Thursday 14 February 2013

Jamal al-Banna: Potret Sederhana Pemikir Profilik Mesir

Oleh Ahmad Hadidul Fahmi

“Setiap saya mengunjungi Jamal al-Banna, tokoh yang beberapa hari kemarin baru saja meninggal, saya selalu mendapati kepalanya terkubur di antara tumpukan kertas dan koran, sedang badannya tertutupi oleh megah perpustakaannya. Ia duduk di perpustakaan, menulis yang terlintas dan membayangi pikiran dengan tekun, gigih dan semangat yang tak tertandingi. Jamal bagaikan pemuda yang sedang mencari jati diri dan mencari tempat pijakan kaki di keramaian,” ujar Ammar Ali Hasan, pakar ilmu politik Mesir, di awal tulisannya. Bahkan di hari ia meninggal, satu tulisannya terbit di harian “almasryalyoum” bertajuk Islâm al-Insân. Jamal masih senantiasa menulis semenjak tahun 1945 sampai hari terakhirnya. Saudara kandung perintis organisasi Ikhwanul Muslimin ini menghembuskan nafas terakhir Rabu kemarin, di umurnya yang menginjak 93 tahun.

Jamal al-Banna merepresentasikan pemikir Islam rasional, humanis, egaliter, feminis, anti-otoritarian, liberal dan sekular sekaligus. Semangat yang patut ditiru dari Jamal adalah kecenderungannya yang kuat ke arah pembaharuan, penolakan terhadap taklidisme, dan menyerukan semua persoalan di luar wilayah keimanan bukanlah perkara sakral yang harus diimani. Ia berusaha mengharmoniskan Islam dengan realitasnya yang memprihatinkan sekarang ini, mampu sejalan dengan modernitas. Jamal sangat kritis dengan teks-teks klasik yang dianggap tidak lagi relevan dengan realitas dunia Islam sekarang. Dengan penguasaan yang cukup baik terhadap fikih—disiplin ilmu yang paling populer di kalangan umat Islam, disusul “ijtihad-ijtihad” lenturnya, Jamal paling sering menuai hujatan dan umpatan dari sarjana Islam semasa dibanding pemikir kiri lainnya.

Jamal termasuk gerbong pertama tipologi reformis (al-Tayyâr al-Ishlâhî) dalam sejarah kebangkitan Arab-Islam. Pemikirannya, dalam pandangan penulis, terbilang kontroversial dan sporadis apabila disejajarkan dengan pemikir Timur Tengah lainnya. Sebab ia banyak membahas masalah parsial dengan konklusi “mengagetkan”. Namun begitu, Jamal menyebut mega proyeknya mengarah pada revivalisasi konsep keislaman (al-ihyâ al-islâmî). Arah pemikirannya ini dimulai ketika ia menulis Dhimuqratiyyah Jadîdah (1946): penegasannya ada dalam fasal berjudul “fahm jadîd li al-dîn” yang memuat inti orientasi pemikiran Jamal selanjutnya. Orientasi antroposentris—jika boleh penulis sebut demikian: melalui purifikasi ajaran Islam “sekarang” untuk menghadirkan kembali Islam dengan wajah 15 abad silam, di mana ajaran intinya masih berorientasi pada “pengentasan manusia” dari “kegelapan”.

Sisi “kegelapan”, bagi Jamal, adalah penghormatan berlebih terhadap pendahulu dengan mensakralkan ajarannya. Dan realitas serupa terulang kembali pada umat Islam sekarang dengan perwajahan yang berbeda. Maka Jamal membahasakan, “Islam sejatinya menghendaki manusia, akan tetapi pakar fikih justru menghendaki Islam” (al-islâm arâda al-insân, wa lakinna al-fuqahâ’ arâdû al-islâm). Ajakan revivalisasi (da’wah al-ihyâ’) memuat beberapa tema besar: pertama, al-Qur’an, manusia dan waktu; kedua, membuang masa silam yang bertentangan dengan substansi Islam; ketiga, respon terhadap beberapa cabang permasalahan aktual, seperti doktrin permanen dalam Islam (tsawâbit), kebebasan, perempuan, seni, sosialisme, nasionalisme, dll. Arah pemikiran Jamal selama 50 tahun ini, baru ia tuliskan secara sistematis setelah menerbitkan bagian ketiga dari buku Nahwa Fiqh Jadîd, di penghujung usianya yang ke 70. Untuk memuluskan perjalanan “dakwah”, ia menuliskan “strategi dakwah” dalam buku bertajuk Istrâtîjiyyât al-Da’wah al-Islâmiyyah fî al-Qarn 21.

Karya Jamal yang mencapai nominal 150, apabila dirangkum, masuk dalam tiga tema besar: disiplin keilmuan Islam, pergerakan dan politik. Untuk disiplin keislaman, ia menuliskan Nahwa Fiqh Jadîd, al-Îmân bil-Lah, al-Awdah ilâ al-Qur’ân, al-Jam’ bayn al-Shalatayn, Rûh al-Islâm, dan Bayan Ramadhân, dll; untuk pergerakan, ia menuliskan al-Da’wah al-Islâmiyyah al-Muâshirah mâ Lahâ wa mâ ‘âlayhâ, mâ ba’d al-Ikhwân al-Muslimîn, Khithabât Hasan al-Banâ al-Shâb ilâ Abîh, dll; sedang politik, ia menulis Mas’uliyyat Fasyal al-Dawlah al-Islâmiyyah, al-‘Amal al-Islâmi li Irsâ’i Siyâdat al-Sya’b, al-Ushûl al-Fikriyyah lî al-Dawlah al-Islâmiyyah, dll.

Tiga jilid Nahwa Fiqh Jadîd dirampungkan Jamal pada tahun 1995, 1997 dan 1999. Karya ini dianggap puncak akhir karir pemikirannya, karena memuat hampir seluruh pemikiran Jamal yang berserakan di pelbagai karya. Dalam magnum opusnya, Nahwa Fiqh Jadîd (1995), Jamal hendak melakukan purifikasi pemahaman al-Qur’an yang baginya telah “terkotori” dengan munculnya varian penafsiran. Dengan kata lain, Jamal menghendaki al-Qur’an dikembalikan pada masa awal terbentuknya. Apabila penulis cermati, gagasan Jamal mirip dengan pemikiran pakar perbandingan agama Maroko, Musthafa Bouhindi dalam al-Ta’tsîr al-Mâsihî fî Tafsîr al-Qur’an. Kritiknya terhadap “hegemoni tafsir” atas al-Qur’an, Jamal tuliskan dalam al-Tafsîr bayn al-Qudâma wa al-Muhditsîn. Dalam buku terakhir ini, tipologi penafsir klasik, menurut Jamal, terpetakan dalam tiga corak; pertama, orientasi bahasa (al-lughawiyyun); kedua, orientasi sektarian (al-madzhabiyyûn); ketiga, orientasi menafsirkan al-Qur’an mempergunakan riwayat (al-ikhbâriyyûn). Jika yang pertama dan kedua menundukkan al-Qur’an pada persoalan pelik bahasa dan ideologi penafsir, maka yang ketiga menafsirkan al-Qur’an dengan riwayat transmisional yang kualifikasinya tidak begitu jelas.

Selanjutnya, dalam Nahwa Fiqh Jadîd, Jamal melakukan rekonstruksi terhadap hadis. Baginya, al-Qur’an harus diposisikan lebih tinggi dari hadis. Sebab fakta yang berkembang di lingkup pakar hadis, hadis mendapat porsi perhatian lebih banyak dari al-Qur’an. Ia memunculkan problematika yang muncul dari metode verifikasi dan falsivikasi hadis: penentuan kriteria sebuah hadis, menurut Jamal, sarat akan subjektivitas dan sangat tendensius. Oleh sebab itu, Jamal menghendaki penentuan kriteria hadis lebih mampu mengakomodir peran nalar. Sedang rekonstruksi ushul fikih, Jamal memulainya dengan penyusunan kembali sumber hukum: pertama, akal; kedua, nilai-nilai universal permanen al-Qur’an; ketiga, sunah; keempat, adat. Sehingga secara sistematis, “Fikih Baru” dalam pandangan Jamal adalah pemurnian kembali al-Qur’an dari hemegoni penafsiran, pemaknaan hadis harus lebih dominan pada nalar (tidak bertentangan dengan akal), kemudian superioritas nilai fundamental-universal al-Qur’an jika ada pertentangan antar keduanya: semisal hadis tentang perempuan, hadis terkait mukjizat Nabi, hadis yang menyematkan keistimewaan individual, kota, para wali dan khalifah, hadis yang tak selaras dengan kebebasan berkeyakin, dll.

Pemikiran Jamal—secara parsial---seringkali diasumsikan berseberangan dengan konsensus dan ketetapan permanen Islam (al-tsawâbit). Di antara pemikiran Jamal yang dianggap kontroversial: perempuan lebih berhak menjadi pemimpin dari laki-laki jika lebih memahami al-Qur’an, hijab bukan kewajiban, dan talak---sebagaimana nikah—harus berdasar kerelaan dua belah pihak (suami dan istri), merokok pada bulan ramadhan tidak membatalkan puasa, kebolehan mengumpulkan shalat secara terus menerus, dan lain sebagainya.

Kebebasan, revolusi al-Qur’an dan pengakuan terhadap pluralitas masyarakat adalah puncak dari proyek besar Jamal al-Banna. Ia menjelaskan, kebebasan tersebut mencakup kebebasan berpikir, berkeyakinan, mengemukakan pendapat, menulis, dan kebebasan bagi perempuan. Menurutnya, hal ini selaras dengan misi awal Islam. Sedang “revolusi al-Qur’an” merupakan penghadiran kembali makna-maknanya yang revolusioner yang mendamba perubahan sebagaimana digagas oleh Nabi. Al-Qur’an pertama kali merealisasikan misi revolusionernya, menurut Jamal, ketika berhasil mengubah masyarakat “primitif” pra Islam menjadi masyarakat beriman dan beradab. Akan tetapi, karena penafsiran literal-parsial terhadap al-Qur’an yang tidak menyeluruh, maka sisi revolusioner dari al-Qur’an perlahan hilang: al-Qur’an menjadi kitab yang dimaknai, diketahui (ma’lûmah), bukan kitab petunjuk (hidâyah). Terakhir, menurut Jamal, pengakuan terhadap pluralitas didasarkan pada prinsip fundamental Islam: pengakuan Islam terhadap keragaman. Keragaman (ikhtilâf) bukanlah pertentangan (khilâf). Jika yang pertama meniscayakan toleransi terhadap pluralitas, maka yang kedua meniscayakan integralitas. Selamat tinggal Jamal al-Banna, karya dan pemikiranmu akan jadi ladang amalmu!
Selengkapnya...

 

© free template by Blogspot tutorial