkafirkan muridnya al-Nadzdzam dalam bukunya al-Radd ala al-Nadzdzam, begitu pula Jakfar bin Harb, al-Jubba’i, al-Iskafi. Jakfar bin Harb mengkafirkan gurunya, Abû Hudzail al-Allâf dalam kitab Tawbîkh Abi Hudzail sebab pendapatnya kerap menyerupai ateis. Al-Ka’bi mengkafirkan al-Khayyath dan beberapa pembesar Muktazilah lainnya karena tidak berargumen dengan khabar ahad. Muktazilah juga mengkafirkan Abd al-Salam al-Jubbâi, al-Iskafi, Bisyr bin al-Muktamir. Perlahan pengikut Muktazilah melemah, bahkan beberapa tokoh Muktazilah menyatakan keluar dari madzhab besar ini. Awal mula tokoh yang menyatakan pemisahan dirinya adalah Basysyar bin Burd (w. 168 H).

[25] Misalnya, Ibnu Babaweh yang mengadopsi secara mutlak pencarian ratio-legis dalam kitabnya ‘al-Ilal’. Lihat Zuhdî Jârullah, hlm. 205

[26] Ibid., hlm. 206

[27] Jamâl al-Dîn al-Qâsimî al-Dimasyqî, Târîkh al-Jahmiyyah wa al-Mu’tazilah, Beirut: Muassasah al-Risâlah, cet. I, 1979, hlm 56

[28] Bagi penulis sendiri, pendakuan terhadap Muktazilah tanpa mengambil lima pilar (al-ushûl al-khamsah) yang disepakati oleh sarjana Muktazilah klasik, bukanlah Muktazilah dalam pemaknaannya secara terminologis. Seperti yang dilakukan oleh Sayyid Ahmad Khan di India, atau Muhammad Abduh di Mesir, bahkan yang baru-baru ini muncul, Jaringan Islam Liberal di Indonesia. Mereka lebih bisa dikatakan ‘neo-Muktazilah’, sebab mengambil spirit rasionalitas Muktazilah untuk diaplikasikan dalam konteks mereka.

[29] Dr. Rasyid al-Khayyun mengatakan bahwa Syi’ah Zaidiyyah juga mengimani pandangan penafian takdir dan atribut Tuhan. Akan tetapi Zaidiyyah memasukkan “al-manzilah baina al-manzilatain” dalam sub Imamah, sedang Muktazilah memasukannya dalam terma “al-adl”. Menurut Rasyid al-Khayyun, hal itu disebabkan karena hubungan antara Wâshil bin Athâ’ dan Zaid bin Ali yang sudah terjalin semenjak dulu. Kemudian Muktazilah Baghdad dan Syi’ah Zaidiyyah sama-sama mengimani kepemimpinan “al-mafdlûl” walaupun ada “al-fâdlil”: legalitas kepemimpinan Abu Bakr al-Shiddîq walaupun ada Ali bin Abî Thâlib. Lihat Dr. Rasyîd al-Khayyûn, Mu’tazilah al-Bashrah wa Baghdad, Op.Cit.,hlm. 11

[30] Untuk membaca capaian kaum Syi’ah terhadap filsafat di abad 11 H, bisa dibaca pada pengantar Murtadla Mutahhari di buku Sayyid Husein Thabathaba’i dalam Usus al-Falsafah. Murtadla Mutahhari mengatakan, pada saat Mulla Shadra mensistematisasikan capaian filosofisnya, di Eropa muncul gerakan pencerahan yang teramat besar. Usus al-Falsafah wa al-Madzhab al-Wâqi’î, Beirut: Dar al-Ma’ârif li al-Mathbû’ât, Juz. I, tt, pengantar Murtadla Mutahhari, hlm. 19

[31] Muhammad Abdul Hâdî Abû Raydah mengarang sebuah buku yang bertajuk Ibrâhîm bin Sayyâr al-Nadzdzâm Wa Ara’uhu al-Kalâmiyyah al-Falsafiyyah. Di sana disebutkan, salah satu tokoh Zaydiyyah yang paling kentara terpengaruh oleh al-Nadzdzâm adalah al-Qâsim bin Ibrahîm al-Hasanî (w. 246 H). Ia mengarang buku tentang keadilan dan ketuhanan, penafian takdir dan tasybîh. Lihat Ibrâhim bin Sayyâr al-Nadzdzâm wa Arâ’uh al-Kalâmiyyah al-Falsafiyyah, Kairo: al-Hay’ah al-Mishriyyah al-Âmah, pengantar. Fayshal ‘Aun, 2010, hlm. 185

[32] Sayyid Husein Thabathabâ’i, Usus al-Falsafah wa al-Madzhab al-Wâqi’î, Op. Cit.,hlm. 21
Selengkapnya...

Sunday 3 June 2012

Rajam Sebagai Takzir

Ketika para pakar fikih berbicara tentang praktek hudud (red. hukuman tertentu yang sudah ditetapkan oleh Allah untuk bentuk pelanggaran tertentu), maka pembaca seolah dihadapkan pada praktek hukuman yang sudah benar-benar final dan tak bisa “diotak-atik”—jika meminjam redaksi pakar fikih klasik, hudud termasuk “hukuman yang sudah diatur” (al-uqûbah al-muqaddarah). Hudud dibedakan dari takzir sebab takzir hukumannya kondisional (melalui kebijakan hakim), dan dibedakan dari kisas sebab kisas hak adami. Di antara hukuman yang dikategorikan had adalah hukuman bagi pelaku zina yang sudah pernah menikah (muhshan). Dalam buku-buku fikih klasik masyhur dikatakan, hukuman bagi pelaku pelanggaran tersebut adalah dirajam sampai meninggal.

Sebuah informasi menarik saya temukan bukan dari buku Jamal al-Banna, Hasan Hanafi, atau seabreg pemikir kiri lainnya. Akan tetapi dari fatwa syekh Musthafa Zarqa, pakar fikih dari Syiria, dalam bukunya yang bertajuk Fatawa Musthafa Zarqa (2004), sebuah kompilasi fatwa yang dikumpulkan oleh muridnya, Ahmad al-Makki. Dalam buku tersebut dituliskan, Abu Zahrah, pakar fikih kenamaan dari Mesir, menyimpan “unek-unek” selama dua puluh tahun mengenai hukuman rajam bagi pelaku zina muhshan. Sampai kemudian “unek-unek” nya itu disampaikan secara oral dalam Muktamar yang dilaksanakan di Libia. Menurut pengarang buku Târikh al-Madzâhib al-Islâmiyyah ini, hadis-hadis yang menyiratkan bahwa Nabi memerintahkan pelaku zina muhshan untuk dirajam, perlu diragukan validitasnya. Titik pijak tesis tersebut, rajam merupakan hukuman terberat yang tidak tergambarkan diperintahkan oleh seorang Nabi yang mempunyai jiwa lembut.

Argumen yang diberikan oleh Abu Zahrah cukup rasional: hukuman pelaku zina dalam al-Qur’an hanya ada satu. Hukuman tersebut adalah cambuk seratus kali, serta tidak ada pembedaan antara perawan maupun yang sudah pernah menikah. Ayat yang menopang argumen Abu Zahrah adalah, “bagi mereka (budak), hukumannya separuh hukuman perempuan yang sudah menikah” (al-Nisa: 25). Jika benar hukuman bagi pelaku zina muhshan adalah dirajam sampai mati, hal itu tidak logis. Sebab, menurut Abu Zahrah, kematian tidak bisa ditakar dengan kalimat “setengah” (uqûbat al-mawt rajman la taqbal al-tansîf). Abu Zahrah memandang bahwa rajam adalah hukuman kaum Yahudi, dan terhapus (mansûkh) dengan datangnya Islam. Menurut Yusuf Qardlawi, Abu Zahrah tidak pernah menuliskan pendapat “kontroversial”nya ini.

Bagi Musthafa Zarqa, pendapat Abu Zahrah itu cukup apatis sebab mengabaikan teks-teks hadis yang berbicara rajam. Akan tetapi bukan berarti rajam harus tetap dilaksanakan tanpa ada celah sama sekali di sana. Ia memberikan beberapa celah yang tak kalah menarik: perintah Nabi untuk merajam pelaku zina muhshan bisa dikategorikan sanksi yang kebijakannya ditentukan oleh hakim. Dalam diskursus fikih, sanksi tersebut diistilahkan dengan ta’zîr. Konsekuensi apabila kebijakan di tangan hakim, si hakim punya wewenang untuk merajam atau hanya dicukupkan dengan cambuk saja. Atau penggabungan cambuk sebagai had, dan hukuman lain (selain rajam) sebagai takzir. Dengan kata lain, Musthafa Zarqa memandang bahwa cambuk (al-jald) merupakan hukuman sebenarnya dari pelaku zina muhshan (al-hadd), sedang rajam adalah takzir yang hukumannya bisa berubah-ubah. Lalu apa landasan fikih Musthafa Zarqa?

Hadis Nabi sebagai “teks primer” awal pensyariatan rajam adalah riwayat Ubadah bin Shamit, “perawan yang berzina dengan perjaka dicambuk seratus kali dan diasingkan satu tahun, sedang duda dan janda yang berzina dicambuk seratus kali serta dirajam dengan batu”. Dalam hadis ini, Nabi menambahkan hukuman cambuk yang tertulis di dalam al-Qur’an dengan pengasingan satu tahun bagi perawan, serta hukuman cambuk dengan rajam bagi janda. Oleh sebab itu, dari riwayat yang disampaikan oleh Ali dikatakan, “pelaku zina muhshan dicambuk dengan (melalui argumen) al-Qur’an, dan dirajam dengan (melalui argumen) sunah”. Dari sini muncul pembedaan di kalangan ulama Islam. Bahwa di teks hadis tersebut terdapat dua praktek hukuman berbeda untuk masing-masing kasus: hukuman cambuk dan hukuman diasingkan untuk kasus perawan yang berzina, serta hukuman cambuk dan hukuman rajam untuk kasus janda yang berzina.

Nah, melalui riwayat Ubadah bin Shamit di atas, ulama-ulama dari Madzhab Hanafi menganggap “diasingkan” (al-taghrib) untuk hukuman pelaku zina perawan bukan bagian dari “hadd”, akan tetapi hanya sanksi yang kebijakannya ditentukan oleh hakim. Jika demikian, menurut Musthafa Zarqa, rajam juga seharusnya dimasukkan dalam kriteria takzir, sebab keduanya mempunyai redaksi yang sangat mirip dan berada dalam satu teks hadis. Walaupun pendapat ini tidak dituliskan oleh para pemuka Madzhab Hanafi, tapi, menurut Zarqa, itulah konsekuensi dari tesis mereka yang mengatakan bahwa hukuman sebenarnya bagi pelaku zina adalah cambuk—pengasingan hanya takzir. Kategori rajam yang dimasukkan dalam kriteria takzir pernah disuarakan oleh Mahmoud Syalthout, kemudian diamini oleh Yusuf al-Qaradlawi. Namun, baik Mahmoud Syalthout dan Yusuf al-Qaradlawi juga tidak pernah berani menulis pendapatnya ini.

Baik Mahmoud Syalthout, Musthafa Zarqa serta Yusuf al-Qaradlawi adalah tokoh-tokoh yang sangat diperhitungkan dalam dunia Islam. Mahmoud Syalthout merupakan mantan Syaikh al-Azhar yang dikenal inklusif. Ia yang menyuarakan untuk mengikis perbedaan di kalangan umat Islam melalui pengenalan ajaran-ajaran madzhab di luar Sunni di dalam al-Azhar. Mahmoud Syalthout juga pernah memfatwakan kebolehan memanfaatkan madzhab Syi’ah Itsna ‘Asyariyyah dalam beragama. Sedangkan Musthafa Zarqa, beliau adalah putra Ahmad Zarqa, sekaligus cucu Muhammad Zarqa. Tiga generasi ini—oleh Ali Thantawi—disebut dengan silsilat al-dzahab, sebab kakek, ayah dan cucu ini sama-sama terlahir menjadi pakar fikih yang sangat diperhitungkan kemudian.
Selengkapnya...

 

© free template by Blogspot tutorial