tag:blogger.com,1999:blog-38037973300413169142024-02-06T19:24:19.483-08:00Madrasat al-Mutakalliminal-Kasyf 'an Manahij al-AdillahAhmad Hadidul Fahmihttp://www.blogger.com/profile/01841733022516134434noreply@blogger.comBlogger18125tag:blogger.com,1999:blog-3803797330041316914.post-49109176031609534132013-02-14T10:45:00.004-08:002013-02-14T10:47:58.791-08:00Jamal al-Banna: Potret Sederhana Pemikir Profilik MesirOleh Ahmad Hadidul Fahmi<br />
<br />
<div align="justify">“Setiap saya mengunjungi Jamal al-Banna, tokoh yang beberapa hari kemarin baru saja meninggal, saya selalu mendapati kepalanya terkubur di antara tumpukan kertas dan koran, sedang badannya tertutupi oleh megah perpustakaannya. Ia duduk di perpustakaan, menulis yang terlintas dan membayangi pikiran dengan tekun, gigih dan semangat yang tak tertandingi. Jamal bagaikan pemuda yang sedang mencari jati diri dan mencari tempat pijakan kaki di keramaian,” ujar Ammar Ali Hasan, pakar ilmu politik Mesir, di awal tulisannya. Bahkan di hari ia meninggal, satu tulisannya terbit di harian “almasryalyoum” bertajuk Islâm al-Insân. Jamal masih senantiasa menulis semenjak tahun 1945 sampai hari terakhirnya. Saudara kandung perintis organisasi Ikhwanul Muslimin ini menghembuskan nafas terakhir Rabu kemarin, di umurnya yang menginjak 93 tahun.<span class="fullpost"><br />
<br />
Jamal al-Banna merepresentasikan pemikir Islam rasional, humanis, egaliter, feminis, anti-otoritarian, liberal dan sekular sekaligus. Semangat yang patut ditiru dari Jamal adalah kecenderungannya yang kuat ke arah pembaharuan, penolakan terhadap taklidisme, dan menyerukan semua persoalan di luar wilayah keimanan bukanlah perkara sakral yang harus diimani. Ia berusaha mengharmoniskan Islam dengan realitasnya yang memprihatinkan sekarang ini, mampu sejalan dengan modernitas. Jamal sangat kritis dengan teks-teks klasik yang dianggap tidak lagi relevan dengan realitas dunia Islam sekarang. Dengan penguasaan yang cukup baik terhadap fikih—disiplin ilmu yang paling populer di kalangan umat Islam, disusul “ijtihad-ijtihad” lenturnya, Jamal paling sering menuai hujatan dan umpatan dari sarjana Islam semasa dibanding pemikir kiri lainnya.<br />
<br />
Jamal termasuk gerbong pertama tipologi reformis (al-Tayyâr al-Ishlâhî) dalam sejarah kebangkitan Arab-Islam. Pemikirannya, dalam pandangan penulis, terbilang kontroversial dan sporadis apabila disejajarkan dengan pemikir Timur Tengah lainnya. Sebab ia banyak membahas masalah parsial dengan konklusi “mengagetkan”. Namun begitu, Jamal menyebut mega proyeknya mengarah pada revivalisasi konsep keislaman (al-ihyâ al-islâmî). Arah pemikirannya ini dimulai ketika ia menulis Dhimuqratiyyah Jadîdah (1946): penegasannya ada dalam fasal berjudul “fahm jadîd li al-dîn” yang memuat inti orientasi pemikiran Jamal selanjutnya. Orientasi antroposentris—jika boleh penulis sebut demikian: melalui purifikasi ajaran Islam “sekarang” untuk menghadirkan kembali Islam dengan wajah 15 abad silam, di mana ajaran intinya masih berorientasi pada “pengentasan manusia” dari “kegelapan”.<br />
<br />
Sisi “kegelapan”, bagi Jamal, adalah penghormatan berlebih terhadap pendahulu dengan mensakralkan ajarannya. Dan realitas serupa terulang kembali pada umat Islam sekarang dengan perwajahan yang berbeda. Maka Jamal membahasakan, “Islam sejatinya menghendaki manusia, akan tetapi pakar fikih justru menghendaki Islam” (al-islâm arâda al-insân, wa lakinna al-fuqahâ’ arâdû al-islâm). Ajakan revivalisasi (da’wah al-ihyâ’) memuat beberapa tema besar: pertama, al-Qur’an, manusia dan waktu; kedua, membuang masa silam yang bertentangan dengan substansi Islam; ketiga, respon terhadap beberapa cabang permasalahan aktual, seperti doktrin permanen dalam Islam (tsawâbit), kebebasan, perempuan, seni, sosialisme, nasionalisme, dll. Arah pemikiran Jamal selama 50 tahun ini, baru ia tuliskan secara sistematis setelah menerbitkan bagian ketiga dari buku Nahwa Fiqh Jadîd, di penghujung usianya yang ke 70. Untuk memuluskan perjalanan “dakwah”, ia menuliskan “strategi dakwah” dalam buku bertajuk Istrâtîjiyyât al-Da’wah al-Islâmiyyah fî al-Qarn 21.<br />
<br />
Karya Jamal yang mencapai nominal 150, apabila dirangkum, masuk dalam tiga tema besar: disiplin keilmuan Islam, pergerakan dan politik. Untuk disiplin keislaman, ia menuliskan Nahwa Fiqh Jadîd, al-Îmân bil-Lah, al-Awdah ilâ al-Qur’ân, al-Jam’ bayn al-Shalatayn, Rûh al-Islâm, dan Bayan Ramadhân, dll; untuk pergerakan, ia menuliskan al-Da’wah al-Islâmiyyah al-Muâshirah mâ Lahâ wa mâ ‘âlayhâ, mâ ba’d al-Ikhwân al-Muslimîn, Khithabât Hasan al-Banâ al-Shâb ilâ Abîh, dll; sedang politik, ia menulis Mas’uliyyat Fasyal al-Dawlah al-Islâmiyyah, al-‘Amal al-Islâmi li Irsâ’i Siyâdat al-Sya’b, al-Ushûl al-Fikriyyah lî al-Dawlah al-Islâmiyyah, dll.<br />
<br />
Tiga jilid Nahwa Fiqh Jadîd dirampungkan Jamal pada tahun 1995, 1997 dan 1999. Karya ini dianggap puncak akhir karir pemikirannya, karena memuat hampir seluruh pemikiran Jamal yang berserakan di pelbagai karya. Dalam magnum opusnya, Nahwa Fiqh Jadîd (1995), Jamal hendak melakukan purifikasi pemahaman al-Qur’an yang baginya telah “terkotori” dengan munculnya varian penafsiran. Dengan kata lain, Jamal menghendaki al-Qur’an dikembalikan pada masa awal terbentuknya. Apabila penulis cermati, gagasan Jamal mirip dengan pemikiran pakar perbandingan agama Maroko, Musthafa Bouhindi dalam al-Ta’tsîr al-Mâsihî fî Tafsîr al-Qur’an. Kritiknya terhadap “hegemoni tafsir” atas al-Qur’an, Jamal tuliskan dalam al-Tafsîr bayn al-Qudâma wa al-Muhditsîn. Dalam buku terakhir ini, tipologi penafsir klasik, menurut Jamal, terpetakan dalam tiga corak; pertama, orientasi bahasa (al-lughawiyyun); kedua, orientasi sektarian (al-madzhabiyyûn); ketiga, orientasi menafsirkan al-Qur’an mempergunakan riwayat (al-ikhbâriyyûn). Jika yang pertama dan kedua menundukkan al-Qur’an pada persoalan pelik bahasa dan ideologi penafsir, maka yang ketiga menafsirkan al-Qur’an dengan riwayat transmisional yang kualifikasinya tidak begitu jelas.<br />
<br />
Selanjutnya, dalam Nahwa Fiqh Jadîd, Jamal melakukan rekonstruksi terhadap hadis. Baginya, al-Qur’an harus diposisikan lebih tinggi dari hadis. Sebab fakta yang berkembang di lingkup pakar hadis, hadis mendapat porsi perhatian lebih banyak dari al-Qur’an. Ia memunculkan problematika yang muncul dari metode verifikasi dan falsivikasi hadis: penentuan kriteria sebuah hadis, menurut Jamal, sarat akan subjektivitas dan sangat tendensius. Oleh sebab itu, Jamal menghendaki penentuan kriteria hadis lebih mampu mengakomodir peran nalar. Sedang rekonstruksi ushul fikih, Jamal memulainya dengan penyusunan kembali sumber hukum: pertama, akal; kedua, nilai-nilai universal permanen al-Qur’an; ketiga, sunah; keempat, adat. Sehingga secara sistematis, “Fikih Baru” dalam pandangan Jamal adalah pemurnian kembali al-Qur’an dari hemegoni penafsiran, pemaknaan hadis harus lebih dominan pada nalar (tidak bertentangan dengan akal), kemudian superioritas nilai fundamental-universal al-Qur’an jika ada pertentangan antar keduanya: semisal hadis tentang perempuan, hadis terkait mukjizat Nabi, hadis yang menyematkan keistimewaan individual, kota, para wali dan khalifah, hadis yang tak selaras dengan kebebasan berkeyakin, dll.<br />
<br />
Pemikiran Jamal—secara parsial---seringkali diasumsikan berseberangan dengan konsensus dan ketetapan permanen Islam (al-tsawâbit). Di antara pemikiran Jamal yang dianggap kontroversial: perempuan lebih berhak menjadi pemimpin dari laki-laki jika lebih memahami al-Qur’an, hijab bukan kewajiban, dan talak---sebagaimana nikah—harus berdasar kerelaan dua belah pihak (suami dan istri), merokok pada bulan ramadhan tidak membatalkan puasa, kebolehan mengumpulkan shalat secara terus menerus, dan lain sebagainya.<br />
<br />
Kebebasan, revolusi al-Qur’an dan pengakuan terhadap pluralitas masyarakat adalah puncak dari proyek besar Jamal al-Banna. Ia menjelaskan, kebebasan tersebut mencakup kebebasan berpikir, berkeyakinan, mengemukakan pendapat, menulis, dan kebebasan bagi perempuan. Menurutnya, hal ini selaras dengan misi awal Islam. Sedang “revolusi al-Qur’an” merupakan penghadiran kembali makna-maknanya yang revolusioner yang mendamba perubahan sebagaimana digagas oleh Nabi. Al-Qur’an pertama kali merealisasikan misi revolusionernya, menurut Jamal, ketika berhasil mengubah masyarakat “primitif” pra Islam menjadi masyarakat beriman dan beradab. Akan tetapi, karena penafsiran literal-parsial terhadap al-Qur’an yang tidak menyeluruh, maka sisi revolusioner dari al-Qur’an perlahan hilang: al-Qur’an menjadi kitab yang dimaknai, diketahui (ma’lûmah), bukan kitab petunjuk (hidâyah). Terakhir, menurut Jamal, pengakuan terhadap pluralitas didasarkan pada prinsip fundamental Islam: pengakuan Islam terhadap keragaman. Keragaman (ikhtilâf) bukanlah pertentangan (khilâf). Jika yang pertama meniscayakan toleransi terhadap pluralitas, maka yang kedua meniscayakan integralitas. Selamat tinggal Jamal al-Banna, karya dan pemikiranmu akan jadi ladang amalmu!</span></div>Ahmad Hadidul Fahmihttp://www.blogger.com/profile/01841733022516134434noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3803797330041316914.post-52820438473585324112012-10-19T07:31:00.000-07:002012-10-19T07:41:31.879-07:00Reinterpretasi Nahi MunkarOleh Ahmad Hadidul Fahmi<br />
<div align="justify">Partai Jihad di Mesir meminta presiden terpilih, Mohammad Mursi untuk mengambil sikap tegas serta mengawasi kelompok yang mengatasnamakan dirinya lembaga “al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar”. Pasalnya, kelompok ini telah meresahkan ketentraman masyarakat melalui tindakan-tindakan anarkis dengan mengatasnamakan agama. Insiden yang baru-baru saja terjadi adalah terbunuhnya satu orang di Suez dan kekacauan di Thanta, Mesir (tahrîrnews.com). Dalam konteks Indonesia, kasus paling dekat yang sempat marak menghiasi media adalah sweeping diskusi Irshad Manji oleh Front Pembela Islam (FPI) di Salihara, dan Majlis Mujahidin Indonesia (MMI) di Lkis, Jogja (detik.com), ancaman pembubaran konser Lady Gaga, dan penyerangan ibadah non Muslim di Makassar (tribunnews.com).<span class="fullpost"><br />
<br />
Doktrin al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar merupakan doktrin luhur, sebab umat Islam mampu berpartisipasi dalam memformulasi tatanan masyarakat yang lebih baik. Akan tetapi pada praktiknya, konsep ini mengalami pendangkalan makna dan aplikasi. Itulah kenapa, di tengah aksi anarkis yang kerap dilakukan oleh lembaga Amar Makruf Nahi Munkar di Mesir, al-Azhar menerbitkan sub al-Amr bi al-Ma’rûf wa al-Nahy an al-Munkar—yang merupakan bagian dari buku Ihyâ Ulûm al-Dîn karangan Abu Hamid al-Ghazali—dengan judul, “fikih melawan despotisme” (fî fiqh muqâwamat al-istibdâd). Buku ini diberi pra-kata oleh Dr. Mohammad Imarah, pimpinan redaksi Majalah al-Azhar.<br />
<br />
Nahi Munkar Dalam Perspektif Sarjana Klasik: Tinjuan Kritis<br />
<br />
Abu Hamid al-Ghazali dalam Ihyâ Ulûm al-Dîn memberikan syarat tertentu bagi Polisi Syariat (al-muhtasib). Di antaranya adalah, tertaklif, Islam, dan mempunyai kekuatan. Walaupun al-Ghazali menuliskan keharusan mendapat izin dari pemimpin sebagai syarat, al-Ghazali menolak profesi muhtasib harus mendapat mandat dari pemimpin atau imam: bagi al-Ghazali, muhtasib merupakan profesi yang seharusnya dilakukan oleh setiap orang Islam, sebab anjuran tersebut terlahir langsung dari rahim teks-teks Islam. Walaupun begitu, menurut al-Ghazali, nahi munkar mempunyai fase-fase untuk bisa sampai pada tahapan tindakan tegas (al-‘unf): pertama, memberikan pemahaman (al-ta’rîf); kedua, menasehati dengan bahasa lemah lembut (bi al-kalâm al-lathîf); ketiga, menghujat (al-sabb wa al-ta’nîf) dengan menghardik, “hai, bodoh!”; keempat, menghindarkan hal-hal yang dilarang dari jangkauan pelaku maksiat secara paksa; kelima, memukul sebagai ancaman. Yang terakhir ini, bagi al-Ghazali, harus mendapat izin dari imam (Abu Hamid al-Ghazali, 2004).<br />
<br />
Apa yang dituliskan al-Ghazali sedikit berbeda dengan salah satu tokoh besar madzhab Hanbali, Abu Bakr bin al-Khallal (w. 311 H), dalam buku al-Amr bi al-Ma’rûf wa al-Nahy an al-Munkar; min Masâil al-Imâm al-Mubajjal Abi Abdillah Ahmad bin Hanbal, sebuah buku yang memuat pandangan-pandangan Ahmad bin Hanbal mengenai terma nahi munkar. Dalam buku tersebut terdapat sub judul “perintah untuk berlemah-lembut dalam nahi munkar” (ma yu’mar bih min al-rifq fi al-inkâr). Al-Khallal menyebut tiga sifat yang harus dimiliki oleh seorang muhtasib: pertama, lemah lembut dalam memerintah dan lemah lembut dalam melarang; kedua, adil dalam memerintah dan adil dalam melarang; ketiga, mengetahui apa yang ia perintahkan dan mengetahui apa yang ia larang. Bahkan, menurut Ahmad bin Hanbal, apabila pelaku munkar telah diperingatkan dan mengindahkan, tidak ada kewajiban untuk melaporkan ke pemimpin (Abu Bakr al-Khallal, 2003)<br />
<br />
Tugas muhtasib yang diasumsikan harus bagi semua umat Islam dikritik dengan baik oleh Ibnu Taymiah yang menganggap nahi munkar harus mendapat izin dari pemimpin. Stabilitas negara adalah pertimbangan penting dari pemikiran Ibnu Taymiah. Bagi Ibnu Taymiah, penyampaian lemah-lembut (al-rifq) merupakan piranti yang paling tepat untuk melaksanakan praktik amar makruf nahi munkar. Pasalnya, Ibnu Taymiah masih mengimani terma “amar makruf dengan cara makruf, dan nahi munkar bukan dengan cara munkar: li yakun amruka bi al-ma’rûf bi al-ma’rûf, wa nahyuk ‘an munkar ghairu munkar. Maka Ibnu Taymiah memandang—melalui praktik amar makruf nahi munkar—efek positif yang ditimbulkan harus lebih besar porsinya dari efek negatif (mafsadah). Sebab Islam meniscyakan maslahat. Oleh sebab itu, menurut Ibnu Taymiah, jika dalam praktik nahi munkar ternyata malah banyak memunculkan efek negatif, maka sejatinya ia “bukan termasuk perintah” dalam Islam (Ibnu Taymiah, 2005).<br />
<br />
Murid Ibnu Taymiah, Ibnu Qayyim al-Jawziah, mengamini apa yang telah dinyatakan oleh gurunya: bahwa mencegah kemunkaran merupakan kewajiban seorang Muslim. Akan tetapi jika upaya pencegahan meniscayakan kemunkaran lain, maka nahi munkar tak lagi menjadi praktik yang legitimate dalam Islam. Bagi Ibnu Qayyim, salah satu kekeliruan umat Islam adalah, tak sabar melihat praktik munkar kemudian “menghardiknya”, hingga memunculkan kemunkaran lain yang lebih besar. Efek yang ditimbulkan aksi nahi munkar, dalam pandangan Ibnu Qayyim, ada empat; pertama, kemunkaran hilang dan memunculkan maslahat; kedua, mampu meminimalisir praktik munkar walaupun tak hilang secara total; ketiga, memunculkan kemunkaran lain yang sepadan; keempat, memunculkan kemunkaran lain yang lebih besar. Jika yang pertama dan kedua dianjurkan, ketiga digantungkan pada kondisi tertentu (ijtihâd), maka yang keempat dilarang sama sekali (muharramah). (Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, 2004)<br />
<br />
Berpijak dari pandangan al-Ghazali, bisa ditarik konklusi bahwa siapapun bisa untuk memposisikan diri sebagai “Polisi Syariat” dalam ruangnya yang tidak terbatas. Bahkan jika harus menghadapi resiko terbunuh sekalipun di hadapan pemimpin: al-Ghazali mencontohkan dengan memberi nasehat pada pemimpin dzalim, kemudian dibunuh, maka syahidnya adalah syahid yang ter-mulia. Tentu saja pandangan al-Ghazali ini sangat berbahaya jika diaplikasikan dalam konteks masyarakat plural, di mana sudah tidak lagi mempraktikkan Islam sebagai landasan negara: Indonesia misalnya, yang mengakui lima agama sebagai bukti pluralitas masyarakatnya. Ambil contoh sweeping FPI terhadap warung makan yang buka siang hari di bulan puasa dalam konteks Indonesia: mereka tentu harus mempertimbangkan tidak semua masyarakat Indonesia beragama Islam. Jikapun Islam, ada beberapa keadaan dalam Islam yang dibolehkan bahkan diharuskan tidak berpuasa: perempuan yang menghadapi tamu bulanan, seorang yang dalam perjalanan, sakit, lemah karena pertimbangan usia, dan lain sebagainya. <br />
<br />
Jika ditarik dalam ruang perbedaan fikih, salah satu disiplin Islam yang dijadikan parameter untuk mengukur “benar dan salah” satu tindakan, maka eksistensi Polisi Syariat dengan sendirinya telah mengeliminir perbedaan dalam fikih: benar dan salah diukur berdasar “ruang sempit” perbedaan fikih. Sebab, penulis berpijak dari pernyataan al-Mawardi dalam al-ahkâm al-shulthâniyyah, jika amar makruf dan nahi munkar dalam “koridor perbedaan fikih”, maka pemaksaan untuk mengikuti satu madzhab tertentu mendapat legitimasinya jika muhtasib adalah seorang yang alim fikih (al-Mawardi, 1989). Indonesia tentu saja bukan negara Islam yang menganut satu madzhab tertentu sebagai pijakan berfikih. Perbedaan latarbelakang pendidikan dan masyarakat telah membentuk pola fikih masyarakat Indonesia: baik pola fikih klasik yang diadopsi dari varian madzhab—yang pada akhirnya membentuk paradigma yang plural, maupun pengetahuan sebagian masyarakat terkait perkembangan mutakhir hukum fikih yang diformulasi dari perubahan jaman. Dalam konteks Mesir, larangan perempuan keluar tanpa mahram, telah menganulir ijtihad mutakhir dari sebagian ulama yang memperbolehkan perempuan keluar tanpa mahram karena kebutuhan jaman.<br />
<br />
Sedangkan pandangan Ahmad bin Hanbal, Ibnu Taymiah maupun Ibnu Qayyim, meskipun toleran dan cukup kompromis, bagi penulis, tidak bisa lagi ditarik dalam konteks sekarang, konteks yang sama sekali berbeda. Hal itu karena beberapa alasan: pertama, mereka hidup di masa kepemimpinan Islam di mana interaksi yang intervensif dalam ruang agama masih bisa dibenarkan; kedua, pola berfikih umat Islam telah mengalami perkembangan yang dinamis. Gagasan-gagasan rekonstruktif dan kontekstual dalam fikih telah terlahir dari tangan pembaharu-pembaharu Islam. Sedangkan praktik kemunkaran dalam buku ketiga sarjana ini masih berkisar pada rebana, gitar kecapi, nyanyian, topeng monyet, dll; ketiga, hisbah masih diasumsikan sebagai wadzîfah dîniyyah (misi agama) dengan formatnya yang tak bisa berubah. Pembacaan penulis sendiri terhadap ketiga buku ini, mereka memberikan jenjang—walaupun tidak dituliskan secara sistematis—praktik nahi munkar yang diperbolehkan dilakukan melalui tindakan keras atau tegas. Satu praktik nahi munkar—dan disebutkan dalam buku Abu Bakr bin al-Khallal—yang barangkali bisa mengisyaratkan berjenjangnya pandangan Ahmad bin Hanbal dalam nahi munkar adalah legitimasi aksi anarkis (memukul) jika sebuah maksiat sudah menjadi kebiasaan, dan sudah melalui beberapa peringatan.<br />
<br />
Menafsiri Ulang Nahi Munkar: Tawaran Alternatif praktik “hisbah”<br />
<br />
Secara teoritis, hisbah merupakan aplikasi dari prinsip dasar amar makruf nahi munkar dalam Islam. Oleh sebab itu, al-Mawardi membedakan al-muhtasib dan al-muthatawwi’: jika yang pertama mendapat mandat dari pemimpin, maka yang kedua merupakan peran individu atau kelompok dalam aplikasi teks amar makruf nahi munkar. Hanya saja, bagi Ibnu Taymiah, individu seyogyanya konsentrasi terhadap diri sendiri sebelum ke orang lain. Artinya, peran hisbah yang telah diambil alih oleh negara, hendaknya membuat individu untuk semakin fokus terhadap pengembangan diri sendiri ke arah yang lebih baik. Walaupun begitu, bagi penulis, pembacaan objektif terhadap teks sarjana-sarjana di atas tidak bisa hanya menitik pada satu pembahasan kemudian mengenyampingkan pandangannya yang lain. Integralitas sebuah gagasan penting untuk diperhatikan dalam membaca ide-ide klasik, kemudian merekonstruksinya dengan pembacaan baru yang toleran, kontekstual dan humanis. Harus ada ketegasan bahwa ide tersebut sudah tidak lagi relevan dipraktikkan dalam konteks negara demokratis. <br />
<br />
Terma muhtasib dalam pandangan sarjana klasik merupakan "ijtihad", dan ijtihad ini masih perlu diteruskan secara serius. Sebab, bagaimanapun aplikasi teks klasik nahi munkar dalam wadah muhtasib terlahir dari konteks yang sama sekali berbeda. Hilmy Namnam telah memulai langkah progresif dalam bukunya yang bertajuk "al-hisbah wa huriyyat al-ta'bîr": "al-hisbah" di awal kemunculannya hanya ditujukan untuk menopang kekacauan ekonomi (al-fasâd al-iqtishâdi) dan managemen kota untuk maslahat bersama. Oleh sebab itu praktiknya di pasar-pasar, meneliti timbangan dan mengoreksi muamalah. Ibnu Abd al-Barr dalam al-Istî’âb mengatakan, shahabat pertama yang ditunjuk oleh Nabi menjadi muhtasib adalah Sa’id bin Sa’id bin al-Ash: ia ditugaskan mengawasi pasar Mekah setelah ditaklukkan (fath makkah). Di masa Umar bin al-Khattab juga juga diberlakukan kontrol pasar. Umar meminta Syifa binti Abdillah mengawasi praktik jual beli di pasar. Penguat lain adalah, banyak sarjana Islam yang memandang praktik ini diadopsi dari Byzantium, pasalnya, umat Islam menemukan negara yang dikuasai oleh Byzantium mempraktikkan kontrol pasar—terlepas dari kuat atau tidaknya asumsi keterpengaruhan ini, tapi kemudian bisa ditarik pada kesepaktan “format awal” praktik hisbah hanya pada “kontrol ekonomi” semata.<br />
<br />
Hisbah dalam praktiknya yang “historis” pada akhirnya memunculkan pelbagai karangan sarjana Islam sebagai pengukuh, sebut saja ahkâm al-sûq (hukum-hukum pasar) buah tangan Yahya bin Umar (w. 289 H). Atau pernyataan dari Nidzam al-Mulk al-Hasan bin Ali dalam bukunya siyâsah nâmah terkait peran muhtasib untuk mengontrol harga di pasar agar tidak terjadi penipuan dan kekacauan ekonomi. Buku yang secara independen dikarang tentang hisbah —dalam arti tidak menjadi bagian dari tema umum, seperti dalam al-ahkâm al-shulthâniyyah al-Mawardi—adalah nihâyat al-rutbah fî thalab al-hisbah karya Abd al-Rahman bin Nashr al-Syairazi (w. 589 H). Buku ini pertama kali dicetak di Kairo tahun 1945 dan menjadi rujukan primer bagi anggitan tema hisbah. Peran muhtasib disebutkan di sini, sebagai kontrol pasar, jalan, timbangan, serta pelbagai profesi pekerjaan.<br />
<br />
Predikat “muhtasib” baru diresmikan pada pemerintahan Abbasiyyah, di masa khalifah Abu Jakfar al-Mansur (w. 158 H). Menurut Ibnu Abi Ushaibi’ah, al-Mansur memindahkan pasar Madinah dan Baghdad ke daerah tertentu yang jauh dari kota, kemudian menentukan pengawas untuk mengontrol praktik jual-beli di sana. Hisbah secara pesat berkembang menjadi bukan hanya kontrol jual beli, akan tetapi kebersihan masjid, kontrol terhadap muadzin untuk mengumandangkan adzan tepat waktu. Bahkan lebih jauh dari itu, muhtasib secara langsung turun menguji kelayakan seseorang dalam satu pekerjaan tertentu: sebagaimana permintaan khalifah al-Mu’tadlil pada Sannan bin Tsabit untuk menguji calon dokter yang hendak membuka praktik kedokteran di Baghdad.<br />
<br />
Konklusi yang bisa ditarik di sini adalah, hisbah secara historis diperuntukkan mengontrol stabilitas harga di pasar, bukan “kontrol moralitas agama”. Terminologi “muhtasib” juga ternyata tidak dikenal di masa kenabian dan empat khalifah setelahnya. Walaupun begitu, praktik tersebut bukan tidak ditemukan di awal Islam, hanya saja praktiknya tidak dilakukan oleh sembarang orang: dilakukan oleh seorang yang kapabilitas intelektualnya telah diakui oleh pemimpin (faqîh). Hilmy Namnam dengan baik telah menghidangkan metamorfosa “hisbah”, dari kontrol pasar dan managemen kota menjadi “kontrol moralitas agama”, kebebasan berpendapat dan berpikir, bahkan sampai pada tindakan-tindakan anarkis.<br />
<br />
Menurut Hilmy Namnam, jika bukan negara Islam, maka "muhtasib " seharusnya tidak ada lagi. Kalaupun ada, muhtasib (Polisi Syariat) dahulu tidak pernah mencampuri "ruang pemikiran": tidak mempraktikkan aksinya pada para penyair, penulis, atau pemikir. Adanya praktik "penganiayaan" dalam ruang pemikiran (terhadap ulama yang mempunyai ideologi tertentu) murni karena tendensi politik. Oleh sebab itu, adanya lembaga-lembaga yang berafiliasi amar makruf nahi munkar telah mereduksi peran nahi munkar itu sendiri: sebab praktiknya beralih ke “penghakiman” terhadap ideologi kelompok yang bersebrangan, aktivitas yang dianggap munkar atau maksiat.<br />
<br />
Oleh karena itu, untuk menemukan bentuknya yang lebih relevan, pembedaan muhtasib dan mutathawwi’ dalam pandangan al-Mawardi kembali menemukan momentumnya. Muhtasib merupakan tugas yang diberikan oleh pemimpin untuk mengatur tatanan masyarakat sesuai dengan hukum yang berlaku dalam suatu negara. Oleh sebab itu, mereka digaji secara khusus oleh negara. Jika dalam negara Islam, maka peran muhtasib mengarahkan masyarakat agar bisa mengaplikasikan aturan-aturan Islam secara benar, baik melalui pemaksaan atau secara persuasif—di luar lingkup hudûd dan jinâyat. Akan tetapi lain cerita ketika sebuah negara tidak lagi menjadikan Islam sebagai dasar negara. Karena, sebagaimana ditegaskan oleh al-Mawadi dalam bukunya yang lain, adâb al-dunyâ wa al-dîn, eksistensi negara Islam sendiri sebagai piranti agar aplikasi Syariat bisa sempurna (al-Mawardi, 2002). Maka, jika bukan negara Islam, seperti penuturan Dr. Ismail al-Faruqi, pakar perbandingan agama Palestina, parameter yang diambil adalah parameter hukum yang dipraktikkan oleh satu negara tertentu (Undang-Undang), bukan “benar dan salah” dalam pandangan Islam. Atas dasar ini, bagi penulis, petugas hukum yang ada sekarang telah memenuhi syarat muhtasib dalam konteks negara modern.<br />
<br />
Memang, pandangan sarjana Islam terkait hisbah sendiri sangat variatif. Ada yang menganggap bahwa hisbah sebagai kewajiban seorang muslim yang didasarkan pada prinsip-prinsip amar makruf nahi munkar, seperti al-Ghazali, tapi ada pula yang memandang bahwa hisbah merupakan ketrampilan yang harus dipelajari dan praktiknya murni kebijakan negara, seperti definisi yang dituliskan oleh Haji Khalifah (w. 1068 H) dalam kasyf al-dzunûn, maupun al-Tahanuwi (w. 1158 H) dalam kasysyâf ishtilâhât al-funûn. Berikut bisa kita simak definisi dari Haji Khalifah, <br />
<br />
“ilmu yang membahas interaksi antara masyarakat di suatu negara; sebuah interaksi yang mampu menciptakan iklim kondusif, dengan menjadikan parameter adil sebagai rujukan hingga memunculkan sikap saling rela di antara dua pihak, atau mengatur masyarakat untuk tidak mempraktikkan kemunkaran dan menganjurkan kebaikan, sehingga tidak ada pertikaian di antara mereka. Prinsip yang dipakai adalah kebijakan khalifah, baik yang diambil dari fikih, atau hal-hal yang dianggap baik (istihsân) oleh khalifah.” (Haji Khalifah, 2001)<br />
<br />
Merujuk pada definisi Haji Khalifah di atas, hukum yang dirujuk dalam praktik hisbah yang sesungguhnya tidak melulu harus fikih. Akan tetapi kebijakan pemimpin dalam suatu negara bisa menjadi rujukan melalui pertimbangan maslahat. Definisi ini bisa menjadi pintu masuk dalam membaca “munkar” itu sendiri: munkar dari yang tadinya berkisar pada kecapi, minuman keras, rebana, perzinaan, ditransformasikan menjadi kemunkaran yang lebih besar dan berhubungan langsung dengan problem kemanusiaan di era moden: seperti korupsi, problem HAM; diskriminasi, ketidakadilan, dan lain sebagainya.<br />
<br />
Namun bukan berarti konsep amar makruf nahi munkar sama sekali kehilangan relevansi. Aplikasi teks amar makruf nahi munkar bisa dilaksanakan melalui inisiatif pribadi—meminjam redaksi al-Mawardi: al-mutathawwi’—itupun dalam tataran “anjuran”, bukan keharusan. Hanya saja, seperti penulis sudah sebutkan di muka, karena ruang yang sama sekali berbeda, “interaksi intervensif” sama sekali tidak diperkenankan di sini, apalagi sampai pada tindakan anarkis. Interaksi internvensif sama saja hendak meletakkan dikotomi agama dan negara yang dibangun dari nasionalisme. Tentu saja anggapan dikotomis semacam ini keliru. Banyaknya ijtihad-ijtihad mutakhir dari pakar fikih, baik klasik maupun kontemporer, bertujuan untuk meletakkan fikih bukan dalam ruangnya yang sempit, bukan semata-mata dalam negara Islam an sich, akan tetapi agar fikih mampu fleksibel dalam konteks negara yang mempraktekkan sistem demokrasi. Ambil contoh ijtihad mutakhir Fahmi Huwaidi, dalam bukunya muwathinûn lâ dzimmiyyûn, yang telah berani pada kesimpulan, kafir dzimmi untuk sekarang tidak ada lagi, diganti dengan warga negara yang disatukan oleh nasionalitas (muwâthin) (Fahmi Huwaidi, 1990); Thaha Jabir al-Ulwani—dalam buku isykâliyyat al-riddah wa al-murtaddîn—yang berpendapat hukum murtad bukan hukum bunuh: adanya peristiwa memerangi pelaku murtad murni karena sikap politis. Ia berpendapat bahwa hukum bunuh tidak ada di dalam al-Qur’an, dan satu-satunya argumentasi adalah dari hadis Ahad (Thaha Jabir al-Ulwani, 2006); Abu Zahrah yang berpandangan rajam bagi pelaku zina adalah tradisi Yahudi dan tidak menemukan pembenarannya dari Islam. (Musthafa Zarqa, 2004)<br />
<br />
Dengan demikian, tidak ada dualisme “kekuasaan” di satu pemerintahan. Peran “muhtasib” telah dijalankan dengan baik oleh petugas keamanan yang mendapat mandat dari Presiden, sedangkan individu lebih fokus untuk memaksimalkan diri melaksanakan ajaran-ajaran agamanya. Sebab kesadaran komunal berawal dari kesadaran individu. Di sisi lain, munkar itu sendiri harus ditarik dalam ruang lain yang lebih kontekstual: problem kemanusiaan. Maka nahi munkar bukan melulu agar seseorang melaksanakan ajaran agama secara baik, tapi mampu menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk berinteraksi secara baik dengan sesamanya, dan lebih jauh dari itu, umat Islam mampu berkompetisi dengan negara-negara maju.</span> </div>Ahmad Hadidul Fahmihttp://www.blogger.com/profile/01841733022516134434noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3803797330041316914.post-85291766862991057702012-06-05T17:25:00.001-07:002012-06-05T17:25:58.800-07:00Memandang Muktazilah Secara Objektif (Analisa Sejarah Efek Muktazilah Terhadap Kemajuan Syi'ah)Oleh Ahmad Hadidul Fahmi, Lc<br />
<div align="justify">Muktazilah dianggap sebagai penggagas awal gerakan rasional dalam tubuh Islam. Bagi Ali Sami Nasyar, tesis ini merupakan asumsi keliru. Sejatinya Muktazilah merupakan perpanjangan dari dua sekte bertentangan: al-Qadariyyah dan al-Jahmiyyah.[1] Tesis ini juga diimani oleh Dr. Rasyid al-Khayyûn dalam bukunya Mu’tazilah Bashrah wa Baghdad. Muktazilah dan keduanya berbeda di beberapa permasalahan, akan tetapi juga berjalan satu jalur di sebagian permasalahan lainnya. Secara genealogis, berdasarkan pendapat yang diikuti oleh mayoritas, Muktazilah muncul pada abad ke II H, dari majlis al-Hasan al-Bashrî (w. 110 H) di Bashrah bersamaan dengan isu predestinasi kekuasaan dinasti Umawiyah di Syam.[2] Berbicara Muktazilah tentu saja akan melewati babakan sejarah yang cukup panjang.<span class="fullpost"> <br />
<br />
Muktazilah kemudian lebih dikenal dengan sekte yang menyimpang karena bertentangan dengan doktrin mainstream. Faktornya beragam. Satu faktor determinan adalah, referensi primer Muktazilah banyak yang raib entah kemana.[3] Hal ini berakibat wacana yang bergulir tentang sekte rasionalis ini lebih didominasi oleh asumsi penentangnya: Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah, misalnya. Muktazilah pernah benar-benar berjaya di masa al-Makmûn (w. 218 H), khalifah Abbasiyyah, dan kemudian terpasung perlahan sampai tak berbekas di kekuasaan-kekuasaan paska al-Mutawakkil. Zuhdi Jarullah dalam bukunya Al-Mu’tazilah mengutarakan, kebangkitan dunia Arab sekarang bisa disamakan dengan kebangkitan Arab dahulu yang dipimpin oleh sarjana-sarjana Muktazilah. Oleh karena itu, proyek kebangkitan akan lebih sempurna apabila mampu mengadopsi spririt rasional Muktazilah di era sekarang ini.[4] Apalagi, jika benar Syi’ah dan Muktazilah kemudian melebur, serta kebanyakan Syi’ah sekarang juga bisa disebut Muktazilah, ini artinya, kemajuan Syi’ah—terutama dalam ilmu-ilmu rasional—tak bisa dilepaskan dari keterpengaruhan Muktazilah di dalamnya.[5]<br />
<br />
Ibnu Murtadlâ dalam Thabâqat al-Mu’tazilah mengklasifikasi babakan periode sarjana Muktazilah dalam dua belas periode.[6] Periode pertama sampai keempat dari generasi shahabat, tabi’in dan generasi selepas tabi’in. Setelah periode keempat, hemat Abdurrahman Badawi, dimulai periode Muktazilah dalam pemakanaan terminologis.[7] Periode keenam merupakan masa keemasan Muktazilah, terdiri dari nama-nama Abû Hudzail, Ibrahim bin Sayyâr al-Nadzdzâm, Mu’ammar bin Ubbâd al-Sullami, dan lain sebagainya. Qadli Abd al-Jabbâr hanya mencukupkan periode Muktazilah sampai sepuluh, kemudian datang al-Hâkim al-Muktazilî yang menambah dua periode lagi, menjadi dua belas. Menurut Abdurrahman Badawi, relasi masing-masing periode lazimnya adalah relasi guru dan murid. [8]<br />
<br />
Dimulai dari periode keenam, Muktazilah terpecah pada dua kubu besar, Muktazilah Bashrah dan Baghdad. Jika Muktazilah Bashrah dimulai dari Wâshil bin Athâ’ (w. 131 H) dan Amr bin Ubaid (w. 143 H), maka penggagas Muktazilah Baghdad adalah Bisyr bin al-Muktamir (w. 210 H) di akhir abad ke II H.[9] Akan tetapi secara umum, mereka bersepakat dalam gagasan lima pilar pokok Muktazilah (al-ushûl al-khamsah): tauhid (al-tawhîd), keadilan (al-‘adl), janji dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’îd), kedudukan di antara dua tempat (al-manzilah bayn al-manzilatain), perintah berbuat baik dan larangan berbuat tak baik (al-amr bi al-ma’rûf wa al-nahy ‘an al-munkar).[10] Jikapun kemudian para sarjana Muktazilah mempunyai perbedaan, letaknya hanya pada permasalahan-permasalahan partikular saja. Muktazilah terhitung sebagai kelompok Islam pertama yang menghargai perbedaan.[11] <br />
<br />
Pembelaan Muktazilah Terhadap Islam<br />
<br />
Tak bisa disangkal bahwa berdiam di antara dua tempat (al-manzilah bayn al-manzilatain) merupakan konsep pertama Muktazilah. Akan tetapi konsep ini pada awal mula masih sebatas “etika fikih” semata. Di saat yang sama, kekuasaan Islam meluas ke pelbagai negeri dengan kompleksitas masyarakatnya yang terdiri dari pemeluk agama non Islam. Di Suriah dan Mesir didominasi oleh Yahudi. Di Irak dan Persia doktrin Majusi. Sebab relasi umat Islam dengan agama-agama ini, akhirnya perlahan menimbulkan keterpengaruhan signifikan terhadap konsep teologi umat Islam.[12] Keterpengaruhan tersebut karena beberapa faktor: pertama, pemeluk agama-agama tersebut meninggalkan agama pertama mereka dan masuk Islam. Akan tetapi mereka tidak bisa lepas sepenuhnya dari teologi agama pertama. Eksesnya, mereka mencampur—secara tak sengaja—pelbagai konsep teologi non Islam terhadap doktrin teologi Islam: kedua, fenomena yang terjadi di Persia, bahwa mereka masuk Islam bukan lantaran iman, akan tetapi menghendaki kedudukan tertentu. Merekapun memasukkan konsep non Islam pada teologi Islam. [13]<br />
<br />
Munculnya Muktazilah merupakan konsekuensi dari percampuran ini. Zuhdî Jârullah menyatakan, bahwa Yahudi mempunyai beberapa pengaruh secara tidak langsung dalam doktrin Muktazilah. Di antaranya adalah perihal ‘kemakhlukan al-Qur’an’ yang masuk melalui Ja’d bin Dirham.[14] Agama Kristen mempunyai pengaruh yang lebih besar, terutama dari tokohnya yang juga seorang teolog besar Kristen, Yahya al-Dimasyqi.[15] Keterpengaruhan itu dalam beberapa hal, di antaranya; pertama, keterpengaruhan dari Yahya al-Dimasyqi, bahwa Tuhan adalah sumber segala kebaikan. Kemudian pendapat bahwa Tuhan hanya menghendaki yang terbaik; kedua, Yahya menafikan sifat azali, yang kemudian berpengaruh terhadap Muktazilah dalam penafian sifat al-ma’âni—atribut Tuhan yang sebanding dalam ketidakberawalannya. Argumennya, sebab esensi Tuhan tidak mungkin bisa dicapai oleh nalar. Dan penyemataan atribut (al-shifât) Tuhan yang tak berawal merupakan penyusunan (al-tarkîb) terhadap hakekat Tuhan itu sendiri; ketiga, pentakwilan terhadap ayat-ayat yang potensial bermakna penyerupaan Tuhan dengan makhlukNya; keempat, kebebasan berkehendak hamba (hurriyat al-irâdah).[16]<br />
<br />
Walaupun begitu, kitab-kitab Muktazilah pada awal mula diproyeksikan untuk meruntuhkan argumen destruktif Râfidlah, Jahmiyyah, Jabariyyah, Samniyyah, dan Majusiyyah. Menurut Zuhdî Jârullah, perdebatan intelektual Muktazilah yang dilakukan dengan non Muslim kebanyakan di Persia. Sarjana besar Muktazilah yang pertama kali melakukan perdebatan adalah Wâshil bin Atha’. Ia mengarang buku al-Alf Mas’alat fi al-Radd ala al-Mânûwiyyah. Washil bin Atha’ tak hanya melakukan “ekspansi intelektual” di kawasan sekitar, akan tetapi mengirim beberapa shahabatnya ke pelbagai tempat yang disinyalir banyak pemeluk Majusi, seperti Hafsh bin Sâlim yang dikirim ke Khurâsân. Di sana digelar perdebatan dengan Jahm bin Shafwan—dari Jahmiyyah. Wâshil juga mengirim Abdullâh bin al-Hârist ke Maghrib. Begitu pula al-Qâsim bin al-Sa’dî ke Yaman, dan Ayyub ke Jazirah. Serta mengutus al-Hasan bin Dzakwan ke Kufah. Washil juga mengutus Utsmân al-Thawîl, guru Abu Hudzail al-Allâf, ke Armenia.[17]<br />
<br />
Hal serupa bisa dijumpai dari Amr bin Ubaid (w. 144 H), sahabat Washil bin Atha’, yang kerap mengajak berdebat orang-orang yang ia temui: seperti Jarîr bin al-Azdî al-Samnî di Bashrah dan mengalahkannya. Ia bersama dengan Wâshil bin Atha’ berdebat dengan Basysyâr bin Burd dan Shâlih bin Abdul Qadûs dan mengalahkan keduanya. Amr bin Ubaid juga berdebat di atas kapal dengan Majusi dan mengalahkan musuhnya.<br />
<br />
Abû Hudzail al-Allâf (w. 260 H) merupakan intelektual Muktazilah paska Wâshil yang cukup intens berdebat dengan non Muslim.[18] Nalar debatnya muncul tatkala ia melihat seorang Yahudi memasuki Bashrah, dan mengalahkan semua teolog di sana.[19] Ia sangat produktif dalam menganggit kitab yang meruntuhkan argumen penentangnya. Ia mempunyai enampuluh kitab yang diproyeksikan untuk meruntuhkan argumen non Muslim. Abu Hudzail pernah berdebat dengan Shâlih bin Abd al-Qadûs dan Hisyâm bin al-Hakam dari Rafidlah di Mekah yang dihadiri oleh masyarakat umum dan mengalahkan keduanya. Ibrahim bin Sayyâr al-Nadzdzâm (w. 221 H) juga tak boleh terlewat diperbincangkan apabila membahas perdebatan dengan non Muslim. Ia pernah berdebat dengan Hisyâm bin al-Hakam dan para shahabatnya, serta masuk dalam permasalahan-permasalahan yang teramat pelik.<br />
<br />
Apa yang dilakukan oleh empat generasi Muktazilah pertama juga kemudian dilakukan oleh generasi paska mereka. Bisyr bin al-Muktamir mengarang sebuah syair (urjûzah/syair dengan lagu rajaz) sebanyak empat puluh ribu bait yang berisi argumen bagi penentang Islam. Ja’far bin Harb berdebat dengan al-Sakkâk, salah seorang shahabat Hisyâm bin al-Hakam dalam permasalahan ‘alam berawal’. Al-Sakkâk juga pernah didebat oleh Abû Ja’far al-Iskâfi sampai ia tak punya daya lagi untuk menanggapi al-Iskâfi. Ali al-Aswâri berdebat dengan Alî bin al-Maytsam dari Râfidlah terkait permasalahan Imamah. Menurut al-Khayyâth, Ali bin Maytsam kerap didebat oleh sarjana Muktazilah di Bashrah, dan Muktazilah selalu mengalahkannya. Begitu pula Khalifah al-Makmûn, yang kerap mengislamkan banyak orang Majusi dan mengislamkan kembali orang murtad. Kita juga bisa melihat kisah serupa dari al-Jâhidz, sarjana besar Muktazilah, salah seorang murid al-Nadzdzâm, menganggit delapan kitabnya untuk meruntuhkan argumen non Muslim, dan enam kitab lainnya diproyeksikan untuk mengukuhkan konsep Muktazilah.<br />
<br />
Setidaknya hal ini bisa menyiratkan dua hal penting: pertama, walaupun Muktazilah kerap mendebat Jabariyyah dan Râfidlah, akan tetapi mereka juga mendebat penentang Islam yang kerap mengkritik konsep teologi Islam. Sehingga pada masa kekuasaan Hârûn al-Rasyîd, khalifah yang awalnya tak menyukai perdebatan dalam agama, tak ada kelompok yang mampu mendebat orang Samniyyah terkecuali dari Muktazilah—dan pada saat itu orang-orang Muktazilah dimasukkan ke penjara oleh al-Rasyid. Al-Jâhidz, misalnya, walaupun mendebat Zaydiyyah, akan tetapi juga turut meruntuhkan argumen-argumen Yahudi dan Nashrani. Sebab ini, banyak orang yang masuk Islam di tangan pembesar Muktazilah. Sebut saja, orang yang masuk Islam di tangan Abu Hudzail al-Allâf, menurut Qadli Abd al-Jabbâr, mencapai nominal tiga ribu lebih, dan masyarakat Khurasan yang diislamkan di tangan Abû al-Qasim al-Bulkhi; kedua, Muktazilah sangat keras dengan kelompok yang berada di luar kelompoknya. [20]<br />
<br />
Faktor penentang Islam inilah yang membuat Muktazilah mempelajari dengan serius filsafat Yunani. Pembelajaran filsafat membuat khalifah al-Mansur, shahabat Amr bin Ubaid, merekomendasikan penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab. Hal ini pula yang kemudian membuat al-Makmûn meneruskan perjuangan al-Mansur untuk menerjemahkan buku-buku Yunani. Intelektual Muktazilah yang pertama kali dengan serius mempelajari filsafat Yunani adalah Ibrahim bin Sayyâr al-Nadzdzâm. Ia mengupayakan untuk mengharmoniskan pendapat Muktazilah dan tesis filsuf Yunani. Muktazilah, melalui upaya ini bukan hendak melindungi Islam dari serangan destruktif dari luar semata, akan tetapi juga mensosialisasikan Islam sebagai agama yang rasional. Bersamaan dengan masuknya filsafat ke tubuh Muktazilah, Muktazilah mengalami beberapa pergeseran: pertama, mereka kemudian mendewakan filsafat Yunani, dan mensakralkan pandangan filsuf selayaknya sabda Nabi. Menurut De Lace O’leary, Muktazilah menganggap filsafat sebagai penyempurna agama; kedua, perlahan mereka meninggalkan permasalahan teologis, dan bergelut hebat dalam tesis-tesis filsafat. Yang dibahas selanjutnya adalah murni permasalahan filsafat, seperti “gerak dan diam”, “wujud dan tidak wujud”, “partikel yang tak bisa terbagi”, dan selainnya. Oleh sebab itu, madzhab Muktazilah di era akhir lebih banyak terpengaruh filsafat Yunani dari periode-periode sebelumnya.[21]<br />
<br />
Perjalanan Madzhab Kalam Muktazilah<br />
<br />
Muktazilah perlahan memasuki jenjang keemasan dari tahun 100-198 H, atau 98 tahun merupakan persiapan menuju masa kegemilangan Muktazilah. Mereka dekat dengan Yazîd bin al-Walîd bin Abd al-Mâlik (w. 126 H). Menurut Zuhdi Jârullah mengutip al-Mas’ûdi dalam Murûj al-Dzahab, Yazid adalah seorang Qadariyah[22] dan menyeru umat Islam untuk mengimani pandangan tentang al-Qadar. Begitu pula dekat dengan Marwan bin Muhammad (w. 132 H), akhir khalifah Umawiyah, yang disebut sebagai “al-Ja’di”, karena pernah berguru pada Ja’d bin Dirham perihal kemakhlukan al-Qur’an dan penafian takdir.<br />
<br />
Muktazilah mulai terasa lapang paska kekuasaan Umawiyah, dan diganti dengan dinasti Abbasiyyah, terutama pada kekuasaan Abû Ja’far al-Mansûr (136-158 H). Hal itu disebabkan, Amr bin Ubaid, salah seorang shahabat Wâshil bin Atha’, merupakan sahabat akrab al-Mansur sebelum ia menjadi khalifah. Selepas wafatnya Amr bin Ubaid pada tahun 133 H, kelompok Muktazilah yang condong terhadap pandangan Muktazilah Baghdad bersama Ibrahim bin Abdullah bin al-Hasan pada tahun 145 H lebih memilih di bawah kekuasaan al-Mansur. Fenomena ini agak kontras pada kekuasaan al-Mahdî bin al-Mansur (158-169 H). Pasalnya, Mahdi sangat keras terhadai Zindiq dan penentang Islam. Ia memerintahkan, pada tahun 167 H, untuk mencari mereka ke penjuru negeri. Shâlih bin Abdul Qadûs akhirnya terbunuh tahun 167 H, begitu juga Basysyâr bin Burd di tahun 168 H. Oleh karena itu, suara Muktazilah kurang begitu terdengar, sebab khalifah secara langsung melakukan dakwah Islam dengan tegas.<br />
<br />
Memasuki kekuasaan Hârûn al-Rasyîd (170-193 H), Muktazilah perlahan bangkit. Awalnya, Rasyîd tak begitu menyukai perdebatan kalam, akan tetapi kelompok realis (al-Samniyyah) sangat gencar menyerang konsep teologi Islam. Muktazilahpun diberi porsi lebih untuk tampil di depan. Kita melihat Yahya bin Hamzah al-Hadlrami (w. 183 H) menjadi hakim di Damasqus. Al-Rasyid juga kerap meminta nasehat dan fatwa pada Ibnu Sammâk Muhammad bin Shubaih al-Kûfî (w. 183 H). Sedang di masa anaknya, al-Amîn bin Hârûn (193-198 H), Muktazilah tak begitu terdengar lagi suaranya. Masa al-Amîn ini hampir mirip dengan masa al-Mahdî bin al-Mansûr.<br />
<br />
Muktazilah menuai masa keemasannya dari tahun 198-232 H, terutama di masa al-Makmûn (w. 218 H). Al-Makmûn besar di tangan pembesar Muktazilah, seperti Yahyâ bin al-Mubârak dan Tsumâmah bin al-Asyras. Di samping itu, al-Makmûn merupakan khalifah yang semangat keilmuannya sangat tinggi. Ia belajar debat pada Abû Hudzail al-Allâf. Begitupula di masa saudara al-Makmûn, al-Mu’tashim (218-227 H), dan selepas al-Mu’tashim, khalifah al-Wâtsiq (227-232 H). Di tangan tiga khalifah ini, Muktazilah menuai masa keemasannya dan memaksakan pada khalayak agar mengimani ideologi kemakhlukan al-Qur’an. Kejayaan Muktazilah terus berada di puncak, sampai al-Mutawakkil naik tahta khalifah pada tahun 232 H.<br />
<br />
Al-Mutawakkil kemudian melakukan tiga langkah untuk menghilangkan taring Muktazilah: pertama, pada tahun 232 H diberlakukan larangan untuk berdebat tentang al-Qur’an. Ia juga melarang masyarakat untuk berdebat dan berdiskusi; kedua, Mutawakkil menghadirkan para pakar fikih dan hadis, memfasilitasi mereka, serta memunculkannya di tengah masyarakat. Kehadiran pakar fikih dan hadis di tengah masyarakat bertujuan untuk menyampaikan hadis-hadis yang berlawanan dengan ideologi Muktazilah. Langkah kedua Mutawakkil dilaksanakan pada tahun 234 H; ketiga, secara frontal Mutawakkil meneriakkan kebenciannya terhadap Muktazilah. Ia memenjarakan tokoh-tokoh Muktazilah yang masih tersisa, serta memulyakan tokoh-tokoh Ahl al-Hadis yang sempat terdzalimi di masa ketiga khalifah sebelum Mutawakkil. Hal ini dilaksanakan tahun 237 H.[23]<br />
<br />
Dari internal Muktazilah sendiri sudah terjadi perpecahan signifikan. Muktazilah Bashrah mengkafirkan Muktazilah Baghdad. Tak hanya itu, beberapa pembesar Muktazilah saling mengkafirkan satu sama lain.[24] Ketika Muktazilah benar-benar melemah, beberapa tokohnya menyatakan keluar, seperti Abi Isa al-Warrâq (w. 247 H) yang bergabung dengan Râfidlah, Abi al-Huseyn Ahmad bin al-Rawandi (w. 298 H) yang juga bergabung dengan Rafidlah. Al-Syahrasytani menyebut, bahwa Abu ‘Ali al-Jubbâi (w. 303 H) dan anaknya, Abu Hasyim al-Jubbâi (321 H) berbeda-beda dalam permasalahan parsial. Di saat kritis ini justru muncul Abu al-Hasan al-Asy’ari (w. 330 H) yang secara telak menghantam Muktazilah. Uniknya, Asy’ari dibesarkan oleh ayah tirinya, Abu Ali al-Jubbai, yang juga pembesar Muktazilah dan mengikuti madzhab ini selama empatpuluh tahun lamanya. <br />
<br />
Muktazilah Di Bawah Buwaihiyyah; Awal Pergumulan Dengan Syi’ah<br />
<br />
Munculnya dinasti Buwaihiyyah (334-437 H) menjadikan Muktazilah kemudian melebur dengan dinasti Buwahiyyah—atau Syiah. Muktazilah di masa ini tidak ‘se-garang’ Muktazilah di awal kemunculan dan keemasannya. Zuhdî Jârullah dalam buku al-Mu'tazilah menyajikan dengan apik perubahan-perubahan sekte ini setelah berada dalam genggaman Buwaihiyyah: awalnya mereka menghendaki kebebasan berpikir, kemudian memerangi kebebasan berpikir. Ini adalah perubahan Muktazilah yang kedua kali setelah tragedi inkuisisi (mihnah) sebelumnya. Dengan kata lain, Muktazilah yang masuk ke Buwaihiyyah adalah Muktazilah yang sudah kehilangan taringnya. Syi'ah diuntungkan oleh Muktazilah bahkan memanfaatkannya, sebab mereka yang kemudian getol meruntuhkan doktrin-doktrin Ahlu Sunnah. Dan Madzhab Muktazilah kemudian dengan cepat menyebar ke Irak, Khurasan dan Transoxania. Dukungan Buwaihiyyah terhadap Muktazilah setidaknya karena dua faktor: pertama, madzhab Syiah pada masa itu belum mempunyai madzhab teologi yang mapan. Oleh karena itu mereka dengan sengaja mengadopsi metode Muktazilah untuk menyokong konsep teologi Syi’ah.[25] Sampai dikatakan, Syi’ah secara teologis merupakan ‘pewaris tahta’ Muktazilah; kedua, dalam banyak pandangan, Syi’ah tak berbeda dengan Muktazilah. Hal itu terlihat dari justifikasi ideologi Syi’ah yang mengambil dari pembesar Muktazilah sendiri: al-Nadzdzâm. Al-Nadzdzâm berpandangan bahwa konsensus bukan argumen, serta argumentasi yang sebenarnya berada di perkataan Imam Maksum, keduanya juga sama dari sudut pandang, Muktazilah dan Syi'ah yang tak terlalu banyak berargumen dengan hadis.[26]<br />
<br />
Penuturan al-Maqdisi (w. 391 H), sarjana yang banyak melancong ke pelbagai negeri, bahwa mayoritas Syiah di negara selain Arab bermadzhab Muktazilah. Di Rayy sendiri banyak orang awam yang mengikuti pendapat sarjana yang berpendapat 'kemakhlukan' al-Qur'an. Di bawah Buwaihiyyah, Muktazilah memang mendapatkan kejayaannya. Mereka menyebarkan madzhabnya tanpa penentang. Pun muncul sarjana-sarjana baru: Abu al-Huseyn al-Bashri (w. 436 H), Qadli Abdul Jabbar (w. 414 H) yang menjadi hakim agung di Rayy. Pada masa Fakhr al-Dawlah, Rayy mirip Baghdad di masa al-Makmûn dan Mu'tashim. Dan di Rayy ini, Muktazilah mendapatkan legitimasi politisnya. Menurut al-Dzahabi, Muktazilah dan Syi’ah berjalan harmonis semenjak tahun 370 H.<br />
<br />
Walaupun Muktazilah di tangan dinasti Buwaihiyyah mengalami masa kejayaan—dalam politik, akan tetapi kemudian mengalami kemunduran bersamaan dengan melemahnya Buwaihiyyah. Hal itu terjadi pada masa al-Khalifah al-Qadir Billah (381-422 H) yang menganggit kitab-kitab teologis untuk menghantam ideologi Muktazilah, serta menghantam ideologi Syi'ah bersamaan (permasalahan keutamaan Shahabat). Kitab tersebut dibacakan setiap Jum’at di Masjid al-Mahdi di Baghdad. Bersamaan dengan melemahnya Buwahiyyah, shultan Mahmud al-Ghaznawi (361-421 H) menguasai Rayy. Dengan ideologi Mahmud al-Ghaznawi yang Sunni-Syafi'i, maka ia mengasingkan Muktazilah dari Rayy ke Khurasan dan membakar kitab-kitabnya. Di Rayy pada saat itu terdapat perpustakaan besar yang berisi buku-buku filsafat dan kalam. Semua buku bercorak rasional di Rayy dibakar tanpa sisa.<br />
<br />
Selepas itu, Muktazilah bisa melepaskan diri dari Buwaihiyyah—atau lepas dari Syiah—dan berpindah ke Khawarizmi, dan penyebaran Madzhabnya di tangan Abi Mudlar Mahmud bin Jarir al-Asbhihani (w. 507 H). Dari sini terlahir ulama-ulama besar Muktazilah, di antaranya adalah Mahmud Zamakhsyari (w. 538 H). Ia mempunyai murid Abu al-Fath Nashir bin Abd al-Sayyid al-Mathrazi (w. 610 H). Kepemimpinan terakhir Muktazilah di Khawarizmi ada di tangan Abdul Jabbar bin Abdillah (w. 805 H).<br />
<br />
Muktazilah dengan hegemoni Sunni di jagad Islam, tidak musnah sama sekali. Akan tetapi yang tersisa adalah orang Syiah yang 'termu'tazilahkan'. Sebab orang-orang Syiah di Yaman, sebagaimana dikatakan al-Maqrizi—seperti dikutip Zuhdi Jarullah—sepakat dengan konsep-konsep Muktazilah: terkecuali masalah Imamah. Di antara sekte Syiah yang terdekat dengan konsep Muktazilah adalah Syiah Zaidiyyah—sekte ini menurut kelompok Sunni adalah sekte yang paling moderat di antara yang lain. Menurut Syaikh Qâsimî, sekarang yang dinamakan Syiah adalah Muktazilah; Syi'ah Irak, India, Persia, serta Zaidiyyah di Yaman. Bahkan Syi’ah di Irak merupakan Muktazilah secara mutlak.[27] Sedang di India, ada Muktazilah baru yang dibentuk oleh Sayyid Ahmad Khan.[28]<br />
<br />
Akan tetapi, menurut penulis, yang perlu menjadi catatan, Muktazilah dari masa ke masa mengalami degradasi pemikiran. Dr. Zuhdi Jarullah menyebutkan, Muktazilah sudah kehilangan nalar debatnya dan 'mandul' pada masa Abu Ali al-Jubbai. Sarjana besar terakhir—menurut Zuhdi Jarullah—yang dimiliki Muktazilah adalah Abu Hasyim al-Jubbai. Selepas ini, tidak terdengar lagi nama-nama besar sarjana Muktazilah seperti al-Nadzdzâm, Bisyr, Muammar, dll. Dengan kata lain, Muktazilah di era akhir tidak mempunyai inovasi atau capaian baru. Mereka banyak menjiplak metode berpikir sarjana klasiknya.<br />
<br />
Penutup<br />
<br />
Kajian sejarah di atas merupakan pintu masuk bagi percampuran Muktazilah-Syi’ah. Sebab persinggungan keduanya tak akan mungkin terlihat tanpa masuk melalui kajian sejarah. Jika sepakat bahwa Syi’ah yang ada sekarang secara ideologi merupakan Muktazilah[29], maka kemajuan Syi’ah, terutama dalam disiplin filsafat[30] tak bisa dilepaskan sepenuhnya dari Muktazilah.[31] Murtadla Mutahhari mengatakan, buku-buku filsafat Barat pernah diterjemahkan secara massif ke Persia. Salah satunya adalah buku al-Maqâl fî al-Manhaj karya Descartes.[32]Tak hanya itu, kemajuan Iran dalam teknologi yang sekarang menjadi satu-satunya negara yang mampu menandingi Barat, merupakan satu bukti spirit rasionalitas Muktazilah mampu berperan besar di sana.<br />
<br />
<br />
Referensi:<br />
<br />
[1] Beberapa peneliti menyibak relasi antara Jahm bin Shafwan dan kedua tokoh Muktazilah: Wâshil bin Atha’ serta Amr bin Ubaid. Jahm bin Shafwan meninggal tahun 128 H, sedang Wâshil tahun 131 dan Amr bin Ubaid tahun 144 H. Ini artinya, ketiganya adalah tokoh semasa. Ali Sami Nasyar mempunyai tesis, keduanya (Muktazilah dan Jahmiyyah) bertemu di permasalahan pentakwilan rasional (al-ta’wîl al-‘aqlî), serta rasio merupakan sumber pengetahuan, bahkan Muktazilah berpandangan penafian atribut Tuhan dan al-Qur’an merupakan makhluk—dan kita tahu, bahwa Ja’d bin Dirham dan Jahm bin Shafwan merupakan orang pertama yang berbicara hal tersebut. Akan tetapi, Muktazilah dan Jahmiyyah berbeda pula di permasalahan prinsipil: al-Qadar. Oleh sebab itu, terkadang Muktazilah disebut dengan Qadariyah, terkadang pula disebut Jahmiyah. Lihat Alî Sâmi al-Nasyâr, Nasy’at al-Fikr al-Falsafî fi al-Islâm, Kairo: Dar al-Ma’ârif, cet. VIIII, tt, hlm. 313, 330, 359, dan 373.<br />
<br />
[2] Muktazilah muncul sebab perdebatan antara Wâshil bin Atha’ dan gurunya, al-Hasan al-Bashri terkait permasalahan pelaku dosa besar: apakah di neraka ataukah di surga? Wâshil berpandangan, pelaku dosa besar tidak berada di surga, tidak pula di neraka. Akan tetapi ia berada di antara dua tempat: antara surga dan neraka, atau yang kerap disebut al-Manzilah bayn al-Manzilatain. Sebenarnya cerita penyematan Muktazilah beragam. Alî Sâmi al-Nasyâr dengan baik sekali menghindangkan pertentangan cerita ini dalam dua bentuk: baik yang memberikan predikat (subjek) ataupun yang diberi predikat (objek). Berdasarkan versi al-Syahrasytânî (al-Milal wa al-Nihal) dan al-Baghdâdî (al-Farq baina al-Firaq), objeknya adalah Wâshil bin Atha. Sedang al-Maqrîzî dan al-Sam’âni berpandangan, objeknya adalah Amr bin Ubaid. Versi lainnya, yang memberi predikat Muktazilah bukan al-Hasan al-Bashrî, akan tetapi Qatâdah bin Di’âmah al-Sadûsi (w. 118 H). Sedang Ibnu Murtadla dalam al-Maniyyah wa al-Amal, menyebut cerita dengan pelbagai versinya itu. Lihat Alî Sâmi al-Nasyâr, Nasy’at al-Fikr al-Falsafî fî al-Islâm, Op.Cit.,hlm. 375<br />
<br />
[3] Banyak Manuskrip-Manuskrip Muktazilah yang sampai sekarang masih tersimpan rapi di perpustakaan-perpustakaan Syi’ah di Yaman, atau India. Penulis, di tulisan ini akan memerinci percampuran Muktazilah dan Syi’ah di beberapa Negara.<br />
<br />
[4] Dr. Zuhdi Jârullah, al-Mu’tazilah, Beirut: al-Ahliyyah li al-Nasyr wa al-Tawzî’, 1974, pada muqaddimat al-kitâb<br />
<br />
[5] Relasi Muktazilah dan Syi’ah akan penulis jabarkan di beberapa baris berikutnya<br />
<br />
[6] Lihat Ahmad bin Yahyâ bin al-Murtadlâ, Thabâqat al-Mu’tazilah, Lebanon: Beirut, cet. II, 1987<br />
<br />
[7] ‘Pemaknaan terminologis’ yang dimaksud adalah paska Muktazilah mengkodifikasi ajaran mereka.<br />
<br />
[8] Periode pertama adalah al-Khulafâ’ al-Rasyîdûn, Abdullah bin al-Abbâs, Abdullah bin Mas’ûd, dll; periode kedua, al-Hasan, al-Husein, Muhammad bin al-Hanafiyyah, Sa’îd bin al-Musayyab, Thâwûs al-Yamânî, Abû al-Aswâd al-Du’âlî, dll; periode ketiga, al-Hasan bin al-Hasan, Abdullah bin al-Hasan, Abû Hâsyim Abdullah bin Muhammad bin al-Hanafiyyah, dll; periode keempat, Ghaylan bin Muslim al-Dimasyqî, Wâshil bin Athâ’, Amr bin Ubaid, dll; periode kelima, Utsmân bin Khâlid al-Thawîl, Hafsh bin Sâlim, al-Qâsim bin Sa’dî, Khâlid bin Shafwân, Hafsh bin al-Qawwâm, dll; periode keenam, Abû Hudzail Muhammad bin al-Hudzail al-Ubadi, Abû Ishaq al-Nadzdzâm, Bisyr bin al-Mu’tamir, dll; periode ketujuh, Amr al-Jâhidz, Isâ bin Shubaih, Muwais bin Imrân, Muhammad bin Syubaib, dll; periode kedelapan, Abû Alî al-Jubbâi, Ahmad bin al-Husein al-Baghdâdî, Abû al-Husein al-Khayyâth, dll; periode kesembilan, Abû Hâsyim al-Jubbâi, Muhammad bin Umar al-Shumayri, Abû Umar, al-Bâhilî, dll; periode kesepuluh, Abû Alî bin Khallâd, Abû Ishaq bin Iyyâsh, Abû al-Qâsim al-Sayrafi, Abû al-Husein al-Azraq, dll; periode kesebelas, Abdul Jabbâr al-Hamadânî, Ismâil bin Hammâd al-Jawharî, Abû Ahmad bin Abi Allân, dll; periode kedua belas, Abû Rasyîd Sa’îd bin Muhammad al-Naysabûri, al-Syarîf al-Murtadlâ, Ibnu Sa’îd al-Labbâd, dll. Lihat selengkapnya pada Abdurrahman Badawi, Madzâhib al-Islâmiyyîn; al-Mu'tazilah wa al-Asyâ'irah, Beirut: Dar al-Ilm al-Malâyiin, 1997, hlm. 40-43<br />
<br />
[9] Dr. Rasyid al-Khayyun, Mu’tazilah al-Bashrah wa Baghdâd, London: Dar al-Hikmah, cet. I, 1997, hlm. 7<br />
<br />
[10] Penulis tidak akan membahas secara detil kelima pilar pokok Muktazilah. Buku yang secara komprehensif membahas ini adalah Syarh al-Ushûl al-Khamsah, karangan al-Qâdlî Abd al-Jabbâr al-Hamadânî. Kairo: Maktabah Wahbah, peny. Ahmad bin al-Husein Ibn Abî Hâsyim, cet. III, 1996<br />
<br />
[11] Dr. Rasyid al-Khayyûn, Mu’tazilah al-Bashrah wa Baghdad, Op.Cit.,hlm. 302<br />
<br />
[12] Ali Sami al-Nasysyar mengatakan, Yahudi di awal mula merupakan kelompok yang irrasional. Ia juga menuliskan menuliskan beberapa lembar sisi keterpengaruhan Yahudi dari Islam: khususnya dari kaum tekstualis (al-Qurra’ûn). Bahkan al-Mas’udi menyebut al-Qurra’ûn ini dengan predikat Muktazilah: Ahl al-Adl wa al-Tawhid. Bagi al-Nasysyar, awal isu awal mula yang dimunculkan oleh Yahudi adalah terkait Imamah. Kemudian para sarjana Islam ramai untuk mengorek konsep teologi serta metafisik Islam yang sebenarnya melalui kedua sumber primer Islam. Lihat Ali Sâmi al-Nasysyâr, hlm. 79-89<br />
<br />
[13] Dr. Zuhdi Jârullah, al-Mu’tazilah, Op.Cit., hlm. 33<br />
<br />
[14] Tidak jelas bagaimana persambungan mata rantai Ja’d ke Yahudi. Akan tetapi Sâmi Nasyâr menyebut, Ja’d bin Dirham mengutip pendapatnya dari Bannân bin Sam’ân, Bannân dari Thâlût, anak saudara perempuan Labîd, anak saudara perempuan A’sham. Labîd ini mengambil perkataan kemakhlukan al-Qur’an dari Yahudi di Yaman. Lihat Alî Sâmi Nasyâr, hlm. 330<br />
<br />
[15] Yahyâ al-Dimasyqî mempunyai kitab bertajuk al-Îman al-Urtûduksî, yang menggambarkan kedudukan laki-laki ini dalam ilmu kalam. Ia, dalam kitabnya ini berupaya untuk mengukuhkan konsep ketuhanan Kristen dengan dalil-dalil rasional yang diadopsi dari logika Aristotelian. Kitabnya ini tak hanya berpengaruh untuk teritorial Kristen saja, akan tetapi juga dipelajari dan diterjemahkan oleh Thomas Aquinas. Zuhdî Jârullah, hlm. 24<br />
<br />
[16] Ibid.,hlm 27-30<br />
<br />
[17] Abdurrahman Badawi, Madzâhib al-Islâmiyyîn, Op.Cit.,hlm. 81<br />
<br />
[18] Abid al-Jabiri–dalam pengantar al-Kasyf 'an Manâhij al-Adillah–-mengatakan bahwa kodifikasi madzhab dalam sekte Muktazilah di awal terbentuknya masih belum terlaksana. Sehingga teori-teori mereka masih tercecer. Setelah muncul Abû Hudzail al-'Allâf (w. 235H), kodifikasi madzhab mulai dilaksanakan. Artinya teori-teori ilmu kalam sekte ini baru disusun dengan sistematis pada masa Abû Hudzail al-'Allâf. Namun sistematisasi oleh Abû Hudzail tidak menafikan teori-teori individu yang sudah dibukukan, seperti Wâshil bin Atha' yang menganggit kitâb al-Tawhîd, kitâb al-Futyâ, atau 'Amr bin Ubaid yang menjawab sekte Qadariah dalam al-Rad 'ala al-Qadariyah. Abû Hudzail mengambil teori Muktazilah dari Wâshil bin Athâ'. Buku-buku filsafat teramat akrab dengan Abu Hudzail, disebabkan, ia hidup pada masa penerjemahan ('ashr al-tarjamah). Darinya dikenal istilah al-Jawhar al-Fard (atomisme), yang kelak menjadi pondasi kuat bagi teolog di masa setelahnya. Al-jawhar al-Fard, oleh para teolog, diimplementasikan pada masalah pengetahuan Allah terhadap partikular kehidupan ('ilm Allah bi al-juziyyât). Disusul dengan keberawalan Alam. Ketika Alam berawal, maka membutuhkan pada pencipta, yang dalam hal ini adalah Allah. Jadi peran al-Jawhar al-Fard dalam ilmu kalam sangat signifikan karena mencakup pembahasan inti ilmu kalam, yaitu pembuktian adanya Tuhan. Abu al-Walîd Ibnu Rusyd, al-Kasyf 'an Manâhij al-Adillah, Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-Arabiyyah, cet.I, pengantar M. Abid al-Jabiri, hlm. 20<br />
<br />
[19] Zuhdî Jârullah, hlm. 123<br />
<br />
[20] Ibid.,hlm. 42-46<br />
<br />
[21] Ibid.,hm. 50<br />
<br />
[22] Jika menurut Sami Nasyar, Muktazilah dan al-Qadariyyah tidak bisa disamakan, Zuhdi Jarullah berpandangan bahwa Qadariyah, paska munculnya Muktazilah melebur ke mereka. Oleh karena itu banyak sejarawan klasik yang menyebut Muktazilah dengan Qadariyah. Zuhdî Jârullah, hlm. 158<br />
<br />
[23] Ibid., hlm. 183-184<br />
<br />
[24] Sebelum melemahnya Muktazilah, fenomena pengkafiran ini sebenarnya sudah terjadi. Al-Baghdadi menyajikan beberapa fenomena pengkafiran ini; Abû Hudzail al-Allâf mengkafirkan muridnya al-Nadzdzam dalam bukunya al-Radd ala al-Nadzdzam, begitu pula Jakfar bin Harb, al-Jubba’i, al-Iskafi. Jakfar bin Harb mengkafirkan gurunya, Abû Hudzail al-Allâf dalam kitab Tawbîkh Abi Hudzail sebab pendapatnya kerap menyerupai ateis. Al-Ka’bi mengkafirkan al-Khayyath dan beberapa pembesar Muktazilah lainnya karena tidak berargumen dengan khabar ahad. Muktazilah juga mengkafirkan Abd al-Salam al-Jubbâi, al-Iskafi, Bisyr bin al-Muktamir. Perlahan pengikut Muktazilah melemah, bahkan beberapa tokoh Muktazilah menyatakan keluar dari madzhab besar ini. Awal mula tokoh yang menyatakan pemisahan dirinya adalah Basysyar bin Burd (w. 168 H).<br />
<br />
[25] Misalnya, Ibnu Babaweh yang mengadopsi secara mutlak pencarian ratio-legis dalam kitabnya ‘al-Ilal’. Lihat Zuhdî Jârullah, hlm. 205<br />
<br />
[26] Ibid., hlm. 206<br />
<br />
[27] Jamâl al-Dîn al-Qâsimî al-Dimasyqî, Târîkh al-Jahmiyyah wa al-Mu’tazilah, Beirut: Muassasah al-Risâlah, cet. I, 1979, hlm 56<br />
<br />
[28] Bagi penulis sendiri, pendakuan terhadap Muktazilah tanpa mengambil lima pilar (al-ushûl al-khamsah) yang disepakati oleh sarjana Muktazilah klasik, bukanlah Muktazilah dalam pemaknaannya secara terminologis. Seperti yang dilakukan oleh Sayyid Ahmad Khan di India, atau Muhammad Abduh di Mesir, bahkan yang baru-baru ini muncul, Jaringan Islam Liberal di Indonesia. Mereka lebih bisa dikatakan ‘neo-Muktazilah’, sebab mengambil spirit rasionalitas Muktazilah untuk diaplikasikan dalam konteks mereka.<br />
<br />
[29] Dr. Rasyid al-Khayyun mengatakan bahwa Syi’ah Zaidiyyah juga mengimani pandangan penafian takdir dan atribut Tuhan. Akan tetapi Zaidiyyah memasukkan “al-manzilah baina al-manzilatain” dalam sub Imamah, sedang Muktazilah memasukannya dalam terma “al-adl”. Menurut Rasyid al-Khayyun, hal itu disebabkan karena hubungan antara Wâshil bin Athâ’ dan Zaid bin Ali yang sudah terjalin semenjak dulu. Kemudian Muktazilah Baghdad dan Syi’ah Zaidiyyah sama-sama mengimani kepemimpinan “al-mafdlûl” walaupun ada “al-fâdlil”: legalitas kepemimpinan Abu Bakr al-Shiddîq walaupun ada Ali bin Abî Thâlib. Lihat Dr. Rasyîd al-Khayyûn, Mu’tazilah al-Bashrah wa Baghdad, Op.Cit.,hlm. 11<br />
<br />
[30] Untuk membaca capaian kaum Syi’ah terhadap filsafat di abad 11 H, bisa dibaca pada pengantar Murtadla Mutahhari di buku Sayyid Husein Thabathaba’i dalam Usus al-Falsafah. Murtadla Mutahhari mengatakan, pada saat Mulla Shadra mensistematisasikan capaian filosofisnya, di Eropa muncul gerakan pencerahan yang teramat besar. Usus al-Falsafah wa al-Madzhab al-Wâqi’î, Beirut: Dar al-Ma’ârif li al-Mathbû’ât, Juz. I, tt, pengantar Murtadla Mutahhari, hlm. 19<br />
<br />
[31] Muhammad Abdul Hâdî Abû Raydah mengarang sebuah buku yang bertajuk Ibrâhîm bin Sayyâr al-Nadzdzâm Wa Ara’uhu al-Kalâmiyyah al-Falsafiyyah. Di sana disebutkan, salah satu tokoh Zaydiyyah yang paling kentara terpengaruh oleh al-Nadzdzâm adalah al-Qâsim bin Ibrahîm al-Hasanî (w. 246 H). Ia mengarang buku tentang keadilan dan ketuhanan, penafian takdir dan tasybîh. Lihat Ibrâhim bin Sayyâr al-Nadzdzâm wa Arâ’uh al-Kalâmiyyah al-Falsafiyyah, Kairo: al-Hay’ah al-Mishriyyah al-Âmah, pengantar. Fayshal ‘Aun, 2010, hlm. 185<br />
<br />
[32] Sayyid Husein Thabathabâ’i, Usus al-Falsafah wa al-Madzhab al-Wâqi’î, Op. Cit.,hlm. 21</span> </div>Ahmad Hadidul Fahmihttp://www.blogger.com/profile/01841733022516134434noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-3803797330041316914.post-79150712320642612012012-06-03T04:07:00.002-07:002012-06-05T17:18:50.511-07:00Rajam Sebagai Takzir<div align="justify">Ketika para pakar fikih berbicara tentang praktek hudud (red. hukuman tertentu yang sudah ditetapkan oleh Allah untuk bentuk pelanggaran tertentu), maka pembaca seolah dihadapkan pada praktek hukuman yang sudah benar-benar final dan tak bisa “diotak-atik”—jika meminjam redaksi pakar fikih klasik, hudud termasuk “hukuman yang sudah diatur” (al-uqûbah al-muqaddarah). Hudud dibedakan dari takzir sebab takzir hukumannya kondisional (melalui kebijakan hakim), dan dibedakan dari kisas sebab kisas hak adami. Di antara hukuman yang dikategorikan had adalah hukuman bagi pelaku zina yang sudah pernah menikah (muhshan). Dalam buku-buku fikih klasik masyhur dikatakan, hukuman bagi pelaku pelanggaran tersebut adalah dirajam sampai meninggal.<span class="fullpost"> <br />
<br />
Sebuah informasi menarik saya temukan bukan dari buku Jamal al-Banna, Hasan Hanafi, atau seabreg pemikir kiri lainnya. Akan tetapi dari fatwa syekh Musthafa Zarqa, pakar fikih dari Syiria, dalam bukunya yang bertajuk Fatawa Musthafa Zarqa (2004), sebuah kompilasi fatwa yang dikumpulkan oleh muridnya, Ahmad al-Makki. Dalam buku tersebut dituliskan, Abu Zahrah, pakar fikih kenamaan dari Mesir, menyimpan “unek-unek” selama dua puluh tahun mengenai hukuman rajam bagi pelaku zina muhshan. Sampai kemudian “unek-unek” nya itu disampaikan secara oral dalam Muktamar yang dilaksanakan di Libia. Menurut pengarang buku Târikh al-Madzâhib al-Islâmiyyah ini, hadis-hadis yang menyiratkan bahwa Nabi memerintahkan pelaku zina muhshan untuk dirajam, perlu diragukan validitasnya. Titik pijak tesis tersebut, rajam merupakan hukuman terberat yang tidak tergambarkan diperintahkan oleh seorang Nabi yang mempunyai jiwa lembut.<br />
<br />
Argumen yang diberikan oleh Abu Zahrah cukup rasional: hukuman pelaku zina dalam al-Qur’an hanya ada satu. Hukuman tersebut adalah cambuk seratus kali, serta tidak ada pembedaan antara perawan maupun yang sudah pernah menikah. Ayat yang menopang argumen Abu Zahrah adalah, “bagi mereka (budak), hukumannya separuh hukuman perempuan yang sudah menikah” (al-Nisa: 25). Jika benar hukuman bagi pelaku zina muhshan adalah dirajam sampai mati, hal itu tidak logis. Sebab, menurut Abu Zahrah, kematian tidak bisa ditakar dengan kalimat “setengah” (uqûbat al-mawt rajman la taqbal al-tansîf). Abu Zahrah memandang bahwa rajam adalah hukuman kaum Yahudi, dan terhapus (mansûkh) dengan datangnya Islam. Menurut Yusuf Qardlawi, Abu Zahrah tidak pernah menuliskan pendapat “kontroversial”nya ini.<br />
<br />
Bagi Musthafa Zarqa, pendapat Abu Zahrah itu cukup apatis sebab mengabaikan teks-teks hadis yang berbicara rajam. Akan tetapi bukan berarti rajam harus tetap dilaksanakan tanpa ada celah sama sekali di sana. Ia memberikan beberapa celah yang tak kalah menarik: perintah Nabi untuk merajam pelaku zina muhshan bisa dikategorikan sanksi yang kebijakannya ditentukan oleh hakim. Dalam diskursus fikih, sanksi tersebut diistilahkan dengan ta’zîr. Konsekuensi apabila kebijakan di tangan hakim, si hakim punya wewenang untuk merajam atau hanya dicukupkan dengan cambuk saja. Atau penggabungan cambuk sebagai had, dan hukuman lain (selain rajam) sebagai takzir. Dengan kata lain, Musthafa Zarqa memandang bahwa cambuk (al-jald) merupakan hukuman sebenarnya dari pelaku zina muhshan (al-hadd), sedang rajam adalah takzir yang hukumannya bisa berubah-ubah. Lalu apa landasan fikih Musthafa Zarqa?<br />
<br />
Hadis Nabi sebagai “teks primer” awal pensyariatan rajam adalah riwayat Ubadah bin Shamit, “perawan yang berzina dengan perjaka dicambuk seratus kali dan diasingkan satu tahun, sedang duda dan janda yang berzina dicambuk seratus kali serta dirajam dengan batu”. Dalam hadis ini, Nabi menambahkan hukuman cambuk yang tertulis di dalam al-Qur’an dengan pengasingan satu tahun bagi perawan, serta hukuman cambuk dengan rajam bagi janda. Oleh sebab itu, dari riwayat yang disampaikan oleh Ali dikatakan, “pelaku zina muhshan dicambuk dengan (melalui argumen) al-Qur’an, dan dirajam dengan (melalui argumen) sunah”. Dari sini muncul pembedaan di kalangan ulama Islam. Bahwa di teks hadis tersebut terdapat dua praktek hukuman berbeda untuk masing-masing kasus: hukuman cambuk dan hukuman diasingkan untuk kasus perawan yang berzina, serta hukuman cambuk dan hukuman rajam untuk kasus janda yang berzina.<br />
<br />
Nah, melalui riwayat Ubadah bin Shamit di atas, ulama-ulama dari Madzhab Hanafi menganggap “diasingkan” (al-taghrib) untuk hukuman pelaku zina perawan bukan bagian dari “hadd”, akan tetapi hanya sanksi yang kebijakannya ditentukan oleh hakim. Jika demikian, menurut Musthafa Zarqa, rajam juga seharusnya dimasukkan dalam kriteria takzir, sebab keduanya mempunyai redaksi yang sangat mirip dan berada dalam satu teks hadis. Walaupun pendapat ini tidak dituliskan oleh para pemuka Madzhab Hanafi, tapi, menurut Zarqa, itulah konsekuensi dari tesis mereka yang mengatakan bahwa hukuman sebenarnya bagi pelaku zina adalah cambuk—pengasingan hanya takzir. Kategori rajam yang dimasukkan dalam kriteria takzir pernah disuarakan oleh Mahmoud Syalthout, kemudian diamini oleh Yusuf al-Qaradlawi. Namun, baik Mahmoud Syalthout dan Yusuf al-Qaradlawi juga tidak pernah berani menulis pendapatnya ini.<br />
<br />
Baik Mahmoud Syalthout, Musthafa Zarqa serta Yusuf al-Qaradlawi adalah tokoh-tokoh yang sangat diperhitungkan dalam dunia Islam. Mahmoud Syalthout merupakan mantan Syaikh al-Azhar yang dikenal inklusif. Ia yang menyuarakan untuk mengikis perbedaan di kalangan umat Islam melalui pengenalan ajaran-ajaran madzhab di luar Sunni di dalam al-Azhar. Mahmoud Syalthout juga pernah memfatwakan kebolehan memanfaatkan madzhab Syi’ah Itsna ‘Asyariyyah dalam beragama. Sedangkan Musthafa Zarqa, beliau adalah putra Ahmad Zarqa, sekaligus cucu Muhammad Zarqa. Tiga generasi ini—oleh Ali Thantawi—disebut dengan silsilat al-dzahab, sebab kakek, ayah dan cucu ini sama-sama terlahir menjadi pakar fikih yang sangat diperhitungkan kemudian.</span> </div>Ahmad Hadidul Fahmihttp://www.blogger.com/profile/01841733022516134434noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3803797330041316914.post-3482018631745233492012-03-10T19:09:00.003-08:002012-03-17T13:56:04.872-07:00Tafsir Dan Takwil; Upaya Memahami Kitab Suci<div align="justify">Oleh Ahmad Hadidul Fahmi, Lc<br /><br />Bagaimanapun, al-Qur'an sebagai kalam suci telah menyita perhatian banyak pihak. Sebab, selain al-Qur'an mencakup aspek ritual, al-Qur’an juga tidak hadir sekonyong-konyong menjadi teks dengan lekukan-lekukan rapi di tengah cover mahal yang mengitarinya. Ada bentangan sejarah panjang semenjak masa diturunkannya wahyu sampai menjadi seperti sekarang. Dari para sarjana Islam klasik, modern, dan bahkan orientalis[1], telah melakukan kajian mendalam terhadap kitab agung ini. Tak terkecuali jika berbincang sejarah penafsiran al-Qur’an. Dalam sejarahnya, hierarki capaian akal yang membentuk perbedaan perspektif manusia terhadap suatu fenomena, meniscayakan pengaruh besar terhadap pola interpretasi terhadap al-Qur’an. Keanekaragaman tersebut ditunjang pula oleh al-Qur'an itu sendiri, seperti dikatakan oleh Abdullah Darraz, "layaknya berlian yang setiap sisinya memancarkan cahaya yang tak seragam: yang berbeda dengan sisi-sisinya yang lain".[2]<span class="fullpost"><br /><br />“Terhadap Injil, setiap orang meminta keyakinannya, dan di dalamnya pula, setiap orang mendapatkan apa yang ia pinta.” Tampaknya, ungkapan Peter Werenfels ini, ujar Goldziher, selain sesuai dengan konteks pembaca Injil, pun menemukan relevansinya dengan umat Islam terhadap al-Qur’an.[3] Dalam perjalanannya, teks suci selanjutnya mirip ‘mainan’: ditarik ulur untuk menopang kepentingan politik atau ideologi sekte tertentu. Dari sini muncul pertanyaan menarik, sejauh mana “batasan” interaksi umat Islam dengan al-Qur’an?<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Sisi Historis Tafsir; Analisa Atas Sebab Perbedaan</span><br /><br />Peneliti perkembangan tafsir sepakat bahwa upaya untuk memahami dan menjelaskan kandungan al-Qur’an sudah muncul semenjak masa nabi SAW: terutama saat beberapa shahabat merasa kesulitan mengungkap maksud suatu ayat.[4] Yang membedakan penafsiran pada masa Nabi dan generasi setelahnya pada implikasi perbedaan memahami teks. Dalam arti, masa Nabi belum membuahkan banyak perbedaan, karena Nabi mempunyai otoritas mutlak ketika menjelaskan maksud al-Qur'an, juga permasalahan pada masa itu belum kompleks serta belum mengalami perkembangan signifikan. Baru selepas wafatnya Nabi SAW, di saat perkembangan masalah semakin melebar, beberapa pembesar shahabat mengambil inisiatif untuk melaksanakan ijtihad menginterpretasi ayat.[5] Oleh para ulama, pada masa ini dianggap sebagai "embrio" munculnya beberapa model penafsiran yang beraneka ragam yang muncul di kemudian hari.<br /><br />Huseyn al-Dzahabi menyebutkan dalam bukunya al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, shahabat dalam memahami ayat tidaklah seragam: di antara mereka ada yang kuat pemahamannya terhadap bahasa Arab, atau yang kerap mendampingi Nabi hingga mengetahui sebab turunnya ayat (asbâb al-nuzûl) secara langsung, dan tak jarang pula di antara mereka yang lemah pemahamannya terhadap bahasa Arab.[6] Dengan demikian, keanekaragaman bentuk penafsiran yang terjadi setelahnya tidak bisa lepas dari perbedaan pandangan yang sudah terjadi di kalangan shahabat. Adalah Ibnu Mas'ud yang cenderung dominan pada daya nalarnya, Ibnu Abbas yang lebih mencolok penafsiran melalui periwayatan (riwâyah). Menurut Huseyn al-Dzahabi, sumber penafsiran al-Qur’an pada masa ini berkisar pada al-Qur’an itu sendiri, sabda Nabi[7], ijtihad, dan Ahl al-Kitab. Ada karakter yang membedakan penafsiran di masa shahabat dengan generasi setelah mereka: penafsiran pada masa ini tidak mencakup keseluruhan ayat, dan hanya ditafsirkan secara global.<br /><br />Ibnu 'Abbas kemudian mempunyai murid dikalangan tabi'in—generasi setelah shahabat, di antaranya Mujahid (w. 104 H), Atha’ bin Abi Rabbah (w. 114 H), Ikrimah (w. 104 H), Thawus (w. 106 H), Sa'id bin Jubeir (w. 95 H), dll. Sedang ‘Alqamah bin Qays (w. 61 H), Masruq bin Abd al-Rahman (w. 63 H), al-Aswad bin Yazid (w. 74 H), adalah periwayat dari Ibnu Mas’ud. Abu al-Aliyah (w. 90 H), Zaid bin Aslam (w. 136 H) dan Muhammad bin Ka’b (w. 118 H) meriwayatkan dari Ubay bin Ka’b. Ibnu Taymiah dalam Muqaddimah fî Ushûl al-Tafsîr menyatakan, tokoh-tokoh tersebut kemudian yang mendominasi berdirinya tiga madrasah penting dalam sejarah perkembangan tafsir di era tabi’in: madrasah di Mekah yang didirikan oleh Ibnu Abbas, di Iraq yang didirikan oleh Ibnu Mas’ud, dan di Madinah yang didirikan oleh Ubay bin Ka’b. Metode tafsir yang diriwaytkan (transmisional) dari Nabi, shahabat, serta tabi'in ini yang kemudian diistilahkan dengan al-Tafsîr bi al-Ma'tsûr.[8]<br /><br />Pada tahap ini tafsir al-Qur’an sudah banyak tercampur dengan riwayat Judeo-Kristiani (isrâiliyyât) sebab semakin banyaknya Ahli Kitab yang masuk Islam.[9] Tafsir pada tahap ini juga ditandai dengan banyaknya perbedaan yang diakibatkan kompleksitas masalah yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Akan tetapi, tafsir pada generasi Nabi, shahabat dan tabi’in masih sebatas disampaikan secara oral.<br /><br />Secara sederhana, setelah masa ini, pembukuan tafsir (al-Tadwîn) mulai digalakkan. Dr. Rumzi al-Na’na’ah memetakan sejarah kodifikasi tafsir dalam empat fase; pertama, bersamaan dengan kodifikasi hadis. Pada fase ini tafsir dikodifikasi secara tematik disesuaikan dengan tema hadis. Tafsir di fase ini tidak berperan menginterpretasi al-Qur’an per-kata, namun hanya mengandalkan interpretasi transmisional yang dinisbatkan pada nabi, shahabat serta tabi’in secara global. Tokohnya adalah Yazid bin Harun al-Silmi (w. 206 H), Syu’bah bin al-Hajjaj (w. 160 H) serta Sufyan bin ‘Uyainah (w. 198 H); kedua, independensi tafsir dari hadis. Tafsir pada fase ini menginterpretasi kata per-kata sesuai dengan urutan mushaf. Corak tersebut dapat dijumpai dari Ibnu Majah (w. 273 H), Ibnu Jarir al-Thabari (w. 310 H), serta Ibnu Abi Hatim (w. 327 H). Sebagai catatan penting, model tafsir ini pun mengandalkan riwayat-riwayat dari Nabi, shahabat, serta tabi’in (transmisional), terkecuali tafsir Ibnu Jarir al-Thabari. Al-Thabari mengupas banyak pendapat, kemudian melakukan seleksi dari sekian pendapat tersebut, terkadang pula menginferensi suatu hukum dari ayat terkait.<br /><br />Ketiga, tafsir dengan corak transmisional (al-ma’tsûr) disertai mata rantai lengkap. Namun ada beberapa penafsir yang mencukupkan pada rantai tanpa menyebut pengucapnya. Model demikian yang disinyalir sebagai akar kemunculan riwayat Judeo-Kristiani dalam buku-buku tafsir. Hal itu disebabkan tidak jelasnya kualifikasi terhadap riwayat yang datang; keempat, tafsir mengalami perkembangan secara massif. Di samping mengandalkan riwayat transmisional (al-ma’tsûr), corak tafsir rasional (al-‘aqlî) pada masa ini pun menggema. Tafsir yang berdimensi rasional kemudian semakin melebarkan sayapnya tatkala pemerintahan Abasiyah mulai membuka “kran” dengan peradaban luar Islam: Yunani. Corak rasional murni dapat kita jumpai pada Mafâtîh al-Ghaib, karya Fakhr al-Din al-Razi, atau al-Bahr al-Muhîth, karangan Abu Hayyan al-Tawhidi.[10]<br /><br />Secara umum, para penafsir memulai uraiannya—terhadap suatu ayat—ditopang dengan riwayat yang bersumber dari Nabi. Seandainya tak menjumpai, mereka berpindah menuju perkataan para shahabat, kemudian tabi’in. Karakter para penafsir sendiri berbeda; ada beberapa penafsir yang mendasarkan pendapatnya—secara paripurna—terhadap riwayat transmisional, namun terdapat pula yang bercorak rasional murni. Atas dasar ini, buku tafsir klasik kemudian dijumpai seperti “lautan ilmu”. Jamal al-Banna memetakan dengan apik tipologi penafsir klasik dalam tiga corak; pertama, yang berorientasi terhadap bahasa (al-lughawiyyun); kedua, orientasi sektarian (al-madzhabiyyûn); ketiga, orientasi menafsirkan al-Qur’an mempergunakan riwayat (al-ikhbâriyyûn).[11]<br /><br />Bagi Jamal sendiri, ketiga corak tafsir ini mempunyai kecacatannya tersendiri. Untuk yang pertama, penyebabnya adalah perbedaan metode antar penafsir yang didasarkan pada unsur bahasa. Mereka terlalu masuk dalam pada persoalan pelik bahasa; entah itu gramatika (al-nahw wa al-sharf) atau keindahan bahasa (balâghah). Imbasnya, al-Qur’an ditundukkan pada kaidah-kaidah gramatika, atau balaghah. Sebagai misal, dalam perbincangan gramatika, struktur asal suatu kalimat tersusun dari tiga unsur: subyek (al-fâ’il), predikat (al-fi’l), dan obyek (al-maf’ûl) yang terangkum dalam susunan “fi’il-fa’il” atau “mubtada-khabar”. Jika tidak terdapat salah satu dari ketiga unsur ini, maka yang bermain kemudian “spekulasi”—atau dibahasakan dengan “taqdîr”. Mari kita simak penuturan Jamal al-Banna—mengutip Abd al-Sattar al-Jawari--terkait hal ini,<br /><br />“Firman Allah dalam surat al-Nisa: “dan keinginanmu untuk mengawini mereka” (targhabûna an tankihûhunna). Kata kerja “raghiba” akan sampai pada dua obyek dengan dua kata (‘an serta fî), dan akan menghasilkan dua makna yang kontradiktif; apabila mempergunakan “raghiba fî” akan sampai pada makna positif, jika mempergunakan “raghiba ‘an” akan menghasilkan makna negatif […]. Oleh karena itu, Zamakhsyari, ketika mengurai masalah ini mengatakan: “kemungkinan maknanya adalah menyukai, hingga berkehendak menikahinya karena cantik, atau membenci, sehingga tidak mau menikahinya karena jelek”. Namun beberapa pakar dalam permasalahan ini mengatakan: raghbah dalam kalimat ini, entah itu mempergunakan fî atau ‘an sama saja, sehingga tidak dicantumkan. Menurut saya (‘Abd al-Sattar al-Jawari), perkaranya tak sesulit itu. Karena makna kata kerja itulah yang harus dijadikan pegangan. Adapun huruf tambahan hanya untuk membatasi relasi dengan obyek: negatif atau positif. Kata raghbah yang membatasi relasi (negatif atau positif) dengan obyek adalah raghbah fî syain (menyukai suatu hal). Adapun makna negatif (raghbah ‘an syain) merupakan cabang (al-far’) yang tak diketahui terkecuali dijumpai huruf ‘an secara tersurat”.[12]<br /><br />Al-Qur’an sendiri, dari kacamata gramatika, dapat diklasifikasi pada dua bagian; pertama, bagian yang selaras dengan kaidah-kaidah gramatika; kedua, bagian-bagian yang berbenturan dengan kaidah-kaidah gramatika. Untuk yang kedua ini, sikap penafsir terpetakan mejadi tiga; pertama, secara frontal menyatakan ketidakcocokannya; kedua, masih berupaya mendamaikan walaupun kemudian “mengalahkan” al-Qur’an; ketiga, mentakwil ayat-ayat yang tak selaras dengan kaidah gramatika.[13] Sebagai misal, dalam kaidah nahwu, "la yajûzu wuqû' al-istisnâ al-mufarragh ba'da al-îjâb." Padahal dalam al-Qur'an ada delapan belas “al-istisna al-mufarragh” yang jatuh dalam kalimat postif. Di antaranya lagi, “la yajûzu 'athf al-ismi al-dzâhir 'alâ al-dlamîr al-makhfûdz illâ ba'da i'âdat al-khâfidz." Padahal firman Allah berbunyi (Qira’at Hamzah), "wattaqullah al-ladzî tasâalûna bihi wa al-arhâmi." Lafadz “al-arhâm” dibaca kasrah dan diikutkan ('athaf) pada isim dlamir tanpa mengembalikan khâfidz—dalam qiraat Hamzah. Padahal bacaan ini adalah dari sebagian besar tabi'in, shahabat. Dan menurut Abu Hayyan al-Tawhidi, itu adalah bacaan mutawatir dari Nabi. Oleh karena itu, pakar nahwu jika menjumpai ayat yang tak cocok dengan kaidah nahwu mengatakan, “ini kesalahan penulis”.<br /><br />Kedua; orientasi sektarianistik (al-madzhabiyyûn). Contoh yang paling kentara ketika al-Qur’an berbicara tentang atribut Tuhan. Sebagaimana dalam tafsir al-Kasysyâf, karangan Zamakhsyari dari sekte Muktazilah, yang terkadang berlebihan menafsirkan suatu ayat agar selaras dengan ideologi sektenya: penafian sifat. Kita melihat bagaimana saat Zamakhsyari memaknai kalâm (berbicara) dengan al-kalmu (luka), sehingga—menurut Muktazilah--maknanya: “Allah menguji Nabi Musa dengan pelbagai macam fitnah.” Karena memang, menurut Zamakhsyari, pada praktiknya al-Qur’an mendedah argumen eksistensi Tuhan hanya melalui “kontemplasi” terhadap keindahan alam raya. Dan penafian “pembicaraan” ini berakibat pula penafian sifat—sebagaimana ideologi Muktazilah. Begitu pula dari sekte Khawarij ketika menafsirkan ayat: “fa minkum kâfir wa minkum mu’min”, bahwa manusia hanya pada dua jalur: mukmin dan kafir. Yang demikian itu karena mereka menganggap bahwa pelaku dosa besar—jika tidak bertaubat—masuk pada golongan kafir. <br /><br />Ketiga; orientasi menafsirkan al-Qur’an mempergunakan riwayat (al-ikhbâriyyûn). Metode yang ditempuh mempergunakan riwayat transmisional, sehingga kemudian dinamakan “al-Tafsîr bi al-Ma’tsûr”. Faktanya, menurut Jamal al-Banna, riwayat dari Nabi terhadap ayat al-Qur’an sangat sedikit sekali. Bahkan, tafsir terhadap suatu ayat yang datang dari Nabi bukan dari Nabi sendiri, melainkan Nabi hanya mempergunakan ayat al-Qur’an yang lain untuk menafsirkan (tafsîr al-Qur’an bi al-Qur’ân). Sampai riwayat yang dari shahabat serta tabi’in pun kemudian dipakai, jika tak ditemukan pernyataan dari Nabi terhadap ayat tertentu. Bahkan ada yang menuliskan semua riwayat yang datang dari Ibnu ‘Abbas dalam sebuah buku dengan tajuk “Tafsîr ibni ‘Abbas”.[14] Padahal, mayoritas riwayat yang ada dalam kitab tersebut diriwayatkan oleh al-Kalbi, al-Sadiy, serta Muqatil bin Sulaiman. Mereka adalah nama-nama yang sudah mendapat predikat pemalsu. Imam Suyuthi sendiri—yang telah didahului oleh Ibnu Taymiah—berujar, bahwa perkataan Ahmad bin Hanbal, “tiga kitab yang tidak bisa dipertanggungjawabkan; peperangan, mimpi, serta tafsir,” ditujukan untuk periwayat dalam tafsir Ibnu ‘Abbas. Rasyid Ridla meneruskan pernyataan Ahmad bin Hanbal tersebut hingga sampai pada nama-nama buku tafsir yang di“black list” karena berisikan riwayat yang tak dapat dipertanggungjawabkan: al-Wahidi, al-Tsa’labi, Zamakhsyari, Baidlawi. Ada tiga karakter perbincangan corak tafsir model ini; pertama, berbincang tentang para Nabi secara spesifik, Bani Israil, hari Akhir, surga, neraka; kedua, mengerucutkan pembahasan yang disamarkan oleh al-Qur’an (ta’yîn al-mubhamât); ketiga, memaparkan sebab diturunkannya suatu ayat (asbâb al-nuzûl).<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Tafsir dan Takwil; Upaya Menumbuhkan Toleransi Penafsiran</span><br /><br />Nashr Hamid Abu Zaid, mewakili para pengkaji tafsir dan tafsir al-Qur’an saat mencari legitimasi takwil, mengatakan bahwa tafsir dan takwil sebagai dua terma yang bersinonim telah dinyatakan oleh generasi awal Islam. Ibnu Jarir al-Thabari mempunyai kitab tafsir yang bertajuk Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ay al-Qur’an. Takwil dari penamaan Ibnu Abbas untuk tafsirnya—menurut banyak pengkaji tafsir—mempunyai makna “tafsir”. Begitu pula Nabi saat mendoakan Ibnu Abbas mengatakan, “allahumma faqihhu fi al-dîn wa allimhu al-takwil”—semoga Allah menjadikan dia orang yang memahami agama dan mengerti tentang tafsir. Akan tetapi sinonimitas tidak lantas mempunyai implikasi tak berbeda. Sebab belakangan, terma takwil lebih diidentikkan untuk penjelasan alegoris dan metaforis terhadap al-Qur’an, sebagaimana yang sering dipraktikkan oleh sebagain tokoh-tokoh sufi, teolog dan filsuf. Pada tataran praksis, muncul model-model takwil-an “liar” melalui penjelasan alegoris, hingga memaksakan gagasan-gagasan nakal ke dalam teks literal al-Qur’an. Sebab itulah terma takwil menjadi tidak begitu mendapat apresiasi di kalangan ortodoksi Islam. Walaupun begitu, takwil tetap dinilai sebagai salah satu unsur keindahan bahasa al-Qur'an.[15]<br /><br />Takwil sendiri sebenarnya terminologi yang problematis dalam babakan sejarah Islam: sebab antar sarjana kerap berbeda-beda memaknai takwil dari masa ke masa. Jika di awal Islam takwil diposisikan sinonim dengan tafsir, selanjutnya berkembang definisinya menjadi “maksud dari sebuah perkataan”. Sedang tafsir merupakan penjelasan terhadap maksud redaksi. Dengan kata lain, jika terdapat redaksi, “Matahari muncul”, maka takwilnya adalah realisasi di alam riil bahwa matahari muncul. Sedang tafsir menjelaskan dan menjabarkan bagaimana kronologis kemunculan serta waktunya. Pun berkembang definisi bahwa definisi tafsir lebih ke transmisi (al-naql) sedang takwil lebih ke penjelasan eksploratif (ijtihâdî) yang didasarkan pada perenungan dan kontemplasi. Sebagai misal, diferensiasi yang dilontarkan oleh al-Raghib al-Ishfahani, bahwa tafsir lebih ke redaksional, berhubungan dengan struktur kalimat, sedang takwil lazimnya berelasi dengan makna susunan kalimat.[16] <br /><br />Perkembangan takwil juga erat kaitannya dengan implikasi-implikasi ayat yang sebenarnya tak tunggal. Misalnya, jika kita tengok bagaimana Syihab al-Din al-Lusi dalam pengantar tafsirnya, Rûh al-Ma’âni, memberikan argumen untuk pengukuhan makna-makna ayat esoterik. Menurut al-Lusi, makna ayat esoterik bukan hendak meniadakan makna eksoterik. Sebab, keyakinan yang demikian merupakan keyakinan orang-orang murtad. Akan tetapi pemaknaan esoterik berupaya menyibak rahasia-rahasia yang terlampau agung di dalam al-Qur’an. Tanpa melihat ke pemaknaan esoterik, maka mustahil melihat rahasia agung kitab suci ini. Al-Lusi mendasarkan pandangannya, misalnya, pada riwayat, “setiap ayat mempunyai enampuluh ribu pemaknaan.”[17] Contoh yang sama juga bisa kita lihat dari pernyataan al-Razi di Mafâtih al-Ghayb—penafsir al-Qur’an yang bisa menafsirkan surat al-Fatihah sampai tiga ratus halaman. Ia mengatakan di awal kitabnya,<br /><br />“saya sudah mengatakan dalam beberapa kesempatan, bahwa dari surat ini mampu disimpulkan sepuluh ribu permasalahan. Akan tetapi orang-orang yang bodoh tidak mempercayainya. Dan mereka mengomentari surat al-Qur’an ini dalam buku-bukunya dengan komentar kosong tanpa arti, dan kalimat yang tidak bisa memberikan substansi. Ketika aku menganggit kitab ini, aku mengajukan kata pengantar ini sebagai pengingat bahwa apa yang sudah aku sampaikan sesuatu yang bisa dan dekat kemungkinan terjadi."<br /><br />Dengan demikian, argumen takwil, disamping mempergunakan riwayat-riwayat yang datang, sebenarnya erat pula kaitannya dengan argumen interpretasi jamak terhadap al-Qur’an: bahwa satu ayat al-Qur’an maknanya tidak tunggal, dan bisa bermacam dengan pelbagai sudut pandang. Berbeda di tangan para teolog, takwil acapkali dipergunakan untuk mentakwilkan ayat-ayat yang secara rasional tidak mungkin dimaknai secara literal. Pemaknaan rasional mempergunakan takwil untuk menghindari inklinasi penyerupaan Tuhan dengan manusia. Jika bagi sebagian teolog porsi takwil tidak begitu besar, di tangan Muktazilah, takwil terhadap ayat sangat berlebihan, sehingga memunculkan bermacam resistensi yang cukup tajam dari sarjana-sarjana Asy’ariyyah. Permisalan yang paling kentara, sebagaimana disebutkan di muka, adalah penafsiran Zamakhsyari, penafsir otoritatif Muktazilah yang memaknai “kalam” (berbicara) dengan “al-kalmu (luka). Yang demikian karena Muktazilah hendak menafikan sifat-sifat yang tak berawal (qadîm) Allah—atau Shifat al-Ma’âni. Sebab, prinsip fundamental dalam teologi Muktazilah dikatakan, segala yang tak berawal tak mungkin mempunyai keserupaan yang tak berawal. [18]<br /><br />Oleh karena itu, sebenarnya justifikasi takwil bisa dipergunakan untuk legitimasi pemahaman ayat yang multi-interpretatif. Para ulama memberikan batasan-batasan pada takwil yang bisa diterima dan ditolak. Di antaranya, takwil yang bisa diterima harus memperhatikan aspek lafadz melalui kemungkinan-kemungkinan makna lain dengan meneliti struktur kalimat, kosakata, redaksi secara umum, relasi antara satu ayat dan lainnya (munasâbat al-ayât), dan lain sebagainya. Sebenarnya bisa dibahasakan juga, bahwa penerimaan takwil dengan catatan jika masih berada dalam koridor “tafsir”—sebab pensyaratan takwil yang diterima tak jauh berbeda dengan tafsir. Oleh karena itu, Abu Ashi menyebut, setiap bentuk takwil pasti termasuk tafsir, tetapi belum tentu semua tafsir adalah takwil, karena takwil dimaksudkan untuk menjelaskan suatu hal dengan kontemplasi dan perenungan secara mendalam.[19] Bagi penulis, jelas ketetapan ini bisa ditarik dalam batas interaksi antar umat Islam untuk saling menghargai penafsiran masing-masing sekte terhadap al-Qur’an.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Penutup</span><br /><br />Ini hanyalah usaha kecil yang tidak komprehensif untuk sekedar menuliskan babakan sejarah yang cukup panjang tentang tafsir dan takwil. Sebetulnya ada yang absen dari tulisan kali ini: muncul madzhab-madzhab baru dalam tafsir di era modern yang belum penulis sebutkan di sini. Pada praktiknya, sebuah pembacaan terhadap terhadap “teks” akan selalu memunculkan pandangan dari pelbagai sudut pandang. Menurut Imam ‘Ali, “al-Qur’an hammâl awjah; kâin mayyit, wa innamâ yuntiquhu al-rijâl”. Dan hal itu pula yang mengantarkan merebaknya varian metode pembacaan, baik pada masa klasik ataupun kontemporer. Semoga tulisan ini bermanfaat.[]<br /><br /> <br /><span style="font-weight:bold;">Catatan Kaki</span><br />[1] Studi Orientalis terhadap al-Qur’an ditujukan pada dua aspek penting: pertama, “lingkungan sektarian”, atau lingkungan yang turut membentuk al-Qur’an. Kajian terhadap aspek ini berkesimpulan, banyak doktrin, konsep hukum dalam Islam yang sebetulnya tidak otentik; kedua, proses kodifikasi al-Qur’an, untuk melacak sejauh mana sumber-sumber primernya dapat dipercaya. Sedangkan tipologi Orientalis dalam mengkaji al-Qur’an juga terpetakan menjadi dua: pertama, rasionalis-analitis, di mana mengkaji al-Qur’an dengan kacamata Barat, baik melalui sudut pandang Yahudi-Kristen maupun humanis-sekular. Di antaranya, Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, William Montgomery Watt, Kenneth Cragg, Patricia Crone, dll; kedua, kaum mistis-romantis. Di antaranya Martin Lings, Henry Corbin, Titus Burckhardt, Toshihiko Izutsu, dll. Kajian kedua ini umumnya lebih disukai oleh orang Islam. Lihat Ulil Abshar Abdalla, Luthfi Assyaukani, Abd. Moqsith Ghazali dalam Metodologi Studi al-Qur’an, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009, hlm. 31-35<br /><br />[2] Abdullah Darraz, al-Naba' al-'Adzîm, Kairo: Dar al-Urubah, 1960, hlm. 111<br /><br />[3] Ignaz Goldziher, Madzâhib al-Tafsîr al-Islâmî, Kairo: Maktabah al-Khonji, peny. Dr. ‘Abdul Halim al-Najjar, 1955, hlm. 15<br /><br />[4] Lazimnya, penafsiran Nabi terhadap suatu ayat direkam dalam kitab-kitab hadis dengan judul Kitâb al-Tafsîr yang disusun mengikuti susunan mushaf Utsmani. Bisa dilihat misalnya pada Shahih Bukhari/Muslim, serta Sunan Turmudzi. Satu contoh yang masyhur saat nabi menafsirkan kata al-dzulm (6:82) dengan syirik (31:13).<br /><br />[5] Di antaranya adalah 'Umar bin al-Khattab, Ali bin Abi Thalib, Ibnu 'Abbas, Ibnu Mas'ud, dan selainnya. Pada masa ini, penafsiran shahabat terhadap al-Qur'an banyak menjadikan syair pra-Islam (jahiliyyah) sebagai rujukan. Satu contoh, Ibnu Abbas saat menterjemahkan kata haraj dalam 22:27, beliau berkata: “Jika terlihat kata di dalam al-Qur’an yang terlihat asing, maka jawabnya di dalam syair…”. Lihat Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ây al-Qur’an, peny. Mahmud Muhammad Syakir dan Ahmad Muhammad Syakir, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1966. surat 22:78<br /><br />[6] Muhammad Huseyn al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Kairo: Maktabah Wahbah, juz I, cet V, 2000, hlm. 30<br /><br />[7] Para sarjana berbeda pendapat mengenai nominal ayat yang ditafsirkan oleh Nabi: menurut Ibnu Taymiah, Nabi menjelaskan semua makna dan lafadz al-Qur’an. Akan tetapi sebagian yang lain memandang, bahwa Nabi tidak menjelaskan seluruh ayat al-Qur’an, hanya sedikit yang dijelaskan oleh Nabi. Pendapat ini dianut oleh Imam Jalal al-Din al-Suyuthi, dan al-Khuwwi. Tetapi Huseyn al-Dzahabi memandang dua kelompok ini terlalu berlebihan: yang tepat adalah Nabi menafsirkan banyak ayat, walaupun tidak semua ditafsirkan oleh Nabi.<br /><br />[8] Ada perbedaan signifikan antara tafsir pada masa shahabat dan tabi’in. Pada masa shahabat, tafsir lebih merupakan penjelasan terhadap ayat-ayat yang belum jelas. Itupun tidak seluruhnya, lebih bersifat global dan banyak merujuk pada pendapat Ahl al-Kitab. Sedang pada masa tabi’in, pembahasan menjadi lebih detail, ditandai dengan banyaknya ayat-ayat yang ditafsirkan.<br /><br />[9] Judeo-Kristian (al-Isrâiliyyât) sendiri merupakan istilah yang merujuk pada umat Yahudi dan Nashrani. Bani Israil merupakan keturunan Ya’qub, sampai pada umat Musa, kemudian ‘Isa. Sedang Nashrani sendiri adalah umat Nabi ‘Isa. Masuknya riwayat Nashrani dalam peradaban Islam sejatinya karena pergumulan Yahudi dan Nashrani yang sudah terjadi sebelum datangnya Islam. Di Madinah, kala itu, terdapat perkampungan murni Yahudi. Sebagian bertempat di Madinah, seperti Bani Qainuqa’, Bani Nadlir, Bani Quraidlah, dan sebagian lagi bertempat agak jauh dari Madinah, seperti Yahudi Khaibar, dan Wadi Qura’. Mereka, kaum Yahudi, membawa tradisi pendahulu; mereka adalah Yahudi dari segi agama, kebiasaan, ataupun etika. Terdapat perdebatan waktu pasti kedatangan Yahudi ke Arab; sebagian berpendapat, Yahudi hijrah ke Arab pada masa Nabi Dawud, sebagian lagi berasumsi pada masa Nabi Yehezkal (Zulkifli). Namun tidak ada argumen valid yang menopang kedua pandangan tersebut, oleh karenanya tidak dipakai oleh para sejarawan. Pendapat yang menjadi konsensus sejarawan, kedatangan Yahudi ke tanah Arab adalah antara abad ke II dan ke III M. Yahudi pra Islam mempunyai tempat untuk belajar berdiskusi yang dinamakan “Midras”. Terdapat riwayat valid yang menyatakan bahwa Nabi dan Abu Bakr serta Umar pernah mengunjungi Midras untuk mengajak kaum Yahudi memeluk Islam. Dalam al-Qur’an pun banyak ayat yang mengutip perdebatan Yahudi dan Umat Islam. Sampai kemudian beberapa pemuka Ahli Kitab masuk Islam, semisal Ka’b al-Ahbar, ‘Abdullah Ibnu Salam, serta Wahb bin Manbah. Interaksi umat Islam dengan kaum Yahudi yang terejawantahkan dalam pertanyaan seputar cerita dalam al-Qur’an secara detail; nama orang, tempat, dan kronologi cerita, merupakan embiro riwayat Judeo-Kristiani dalam tafsir al-Qur’an. Faktor dominan pengadopsian cerita-cerita Ahli Kitab yang diterapkan dalam al-Qur’an karena al-Qur’an pada hakikatnya diturunkan sebagai “pembenar”, sehingga ada kesamaan cerita dengan kitab-kitab sebelumnya. Yang demikian karena cerita di dalam al-Qur’an bersifat umum. Sebagai misal, cerita tentang Nabi Adam, seperti disebutkan dalam al-Qur’an, pun dicantumkan dalam Taurat. Perbedaannya, cerita tentang Nabi Adam dalam al-Qur’an bersifat global; tidak mencantumkan nama tumbuhan yang dimakan oleh Adam, nama sorga, perincian dialog Tuhan dengan Adam, tempat diturunkannya Adam dari sorga, dll. Namun semuanya ini dijelaskan secara spesifik dalam Taurat. Dapat dilacak pada Tafsir Thabari dan Tafsir Muqatil bin Sulaiman ketika menjelaskan peristiwa ini. Thabari dan Muqatil terkadang meriwayatkan dari Wahb bin Manbah, terkadang pula dengan mata rantai: dari Israil dari Asbath, dari al-Sadi. Bahkan riwayat Judeo-Kristiani tak hanya menghiasi buku tafsir klasik, namun merambah pula ke buku sejarah, seperti perbincangan sejarah Bani Israil dan para Nabinya (târîkh banî isrâîl wa anbiyâ’ihim), sebagaimana dituliskan oleh Ibnu Jarir al-Thabari dan Ibnu Ishaq dalam Târîkhnya, serta Ibnu Qutaibah dalam al-Ma’ârif. Lihat Abu Syuhbah, al-Isrâiliyyât wa al-Maudlû’ât fî Kutub al-Tafsîr, Kairo: Maktabah al-Sunah, cet. IV, 1408 H, hlm. 12. Untuk lebih mengetahui efek dari keterpengaruhan ini, bisa dilihat di Musthafa Bouhindi, al-Ta’tsîr al-Masîhî fî Tafsîr al-Qur’an, Beirut: Dar al-Thali’ah, cet. I, 2004<br /><br />[10] Dr. Rumzi Na’na’ah, al-Isrâ’iliyyât wa Atsaruhâ fî Kutub al-Tafsîr, Beirut: Dar al-Dliya’, cet. I, 1970, hlm. 19-20<br /><br />[11] Jamal al-Banna, al-Tafsîr baina al-Qudâmâ wa al-Muhditsîn, Kairo: Dar al-Fikr al-Islami, tt, hlm. 58<br /><br />[12] Ibid., hlm. 64-65<br /><br />[13] Ibid., hlm. 71<br /><br />[14]Terdapat fakta menarik seputar buku Ibnu ‘Abbas ini, tutur Nashr Hamid Abu Zaid, untuk melegitimasi “sikap hermeneutis”nya. Asumsi bahwa tafsir Ibnu ‘Abbas ini hanya berisi riwayat transmisional tidak sepenuhnya tepat. Karena Ibnu Abbas sendiri dalam tafsirnya sepakat dengan pentakwilan Khawarij yang kontradiktif dengan riwayat-riwayat yang terdapat dalam buku tafsir. Karena memang, faktanya, diferensiasi terminologi tafsir dan takwil baru muncul pada kurun belakangan. Bahkan Ibnu Jarir al-Thabari, dalam tafsirnya Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl al-Qur’an, tidak membedakan antara terminologi tafsir dan takwil. Nashr Hamid Abu Zaid, Falsafah al-Ta’wîl; Dirâsah fî Ta’wîl al-Qur’ân ‘indâ Muhyiddîn Ibn ‘Arabî, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, cet. VI, 2007, hlm. 12-13<br /><br />[15] Lihat Jalal al-Din Suyuthi, al-Itqân fî 'Ulûm al-Qur'an, Kairo: Dar al-Hadis, peny. Ahmad bin Ali, juz II, 2004, hlm. 36<br /><br />[16] Lihat Al-Raghib al-Ishfahani, Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, Kairo: Mushthafa el-Babi al-Halabi, 1961, hlm. 31.<br /><br />[17] Lihat Abu al-Fadl Syihab al-Din Mahmud al-Lusy, Rûh al-Ma'ânî fî Tafsîr al-Qur'an al-'Adzîm wa al-Sab' al-Matsânî, peny. Sayyid Muhammad Sayyid dan Ibrahim ‘Imran, Kairo: Dar al-Hadis, juz 1, 2005, hlm. 28-29<br /><br />[18] Muhammad bin Muhammad al-Amir, Hâsyiah al-Amîr ala Syarh Abd al-Salâm bin Ibrâhîm al-Mâlikî li Jawharat al-Tawhîd, Mesir: Musthafa el-Babi el-Halabi, 1948, hlm. 26-27<br /><br />[19] Muhammad Salim Abu al-Ashi, Maqâlatâni fî al-Ta’wîl: Ma‘âlim fî al-Manhaj wa Rashd li al-Inhirâf, Kairo: Dar al-Bashair, cet. I, 2003, hlm. 13 </span></div>Ahmad Hadidul Fahmihttp://www.blogger.com/profile/01841733022516134434noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3803797330041316914.post-9731621668317764222012-03-08T10:04:00.008-08:002012-07-07T12:25:08.217-07:00Penolakan FPI, Toleransi Dan Relevansi Kafir HarbiOleh Ahmad Hadidul Fahmi, Lc<br />
<br />
<div align="justify">Penolakan masyarakat Dayak terhadap FPI yang hendak membuka cabang di Kalimantan Tengah adalah sikap tegas yang patut diapresiasi. Bahwa Indonesia menjamin kebebasan warganya untuk berorganisasi dan membolehkan setiap organisasi untuk membuat cabang, memang betul—tentunya dengan catatan, selama aktivitas sebuah organisasi tidak mengarah pada aksi anarkis. Faktanya jika melihat aksi-aksi anarkis atau kekerasan atas nama agama yang kerap terjadi di Tanah Air, nama FPI selalu ada di balik itu semua.<span class="fullpost"> <br />
<br />
Penolakan tersebut membuahkan respon balik dari ketua bidang Amar Makruf Nahi Munkar DPP FPI, Munarman, bahwa aksi penghadangan terhadap kelompok Rizieq Syihab yang bermaksud dakwah, pelakunya bisa dikategorikan kafir harbi—non Islam yang bisa diperangi, halal darahnya. Entah atas dasar apa penghukuman tersebut, yang jelas kafir harbi sudah kehilangan relevansi sejak lama. <br />
<br />
<span style="font-weight:bold;">Organisasi Intoleran</span><br />
Dalam perbincangan kerukunan antar umat beragama, Mohammad Abed al-Jabiri menyatakan bahwa toleransi mempunyai cakupan ke “dalam” (dalam konteks sepaham) dan ke “luar” (konteks yang tak sepaham) bersamaan. Cakupan yang sifatnya internal wujud dari sikap penerimaan terhadap segala aktivitas keagamaan kelompok yang berbeda interpretasi keagamaannya. Sedang jika ke “luar”, merupakan perwujudan dari penerimaan segala aktivitas pemeluk agama lain dengan perbedaan prinsip-prinsip fundamentalnya. Dengan kata lain, toleransi merupakan penerimaan “the other” dalam batas pengertian toleran itu sendiri.<br />
<br />
Oleh sebab itu, toleransi meniscayakan “pemberangusan hegemoni” sampai pada batas yang paling bisa dilakukan oleh madzhab mayoritas dalam internal agama mereka (dalam konteks yang sepaham), atau toleransi agama mayoritas terhadap agama minoritas dalam sebuah kelompok masyarakat (konteks tak sepaham). Dalam tataran aplikatif, Jabiri mencoba membawakan sampel Ibnu Rusyd sebagai representasi tokoh toleran ketika memandag keanekaragaman pendapat dalam bingkai ‘keadilan’: dua kelompok harus sama-sama bisa menerima eksistensi kelompok lain dalam batas yang sama. Karena menurut Jabiri, toleransi bisa benar-benar maksimal dalam batas interaksi yang didasari ‘keadilan’, bukan suara mayoritas yang memberikan “rambu-rambu” tertentu pada kelompok lainnya. Atau hanya sebatas toleransi dalam batas-batas yang diyakini kewajarannya oleh kelompok mayoritas. Dalam tahap ini, al-Jabiri membawa pemaknaan toleransi dalam prinsip filosofis.<br />
<br />
Lalu apakah penolakan terhadap FPI oleh masyarakat Dayak merupakan sikap yang intoleran?<br />
<br />
Dasar keadilan—dalam toleransi—bukan lantas menerima eksistensi “the other” secara mutlak. Jabiri memberikan garis pembatas mengenai aplikasi toleransi itu sendiri: bahwa ia akan selalu berlawanan dengan “keberlebihan dalam beragama” (al-ghuluww fi al-din). Sebab historisitas toleransi merupakan respon dari keberlebihan dalam agama. Pada akhirnya keberlebihan dalam agama ini menghasilkan sikap yang intoleran: kekerasan. Walaupun al-Jabiri juga memberikan diferensiasi ekstremis (muthatarrif) dan fundamentalis (ushûlî). Keduanya berbeda dari cara mensosialisasikan keyakinan terhadap yang tak sepaham; ekstremis kerap mempergunakan kekerasan agar keyakinannya juga dianut oleh yang tak sepaham. Banyak kelompok disebut fundamentalis akan tetapi mereka bukan ekstremis.<br />
<br />
Track-record FPI semenjak tahun 12 tahun terakhir, terutama saat menjelang Bulan Ramadhan, mengukuhkan tesis bahwa organisasi garis keras ini jelas akan menimbulkan kekacauan di belahan bumi Indonesia lainnya. FPI dengan sendirinya adalah ekstremis, atau berusaha memaksakan interpretasi terhadap agama dengan jalur kekerasan. Penolakan terhadap FPI tidak lantas menegasi substansi toleransi, sebab akan ada efek-efek yang tak baik jika FPI sampai “mengukir nama” di Kalimantan Tengah. <br />
<br />
Keyakinan yang selama ini dianut oleh kebanyakan, dan bagi penulis kurang tepat, adalah pengakuan eksistensi “yang lain” (the other) merupakan ekses dari pengakuan terhadap lurusnya keyakinan yang bersangkutan. Padahal sejarah berbicara lain. Majusi dianggap sebagai “ahlu dzimmah”—penduduk kafir yang mendapat perlindungan dari orang Islam dengan kriteria tertentu—pada masa Nabi, sedang Zoroaster masuk sebagai “ahlu dzimmah” di masa Abbasiyyah. Akan tetapi perlindungan ini bukan lantas menyepakati keyakinan mereka. Sebab prinsip-prinsip fundamental dalam Islam jelas berbicara sebaliknya. Bahkan dalam al-Durr al-Mukhtar, jika seorang muslim menghilangkan kebebasan non muslim meminum khamr atau makan anjing, maka orang Islam mempunyai tanggung jawab untuk menggantinya. Non muslim juga bebas untuk memproduksi khamr. <br />
<br />
Al-Qur’an dan al-Hadis sendiri kerap mengajarkan toleransi, bahkan pada agama lain. Lihatlah ayat yang berisi larangan mencaci agama lain yang sudah terang tidak sesuai dengan prinsip fundamental Islam, “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan” (QS: Al-An’am: 107). Dr. Ali Gomah Mohammad, mufti Mesir, mengatakan, ayat ini berbicara tentang bahaya yang ditimbulkan oleh sebagian umat Islam yang menyangka dirinya sedang melakukan kebaikan, akan tetapi justru menimbulkan efek negatif yang sangat besar bagi diri dan agamanya. Ia mencontohkan bagaimana para shahabat Nabi menguasai Mesir, tetapi tanpa menghancurkan bangunan-bangunan bersejarah warisan Mesir Kuno, seperti patung Sphinx, misalnya.<br />
<br />
<span style="font-weight:bold;">Meninjau Ulang Istilah “Kafir Harbi”</span><br />
Fahmi Huwaidi dalam bukunya Muwathinûn lâ Dzimmiyyûn mengatakan, pemberian kebebasan terhadap non muslim sesungguhnya levelnya setingkat dengan pentingnya umat Islam berakidah secara baik. Menurutnya, interaksi toleran tersebut harus lebih dari sekedar berbuat baik atau etika terhadap minoritas, akan tetapi naik pada level ideologi: bahwa interaksi yang demikian memang tertuang secara eksplisit di dalam al-Qur’an. Jika sampai berbuat aniaya terhadap minoritas, maka sama saja melakukan aniaya terhadap al-Qur’an. <br />
<br />
Yang paling menarik dari tesis Fahmi Huwaidi ini, ia berusaha merentet historisitas “kafir dzimmi”, pembagian negara yang dikuasai oleh umat Islam (Dar al-Islam) dan negara yang dikuasai non muslim (Dar al-Harb) bersamaan—di mana sampai pada kesimpulan, bahwa “kafir dzimmi” untuk sekarang telah hilang diganti warga negara yang disatukan oleh nasionalisme (muwathin). Tentunya ini akan berakibat hilangnya istilah yang menyertai kafir dzimmi: Dar al-Islam, Dar al-Kufr atau Kafir Harbi. Baginya, awal kemunculan Islam yang mendapat resistensi dari internal Jazirah Arab maupun luar Arab: siksaan Musyrik Mekah terhadap umat Islam, konspirasi Yahudi Khaibar, Bani Nadlir dan Bani Qaynuqa’, dan selainnya—memberikan pengaruh besar terhadap sarjana fikih dalam merumuskan interaksi dengan “the other”. Terminologi Dar al-Islam sendiri muncul semenjak Nabi berhijrah ke Madinah. Dan selain Madinah, seperti disebutkan oleh Ibnu Hazm, dihitung sebagai negara kafir yang bisa diperangi. Kemudian terminologi “Dar al-Harb” dan “Dar al-Islam” menghiasi buku-buku fikih, sejarah, sampai muncul kesan, parameter yang dipergunakan untuk berinteraksi dengan “the other” adalah berdasar keyakinan mereka: Islam atau bukan Islam. <br />
<br />
Akan tetapi, neraca “keyakinan” ini bukan satu-satunya parameter yang harus diimani. Beberapa pemuka Hanafiyyah dan Zaydiyyah mempergunakan parameter “aman” untuk sebuah negara disebut “Dar al-Islam” atau bukan: jika aman untuk orang Islam, maka bisa disebut Dar al-Islam, jika tidak aman, maka Dar al-Harb. Beberapa sarjanapun merumuskan ijtihad mutakhir: jika sebuah negara bisa dihuni oleh orang Islam dan mayoritas bisa melakukan aktivitas keagamaan mereka—walaupun nominal umat Islam di negara tersebut termasuk minoritas, status negara tersebut tetap dikatakan “Dar al-Islam”. Di antara yang berpendapat demikian adalah Abdul Wahhab Khalaf, sarjana fikih kontemporer Mesir, kemudian Dr. Subhi Mahmashani. Pandangan ini ditopang dari banyak data sejarah. Di antaranya perjanjian Nabi dengan Yahudi Bani ‘Auf: bahwa Yahudi dan umat Islam merupakan umat yang satu. Pun “Dar al-Islam” setelah masa Nabi mengalami pergeseran istilah: di mana negara-negara jajahan Islam mulai diberlakukan syariat. Atas dasar ini, Imam al-Sarkhasi, sarjana yang dijuluki “bapak Undang-Undang” mengatakan, “negara Islam adalah negara yang menerapkan syariat Islam. Tandanya, di tempat tersebut merupakan tempat yang aman bagi umat Islam.” Ini artinya, ijtihad fikih yang muncul belakangan sangat didominasi oleh konteks masa itu.<br />
<br />
Yang kemudian menjadi catatan, bahwa klasifikasi “Dar al-Islam” atau “Dar al-Harb” merupakan produk ijtihad yang tidak didasarkan pada teks yang jelas, akan tetapi didasarkan “realitas”. Dan eksistensi Dar al-Islam yang dibicarakan oleh para sarjana fikih sekarang hanya di buku-buku sejarah. Untuk mengukuhkan tesisnya itu, Fahmi Huwaidi berusaha meruntut redaksi “dzimmi” dalam al-Qur’an dan al-Hadis. Di dalam al-Qur’an, “dzimmah” hanya disebutkan dua kali. Adapun untuk menyebut “the other”, lazimnya dengan redaksi “Ahl al-Kitab” dan “Musyrikin”. Sedang di hadis, redaksi “dzimmi” merupakan redaksi yang dipergunakan oleh Nabi sebatas pada interaksi dengan “the other” yang sudah ada akarnya semenjak masa Jahiliyyah. Dengan kata lain, “dzimmi” sebatas penyebutan “sifat—yang diadopsi dari interaksi Arab pra Islam dengan “the other”, bukan istilah yang lazim dipergunakan oleh sarjana fikih dalam kitab-kitab mereka. <br />
<br />
Lalu, apakah “ahli dzimmah” bisa dianggap sebagai warga negara?<br />
<br />
Menurut Fahmi Huwaidi, non muslim yang berdomisili di suatu negara yang mayoritas dihuni oleh umat Islam merupakan warga negara resmi, bukan berstatus kelompok minoritas yang “numpang” di daerah orang Islam. Teks sejarah memang berbicara demikian: pernyataan Nabi dan empat khalifah setelahnya. Redaksi “ahlu dzimmah” sendiri dalam Undang-Undang dinasti Utsmani tahun 1876 dihapus, sekaligus menegaskan persamaan hak di antara warga Negara. Jika kemudian ulama Syafi’iyyah memandang Ahlu Dzimmah harus membayar “jizyah” (upeti) sebagai “ganti” untuk tinggal di Negara Islam, utamanya adalah al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Shulthaniyyah, maka hal itu harus dipahami sebagai ijtihad yang disesuaikan dengan konteks. Nyatanya, upeti ini bukan hukum paten, sebab, ia bisa gugur dengan beberapa kriteria: masuk Islam, meninggal, ada alasan rasional, negara tidak bisa melindungi eksistensi “kafir dzimmi”, dan keikusertaan kafir dzimmi untuk melindungi negara Islam. Tesis ini dikukuhkan dengan pandangan Syibli al-Nu’mani dan Rasyid Ridla: upeti sudah ada semenjak pra Islam, dan berasal dari Persia. Al-Thabari dalam Tarikhnya juga berpandangan serupa. <br />
<br />
Sedang untuk konteks sekarang, di mana sudah tidak ada yang disebut negara Islam—dalam pengertian mayoritas pakar fikih klasik, menurut Dr. Isma’il al-Faruqi, pakar perbandingan agama Palestina, Undang-Undang sebuah negaralah yang menjadi rujukan bagi umat Islam ataupun non Islam. Artinya, penyematan predikat kafir harbi pada non muslim apabila terjadi konflik antar agama kehilangan konteks, seakan umat Islam masih hidup berpuluh abad silam. <br />
<br />
Lantas atas dasar apa kemudian orang Islam boleh untuk berperang dengan orang non muslim, bahkan membunuhnya? Pertanyaan ini menimbulkan perbedaan di kalangan sarjana fikih. Ulama Syafi'iyyah memandang, non muslim wajib diperangi sampai memeluk Islam. Akan tetapi mayoritas pakar fikih, termasuk pakar fikih Maliki, Hanafi dan Hanbali, non muslim bisa diperangi dan dibunuh jika mereka mulai memerangi orang Islam.<br />
<br />
Dalam kasus penyematan kafir harbi oleh Munarman, siapa yang diperangi dan siapa yang memerangi? Jawabannya sudah bisa ditebak. FPI tidak mewakili Islam. Penolakan terhadap FPI juga tidak bisa dikategorikan penolakan terhadap umat Islam—apalagi dianggap memerangi umat Islam. Penolakan FPI disebabkan karena aksi-aksi anarkis mereka. Bukan yang lain. Meminjam redaksi Gus Shalah, FPI seharusnya introspeksi.</span> </div>Ahmad Hadidul Fahmihttp://www.blogger.com/profile/01841733022516134434noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3803797330041316914.post-80261803411537820532012-03-08T01:18:00.004-08:002012-03-10T15:51:26.715-08:00Ulama Nusantara Dan Problem Pengakuan Dunia IslamOleh Ahmad Hadidul Fahmi <br /><br /><div align="justify">Tradisi penulisan naskah pada masa lalu di Nusantara pernah terjadi dalam waktu yang relatif panjang. Menurut Oman Fathurrahman, diantara sekian banyak naskah yang dihasilkan, naskah keagamaan merupakan naskah yang jumlahnya relatif banyak dibanding yang lain. Hal ini merupakan konsekuensi dari fenomena akulturasi masyarakat Indonesia dengan peradaban Islam—yang oleh Edi Setyawati—disebut sebagai salah satu dari pengalaman terbesar dalam sejarah akulturasi di Indonesia. Dalam konteks naskah keagamaan ini, proses transmisi keilmuan pada gilirannya membentuk dua kelompok bahasa naskah: pertama, naskah yang ditulis dalam bahasa Arab; kedua, naskah yang ditulis dalam bahasa daerah.<span class="fullpost"> <br /><br />Naskah yang ditulis dalam bahasa Arab dengan kerangkanya yang universal, dalam arti yang lebih mengikuti arus utama intelektual di Arab Islam, lazimnya muncul dari sarjana Nusantara yang pernah bermukim di tanah Arab. Walaupun ada beberapa sarjana Nusantara yang pernah bermukim di Arab, pulang ke Tanah Air, kemudian ikut berdinamika dengan mengarang pelbagai karya yang merupakan respon atas konteks lokal. Tentu saja kita mendapat pengecualian dari kelaziman ini, sebagai misal dari sosok syaikh Ihsan Jampes. Tokoh yang tidak pernah menimba ilmu di Timur Tengah ini, namanya tetap menjulang tinggi sampai ke tanah Arab. Beberapa biografi ulama besar Nusantara, dimuat dalam buku-buku biografi penting: semisal Siyar wa al-Tarâjim Afâdlil Makkah karangan Umar Abd al-Jabbar, Nasyr al-Nawr wa al-Zahr karangan Mirdad Abu al-Kayr, dan al-A’lâm karangan al-Zirkili.<br /> <br /><span style="font-weight:bold;">Universalitas Ulama Nusantara</span><br />Generasi Nusantara pernah menuai ‘masa keemasannya’ pada abad ke XVIIII, dengan terbentuknya komunitas yang diberi nama Jamâ’at al-Jawiyyin (komunitas Jawa) pada abad ke XVII. Komunitas ini sekaligus sebagai mediator dalam sosialisasi keilmuan Islam hingga sampai ke Nusantara. Secara sosio-politik, terdapat tiga kekuatan raksasa yang bertarung pada masa itu: kesultanan Turki Utsmani, Imprealisme Inggris dan Prancis, ekspansi dinasti Saud dengan kelompok Wahabinya—sampai akhirnya Mekah jatuh ke tangan Saudi pada tahun 1925. Kita bisa merujuknya pada buku Ahmad Zaini Dahlan, Mufti Mekah kala itu, dalam bukunya yang bertajuk Khulashat al-Kalâm fi Bayâni Ulâma Balad al-Haram. Tokoh ini sezaman dengan Syaikh Nawawi al-Bantani—tokoh penyambung keilmuan Islam hingga sampai ke Nusantara. <br /><br />Semenjak abad XVII, menurut Martin Van Bruinessen, ada semacam ‘purifikasi’ disiplin keilmuan Islam yang terbatas pada fikih saja. Upaya tersebut berkonsekuensi, beberapa sarjana Nusantara dengan pelbagai karyanya, lebih dikenal sebagai seorang fakih dari predikat kebesaran lainnya, walaupun pada faktanya mereka menguasai pelbagai disiplin keilmuan Islam lainnya. Tak terkecuali sosok Nawawi al-Bantani. Di kalangan pesantren, karya-karya fikih beliau cukup populer. Akan tetapi dalam bidang tasawuf, teologi, bahkan tafsir, kalangan pesantren kurang mengapresiasi karangan tokoh besar ini. Padahal, jika dikalkulasi, karangan Imam Nawawi mencapai nominal seratus lebih. <br /><br />Satu contoh, kita bisa melihat karangan Nawawi al-Bantani dalam teologi, semisal Nur al-Dzalam, penjabaran atas Nadzam Aqidat al-‘Awam karangan Ahmad al-Marzuqi, dan naskahnya ada di King Saud University, Arab Saudi. Kemudian Bahjat al-Wasail, merupakan penjabaran dari kompilasi karangan Zainuddin al-Habsyi dalam bidang Tawhid, Tasawuf, dan Fikih; Tijan al-Durari adalah syarh/penjabaran beliau terhadap Risalat al-Bayjuri fi al-Tawhid; Qathr al-Ghaits merupakan penjabaran beliau terhadap kumpulan permasalahan yang diajukan pada Abi Layts; Fathul Majid penjabaran beliau terhadap al-Dur al-Majîd karangan Ahmad Nahrawi; dan Mirqât Shu’ûd al-Tashdîq syarh Sullam al-Tawfîq. Nur al-Dzallam dan Mirqât al-Shu’ûd lebih argumentatif dan corak rasionalnya lebih kentara dari kitab-kitab teologi yang lain. Dan yang menarik adalah, beberapa kali Imam Nawawi mengutip Zamakhsyari, penafsir otoritatif Muktazilah dalam beberapa persoalan, seperti jumlah para Nabi dalam kitabnya Bahjat al-Wasâil. Syaikh Nawawi al-Bantani adalah tokoh pertama yang mengarang tafsir berbahasa Arab, bertajuk Marâh Labîd fî Tafsîr al-Qur’an al-Majîd dan dicetak pertama kali tahun 1305 H.<br /><br />Di daerah Kairo, karya Imam Nawawi al-Bantani sendiri cukup banyak yang diapresiasi dengan terus dicetak ulang. Semisal, di Dar al-Bashair, kawasan Darb al-Atrak belakang Azhar, dan Mushtafa el-Babi el-Halaby, kita bisa mendapati kitab Nihâyat al-Zein dan Qût al-Habîb al-Gharîb yang merupakan catatan pinggir atas Fath al-Qarîb al-Mujîb karangan Abu Syuja’. <br /><br />Dari Tremas, kita mengenal Syaikh Mahfud al-Turmusi. Biografi beliau, sebagaimana Nawawi al-Bantani, termaktub bersama pembesar Mekah dalam kitab Siyar wa al-Tarajim Afâdlil al-Makkah dan karangannya mencapai angka 14. Karangan beliau antara lain, Manhaj Dzawi al-Nadzar Syarh Alfiyyat al-Atsar, Nayl al-Ma’mûl Hasyiah Ghayât al-Wushûl ‘alâ Lubb al-Ushûl sebanyak 3 jilid, kemudian Is’âf al-Mathâli’ bi Syarh al-Badr al-Lâmi’ Nadzm al-Jam’ al-Jawâmi’ sebanyak 2 jilid, kemudian Takmilat al-Minhaj al-Qawîm, Ghaniyyat al-Thalabah bi Syarh al-Thayyibah fi al-Qirâ’ât al-‘Asyr, Kifâyat al-Mustafîd li Mâ ‘Alâ min al-Asânîd yang dikomentari oleh Syaikh Yasin Padang, dan lain sebagainya. Hasyiyah al-Turmusi sendiri dicetak beberapa waktu lalu oleh Dar al-Minhaj sebanyak 7 jilid, dan dijual di Pameran buku Intenasional Kairo awal tahun kemarin di Haul Saudi. <br /><br />Seperti dituliskan biografinya oleh Syaikh Yasin padang dalam buku Kifâyat al-Mustafîd, murid Syaikh Mahfudz Tremas dari Nusantara cukup banyak. Antara lain, Kyai Raden Dahlan Semarang, Kyai Muhammad Dimyathi Tremas, Mbah Kholil Lasem, yang merupakan sekretaris pribadi Syaikh Mahfud Tremas, Mbah Dalhar, Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, Kyai Faqih Abdul Jabbar Maskumambang, Kakak beradik Mbah Baidlawi Lasem dan Abdul Muhaymin, keduanya putra Kyai Abdul Aziz Lasem, Kyai Nawawi Pasuruan, Kyai Abbas Buntet Cirebon, Abdul Muhith bin Ya’qub Sidareja. <br /><br />Ulama Nusantara yang menulis karangan dalam kerangka universal lainnya adalah Syaikh Muhammad bin Isa Yasin al-Fadani. Syaikh Sa’id Mamduh pernah menulis biografi cukup detail mengenai Syaikh Yasin al-Fadani dalam buku yang bertajuk Sadd al-Urab, di mana syaikh Yasin juga menulis catatan pinggir dalam kitab itu. Saya berhutang budi terhadap Sa’id Mamduh dalam menghidangkan karangan Yasin al-Fadani, baik yang hilang ataupun yang tak sempat dicetak, entah itu yang berbentuk catatan pinggir, atau tentang sanad. Mengingat selama ini, kita kesulitan mendapatkan data mengenai karya lengkap tokoh besar ini. Karya syaikh Yasin Padang murni di antaranya, al-Fawâid al-Janniyyah, Tasynîf al-Sam'i fi Ilm al-Wadl'i, Manhal al-Ifâdah yang merupakan catatan pinggir atas kitab Thasy Kubri (Adab al-Bahts wa al-Munâdzarah), Husnu al-Shiyâghah Syarh Kitab Durûs al-Balaghah, Syarh Risâlah Sayyid Ahmad al-Dardiri fi Ilm al-Bayân, Risalah fi al-Mantiq 'an Tharîq al-Su'âl wa al-Jawâb, Risâlah fi Ilm al-Farâidl, Bulghat al-Musytâq fi Ilm al-Isytiqâq, Syarh Mandzûmat Manâzil al-Qamar.<br /><br />Diantara karya yang dicetak dalam ilmu riwayat: Ithâf al-Ikhwân bi Ikhtishâr Mathmah al-Wujdân min Asânid al-Syaikh Umar Hamdan, Tanwîr al-Bashîrah bi Thuruq al-Isnâd al-Masyhûrah, al-Qawl al-Jamîl bi Ijâzat Samahat al-Sayyid Ibrahim bin Aqil, Asânid al-Faqîh Ahmad bin Hajar al-Haytami, al-Ujâlah fi al-Ahâdits al-Musalsalah, Asânid al-Kutub al-Hadîtsiyyah al-Sab'ah, Al-Aqd al-Farîd min Jawâhir al-Asânid, Ithâf al-Bararah bi Asânid al-Kutub al-Hadîtsiyyah al-Asyrah, Ithâf al-Mustafîd bi Gurar al-Asânid, Qurrat al-Ain fi Asânid A'lâm al-Haramain, Warâqat fi Majmûat al-Musalsalât wa al-Awâil wa al-Asânid al-Âliyah, al-Muqthataf min Ithâf al-Akâbir bi Marwiyyât Abdil Qadir al-Shiddiqi, Ikhtishâr Riyâdl Ahl al-Jannah min Atsâr Ahli Sunnah, Arbaûna Haditsân min Arbaîna Kitâban an Arbaîna Syaikhân, Al Arbaûna al-Buldâniyyah; Arbaûna Haditsân 'an Arbaîna Syaikhân min Arbaîna Baladan,Tidzkâr al-Mashafi bi Ijâzat al-Fakhr Abdillah bin Abd al-Karimal-Jarrafi, Faydl al-Mabdi, Nahj al-Salamah, al-Musalsalât al-Hadîtsiyyah, al-Raudl al-Faih bi Ijâzat Muhammad Riyadl al-Malih.<br /><br />Komentar-komentar beliau: komentar atas Sadd al-Urab, Komentar atas Awâil al-Sunbuliyyah (al-Ujâlah al-Makkiyyah dan al-Nufkhah al-Miskiyyah), Waraqât ala al-Jawhar al-Tsamîn, Ithâf al-Bahits al-Sariy ala Tsabti Abdirrahman al-Kazbari, komentar atas Kifâyat al-Mustafîd karangan Mahfud Termas, Tahqîq al-Jâmi' al-Hâwi fi Marwiyyât Abdillah al-Syarqawi.<br /><br />Adapun kitab-kitab beliau yang tdk sampai ke kita: Syarh Sunan Abi Dawud, Syarh Luma' karangan Abi Ishaq al-Syairazi (dua jilid) yang dinamai Bughyât al-Musytâq bi Syarh Luma' Abi Ishaq, catatan pinggirnya atas kitab Nahj al-Taysîr syarh Mandzûmat al-Zamzami fi Ushûl al-Tafsîr. Sedang yang masih berbentuk Makhtutath: Thabaqât al-Syâfi'iyyah, Kanz al-Tsiqqat fî Ulamâ al-Falak wa al-Mîqat, catatan pinggir atas kitab Lubb al-Ushûl karangan Zakariya al-Anshari (3 jilid), melanjutkan karangan Mahfud Termas ketika mensyarahi kitab al-Muqaddimah al-Hadramiyyah.<br /><br />Nama lain yang bisa direpresentasikan sebagai ulama kaliber dunia adalah Syaikh Ihsan Jampes. Karangannya yang masih spektakuler sampai sekarang adalah Sirâj al-Thâlibin, penjelasan atas Minhâj al-‘Âbidin karya Imam al-Ghazali, terbit pertama kali pada 1932 setebal sekitar 800 halaman. Syekh Ihsan mendapatkan penghargaan dan legitimasi ilmiahnya di mata dunia Islam, ketika kitab tersebut diterbitkan oleh sebuah penerbit besar di Mesir, Musthafa al-Bab al-Halaby, sebuah penerbit yang berorientasi menerbitkan kitab-kitab kuning (turats), yang sampai saat ini masih eksis. Kemudian Manâhij al-Imdâd , sebuah penjelasan atas kitab Irsyâd al-‘Ibâd karya Syaikh Zainudin al-Malibari, terbit pertama kalinya pada tahun 1940 setebal 1088 halaman.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Universalisasi Ulama Nusantara</span><br />Jika mencermati perjalanan beberapa tokoh Nusantara, kita bisa mendapati salah satu faktor determinan kenapa karangan mereka bisa mendunia. Satu faktor dominan bagi penulis adalah, tokoh-tokoh di atas, dalam menganggit sebuah buku, mempergunakan bahasa Arab—yang sebenarnya syarat tak tertulis, agar karangan mereka bisa diakui oleh dunia. Hal ini dapat penulis lihat, dari kitab-kitab ulama Nusantara—yang mempergunakan bahasa daerah—yang tertumpuk kumuh di Musthafa el-Baby el-Halaby, sedang konsumennya hampir punah. Secara kuantitas, karangan mereka dapat dengan mudah diapresiasi oleh anak Negeri, akan tetapi secara kualitas, karangan mereka sama sekali tak dilirik oleh ulama dunia, selain beberapa kalangan untuk motif penelitian. Hal itu disebabkan, karya-karya dengan bahasa daerah tak mendapat tempat, karena tentu saja selain anak Negeri tak mempunyai kemampuan untuk membacanya. Dengan kata lain, bahasa Arab merupakan pintu masuk bagi pengakuan ulama dunia terhadap mereka. <br /><br />Penulis mempunyai data kitab-kitab Nusantara yang pernah dicetak oleh Musthafa el-Baby el-Halaby, dan tak dicetak lagi karena tidak ada konsumen. Pada saat menelusuri kekumuhan el-Halaby bersama Pak Oman Fathurrahman dan Yumi Sugahara, ada sekitar 40 kitab yang tak ditemukan. Sedang yang berhasil kita temukan ada sekitar 81 judul buku. Beberapa buku yang mempergunakan bahasa Arab, dicetak ulang oleh Dar al-Bashair, dan disebarkan oleh Dar al-Salam. Akan tetapi, buku-buku yang dikarang mempergunakan bahasa Melayu, Sunda, atau Jawa, tetap menumpuk kumuh di Musthafa el-Baby el-Halaby. <br /><br />Padahal, gagasan sarjana Nusantara jelas tak kalah dengan ulama dunia. Walaupun secara garis besar karya yang ditulis mempergunakan bahasa daerah merupakan respon atas konteks lokal, bukan berarti tak boleh diterjemahkan dan disosialisasikan untuk skala Internasional. Bagi penulis hal itu merupakan keharusan. Sebab, karangan-karangan ulama Arab secara garis besarpun merupakan respon untuk konteks lokal. Sebut saja Zaini Dahlan yang mengarang bantahan terhadap ulama Wahabi karena ketika itu doktrin-doktrin Wahabi teramat gencar disosialisasikan dalam konteks Mekah. Atau beberapa pakar hadis dari Maroko yang secara langsung berpolemik dengan pakar hadis Wahabi. Tetapi toh, karangan mereka tetap menjadi rujukan oleh dunia Islam secara umum walaupun muncul sebagai respon atas konteks lokal. <br /><br />Untuk menyejajarkan ulama Nusantara dengan ulama dunia Islam, harus ada penerjemahan masif dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Arab. Empat contoh ulama Nusantara yang sudah penulis tuliskan di atas, merupakan sampel penting, bahwa kapabilitas ulama Nusantara, layak disejajarkan dengan ulama di dunia Islam secara umum. Seperti Mbah Sahal Mahfudz, dengan pelbagai karyanya dalam ushul fikih (mempergunakan bahasa Arab), berdasar informasi dari kolega penulis di Yaman, karyanya kerap dijadikan rujukan ulama di sana. Penerjemahan itu menjadi penting, jika kita menghargai kepakaran mereka dalam satu disiplin tertentu, kemudian mendialogkan gagasan mereka dengan gagasan ulama dunia. Bahkan Hassan Hanafi pernah mengutarakan satu hal penting pada saat penulis ‘sowan’ ke kediamannya. Pada saat kami mengabarkan bahwa Gus Dur telah meninggal, ia mengungkapkan, “saya tidak tahu Gus Dur sudah meninggal. Karena tidak ada yang memuat berita meninggalnya Gus Dur di koran-koran Timur Tengah. Kenapa kalian tidak menerjemahkan koran-koran di Indonesia itu, ke dalam bahasa Arab, atau minimal, tulislah info aktual mengenai negara kalian, agar kami yang di sini bisa terus mengetahui perkembangannya.” Tentu saja, kita, Mahasiswa Timur Tengah, yang harus memulainya.</span> </div>Ahmad Hadidul Fahmihttp://www.blogger.com/profile/01841733022516134434noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3803797330041316914.post-33747299792981352472012-01-31T05:22:00.001-08:002012-03-10T15:52:10.309-08:00Menara Keilmuan Masjid al-AzharAhmad Hadidul Fahmi<br /><br /><div align="justify">Masjid di awal perkembangan Islam diperuntukkan sebagai tempat ibadah. Pembangunan masjid sendiri dimulai pada masa Nabi, hingga kemudian disusul oleh beberapa kelompok shahabat yang menyebarkan Islam ke pelbagai negeri. Di Bashrah dibangun masjid pada tahun 14 H, di Kufah tahun 17 H, sedang di Mesir, Amru bin al-Ash mengikuti tradisi ini dengan membangun sebuah masjid di Fustat, Kairo, pada tahun 21 H. Menurut al-Maqrizi seperti dikutip Su’ad Mahir, bersamaan dengan meluasnya daerah kekuasaan Islam, pembangunan masjid di satu daerah tidak hanya satu. Hal ini membuat khalifah Umar bin al-Khattab meminta Abu Musa al-Asy’ari untuk membuat sebuah masjid yang dipergunakan untuk berkumpul semua masyarakat di satu momen perayaan tertentu. Tempat ini kemudian populer dengan istilah jâmi’. Jâmi’ diperuntukkan bagi “masjid besar”, atau tempat berkumpulnya masyarakat (jama’âh)—di samping ada istilah “masjid” (kecil) sebagai tempat shalat kabilah. Pada masa Umawiyyah, jâmi’ mempunyai makna politis: sebuah masjid besar yang diimami oleh khalifah atau orang yang menggantikannya di shalat Jum’at. Atau ia digunakan sebagai masjid resmi suatu negara.<span class="fullpost"> <br /><br />Dalam perkembangannya, masjid tidak hanya sebagai tempat ibadah semata: di antaranya, masjid mempunyai peranan yang cukup signifikan dalam pembentukan keilmuan umat Islam. Di ruwaq-ruwaq dan tiang-tiangnya digelar berbagai macam aktivitas keilmuan dan diskusi-diskusi ilmiah. Ahmad Fikri dalam Masâjid al-Qahirah menegaskan bahwa aktivitas keilmuan di masjid bahkan sudah ada semenjak abad ke 2 H. Sebelum al-Azhar berdiri, aktivitas keilmuan di Masjid Kairo terkenal di dua tempat: masjid Amru bin al-Ash, dan masjid Ibnu Thulun—sebuah masjid yang didirikan oleh Ahmad bin Thulun tahun 263 H. Di Masjid Amru bin al-Ash digelar majlis Sulayman bin Itr al-Tujaybi tahun 38 H dan berkembang sampai empat puluh majlis. Termasuk Imam Syafi’i juga mempunyai majlis di sini, serta menghasilkan sosok seperti Rabi’ bin Sulaiman al-Muradi, al-Buwaithi, al-Azdi. Ruwaq Imam Syafi’i masih terjaga beberapa abad, dan dipergunakan untuk kegiatan belajar mengajar sampai ada perombakan masjid. Termasuk yang mengajar di sini adalah Muhammad bin Jarir al-Thabari, yang diminta oleh Abu al-Hasan bin Siraj untuk membacakan syair al-Thurmah. Adapun Masjid Ibnu Thulun, di antara yang mengajar di sana Rabi’ bin Sulayman al-Muradi, murid Imam Syafi’i. Ia membacakan hadis. Ibnu Thulun memberikan perhatian besar terhadap masjid, dan menggalakkan pengajaran fikih madzhab empat, hadis, tafsir dan disiplin keilmuan yang lain. <br /><br /><span style="font-weight:bold;">Aktivitas Keilmuan di Masjid Al-Azhar </span><br /><br />Semenjak masjid al-Azhar selesai dibangun oleh Jawhar al-Shiqilli—panglima dinasti Fathimiyyah— tahun 361 H, empat tahun kemudian, atau tahun 365 H, mulai digalakkan aktivitas belajar mengajar di sana. Kehormatan mengajar di al-Azhar diberikan pada keluarga al-Nu’man: Abu al-Hasan Ali bin al-Nu’man (w. 373 H), seta saudaranya Muhammad bin al-Nu'man (w. 389 H), dan anaknya Hasan bin al-Nu'man (w. 389 H). Namun yang pertama kali mengajar adalah Abu al-Hasan Ali bin al-Nu'man. Beliau adalah putra Abu Hanifah al-Nu’man, atau Al-Qadli al-Nu'man yang diberi predikat “Sayyiduna al-Qadli al-Nu'man”, untuk membedakan dengan Abu Hanifah, penggagas Madzhab Hanafi. Sebagaimana kaum Syiah juga menyebutnya dengan “Sayyiduna al-Awhad”, atau “Abu Hanifah al-Syiah”. Karangannya mencampai 40 kitab, dan yang masih tersisa sekarang berkisar antara 20. Menurut Su’ad Mahir, aktivitas keilmuan yang dilakukan pertama kali di masjid al-Azhar adalah pengajian fikih Syi’ah—dengan kitabnya al-Iqtishâr--oleh Qadli al-Qudlat Abu al-Hasan Ali bin al-Nu’man, tahun 365 H, di akhir pemerintahan Mu’iz li Dini-llah. Abu al-Hasan bin al-Nu’man ini sekaligus orang pertama yang diberi predikat Qadli al-Qudlat di Mesir. Ia masih tetap menggelar halaqah keilmuan di masjid al-Azhar sampai tahun 369 H: tahun di mana al-Azhar menjelma menjadi universitas dengan sistem pendidikan yang tertata. Ya’qub bin Killis merupakan orang pertama yang disebut mempunyai gagasan al-Azhar digunakan untuk aktivitas pendidikan.<br /><br />Ya’qub bin Killis mempunyai kitab al-Risalah al-Waziriyyah fi al-Fiqh al-Syi’i. Al-Risalah al-Waziriyyah adalah ajaran-ajaran Syi’ah Ismailiyyah yang dicatat dari al-Muiz dan putranya, al-Aziz. Ia membacakan kitab tersebut di masjid dengan orientasi keilmuan murni, tanpa batasan-batasan guru-murid—yang lazim dilakukan sebelumnya. Oleh karena itu, halaqah Ibnu Killis terhitung sebagai kuliah pertama yang digelar di masjid al-Azhar. Ia meminta izin pada khalifah al-Aziz bi-llah, putra al-Muiz li Dinil-llah untuk menjadikan al-Azhar sebagai pusat pendidikan, dan mengundang para fakih untuk menggelar aktivitas keilmuan selepas shalat Jum’at sampai Ashar. Jumlahnya mencapai 37 ahli fikih, masing-masing mereka diberi subsidi setiap bulan, serta fasilitas tempat tinggal di samping masjid al-Azhar. Pada tahap ini al-Azhar benar-benar menjelma sebagai lembaga pendidikan. <br /><br />Satu tahun kemudian, yakni 370 H, guru-guru dan pelajaran di al-Azhar mengalami sistematisasi. Pada tahap ini Masjid al-Azhar bukan hanya mempelajari fikih semata, akan tetapi juga digelar halaqah untuk pelajaran filsafat dan ilmu rasional. Selain untuk lelaki, halaqah ini juga digelar untuk perempuan. Halaqah filsafat digelar untuk awam hanya dengan penjelasan kaidah-kaidah umum. Sedangkan untuk para pengkaji atau orang-orang tertentu, halaqah ini masuk ke pembahasan yang lebih dalam. Perkembangan mata pelajaran yang diajarkan selanjutnya di masjid meliputi; bahasa, matematika, filsafat, kedokteran, logika, di samping ilmu-ilmu Islam lainnya. Sarjana yang turut berperan mengajar pada masa Dinasti Fathimiyyah adalah Ibnu Zaulaq (w. 387 H), Ibnu Yunus ahli falak (w. 399 H), al-Musabbahi (w. 420 H), al-Hufi al-Nahwi (w. 430 H), Ibnu Haytsam (w. 430 H), al-Qadla’i (454 H). Majlis di al-Azhar terus berkembang pada masa Fathimiyyah sampai meliputi majlis untuk perempuan, majlis untuk penguasa, majlis untuk para syaikh, majlis untuk para awam, dan untuk pendatang.<br /><br />Dalam bukunya al-Azhar fi Dhill al-Fathimiyyin, Dr. Rumziyyah al-Athr mengatakan, Qadli al-Qudlat menyelenggarakan halaqahnya setiap hari Senin dan Selasa. Sedangkan halaqah Jum'at di Masjid al-Azhar diselenggarakan secara berjamaah. Di sana ada para fakih, teolog, penyair, dan halaqah bersifat interaktif. Di antara nama perempuan yang tecatat hadir di majlis ini adalah Ummu Zaynab Fathima binti Abbas. Sedang kitab yang dikaji sampai abad ke 4 antara lain Da'aim al-Islam, Ikhtilaf Ushul al-Madzahib, dan al-Akhbar.<br /><br />Selepas Dinasti Ayyubiyyah menguasai Mesir (567-648 H), Shalahuddin al-Ayyubi memberhentikan Qadli al-Nu'man dan menggantinya dengan Shadr al-Din Abd al-Malik bin Dirbas, pembesar madzhab Syafi'I masa itu. Ayyubiyyah juga mendirikan madrasah-madrasah yang menggelar halaqah madzhab Syafi’i untuk mengungguli popularitas Syiah. Tidak ada kesulitan signifikan untuk mengendorkan popularitas Syiah, sebab Madzhab Syafii sudah terlebih dahulu mendapat tempat di hati masyarakat Mesir sebelumnya setelah Madzhab Maliki. Madzhab Imam Malik —sebelum Madzhab Syafii—adalah madzhab resmi di Mesir: Abdullah bin Wahb—murid Imam Malik yang bergelar Syaikh Ahl Mishr—merupakan pembawa Madzhab Maliki ke Mesir. Di antara pembesar Malikiyah pada masa itu adalah Ishaq bin al-Farrat (w. 204 H), murid Imam Malik sekaligus Qadli di Mesir, dan al-Harits bin Miskin (w. 250 H). Ketika Imam Syafi’i memasuki Mesir tahun 199 H, madzhab ini kemudian menyebar dan menandingi popularitas madzhab Maliki. Sedang Madzhab Abu Hanifah sampai ke Mesir melalui Isma’il al-Kindi, Qadli Bikar bin Qutaybah—yang diutus oleh Khalifah al-Mutawakkil, dan Abu Ja’far al-Thahawi. Adapun Madzhab Imam Ahmad berkembang di Mesir di masa-masa akhir. Serta tidak begitu populer sebagaimana tiga madzhab sebelumnya. <br /><br />Selain itu, Ayyubiyyah juga merombak buku-buku diktat yang dipergunakan di al-Azhar, walaupun pada masa itu, kedokteran, mantik, filsafat, tetap dikaji. Khalifah bahkan meniadakan khubtah Jum’at—atas fatwa dari sang Qadli—di masjid al-Azhar karena mengamalkan pendapat dalam madzhab Syafii yang mengatakan bahwa shalat Jum’at tidak boleh dilaksanakan di dua masjid dalam satu daerah. Pengajaran di al-Azhar mengalami reformasi pada saat Shalahuddin al-Ayyubi mendirikan berbagai macam sekolah (madrasah) di Mesir. Hal itu tidak lain dimaksudkan untuk mengungguli popularitas al-Azhar yang condong ke madzhab Syi’ah. Sebagaimana jamak diketahui, bahwa Ayyubiyah sangat fanatik terhadap madzhab Syafi’i dan Asy’ari. Walapun begitu, peniadaan shalat Jum’at di masjid al-Azhar tidak menghapus aktivitas keilmuan di sana. <br /><br />Pada masa Ayyubiyyah, ada Musa bin Maymun yang menyampaikan pelajaran matematika, falak dan kedokteran, kemudian Abd al-Lathif al-Baghdadi yang memberi materi ilmu kalam, mantik, dan kedokteran sampai wafatnya al-Malik al-Aziz, putra Shalahuddin al-Ayyubi. Ibnu Iyyas dalam Badâi’ al-Zuhûr mengatakan, di masa akhir Ayyubiyyah, terdapat beberapa nama yang tercatat sempat mengajar di masjid al-Azhar, seperti Ibnu al-Faridl (w. 632 H) yang mempunyai halaqah sufiyyah, kemudian Abu al-Qasim al-Manfaluthi, dan Ibnu Khillikan sebagaimana ia sebutkan sendiri dalam Wafiyat al-A’yan. Secara global, nama yang muncul pada masa Ayyubiyyah adalah Hasan al-Farisi (w. 598 H), Ibn al-Hajib al-Nahwi (w. 646), al-Syathibi (w. 590 H), Ibnu al-Faridl (w. 632), Izz al-Din bin Abd al-Salam (w. 660 M), al-Hafidz al-Mundziri (w. 660 H), al-Sakhawi (w. 643 H), Ibnu Bari (w. 582 H), Ibnu Mu’thi (w. 628 H), Ibnu Malik (w. 672 H), dan Ibnu Shalah (w. 643 H). Pada masa ini pula madzhab empat sudah masuk ke al-Azhar. Dan di ruwaq-ruwaq dipilih setiap syaikh yang jadi pengampu di setiap madzhab. <br /><br />Memasuki kekuasaan Mamalik (648-922 H), sultan Dzahir Baibars kembali memfungsikan masjid al-Azhar untuk shalat Jum’at tahun 665 H. Dzahir Baibars merupakan sultan yang sangat menaruh perhatian terhadap aktivitas keilmuan di al-Azhar. Oleh karena itu, pada masa ini, al-Azhar menuai masa keemasannya. Muhammad al-Baha menyebutkan, ulama-ulama besar atau sarjana Islam yang muncul pada masa Mamalik seperti al-Bushiri (w. 696 H), Ibnu Daqiq al-Id (w, 702 H), Ibnu Hisyam (749 H),Taqiy al-Din al-Subki (756 H), Ibnu Aqil (769 H), Syaikh al-Islam al-Bulqini (805 H), Fayruzabadi (817 H), al-Maqrizi (845 H), al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani (852 H), al-Sakhawi (902 H), al-Suyuthi (911 H), Ibnu Iyyas (930 H), Zakariya al-Anshari (w. 926 H). Menurut Muhammad Baha lagi, di antara ulama yang mendatangi Mesir adalah Ibnu Khaldun, Ibnu Bathutah, Taqiy al-Din al-Fasi, Syams al-Din al-Asfhihani, Ibnu Hayyan al-Gharnathi. <br /><br />Di dekat al-Azhar dibangun madrasah Dzahiriyyah yang didirikan oleh Baibars pada tahun 661 H. Di sana digelar pengajian madzhab Syafii oleh Taqiyy al-Din bin Razin, Hanafiyyah oleh Muhyiddin Abd al-Rahman al-Kahhal, Hadis oleh al-Hafidz Syaraf al-Din al-Dimyati, dan Qira’at Kamal al-Din al-Qurasyi. Selain itu, dibangun madrasah Thibrisiyyah tahun 709 H (ke arah kanan dari pintu masuk Muzayinin)—yang di dalamnya di gelar pengajian fikih Syafi’i--dan madrasah Aqbaghawiyyah tahun 740 (ke arah kiri dari pintu masuk Muzayinin). Dua madrasah ini kemudian dijadikan satu dengan masjid al-Azhar ketika pintu Muzayinin dibangun. Ibnu Khaldun tercatat pernah mengunjungi al-Azhar dan menyampaikan pelajaran di sana. Masa Mamalik merupakan masa keemasan al-Azhar. Hal itu disebabkan, ketika Mamalik berkuasa di Mesir disusul dengan runtuhnya Baghdad dan Andalus di tangan Mongol. Faktor ini yang menjadikan al-Azhar menjadi tujuan semua pelajar setelah keruntuhan Baghdad dan Mongol. <br /><br />Ustmani menguasai Mesir pada tahun 922 H. Bersamaan dengan masuknya Mesir di tangan Utsmani, semangat keilmuan di Mesir melemah, dan sama sekali mengabaikan pembelajaran ilmu-ilmu rasional. Pengharaman filsafat, mantik, matematika semakin hari semakin menguat. Oleh karena itu banyak sejarawan memandang, bahwa berkuasanya Turki Utsmani di Mesir sekaligus memutus hubungan Mesir dengan pengetahuan. Muhammad al-Baha menggambarkan ekspansi Ustmani ke Mesir mirip dengan ekspansi Mongol ke Baghdad; penghancuran bangunan-bangunan bersejarah dan membakar kitab-kitab ulama. Sultan Salim bahkan mengirim para pembesar di Masjid al-Azhar secara umum, atau Mesir, ke Qasthantiniyyah. Kemudian taklid berkembang, serta pintu ijtihad dianggap tertutup. Para ulama pada masa itu mengeluarkan fatwa untuk tidak mempelajari ilmu-ilmu rasional. Pemerintah Mesir bahkan tidak bisa memasukkan matematika dan ilmu umum ke kurikulum al-Azhar, sampai setelah Syaikh al-Muhammad Anbabi memfatwakan bolehnya mempelajari ilmu ini. Al-Azhar masih sampai di keadaan yang memprihatinkan sampai Jamal al-Din al-Afghani menyuarakan pembaharuan. Kita mengenal ulama-ulama yang mengajar di al-Azhar pada masa ini tidak se populer ulama-ulama Azhar sebelumnya. Di antaranya adalah: Nur al-Din Ali al-Buhayri (w. 944 H), Syihab al-Din al-Sanbathi (w. 950 H), Abd al-Rahman al-Munadi (w. 950 H), Syams al-Din al-Alqami (w. 962 H). <br /><br />Sedang para pengajar di pertengahan Turki Utsmani, al-Jabarti menyebut nama-nama yang muncul dari al-Azhar seperti al-Zurqani al-Maliki (w. 1099 H), Syahin bin Mansur bin Amir (w. 1101 H), Syams al-Din al-‘Annai, Ibrahim bin Muhammad al-Barmawi (w. 1106 H). Sedang ulama yang datang dari luar seperti Hasan bin Ali al-Jabarti (w. 1188 H), ayah dari sejarawan besar Abdurrahman al-Jabarti. Kemudian Syihab al-Din al-Maqarri (w. 1631 H), Murtadla al-Husayni, Abd al-Ghani al-Nabulisi (w. 1143 H). Sebagaimana direkam al-Jabarti lagi, kitab-kitab yang dikaji oleh al-Azhar pada masa ini adalah tentang Nahwu dan Sharaf: al-Asymuni, Ibnu Aqil, Syudzur al-Dzahab, serta Tawhid: syarah Jawharah dan Syarah Sanusiyyah Kubra, dan beberapa kitab fikih, hadis dan balaghah.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Dari Ruwaq al-Azhar ke Sistem Pendidikan Modern</span><br /> <br />Ahmad Fikri dalam bukunya Masâjid al-Qahirah wa Madârisuhâ menuturkan, aktivitas keilmuan dengan berbagai latarbelakang madzhab yang digelar di masjid, lazimnya dibacakan oleh seorang Syaikh di satu tiang masjid, kemudian dikelilingi oleh muridnya. Jika untuk Qadli, biasanya diberi kehormatan di sekitar Mihrab agar bisa dihadiri orang banyak. Ruwaq—atau riwaq—secara etimologis diperuntukkan untuk pemaknaan satu tiang yang memanjang. Secara istilah, maknanya kemudian dipergunakan untuk sebuah tempat yang dipergunakan belajar di suatu masjid atau tempat ibadah tertentu. Ruwaq lazimnya berada di sisi-sisi masjid, di bawah tiang yang menjulang atau tembok yang memanjang, di mana letaknya mengelilingi bagian tengah masjid. Sebagaimana masjid itu sendiri, ruwaq merupakan bagian sejarah yang tak bisa ditinggalkan. Bahkan jika berbincang masjid sebagai pusat keilmuan, sejarah ruwaq tentunya tak boleh untuk terlewat. <br /><br />Dalam buku al-Azhar; Târikhuh wa Thathawwuruh, Muhammad al-Baha mengatakan bahwa Al-Maqrizi merupakan orang pertama yang menyinggung ruwaq di masjid al-Azhar; ketika menyebutkan jumlah fakir miskin di Masjid ini abad ke 9 H mencapai nominal 750. Masing-masing fakir itu mempunyai sudut sebagai tempat ‘berteduh’. Mereka berasal dari bermacam latarbelakang dan bermacam daerah. Di masa ini, para bangsawan berlomba memberi tunjangan pada mereka. Abad inilah, para siswa dari Zayla’, Maghrib, dan bermacam daerah di Mesir menempati tempat tertentu untuk tempat mereka tinggal, yang kemudian terkenal dengan istilah "Ruwaq". Nama-nama ruwaq ini disesuaikan dengan latarbelakang penghuni yang menempati, semisal Atrak dari Turki, Baghdadiyyin dari Baghdad, Jawi dari Jawa, Magharibah dari Maghrib, dan selainnya. Jika melihat keterangan al-Maqrizi bahwa peraturan ruwaq (nidzam al-arwiqah) sudah dimulai semenjak masa Fathimiyyah, itu artinya ruwaq sudah ada semenjak masa Fathimiyyah—walaupun mungkin belum berkembang istilah ruwaq. <br /><br />Di abad ke 14 H, ruwaq di al-Azhar dikalkulasi mencapai nominal dua puluh sembilan. Yang pertama, ruwaq untuk penghuni dari Mesir sendiri. Jumlahnya ada enam. Yang paling terkenal adalah “Ruwaq Sha’ayidah” yang menampung seribu penghuni (sudah dengan jumlah guru dan murid). Ruwaq ini setiap hari menghabiskan seribu roti karena banyaknya penghuni. Kemudian “Ruwaq Syarqawiyyah” yang didirikan oleh syaikh Abdullah al-Syarqawi, kemudian “Ruwaq Buhairah”, “Ruwaq Fayyumiyyah” yang ditempati seratus siswa, “Ruwaq Syinwaniyyah” (penghuninya kurang dari 30) dan “Ruwaq Fasyaniyyah” (penghuninya lebih dari 200). Kedua, ruwaq yang disediakan bagi pelajar dari luar Mesir. Jumlahnya ada 17, yang meliputi Turki, Syam, Baghdad, Maghrib, dan selainnya. Ruwaq al-Azhar mempunyai peraturan, bahwa murid-murid yang hendak belajar di sana harus menetap di tempat yang telah disediakan bagi masing-masing daerah. Di samping itu, terdapat ruwaq yang dihuni bukan dari latarbelakang daerah, akan tetapi dari latarbelakang madzhab. Ada ruwaq Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah. <br /><br />Ruwaq yang diketahui didirikan oleh Mamalik adalah ruwaq Atrak, Syam, dan Magharibah. Ruwaq al-Azhar mulai ramai justru ketika masa Turki Utsmani. Beberapa pelajar dari luar Mesir berbondong-bondong ke al-Azhar; Turki, India, Syam, Maghrib, al-Ajm, Zayla’, Yaman. Di awal abad ke 9, atau tahun 818 H, pelajar di al-Azhar mencapai angka 750 orang dari berbagai latarbelakang. Beberapa nama Ruwaq yang tercatat didirikan pada masa Turki Utsmani di antaranya ruwaq Hanabilah, Haramayn, Sulaimaniyyah (Afghanistan). Sedangkan ruwaq Abbasi, ruwaq terbesar di masjid itu, didirikan baru pada kepemimpinan Syaikh Hasunah Nawawi di Syaikh al-Azhar. Adapun ruwaq-ruwaq yang sudah ada sebelumnya dan penghuninya dipindah ke ruwaq Abbasi adalah, ruwaq Akrad, ruwaq Hunud, ruwaq Baghdad, ruwaq Yaman, ruwaq Thibrisiyyah dan Aqbaghawiyyah—diambil dari Madrasah Thibrisiyya dan Aqbaghawiyyah, ruwaq Fayyumiyyah, dan ruwaq Buhayrah. Selain yang sudah disebutkan, tidak ada keterangan terperinci kapan dan bagaimana dibangun.<br /><br />Pada masa awal terbentuknya halaqah, sebagaimana dikatakan Ahmad Syalabi, tradisi yang berkembang adalah seorang syaikh berada di satu tiang Masjid membacakan sebuah buku. Lazimnya ia duduk di kursi—walaupun pada awal mula, kursi hanya diperuntukkan bagi syaikh al-Jami (syaikh masjid). Sedang para murid melingkar di sekitar syaikh. Biasanya, para murid duduk sangat berdekatan dengan syaikh, dengan catatan tidak melebihi tempat syaikh. Ketika selesai membacakan hadis atau sebuah kitab, dilanjutkan penjelasan dari syaikh terkait makna hadis atau makna kitab. Kemudian para murid mencatat keterangan yang disampaikan oleh syaikh. Jika sudah selesai pengajian terhadap kitab tertentu, biasanya syaikh menguji catatan para muridnya, untuk meluruskan jika ada kesalahan catatan. Jika catatannya selesai dibacakan di depan syaikh, kemudian syaikh memberi tanda di kertas murid yang sudah selesai diuji. Di antara catatan-catatan para siswa ini, beberapa ada yang masih tersimpan berupa Makhtutah. Seperti catatan al-Murtadla, Ibnu al-Hajib, al-Zajjaj, dan lain sebagainya.<br /><br />Menurut Su’ad Mahir, peraturan-peraturan sistem pembelajaran di al-Azhar adalah; pertama, seorang murid selalu mengiringi syaikhnya sampai meninggal. Sikap itu merupakan perwujudan harapan dari seorang murid agar bisa sampai di derajat gurunya. Misalnya, imam Suyuthi ketika berhaji ia berharap agar kemampuan fikihnya bisa sederajat dengan al-Bulqini dan hadis setara dengan Ibnu Hajar; kedua, seorang guru bisa memberikan ijazah di satu pelajaran, akan tetapi di pelajaran lain ia dibolehkan untuk meminta ijazah. Atau ia bisa menjadi murid dan guru sekaligus; ketiga, kesaksian kapabilitas murid dari seorang guru adalah Ijazah. Jika seorang murid sudah merasa mampu untuk mengajar dan memberi fatwa, ia boleh untuk meminta ijazah pada gurunya; keempat, seorang murid dibebaskan untuk memilih pelajaran yang ia sukai. Dan guru boleh memilih antara hadir dan tidak; kelima, di setiap kitab yang dipelajari, biasanya ada seorang murid yang bertugas sebagai pembaca di hadapan gurunya. <br /><br />Ilmu yang marak dipelajari di al-Azhar sampai pertengahan abad ke 9 H adalah sastra, fikih dan tawhid. Sedangkan waktu penyelenggaraan belajar adalah tafsir dan hadis selepas shalat Fajar, kemudian fikih pagi hari, nahwu, sharaf dan balaghah selepas shalat Dzuhur, matematika, sejarah, geografi, dan ilmu-ilmu modern, selepas Ashar. Untuk mantik dan etika berdebat dilaksanakan selepas Maghrib. Lazimnya, pembelajaran menghabiskan waktu satu atau dua jam. <br /><br />Tidak ada keterangan pasti seorang syaikh yang mengajar atau pernah menjadi murid di ruwaq-ruwaq tertentu. Hanya saja, ketika penyebutan biografi seorang syaikh, disebutkan bahwa syaikh ini pernah mengajar di ruwaq tertentu. Semisal, al-Imam al-Bushiri adalah siswa di ruwaq Sha’idi. Syaikh Abdullah Syarqawi pernah menjadi syaikh di ruwaq Syarqawi (abad ke 13 H); syaikh Shalih Ja’fari pernah menyepi di ruwaq Magharibah, dan sebelumnya Ibnu Khaldun juga pernah mengunjungi ruwaq Magharibah. Selain itu, Muhammad bin Ali al-Sanusi juga pernah menjadi siswa di Ruwaq Maghariba di abad ke 12 H. Magharibah setelah generasi al-Sanusi berjumlah seratus orang, dan kebanyakan dari Tunisia. Selain itu, Syaikh Ahmad al-Dardiri, pembesar Madzhab Maliki di zamannya juga pernah menjadi pengajar fikih Maliki di ruwaq Sha’idi selepas wafatnya Syaikh Ali bin Ali al-Sha’idi pada abad ke 11 H. Begitu pula syaikh Ali al-Sha’idi. Syaikh al-Sayyid Muhammad Amin al-Suhaymi pernah menjadi syaikh di ruwaq Atrak. Jumlah siswa di ruwaq Atrak mencapai 50 orang. Beberapa ulama yang menempati ruwaq juga bisa dilacak juga dari biografi ringkas Abdurrahman al-Khafaji dalam al-Azhar fi Alf ‘Am: misal, al-Syaikh Muhammad al-Bannani adalah ulama Azhar yang menghadiri pelajaran syaikh al-Dardiri dan Ali al-Sha’idi. Artinya syaikh al-Bannani juga merupakan salah satu murid di ruwaq Sha’idi. <br /><br />Karena semakin bertambahnya siswa di al-Azhar, pada kepemimpinan Muhammad Musthafa al-Maraghi di Syaikh al-Azhar, para pelajar yang menetap di ruwaq-ruwaq dipindahkan ke sebuah asrama yang disebut “Madinat al-Bu’uts al-Islamiyyah”. Buu’ts merupakan asrama bagi siswa-siswa dari luar untuk menetap, dan masih ada sampai sekarang. Pada tahap ini ruwaq-ruwaq di al-Azhar tidak lagi difungsikan sebagai asrama. Beberapa ada yang dijadikan perpustakaan, dan beberapa tetap difungsikan untuk tempat belajar-mengajar.<br /><br />Tradisi belajar mengajar di al-Azhar masih terus dengan model klasik sampai muncul berbagai kebijakan-kebijakan baru: seperti kebijakan tahun 1288 H atau 1872 M. Syaikh al-Azhar pada masa itu adalah Syaikh Muhammad Mahdi al-Abbasi di pemerintahan Khediv Isma’il. Peraturan ini dibuat untuk memperoleh ijazah resmi yang bisa dipergunakan di institusi pendidikan lain. Kebijakan tersebut adalah, para siswa diberi ijazah resmi yang bertingkat; tingkat satu sampai tiga. Sedangkan materi-materi yang diujikan meliputi hadis, tafsir, fikih, nahwu, sharaf, balaghah, mantik, dan tawhid. Kritikan sistem pembelajaran klasik keluar dari sosok Muhammad Abduh. Ia mengatakan, misalnya, tidak ada peraturan yang jelas untuk para siswa untuk datang dan tidak datang, serta murid tidak bertanya pada guru tentang sebab absen mereka dan tidak ditanya tentang kadar pemahaman mereka, serta ijazah pada masa itu tidak mempunyai batasan jelas. Perlahan-lahan, reformasi Muhammad Abduh mendapat sambutan; mulai diberlakukan pembatasan absensi siswa, pemahaman bagi siswa lebih penting dari sekedar melihat kitab, membatasi waktu ujian, menetapkan gaji tetap bagi para pengajar. Hal itu terjadi pada tahun 1895, setelah Syaikh Hasunah Nawawi ditunjuk sebagai Syaikh al-Azhar. Hasunah Nawawi dan Muhammad Abduh mengeluarkan kebijakan baru pada tahun 1314 H atau 1896 M, tentang penambahan materi pelajaran di al-Azhar. Materi tersebut meliputi etika (akhlak), musthalah al-hadis, balaghah, matematika, aljabar, arudl. Serta menjadikan sejarah Islam, pelajaran Insya’, Fiqh al-Lughah, Handasah, sebagai opsi bagi siswa. Muncul kebijakan juga larangan membaca catatan pinggir dan taqrir (syarah atas catatan pinggir). Pada masa ini ruwaq-ruwaq di al-Azhar diperbaharui; dialiri air bersih, dan lampu minyak diganti dengan listrik.<br /><br />Di tahun 1329 H atau 1911 M, ada sistematisasi lebih rapi di al-Azhar. Seperti absensi siswa, gaji pengajar, dan menentukan pengajar untuk mata pelajaran non agama. Pada tahun 1348 H, atau 1930 M, ketika syaikh Ahmadi al-Dzawahiri memegang jabatan Syaikh al-Azhar, ada kebijakan pembagian kuliah ke Lughah, Ushul al-Din, dan Syariah. Serta ada spesifikasi materi tergantung dari spesifikasi bidang yang diambil. Pada tahun 1936, dibentuk peraturan untuk menjadikan al-Azhar berjenjang; Ibtida’i, Tsanawi, Aliyyah, dan Takhassus. Di setiap tingkat mereka diberi ijazah. Sedangkan gedung kuliah sendiri selesai dibangun pada tahun 1351 H atau 1933 M. Cabang-cabang kuliah ini seterusnya berkembang dari waktu ke waktu. Bahkan, sekarang di al-Azhar sendiri sudah dibuka kuliah-kuliah untuk umum. <br /><br />Di fase ini, menurut Muhammad al-Baha, pembelajaran model halaqah di Masjid sudah hilang diganti dengan sistem pembelajaran modern di kuliah—ketika kuliah resmi dibagi dalam tiga cabang: Ushul al-Din, Syariah dan Lughah. Pemberhentian itu, menurut Muhammad al-Baha lagi, respon dari agresi-agresi barbarian Turki Utsmani terhadap pengetahuan. Selain mengembalikan ulama ke Negara-negara mereka, Ustmani juga mewajibkan bahasa Turki bagi penduduk Mesir. Efeknya adalah berkembang dialek-dialek Ammiyyah. <br /><br />Dengan demikian, proyek pembaharuan ini dimulai di tangan Muhammad Abduh, kemudian mendapat sambutan dari Syaikh Hasunah Nawawi. Dilanjutkan perjuangannya oleh Syaikh Ahmadi al-Dzawahiri dan Syaikh Musthafa al-Maraghi. Musthafa al-Maraghi mengatakan, beragama tidak menafikan untuk mempelajari bermacam budaya. Pembaharuan ini diawali di permulaan abad ke 19, atau 13 H. Para pembaharu mencoba mengadopsi sistem pendidikan di Barat untuk diaplikasikan di al-Azhar. Pada tahap pembaharuan ini, kita juga tidak bisa melupakan sosok Rifa’ah Rafi’ al-Thathawi; tokoh yang disebut-sebut sebagai orang pertama yang mengingatkan pentingnya ilmu-ilmu modern di kurikulum al-Azhar.<br /><br />Di masa Utsmani, kitab-kitab yang diajarkan di antaranya, al-Kawkab al-Munir fi Syarh Jami’ Shaghir, Multaqa al-Bahrayn bain al-Jam’ min Kalam Syaikhain, al-Faraid al-Sunniyah fi Syarh Muqaddimah al-Sanusiyyah, al-Durar al-Sunniyyah li Halli Alfadz al-Jurumiyyah, Aqrab al-masalik li Madzhab Imam Malik dan selainnya. <br /><br />Sedang di masa modern, kitab-kitab yg dikaji adalah, Umm al-Barahin karangan Muhammad Yusuf Sanusi dengan Syarahnya dari Sanusi, Syaikh Hudhudi, dan Syaikh al-Bajuri, Jawharat al-Tawhid, al-Maqasid, Taflis al-Iblis, al-Ihya, al-Kasysyaf, al-Jalalayn, Tuhfat al-Athfal, shahih Bukhari, Muslim, Muwatha syarah Zurqani, al-Jami al-Shaghir karangan Suyuthi, al-Syamail al-Muhammadiyyah karangan al-Hafidz al-Turmudzi, alfiyyat al-Hadis karangan al-Hafidz al-Iraqi, al-Nukhbah karangan Ibnu Hajar, al-Bayquniyyah, al-Bidayah karangan al-Marghinani, Fath al-Qadir, Asybah wa al-Nadzair karangan Ibnu Najim, al-Kharraj Abu Yusuf, al-Asymawiyyah, Aqrab al-Masalik karangan al-Dardiri, al-Majmu syaikh al-Amir, Asybah wa al-Nadzair, Taqrib, al-Wajiz, al-Muqni Ibnu Qudamah, Inshaf Mardawi, Jam’ al-Jawami’, Waraqat, Mukhtashar Ibnu al-Hajib, Fiqh al-Lughah karangan al-Tsa’labi, Alfiyyah, Jurumiyyah, Mughn al-Labib, al-Syafiyyah karangan Ibnu al-Hajib, al-Talkhis li al-Quzwaini bisyarh al-Sa’d, al-Jawhar al-Maknun karangan Akhdlari dengan syarah Damanhuri, serta al-Kafi, al-Khazrajiyyah (Arudl), al-Sullam li al-Akhdlari, al-Tahdzib karangan Sa’d al-Din al-Taftazani (Mantik), dan seterusnya.<br /><br />Pada tahun 1911 dikeluarkan keputusan untuk membentuk sekumpulan Dewan Tinggi Ulama al-Azhar (Hay’ah Kibar al-Ulama) di kepemimpinan syaikh Salim Bisyri. Setiap dari mereka diberi waktu khusus di al-Azhar untuk mengajarkan ilmu-ilmu tradisional dengan cara tradisional, serta tidak terikat peraturan sebagaimana peraturan-peraturan di universitas modern. Hal ini sebagai benteng agar pengajaran tradisional tidak dilupakan, setelah sebelumnya al-Azhar berkutat dengan sistem pendidikan modern. Di antara peraturan-peraturan yang diberlakukan di kelompok ulama ini: umurnya tak boleh kurang dari 45 tahun, sudah pernah mengajar di Masjid al-Azhar atau tempat lain minimal 10 tahun, harus sudah mempunyai buku di disiplin keislaman, bertakwa. Kemudian nama “Ha’yah Kibar al-Ulama” dirubah pada tahun 1936 menjadi “Jama’ah Kibar al-Ulama”. Di tahun ini pula ditambahkan beberapa syarat bagi yang hendak mengajar di al-Azhar; harus terdaftar di keanggotaan ulama yang memberikan peran di bidang agama, dan harus menyerahkan hasil karya sebagai syarat masuk. Sebagian dari mereka mengajar di sekolah kejuruan, dan sebagian lagi tak mengajar. Lazimnya, para anggota ini terus mengajarkan ilmu di al-Azhar sampai meninggal. Akan tetapi pada tahun 1961, Jama’ah Kibar al-Ulama diberhentikan. Dan diganti dengan Majma’ al-Buhus al-Islamiyyah. Lembaga ini dianggotai oleh 50 ulama kapabel dari setiap madzhab. Lembaga ini terus mengalami perkembangan di tahun-tahun setelahnya. <br /><br />Di abad ke 21 ini, menurut Ridwan Sayyid, al-Azhar telah terang-terangan menunjukkan moderatismenya terhadap berbagai persoalan. Jika pra revolusi, Islam garis keras tak bisa bersuara, maka paska revolusi di Mesir, gerakan Islam garis keras seakan mempunyai lahan luas untuk menyebarkan pemahaman mereka. Ikon moderatisme al-Azhar sendiri—menurut Ridwan Sayyid—telah terwakili di dua sosok Syaikh al-Azhar: Sayyid Thantawi dan Syaikh Ahmad Thayyib. Dua tokoh ini merupakan representasi yang cukup baik bagi gerakan reformasi al-Azhar setelah Muhammad Abduh. Paska revolusi, di kepemimpinan syaikh Ahmad Thayyib, al-Azhar kemudian kembali memfungsikan ruwaq-ruwaqnya secara lebih tertata untuk memberikan konsep moderatisme Islam pada siswanya, serta membentengi mereka dari pemahaman radikalisme yang berkembang. Di antara yang mengajar di sana adalah Syaikh al-Azhar sendiri, Ahmad Thayyib, kemudian mufti Mesir, syaikh Ali Jum’ah Muhammad yang kita kenal dengan fatwa-fatwanya yang toleran terhadap berbagai perbedaan di tubuh umat Islam, syaikh Hasan Syafi’i, syaikh Usamah Sayyid al-Azhari, syaikh Jamal al-Faruq, dan selainnya. Kitab-kitab yang dikaji meliputi fikih madzhab empat, tafsir, bahasa, ilmu kalam, serta mantik. Di antaranya adalah al-Kasysyaf, Mughni al-Labib, al-Asybah wa al-Nadzair , Hasyiah al-Amir, Minhaj al-Thalibin, Syarh Ibnu Aqil, Bahjat al-Nufus, al-Fawakih al-Dawani, al-Rawdl al-Murabba’, dan selainnya. Sedang tempat yang dipergunakan untuk halaqah ini adalah ruwaq al-Atrak, Magharibah, Fasyaniyyah, Abbasi, dan Sha’ayidah.</span> </div>Ahmad Hadidul Fahmihttp://www.blogger.com/profile/01841733022516134434noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3803797330041316914.post-66837684869115555812011-12-04T07:23:00.001-08:002012-03-10T15:44:54.851-08:00Pemikiran al-Razi Dan Karyanya<div align="justify">Oleh Ahmad Hadidul Fahmi<br /><br />Fakhr al-Din al-Razi lahir di Kota Ray, Iran pada tahun 544 H. Garis keturunannya bersambung pada Abu Bakar al-Shiddiq, shahabat kepercayaan Nabi Saw. Ayahnya adalah Dliya’ al-Din Umar, pembesar Syafi’iyyah sekaligus Asy’ariyyah pada masa itu. Ia mempunyai kitab terkenal bertajuk Ghayât al-Marâm fî Ilm al-Kalâm. Ayahnyalah yang kemudian membentuk karakter keilmuan al-Razi. Kota Ray memang dikenal mencetak banyak sarjana besar. Kita mengenal sufi,Abu Zakariya Yahya bin Mu’adz al-Razi (w. 258 H), kemudian dokter sekaligus filsuf besar, Abu Bakar Muhammad bin Zakariya al-Razi (w. 311 H), pakar bahasa, Abu al-Husayn Ahmad bin Faris al-Razi (w. 315 H), pakar hadis, Ibnu Abi Hatim al-Razi (w. 327 H), pakar fikih Hanafi, Abu Bakar al-Razi al-Jashshash (w. 370 H), Muhammad bin Abi Bakr al-Razi dan Quthb al-Din al-Razi. Masa al-Razi ini diumpamakan seperti masa al-Makmun dari segi dinamika intelektual—walaupun grafik keemasan Islam pada waktu itu sudah menurun. Oleh karena itu kita mengenal banyak sarjana besar yang semasa dengan al-Razi, seperti Ibnu Rushd (w. 595 H), al-Suhrawardi (w. 587 H), Ibnu Arabi (w. 638 H), dan Abd al-Qadir al-Jilani (w.561 H). <span class="fullpost"> <br /><br />Ia berkeliling ke pelbagai negeri dalam menimba ilmu. Seperti perjalanan pertamanya ke Semnan dan Maragheh, Iran. Selain dikenal pengikutnya banyak, ia juga dikenal banyak musuh. Hal itu karena al-Razi kerap berkeliling dunia untuk menantang musuh-musuhnya berdebat dan berdialog. Seperti perjalanan al-Razi ke Khawarizmi untuk berdebat dengan Muktazilah, sampai akhirnya ia diusir dari sana. Perjalanan intelektual al-Razi untuk berdebat terekam dalam autobiografi yang diberi nama Munadzârât al-Râzi fi Bilâdi Mâ warâ’a al-Nahr, atau perdebatan al-Razi di Transoxania. Menurut Shalih al-Zirkan, perdebatan ini terjadi antara tahun 580 dan 590 H. Ia memasuki Bukhara, Samarqand, Khujand, kemudian menantang para pembesar di daerah tersebut untuk berdiskusi di depan umum. Tema yang didiskusikan berkaitan dengan fikih, ushul fikih, kalam dan filsafat. Ada nuansa keangkuhan tatkala al-Razi mensifati para pembesar di masing-masing daerah. Sebagaimana ketika ia menggambarkan Ridla al-Naysaburi, lawan debatnya di Bukhara, dengan perkataan, "ia terlalu banyak berpikir, tetapi sedikit bicara." Dan menghina al-Nur al-Shabuni di depan umum dengan ungkapan, "saya menganggap Anda bukan bagian orang-orang yang berpikir rasional, lebih-lebih untuk menganggap Anda bagian dari orang-orang hebat dan ulama."<br /><br />Lepas dari itu, ketinggian intelektualitas al-Razi tak ada yang meragukan. Bagaimana tidak, dalam perkataannya, "demi Tuhan, saya khawatir di waktu makan tidak bisa menyibukkan diri dengan urusan ilmu. Karena sesungguhnya waktu dan zaman berharga", menunjukkan al-Razi merupakan tokoh yang ‘tergila-gila’ dengan ilmu. Karena ini, karangan al-Razi hampir mencapai nominal seratus. Karangan-karangan al-Razi yang sampai pada generasi sekarang, menyiratkan penguasaannya yang mendalam terhadap pelbagai disiplin ilmu. Al-Razi menguasa sejarah, ushul fikih, fikih, filsafat, ilmu kalam, kimia, kedokteran, bahkan ilmu sihir—dalam bukunya al-sirr al-maktûm. Al-Shafadi menuturkan, seperti dilansir Fathullah Khalif dalam bukunya Fakhr al-Din al-Râzi, metodologi al-Razi dalam menulis sebuah karya adalah dengan menyebutkan satu masalah, kemudian memunculkan klasifikasi dari setiap permasalahan, dan bagian-bagian yang merupakan perpanjangan dari klasifikasi tersebut. Al-Razi mempergunakan penyelidikan (al-sabr) dan klasifikasi (al-taqsîm) untuk menguatkan argumentasinya. Akan tetapi, menurut al-Shafadi lagi, metode ini mempunyai cela karena mempergunakan redaksi yang teramat ringkas. Bahkan al-Shafadi mengakui, ia terkadang tak mampu mengikuti alur pikiran al-Razi karena ringkasnya redaksi tulisan. Justru untuk memahami persoalan yang dilontarkan al-Razi, al-Shafadi kerap merujuk al-Ghazali di permasalahan yang sama.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">II</span><br /><br />Al-Razi belajar fikih pada ayahnya sendiri. Berdasarkan silsilah keilmuan yang ia tulis, berawal dari ayahnya (Dliya’ al-Din Umar), al-Baghawi (w. 516 H), al-Qadli al-Husayn al-Marwazi (w. 462 H), al-Qaffal (w. 417 H), Abi Zayd al-Marwazi (w. 371 H), Abi Ishaq al-Marwazi (w. 340 H), Abi al-Abbas bin Suraij (w. 306 H), Abi al-Qasim al-Anmathy (w. 288 H), Abi Ibrahim al-Muzani (w. 264 H), sampai pada Imam Syafi’i (w. 204 H). Menurut banyak sejarawan, dalam disiplin fikih, al-Razi mengarang sebuah buku yang menjabarkan kandungan (al-syarh) al-Wajîz karangan Abu Hamid al-Ghazali. Akan tetapi karangan ini dipercaya hilang karena tak sampai ke kita. Pandangan-pandangan fikihnya bisa dianalisa mempergunakan tafsirnya ensiklopedisnya, Mafâtih al-Ghaib, tatkala berbicara tentang ayat-ayat hukum yang berhubungan dengan fikih. Atau bisa ditilik juga dari buku perdebatan al-Razi dengan ahli fikih Bukhara—dalam permasalahan jual beli—yang terekam dalam bukunya Munadzarat Fakhr al-Din al-Râzi. Permasalahan fikih yang sebenarnya cukup sederhana, di tangannya dimodifikasi dengan teori-teori filsafat yang cukup pelik dan sulit dicerna. Berdebat dengan Ridla Naysaburi, Ia mengatakan,<br /><br />"perwakilan dalam jual beli mutlak tidak bisa dikatakan memiliki barang dengan unsur tipuan. Argumentasinya adalah, “mewakilkan untuk menjual sesuatu” tidak bisa mencakup “penjualan dengan tipuan dalam harga” (al-ghabn al-fahisy), tidak dari sudut pandang redaksi (lafadz) ataupun makna. Maka jual beli tidak sah. Saya mengatakan: mewakilkan tidak mencakup jual beli dengan tipuan, karena redaksinya “mewakilkan untuk menjual”. Dan mewakilkan untuk menjual bukanlah mewakilkan untuk penjualan yang dimaksud. Adapun redaksi mewakilkan untuk menjual (al-tawkîl bi al-bai’) sudah sangat jelas. Sedangkan mewakilkan untuk menjual bukanlah mewakilkan untuk penjualan yang dimaksud, alasannya, “menjual” mempunyai makna ganda bahwa yang dimaksud adalah menjual dengan harga sewajarnya, dan menjual dengan melakukan penipuan dalam harga (al-ghabn al-fahisy). Sedangkan Lafadz berhomonim (al-musyârakah), berbeda dengan lafadz yang bermakna beda (al-mubâyanah), serta tidak meniscayakan (al-musyârakah) terhadap al-mubâyanah. Maka jelas, bahwa perwakilan dalam jual beli tidak bisa merangkum jual beli dengan tipuan dalam harga."<br /><br />Di sini al-Razi jelas memasukkan pembahasan ilmu logika dalam disiplin fikih. Persoalan yang dimunculkan adalah tentang hukum perwakilan dalam jual beli. Jika untuk jual beli mutlak (penjualan barang dengan mata uang), maka penjualan barang dengan tipuan dalam harga (al-ghabn al-fahisy) tidak termasuk di dalamnya. Ia mempergunakan metode perbedaan genus (al-jins) dan pembeda (al-fashl). Aplikasinya, jual beli adalah genus, yang di dalamnya terdapat jual beli dengan harga yang berlaku (bai’ bi al-mitsl), dan jual beli dengan tipuan dalam harga—yang kemudian disebut pembeda (al-fashl). Oleh karena itu, jual beli dengan tipuan dalam harga dengan sendirinya tidak bisa termasuk dalam jual beli mutlak, walaupun jual beli bisa mencakup jual beli yang mempergunakan tipuan dalam harga. Dengan kata lain, tesis tersebut akan meniscayakan setiap keumuman akan selalu didapat dengan kekhususan. Dan yang demikian tidak logis. Sebagaimana perkataan, “jika ini adalah hewan, maka pasti manusia—dalam standar pengertian manusia adalah hewan yang berakal.” <br /><br />Sedang dari sudut pandang makna, al-Razi melanjutkan,<br /><br />"Adapun tidak sah dari sudut pandang makna, dasarnya adalah, sebuah lafadz dikatakan bermanfaat jika menunjukkan ‘suatu hal’, oleh karena itu ‘hal tersebut’niscaya keluar dari esensi lafadz. Keniscayaan itu bersifat absolut dan berdasar kebiasaan, sebab, lafadz yang menunjukkan pada sebuah hal tentu saja memberikan faidah dari sudut pandang makna. Maka di sini terdapat dua perkara hilang.Dari sudut pandang makna, jual beli dengan tipuan dalam harga ‘bukan keniscayaan’ jual beli, sudah demikian jelas. Sebab, terminologi jual beli (al-bai’) merupakan lafadz yang mempunyai makna penjualan dengan harga wajar, dan penjualan dengan tipuan dalam harga. Lafadz yang bermakna ganda (homonim) tidak meniscayakan lafadz yang bermakna beda. Jika tidak, maka jika disebutkan lafadz berhomonim, akan selalu meniscayakan lafadz yang maknanya beda."<br /><br />Dalam al-Mahshûl, al-Razi menjelaskan ketetapan di atas, sebagai berikut,<br /><br />"permasalahan keenam, perintah untuk mengerjakan sebuah hal secara umum (mâhiyyah), tidak selalu berkonsekuensi menunjukkan perintah untuk hal-hal partikularnya (juz’iyyât). Seperti perkataan, ‘jual baju ini!’, tidak menunjukkan perintah ‘menjual baju dengan tipuan harga’ (al-ghabn al-fâhisy), atau ‘menjual dengan harga normal’ (al-bai’ bi al-mitsli). Sebab, kedua hal partikular (al-bay’ bi al-ghabn al-fâhisy dan baiy’ bi tsaman al-mitsli) ini termasuk dalam keumuman jual beli. Dan antara yang partikular sendiri niscaya berbeda satu sama lain […]. Jika demikian, maka perintah untuk mengerjakan ‘genus’ tidak meniscayakan perintah untuk mengerjakan ‘spesies’nya. Akan tetapi jika ada ‘kerelaan’ untuk melakukan praktek partikular (spesies)—dalam hal ini sebagai qarînah, maka keumuman lafadz bisa saja dibawa ke sana. Oleh karena itu kita mengatakan, ‘perwakilan dalam jual beli mutlak tidak bisa memiliki barang dengan penjualan jual beli tipuan, walaupun dikatakan memiliki barang dengan penjualan harga sewajarnya (al-bai’ bi al-mitsli) karena ada dalil yang menunjukkan kerelaan masyarakat terhadapnya—oleh karena kebiasaan."<br /><br />Nalar al-Razi sebagai teolog, mendominasi pembahasan-pembahasan fikih dan selalu ditarik dalam pembahasan logika. Walaupun begitu, koridor berpikirnya masih dalam kerangka madzhab Syafi’i. Ia bahkan menulis biografi khusus Imam Syafi’i yang diberi nama Manâqib al-Imâm al-Syâfi’î, serta menjelaskan pelbagai permasalahan antar madzhab, kemudian menguatkan pendapat imamnya. Walaupun pada beberapa permasalahan, al-Razi kerap berbeda dengan Imam Syafi’i, seperti pada masalah ‘pengangkatan tangan’ dalam shalat dianjurkan di empat tempat—sedang Syafi’i di tiga tempat, ia sepakat dengan Abu Hanifah dalam kewajiban zakat buah-buahan dan tanaman, kewajiban witir, orang yang dahaga dan tidak menemukan air wajib minum khamr, dan melemahkan pandangan Imam Syafi’i yang melihat kewajiban penerima zakat terbatas di delapan kelompok yang disebutkan oleh al-Qur’an. Keberanian al-Razi untuk berbeda dengan Imam Syafi’i, tentu bertentangan dengan ungkapan Ibnu Taymiah yang mengatakan bahwa al-Razi termasuk sarjana Islam yang lemah dalam disiplin fikih. Ungkapan Ibnu Taymiah lebih karena fanatik sebab al-Razi mengarang buku tentang sihir. Bagi sebagian sarjana, Ibnu Taymiah tidak membaca lengkap seluruh karya al-Razi, tetapi anehnya, ia mempunyai keberanian menggeneralisasi kapabilitas intelektual al-Razi.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">III<br /></span><br />Thaha Jabir al-Ulwani menuturkan, bahwa kitab ushul fikih yang paling layak dikaji setelah al-Risalah Imam Syafi’i adalah al-Burhân karangan Imam Haramain, al-Mustashfâ karangan al-Ghazali—ketiganya dari Ahli Sunnah, al-‘Ahd karangan al-Qadli Abd al-Jabbar dan al-Mu’tamad karangan Abu Husayn al-Bashri—keduanya dari Muktazilah. Empat kitab ini mempunyai karakteristik yang berbeda satu sama lain, sehingga bagi pengkaji ushul fikih, kerap merasa kesulitan jika harus mengkaji empat buku ini bersamaan. Fakhr al-Din al-Razi dan al-Amidi--melalui bukunya al-Mahshûl fi ‘Ilm al-Ushul dan al-Ihkam fî Ushûl al-Ahkâm —berusaha merangkum keempat kitab ushul babon tersebut. Karena tak dapat disangkal, bahwa al-Razi telah mendalami ushul fikih semenjak dini. Al-Razi telah hafal al-Mustashfâ karangan Abu Hamid al-Ghazali dan al-Mu’tamad buah tangan Abu Husain al-Bashri di awal karirnya. Karena ini, oleh para ahli tahkik dan sarjana ushul fikih, al-Razi digelari “al-Imam”.<br /><br />Ia tak seperti al-Amidi, yang hanya merangkum keempat kitab di atas dalam al-Ihkâm. Tetapi meneliti dan mengkaji secara kritis tesis-tesis yang tertuang dalam keempat kitab babon tersebut. Al-Razi kerap melampaui capaian nalar Imam Haramain, al-Ghazali, Abdul Jabbar dan Abu Husain al-Bahsri di pelbagai permasalahan, dan meyakini pendapat yang baginya lebih kuat dan rasional secara independen. Oleh karena itu, hemat penulis, Al-Razi dalam kitabnya sebenarnya tak bisa dikatakan sepenuhnya menggabungkan keempat paradigma penulis kitab ushul fikih sebelumnya. Sebab, pada faktanya ia lebih banyak mengkritik pandangan-pandangan Muktazilah—dalam permasalahan parsial--dan mengunggulkan pandangan Madzhabnya—walaupun pada satu keadaan juga ia berani berbeda dengan al-Ghazali dan pada beberapa kecil permasalahan ia lebih sepakat dengan Muktazilah. Akan tetapi dalam skala mayoritas, al-Razi tak keluar dari metode berpikir madzhab Syafi’ dan Asy’ari.<br /><br />Untuk mengidentifikasi karangan-karangan al-Razi, saya berhutang budi terhadap Thaha Jabir al-Ulwani. Al-Ulwani mencoba memilah karya-karya al-Razi yang diyakini benar-benar ditulis olehnya, ataupun yang diragukan sebuah karya benar-benar ditulis oleh al-Razi. Bahkan mencoba mengoreksi nama karya al-Razi yang dituliskan oleh sejarawan klasik, akan tetapi terdapat kesalahan penulisan dan penyematan. Hal itu, misalnya, dilakukan oleh Haji Khalifah yang menyebut Durrat al-Tanzîl wa Ghurrat al-Ta’wîl sebagai karangan al-Razi dalam tafsir,padahal kitab tersebut karangan al-Khatib al-Iskafi (w. 421 H).<br /><br />Selain al-Mahsûl, al-Razi mempunyai beberapa karangan dalam disiplin ushul fikih; pertama,Ibthâl al-Qiyâs.Tetapi buku ini belum selesai. Oleh karena itu, Dr. Mohammad Hassan dalam bukunya Fakhr al-Din al-Râzi memandang, al-Razi termasuk sarjana yang menolak argumentasi analogi (al-qiyâs) karena ia mempunyai buku yang spesifik menolak argumentasi analogi (al-qiyâs); kedua, Ihkâm al-Ahkâm. Ulwani mengatakan, al-Razi dalam karangan-karangannya yang lain tak pernah menyebut secara eksplisit terhadap buku Ihkâm al-Ahkâm ini. Buku ini merupakan buku al-Razi yang dipercaya hilang; ketiga, al-Jadal. Seperti didapatkan dari perpustakaan di Turki, buku ini lengkapnya berjudul al-Jadal wa al-Kâsyif ‘an Ushûl al-Dalâil wa Fushûl al-‘Ilal; keempat, Radd al-Jadal; kelima; al-Tharîqah fi al-Jadal; keenam, al-Tharîqah al-‘Alaiyyah fî al-Khilâf. Akan tetapi al-Ulwani meragukan penisbatan buku ini terhadap al-Razi; ketujuh,‘Asyrat Alâf nuktat fî al-Jadal; kedelapan, al-Ma’alim fî Ushûl Fiqh; kesembilan, al-Muntakhab atau Muntakhab al-Mahsûl. Buku ini merupakan ringkasan dari al-Mahsûl. Akan tetapi al-Ulwani meragukan penisbatan buku ini pada al-Razi; kesepuluh, al-Nihâyah al-Bahâiyyah fî al-Mabâhits al-Qiyâsiyyah.<br /><br />Al-Mahshûl merupakan karya terpenting al-Razi dalam disiplin ushul fikih. Karya-karya ushul fikih yang ditulis sebelum al-Mahshûl, sudah terangkum dalam al-Mahshûl, sedangkan karya yang ditulis setelah al-Mahshûl, adakalanya ringkasan atau pilihan atas bagian-bagian penting dari al-al-Mahshûl. Kitab ini ditulis pada usia 32 tahun. Al-Razi merupakan sarjana ushul yang bercorak falsafi. Kita bisa melihat satu contoh dari pembahasan definisi “hukum syara’” yang mengindikasikan hal itu. Selesai mendefinisikan hukum Syara’, al-Razi menyebut potensi kritikan untuk definisi yang sudah disebutkan, <br /><br />"jika dikatakan: definisi ini tidak logis karena empat hal. Pertama, jika demikian, maka hukum Allah adalah firman Allah. Sedang firman Allah—bagi kalian—qadîm (tak berawal). Maka niscaya hukum Allah—halal dan haramnya—pun qadîm.Kritikan ini lemah dari tiga sisi; pertama, bolehnya bersetubuh dengan perempuan yang dinikahi, dan haramnya dengan perempuan lain (ajnabiyyah), merupakan sifat tindakan hamba. Oleh karena itu dikatakan, ‘setubuh ini halal atau haram’. Tindakan hamba sendiri adalah ‘perkara baru’, dan sifat untuk ‘perkara baru’ tidaklah dikatakan ‘tak berawa’l (qadîm); kedua, dikatakan: perempuan ini halal bagi Zaid ‘setelah’ tidak dihalalkan. Hal ini mengindikasikan bahwa hukum tersebut adalah ‘baru’; ketiga, konsekuensi dari dihalalkannya setubuh adalah nikah, atau kepemilikan terhadap seorang hamba. Sehingga segala hal yang digantungkan terhadap perkara baru, maka mustahil ‘tak berawal’. Sehingga tetaplah bahwasanya ‘hukum’ tidak mungkin ‘tak berawal’. ‘Firman’ boleh jadi tak berawal, akan tetapi ‘hukum’ bukanlah ‘khitab’."<br /><br />Selain dalam al-Mahshûl, dalam kitabnya yang lain yang bertajuk Munadzârât, ia mengkritik al-Ghazali dalam perkara tanah ghashab dan mengaitkannya dengan permasalahan teologis yang cukup rumit.Al-Razi kelihatan gerah dengan pengagungan masyarakat Tus, Iran, terhadap al-Ghazali. Ia mengatakan, “kalian menghabiskan umur untuk membaca kitab al-Musthashfâ. Barang siapa mampu menghadirkan argumen dari kitab al-Musthashfâ dan mempresentasikannya di hadapanku tanpa bisa dimasuki argumen lain, maka aku akan memberinya seratus Dinar.” Kemudian datang—sebagaimana penuturan al-Razi—orang yang tercerdas di antara mereka, dan berbicara mengenai shalat di tanah ghashab (al-shalât fî al-ardl al-maghsûbah), sebab ia mengira bahwa perkataan Ghazali dalam permasalahan tersebut sangat kokoh. Menurut al-Ghazali, ‘arah’ shalat dan ghashab terdapat perbedaan yang tak bisa bertemu. Al-Razi membantah,<br /><br />"shalat terdiri berdiri, duduk, ruku’, sujud. Semua aktivitas ini adalah gerak dan diam. Gerak merupakan aktivitas yang ‘menempati ruang’ setelah sebelumnya ‘berada di ruang lain’. Sedang diam adalah aktivitas berhenti di satu tempat dalam waktu relatif lama. Menempati ruang adalah bagian dari gerak dan diam. Dan keduanya merupakan bagian dari shalat. Jika Anda mengetahui hal ini, maka saya berkata: jika shalat yang berada di tanah ghasab adalah bagian dari penempatan terhadap tanah yang dighashab, maka penempatan ini jelas tidak dibolehkan. Dan bagian dari aktivitas shalat dalam tanah yang dighashab sama juga tidak dibolehkan. Ghashab dan haram di sini menjadi bagian dari aktivitas shalat. Oleh karena itu tidak diperbolehkan menghubungkan perkara ini dengan shalat. Sebab perintah untuk shalat artinya perintah dengan segala aktivitasnya. Jika aku sudah menunjukkan salah satu aktivitasnya menempati ‘ruang’ tersebut, dan sudah menunjukkan bahwa ‘penempatan’ tersebut tidak diperbolehkan, maka akan ada pertemuan antara perintah dan larangan untuk satu hal dengan satu alasan bersamaan. Dan yang demikian tidak mungkin.<br />"<br />Al-Razi juga termasuk sarjana ushul yang menyetujui bahwa rasul bisa berijtihad. Dan ijtihadnya bukan hukum paten yang tidak bisa berubah, seperti dalam strategi perang dan perkara dunia. Lompatan yang cukup signifikan lagi adalah, al-Razi membedakan antara hukum Allah yang paten, dan didasarkan pada teks yang jelas, dengan hukum yang didasarkan pada teks yang masih multi-interpretatif. Untuk yang pertama, tidak bisa dikatakan, “ini adalah Madzhab Fulan”, karena termasuk kategori hukum yang tak bisa ditawar (mâ ulima min al-dîn bi al-dlarûrah). Sedangkan untuk yang kedua (inferensi hukum dari teks yang multi-interpretatif), bisa dikatakan, “ini adalah Madzhab Fulan”. Artinya adalah, fikih dalam perbincangan hukum yang dihasilkan oleh metode yang bermacam dari pelbagai madzhab yang ada sekarang, merupakan “pilihan”.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">IV<br /></span><br />Teologi Asy’ari sebagai madzhab pemikiran dalam teologi—semenjak kemunculannya pada abad ke 4 H—sangat diperhitungkan dalam dinamika intelektual Arab-Islam. Fakhr al-Din al-Razi adalah salah satu sarjana besar Asy’ari. Ia belajar ilmu kalam pada ayahnya (Dliya' al-Din Umar), kemudian Abi Qasim bin Nashir al-Anshari (w. 511 H), Abu al-Ma'ali al-Juwaini (w. 487 H), Abu Ishaq al-Isfrayini (w. 418 H), Abu al-Huseyn al-Bahili, hingga sampai pada Abu al-Hasan al-Asy'ari (w. 234 H). Seperti diungkapkan Ibnu Subki, al-Razi adalah pembaharu keenam—sebagaimana diambil dari hadis Nabi bahwa akan datang pembaharu di setiap seratus tahun—yang datang setelah kurun Imam Ghazali. Bagaimana tidak, jika Asy’ariyyah meletakkan diri di tengah rasionalitas Muktazilah dan literalisme Hanabilah, al-Razi yang merupakan pembesar sekte Asy’ari di abad ke-6, mengikrarkan bahwa akal didahulukan di atas dalil jika terdapat pertentangan di antara keduanya. Ia mengatakan dalam Asâs al-Taqdîs,<br /><br />"dalil dalil rasional jika bertentangan dengan teks, bagaimana? Ketahuilah, bahwa jika dalil rasional telah mencapai satu capaian, kemudian argumen teks mengatakan sebaliknya, maka keadaannya tak akan mungkin lepas dari empat hal berikut ini: pertama, rasio akan sesuai dengan teks. Di sini akan ada pembenaran terhadap dua hal yang bertentangan. Dan ini mustahil; kedua, dua-duanya tidak benar. Jelas mustahil pula, karena yang demikian merupakan penolakan terhadap dua hal yang bertentangan; ketiga, yang benar adalah capaian teks, sedangkan capaian rasio tak benar. Ini mustahil juga. Sebab, kita tak mungkin mengetahui kebenaran teks tanpa landasan rasional […..] maka tetaplah (kemungkinan keempat) bahwa tidak menerima rasio untuk membenarkan teks merupakan bentuk penolakan terhadap teks dan rasio bersamaan. Dan ini tak benar. Ketika keempat klasifikasi ini tak bisa diterima, maka yang tersisa tinggal rasio memutuskan bahwa dalil teks adakalanya tidak tepat, atau tepat, akan tetapi yang dimaksud bukan yang tertuang secara tekstual (legitimasi takwil)."<br /><br />Di sini al-Razi meyakini bahwa dalil rasional independen, sebab mampu membawa teks jauh dari makna literalnya. Artinya, jika terdapat pertentangan, bukan rasio yang kalah. Akan tetapi teks yang kalah. Di titik ini, pengaruh metode Muktazilah terhadap pemikiran al-Razi terlihat lebih kental dari pengaruh sarjana Asy’ariyyah. Akan tetapi jika kita melihat wasiat akhirnya, pada akhirnya al-Razi membuang jauh cara berpikir demikian. Ia mengatakan, "Aku telah menguji beragam metode dalam ilmu kalam, metode-metode filsafat, dan aku tidak melihat manfaat di sana yang bisa menyamai manfaat yang aku temukan di dalam al-Qur’an. Sebab al-Qur’an berusaha untuk menyematkan keagungan dan kebesaran terhadap Allah secara total, dan mencegah untuk tidak terlalu masuk dalam pertentangan dan perdebatan. Hal itu tidak lain karena didasari pengetahuan bahwasanya akal manusia kabur dan terbatas jika dihadapkan pada perkara-perkara sulit nan pelik, dan dihadapkan pada metode yang tidak jelas. Oleh karena itu, aku mengatakan, segala sesuatu yang ditetapkan dengan argumen yang kuat tentang keniscayaan keberadaan-Nya, keesaan-Nya, tidak ada yang serupa dengan eksistensi-Nya yang tak berawal dan tak terikat oleh waktu, pengaturan dan tindakan-Nya—semua ini adalah pendapatku, dan melalui pendapat itu, aku akan (berani) bertemu Allah. Adapun persoalan yang berujung pada kerumitan dan ketidakjelasan, maka semua yang terdapat di dalam al-Qur’an dan hadis shahih yang disepakati oleh para imam yang jadi panutan, untuk menunjuk terhadap makna satu, maka hal tersebut akan tetap sebagaimana adanya (tanpa dirubah)."<br /><br />Jika dikalkulasi, mayoritas karangan al-Razi memang dalam disiplin ilmu kalam. Karangan al-Razi dalam disiplin ini mencapai 34 lebih. Di antaranya adalah Ajwibat al-Masâil al-Najjâriyyah, Asâs al-Taqdîs, Tahshîl al-Haqq, al-Jabar wa al-Qadar, al-Jawhar al-Fard, Hudûts al-Alâm, al-Khalq wa al-Ba’ts, al-Khamsîn fî Ushûl al-Dîn, al-Zubdah fî Ilm al-Kalâm, 'Ishmat al-Anbiyâ’, Nihâyat al-‘Uqûl fî Dirasât al-Ushûl, al-Arba’în fî Ushûl al-Dîn, al-Bayân wa al-Burhân, Irsyâd al-Nudzdzâr ilâ Lathâif al-Asrâr, Tahshîl al-Haq, al-Risâlah al-Kamâliyyah fi al-Haqâiq al-Ilâhiyyah, al-Mahshûl fî Ilm al-Kalâm, Ma’alim Ushûl al-Din, Syarh Asmâ Allâh al-Husnâ, I’tiqadât Firaq al-Muslimîn wa al-Musyrikîn, al-Isyârah fî Ilm al-Kalâm. Sedang karangan al-Razi yang memuat dua disiplin bersamaan (kalam dan filsafat) adalah: Muhashshal Afkâr al-Mutaqaddimîn wa al-Muta’akhkhirîn min al-Ulâma’ wa al-Hukâma wa al-Mutakallimîn dan al-Mathâlib al-Âliyah.<br /><br />Dalam disiplin ini, ada dua karya al-Razi yang akan sedikit penulis jabarkan lebih lanjut. Pertama adalah Al-Isyârah fî Ilm al-Kalâm. Kitab ini terkadang ditulis dengan redaksi Tanbîh al-Isyârat, atau al-Isyârât. Seperti ditutukan Abdul Wahhab al-Mushili, al-Razi mengarang al-Isyârah setelah ia mengarang al-Arba’în. Dan al-Isyârâh juga dikarang setelah al-Razi mengarang I’tiqâdât dan Risâlat al-Ma’âd. Al-Isyârah merupakan kitab yang secara spesifik mendeskripsikan pemikiran Asy’ariyyah. Yang menjadikan buku ini menarik adalah, al-Razi di kitabnya ini, tidak mempergunakan redaksi yang susah sebagaimana di kitab lainnya, seperti dalam Nihâyat al-Uqûl, atau al-Mathâlib al-‘âliyah, dan ketika mendiskusikan argumen lawan, al-Razi mencukupkan dengan redaksi yang cukup ringkas. Hal ini yang menjadikan kitab ini diberi judul: al-Isyârah, maksudnya hanya menunjukkan dengan ringkas argumen lawan. Walaupun buku ini dikarang bukan di awal kesibukannya mengarang kitab, akan tetapi substansi kitab ini lebih mirip pengantar memasuki ilmu kalam. Substansi buku ini faktanya hanya mengulang substansi al-Arbaîn.<br /><br />Seperti dikatakan di atas, mayoritas buku ini merepresentasikan al-Razi sebagai sarjana Asy’ari. Dalam permasalahan yang Asy’ariyyah sendiri terdapat perbedaan, al-Razi dengan tegas mengamini satu tokoh jika sesuai nalar pikirnya. Seperti ia mengamini Asy’ari ketika menjabarkan ilmu ‘tidak niscaya’ terlahir dari penelitian (al-nadzar), akan tetapi tetap melalui ‘campur tangan Tuhan’—sembari mengutarakan penolakan terhadap pandangan yang menyatakan bahwa penelitian menghasilkan pengetahuan, ‘niscaya’ membuahkan pengetahuan, dan selalu melekat dengan penelitian. Sebab, segala sesuatu yang mungkin terjadi (mumkinât) di dunia ini, disandarkan pada kekuasaan Allah. Segala hal yang sama-sama ‘baru-diciptakan’, tidak berelasi dengan hal ‘baru’ lainnya terkecuali hanya pada batas ‘kebiasaan’. Sebagaimana api yang ‘biasa’—bukan niscaya—membakar. Artinya, relasi antara api-membakar atau penelitian-ilmu, bukanlah relasi yang niscaya. Ia menyatakan,<br /><br />"argumentasinya adalah, jika penelitian menjadi sebab bagi ilmu, atau melekat, niscaya penelitian tak akan mendahului pengetahuan, karena tak mungkin sesuatu dihasilkan, melekat dan disebabkan oleh ketiadaan. Sebagaimana ketika jawhar (substansi), jika melekat dengan ‘ardl (makna yang melekat pada jawhar), maka salah satu dari keduanya tak mungkin mendahului yang lain. Sedang di sini tak mungkin ada penelitian ketika pengetahuan sudah ada. Maka jelaslah bahwa keduanya tak berelasi. Dan pengetahuan dihasilkan berdasarkan kebiasaan."<br /><br />Sebagai seorang Asy’arian, al-Razi mengkritik Hanabilah yang memandang bahwa ilmu kalam tak boleh dipelajari dan memandang Allah serupa dengan tubuh (corpus/jism). Sebagaimana al-Razi mengkritik para filsuf pada—misalnya—permasalahan jism dan spesifikasi pengetahuan Allah. Baginya, jism mempunyai awal-tercipta (muhdats)—sedang di satu sisi para filsuf berpandangan bahwa jism tak berawal. Ia pun mengkritik pandangan filsuf dan Muktazilah yang menyatakan bahwa Allah tak bisa dilihat. Walaupun Al-Razi menyepakati beberapa tokoh Muktazilah; Abu Hudzail al-Allaf, Abu Qasim al-Bulkhi, Abu Husayn al-Bahsri, dalam permasalahan ‘ketiadaan’ tidaklah menunjukkan apapun. Bahkan dalam beberapa permasalahan, ia mengkritik al-Baqilani karena dianggap tidak berjalan dalam bingkai pemikiran Asy’ariah. Yang menunjukkan bahwa al-Razi mengamini pandangan-pandangan Asy’ari, ia menyebut madzhab ini dengan Madzhab Ahl al-Haqq. Dan al-Razi menyebut Imam Asy'ari dengan Syaikhunâ.<br /><br />Buku al-Razi lainnya yang menarik dikaji adalah Muhashshal Afkâr al-Mutaqaddimîn wa al-Muta’akhkhirîn. Karya ini tetap dikaji hingga di dua kurun setelah kurun al-Razi. Hal itu disebabkan, Muhashshal merupakan representasi pemikiran sarjana Asy’ari era akhir. Dalam Muhashshal sendiri tidak disebutkan kapan dan di mana al-Razi mengarang kitab ini. Tetapi menurut Uraybi, melihat kitabnya yang lain, Syarh al-Isyârât dan Nihâyat al-Uqûl, kita bisa memperkirakankapan al-Razi mengarang kitabnya tersebut. Dua kitab ini dikarang oleh al-Razi sebelum tahun 582 H, sebelum ia berkelana ke Transoxania. Menurut penuturan al-Razi secara implisit di Muhashshal, ia mengarang buku-buku teologi, logika, dan filsafat sebelum al-Razi mengarang Muhashshal. Sebagaimana disebutkan juga dalam pembukaan bukunya, alasan al-Razi menulis buku ini adalah beberapa orang penting memintanya untuk meringkas pendapat para imam terdahulu, baik itu filsuf maupun teolog, di mana pembahasannya lebih menitikberatkan pada permasalahan fundamental.<br /><br />Dalam Muhashshal, di satu sisi, al-Razi mengkritik filsafat sebagai sebuah madzhab, pun tokoh-tokohnya, semisal Aristoteles dan Ibnu Sina di sisi yang lain. Begitu pula ia mengkritik Asy’ariyyah sebagai sebuah sekte di satu sisi, pun mengkritik para sarjananya, semisal Asy’ari, al-Baqilani dan al-Juwayni di sisi yang lain. Atau Muktazilah sebagai sebuah sekte, dan tokohnya semisal Abdul Jabbar dan al-Jubbai. Akan tetapi tak jarang al-Razi menyatakan kesepakatannya dengan mereka dalam satu permasalahan. Hal ini menunjukkan, al-Razi tak fanatik terhadap satu madzhab pemikiran. Akan tetapi ia mencoba memilah permasalahan-permasalahan dengan cermat, serta tak terburu-buru menyematkan sebuah pendapat terhadap satu sekte, jika kenyataannya pendapat tersebut hanya diimani oleh satu tokoh dalam sekte tersebut.<br /><br />Sebagai sampel, kita bisa melihat saat al-Razi mengkritik pemikiran Abu al-Hasan al-Asy’ari, dan pengikutnya dengan penyebutan yang seolah menyiratkan bahwa ia bukan bagian dari kelompok tersebut. Ia mengatakan, "Abu al-Hasan al-Asy’ari dan pengikutnya berpendapat bahwasanya Tuhan kekal melalui sifat di luar Dzat, sedang al-Qadli al-Baqilani dan Imam Haramayn meyakini sebaliknya—dan pendapat inilah yang benar." Al-Razi juga mengatakan, "Abu al-Hasan al-Asy'ari memandang bahwa kuasa hamba tidak bisa mempengaruhi perbuatannya. Akan tetapi yang memberikan pengaruh adalah kuasa Allah."<br /><br />Muhashshal mengarah pada capaian yang cukup signifikan dalam fase pemikiran al-Razi: al-Razi mengimani bahwa filsafat dan antar madzhab dalam teologi tak mutlak sepenuhnya bertentangan. Akan tetapi di satu permasalahan ada kesesuaian di antara keduanya yang tak harus diperuncing. Tentu saja, sebab Al-Razi dikenal sebagai sosok yang ‘berani’ menggambungkan ilmu kalam dan filsafat. Ilmu yang terlahir dari keduanya—dalam perspektif al-Razi—itu disebut dengan al-Ilm al-Ilâhi (ilmu ketuhanan). Al-Razi termasuk sarjana Asy’ari era akhir yang mengawali memasukkan pembahasan filsafat dalam ilmu kalam. Ignaz Goldziher sebagaimana dikutip Shalih al-Zirkan, pun menyatakan bahwa al-Razi merupakan sarjana yang mengamini kaidah-kaidah ilmu kalam—yang dalam perkembangannya—lebih banyak mengacu pada filsafat Aristoteles sebagai neraca pemikiran. Langkah ini, sebagaimana menimbulkan resistensi—semisal dari al-Sanusi dengan Umm al-Barâhîn, juga memunculkan apresiasi—sebagaimana dari Sa’d al-Din al-Taftazani dengan al-Maqâshid. Bagi yang mengapresiasi ‘harmonisasi’ filsafat dan ilmu kalam, mereka meyakini bahwa metode filsafat akan semakin menguatkan nilai-nilai fundamental akidah dan meluaskan ruang pikir.<br /><br />Perbedaan mendasar para teolog awal dengan teolog era akhir dalam penggabungan antara filsafat dan kalam adalah, teolog era akhir lebih ‘ndaqiq’ dalam permasalahan filsafat, hingga seakan-akan hendak membuang ilmu kalam. Oleh karena itu, kitab kalam di era belakang, justru lebih mirip dengan buku filsafat, sebagaimana dalam buku al-Mawâqif. Dalam arti, kitab teolog di era akhir memang tidak seperti kitab kalam yang memuat pandangan filsafat—sebagaimana pandangan Ibnu Khaldun, akan tetapi lebih mirip benar-benar buku filsafat. Mungkin hal ini yang menjadikan al-Razi—oleh beberapa ulama—lebih akrab disapa ‘filsuf’ dari pada ‘teolog’. Sebagaimana banyak juga yang tetap kokoh mempertahankan al-Razi sebagai teolog. Pada tahap ini pemikiran al-Razi dalam teologi terkesan bertentangan. Maka, untuk memahami pemikiran al-Razi, kita pun harus memahami fase pemikirannya. Ada baiknya kita simak tesis Mahmud Qasim yang telah berjasa memetakan fase pemikiran sosok besar ini. Menurut Mahmud Qasim, al-Razi di awal ‘karirnya’ adalah seorang teolog, kemudian filsuf, selanjutnya ia lebih memilih 'berdiam' (tawaqquf), kemudian kembali sebagai seorang teolog yang menggambungkan beragam metode filsafat dengan ilmu kalam. Oleh Shalih al-Zirkan, tesis Mahmud Qasim diaplikasikan terhadap pemilahan buku al-Razi; pertama, buku filsafat murni, seperti al-Mabâhits al-Masyriqiyyah, al-Mulakhkhas fi al-Hikmah wa al-Mantiq, Syarh al-Isyârât wa al-Tanbihât, dan Uyûn al-Hikmah; kedua, buku teologi, seperti al-Isyârah, al-Arbaîn, Nihâyat al-Uqûl dan al-Ma’âlim fu Ushûl al-Dîn; ketiga, percampuran antara metode filsafat dan kalam, seperti Muhashshal dan al-Mathâlib al-Âliyah; keempat, buku yang berusaha merasionalkan al-Qur’an, membahas akidah dari sudut pandang ayat al-Qur’an, atau hendak kembali pada metode al-Qur’an, seperti dalam al-Tafsir al-Kabîr.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">V</span><br /><br />Kepakaran dan kemasyhuran al-Razi dalam ilmu kalam hampir menyamai kepakaran al-Razi dalam tafsir. Dalam disiplin tafsir, al-Razi mempunyai kitab legendaris dan fenomenal yang diberi judul Mafâtih al-Ghayb atau al-Tafsîr al-Kabîr. Buku al-Razi –yang menurut Thasy Kubri Zadah dianggit setelah ia menjadi seorang sufi—telah menyita banyak perhatian dari peneliti, hingga pada satu masa—menurut al-Dzahabi—tidak ada kitab tafsir yang dikaji lagi selain Mafâtîh al-Ghayb ini. Ibnu Taymiah tatkala mengomentari tafsir ini mengatakan, "di dalamnya ada segala hal, terkecuali tafsir." Akan tetapi yang disampaikan Ibnu Taymiah dibantah oleh al-Subky dengan mengatakan, "bukan seperti itu. Akan tetapi, bersama tafsir, terdapat segala hal." Selain itu, al-Razi juga mempunyai kitab lain dalam disiplin tafsir, di antaranya adalah Ahkâm al-Basmallah, Asrâr al-Tanzîl wa Anwâr al-Ta’wîl atau kerap disebut Tafsîr al-Qur’an al-Shaghîr, al-Burhân fî Qira’at al-Qur’an, Mafâtîh al-Ulûm atau Tafsîr Surat al-Fâtihah, Tafsîr Surat al-Baqarah ‘alâ Wajh al-Aqliy lâ al-Naqliy, Tafsîr Surat al-Ikhlâsh, Risâlah fî Ma’ânî al-Mutasyâbihât, dan Rûh al-‘Ajâib.<br /><br />Terkait al-Tafsîr al-Kabîr, Thaha Jabir al-Ulwani merangkum tiga pandangan sarjana kontemporer dalam menilai kesahehan penisbatan buku ini: Pertama, para sarjana yang menganggap tafsir ini bukan karangan al-Razi. Akan tetapi karangan salah seorang muridnya. Argumennya diambil dalam tafsiran surat al-Wâqi’ah yang berbunyi, "permasalahan ini saya lihat dari perkataan al-Razi setelah saya menyelesaikan tulisan ini." Menanggapi pernyataan itu, komentator dari percetakan al-Bahiyyah al-Mishriyyah itu mengatakan, "pernyataan ini menyiratkan, dan menguatkan bahwa kitab tersebut bukan karangan al-Razi, akan tetapi karangan salah satu muridnya, bahkan mungkin juga dari ulama era akhir." Menurut Thaha Jabir, ungkapan tersebut merupakan ungkapan tergesa-gesa. Karena teks tafsir dari awal hingga surat Wâqi'ah jelas mengindikasikan bahwa tafsir tersebut merupakan karangan al-Razi. Dan semua sejarawan sepakat, al-Razi mengarang kitab tafsir yang diberi nama Mafâtîh al-Ghayb. Kedua, sarjana yang menganggap al-Razi tidak menyelesaikan kitabnya itu. Najmuddin Ahmad bin Muhammad al-Qumuly lah (w. 727 H) yang merampungkan kitab itu, dan Syihab al-Din bin Khalil al-Khuby al-Dimasyqi (w. 639 H) menyempurnakan yang kurang. Di antara yang meyakini pendapat ini adalah Abdurrahman al-Mu’allimi dan Muhammad Husayn al-Dzahabi. Adapun Muhammad Ali al-Immary meyakini bahwa surat al-Wâqi’ah memang tidak dikarang oleh al-Razi. Selain surat Wâqi’ah, ia tetap meyakini bahwa kitab itu merupakan karangan al-Razi.<br /><br />Adapun pandangan ketiga, para sarjana yang meyakini bahwa al-Razi merampungkan kitabnya itu. Mereka mentakwil pernyataan dalam buku sejarah dan tafsir terkait yang mengindikasikan al-Razi tidak merampungkan Mafâtîh al-Ghayb. Di antaranya adalah Ibnu Asyur, Shalih al-Zirkan, Muhsin Abdul Hamid. Akan tetapi terkadang pentakwilan mereka terkesan berlebihan, walaupun beberapa ada yang masuk akal. Menurut Thaha Jabir al-Ulwani, al-Razi memang menyelesaikan tafsir ini sepenuhnya. Akan tetapi, naskah yang dicetak adakalanya memang diambil dari tulisan al-Razi yang sudah diedit, dan adakalanya diambil dari tulisan yang didiktekan oleh al-Razi, hingga terdapat beberapa editing dan tambahan yang tak dicocokkan dengan naskah aslinya.<br /><br />Dalam al-Tafsîr al-Kabîr, al-Razi memasukkan permasalahan-permasalahan yang cukup asing jika dikaitkan dengan disiplin tafsir. Ia beralasan, al-Qur’an merupakan kitab suci yang merangkum semua ilmu. Tak heran jika surat al-Fatihah di tangan al-Razi dijabarkan hingga mendekati tiga ratus halaman. Ia mengatakan di awal tafsirnya, "saya sudah mengatakan dalam beberapa kesempatan, bahwa dari surat ini mampu ditafsirkan sepuluh ribu permasalahan. Akan tetapi orang-orang yang bodoh tidak mempercayainya. Dan mereka mengomentari surat al-Qur’an ini dalam buku-bukunya dengan komentar kosong tanpa arti, dan kalimat yang tidak bisa memberikan substansi. Ketika aku menganggit kitab ini, aku mengajukan kata pengantar ini sebagai pengingat bahwa apa yang sudah aku sampaikan sesuatu yang bisa dan dekat kemungkinan terjadi."<br /><br />Apa yang disampaikan al-Razi ini bisa dilihat saat ia menafsirkan ayat-ayat dalam bukunya itu. Oleh karena itu, saat menafsirkan ayat, ia menjelaskan korelasinya dengan ayat sebelum dan setelahnya, kemudian menjabarkan kandungan ayat, serta disiplin ilmu lain yang berkorelasi dengan ayat, seperti matematika, naturalisme, astronomi, entah itu menyandarkan pada perkataan ulama dalam disiplin ilmu tersebut, atau malah meruntuhkan argumennya. Al-Razi sangat jarang menafsirkan sebuah ayat—tentang Nabi, atau raja dan umat terdahulu—dengan cerita-cerita yang dikutip oleh beberapa penafsir dari para sejarawan, terkecuali jika memang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadis. Ia menganggap, penafsir tidak cukup hanya dengan mengutip sebuah pendapat tentang ayat dari para ulama klasik saja, akan tetapi harus mentarjih dan memilih, serta menjelaskan yang salah dan yang benar dengan argumen yang ditopang dari syariat dan bahasa.<br /><br />Inklinasi teologis jelas terlihat dalam buku tafsirnya ini. Setiap ada ayat yang berkenaan dengan ilmu kalam, al-Razi sangat terlihat ‘antusias’ untuk membahasnya secara terperinci. Sebagai misal dalam penafsirannya terhadap ayat, “sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa sesuatu yang berguna bagi manusia, dan air yang Allah turunkan dari langit, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi setelah sebelumnya gersang (mati), dan Dia sebarkan di bumi segala jenis hewan, pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh tanda-tanda bagi kaum yang berpikir,” kita bisa melihat al-Razi mengklasifikasi permasalahan yang berkaitan dengan ayat ini. Ia mengatakan,<br /><br />"permasalahan pertama, ayat ini mengindikasikan bahwa ‘proses mencipta’ (al-khalq/al-takwîn) adalah ‘makhluk’. Karena Allah mengatakan, ‘sesungguhnya penciptaan langit dan bumi[…..]sungguh tanda-tanda bagi kaum yang berpikir’, sangat jelas, bahwa ayat ini berbicara tentang makhluk. Karena makhluk adalah yang menunjukkan terhadap Pencipta. Maka teranglah bahwa ‘proses mencipta’ adalah ‘makhluk’."<br /><br />Sesungguhnya pada permasalahan ini terdapat perbedaan antara Asy’ariah dengan Maturidiyyah. Asy’ariyyah—termasuk al-Razi—berpendapat bahwa ‘proses mencipta’ adalah ‘makhluk’, sedang Maturidiyyah berpendapat ‘proses mencipta’ bukanlah ‘makhluk’. Maturidiyyah berpendapat bahwa ‘proses mencipta’ termasuk sifat yang ada dengan sendirinya (shifat al-ma’ânî), tak berawal, dan berhubungan dengan proses ‘pengadaan’ makhluk dan mengeluarkannya dari ‘ketiadaan’ hingga terbentuk menjadi ‘ada’. Sedang menurut Asy’ariyyah, sifat yang berhubungan dengan proses ‘pengadaan’ dari ketiadaan bukanlah ‘proses mencipta’ (al-khalq/al-takwîn), akan tetapi kuasa (al-qudrah). Kuasa Allah sendiri dari sudut pandang relasi ada dua: kuasa Allah akan pengadaan makhluk, dan realisasi pengadaan itu sendiri. Jika yang pertama ‘tak berawal’, maka yang kedua ‘berawal’, karena berelasi dengan makhluk. Dengan kata lain, ‘proses mencipta’ adalah berkaitan realisasi ‘pengadaan’ itu sendiri yang berkaitan dengan makhluk. Sebab, jika ‘proses mencipta’ adalah nisbat yang tidak bisa diperkirakan terkecuali melalui wujud objek, maka jika objek ‘berawal’, dengan sendirinya ‘proses’ itupun harus ‘berawal’.Al-Razi melanjutkan,<br /><br />"permasalahan kedua, berkata Abu Muslim: kata ‘al-khalq’ di dalam lisan orang Arab mempunyai makna ‘memperkirakan’, kemudian menjadi nama bagi perbuatan Allah. Sebab semua perbuataan-Nya pasti benar[…] permasalahan ketiga, kewajiban membuktikan adanya Pencipta dengan dalil rasional, dan buruknya pendasaran pengetahuan itu pada taklid, permasalahan keempat, Ibnu Jarir menuturkan dalam sebab turunnya ayat, dari Atha’, tatkala Nabi sampai di Madinah, turun ayat ‘dan Tuhanmu adalah Tuhan yang satu’, kemudian Kafir Quraisy berkata, ‘bagaimana Tuhan ada satu sedang manusia banyak’. Turunlah ayat ini."<br /><br />Ia melanjutkan membahas delapan hal yang disebutkan dalam ayat kemudian, memerincinya secara detail dan tak segan ia membahas ilmu astronomi sampai berlembar-lembar untuk sekedar menguatkan tesisnya. Misalnya, dalam membahas ‘langit’, al-Razi membagi empat belas permasalahan untuk membuktikan wujud Pencipta. Al-Razi mengutip pendapat Ptolemy, dan para astronom kuno dari Babilonia, Cina, Mesir, Romawi dan Syam, serta terkadang mengkritiknya. Semuanya kembali pada tesis, bahwa bintang-bintang, yang secara natural mempunyai ukuran tertentu, mempunyai ruang tertentu, dan bergerak ke arah tertentu, semua menunjukkan di luar sana ada Pengatur yang mengatur ini semua.<br /><br />Bahasa juga salah satu objek yang cukup serius dibahas dalam tafsir ini. Misal, tatkala al-Razi menafsirkan kalimat, “bismil-Lâh al-rahmân al-rahîm”. Ia mengatakan bahwa huruf “ba” dalam kalimat tersebut, berhubungan dengan kata yang tersimpan (mudlmar). Yang tersimpan ini adakalanya kata benda atau kata kerja, baik itu di awal atau di akhir. Jika yang tersimpan adalah kata benda yang di awal, sebagaimana perkataan: ibtidâ’ al-kalâm bi ismil-Lah. Jika yang tersimpan adalah kata kerja di awal, seperti: abda’ bi ismil-Lah. Dan jika yang tersimpan adalah kata benda yang di akhir, misalnya: bi ismil-Lah ibtidâ’î. Sedang jika kata kerja di akhir adalah 'bi ismil-Lah abda’. Al-Razi juga mempertanyakan, manakah yang lebih baik, mendahulukan ataukah mengakhirkan? Menurutnya, keduanya ada di dalam al-Qur’an. Argumen ‘di awal’ seperti dalam Firman Allah, “bismil-Lah majrâhâ wa mursâhâ”, sedang ‘di akhir’, seperti dalam firman, “iqra’ bi ismi rabbik”. Akan tetapi al-Razi kemudian lebih menguatkan pendapat yang di awal dengan argumen dari al-Qur’an dan logika bersamaan. Dari al-Qur’an seperti dalam firman, iyyâka na’bud. Di sini kata kerja benda ada di awal. Maka dalam lafadz “bi ism” juga harus demikian. Sedang secara logika, karena Allah tak berawal, dan ‘ada’ dengan tidak membutuhkan pada siapapun dan apapun. Oleh karean itu wujudnya harus mendahului wujud yang lain. Yang dahulu wujudnya lebih utama untuk disebutkan. Maka, bismil-Lah abtadi’ lebih utama.<br /><br />Begitu juga permasalahan fikih, seperti penulis sudah singgung di atas. Dan tentu saja ilmu al-qur’an dan ushul fikih. Ushul fikih dan fikih umumnya menempati porsi yang cukup dominan pada saat berkenaan dengan ayat-ayat hukum. Secara garis besar, dalam pembahasan setiap disiplin ilmu dalam kitab ini, rasionalitas al-Razi sangat dominan. Sedang kepakaran al-Razi dalam ilmu hadis, kitab tafsir ini oleh sebagian kalangan dianggap merepresentasikan kepakaran al-Razi dalam ilmu hadis—walaupun ia tak diperhitungkan dalam disiplin ini. Al-Razi, dalam ayat hukum, kerap melegitimasi ‘keputusannya’ dan menguatkannya dengan hadis-hadis Nabi.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">VI</span><br /><br />Spirit pembaharuan dalam pemikiran al-Razi bisa dilihat dari terobosan-terobosan yang ia lakukan. Dalam disiplin kalam, sebagai misal, bagaimana ia mengharmoniskan filsafat dan ilmu kalam sebagai sebuah metode baru yang dinamakan 'ilmu ketuhanan'. Ia pun dengan tegas mengikrarkan bahwa rasio harus didahulukan jika bertentangan dengan teks. Dalam disiplin tafsir, terlihat dari lompatan al-Razi yang menganggap kreasi-kreasi dalam memahami ayat-ayat Tuhan harus tetap dilakukan. Sedang fikih dimodifikasi di tangannya menjadi ilmu rasional dengan tidak mengabaikan teks sebagai neraca berpikir. Maka tak heran ketika Ibnu al-Subki menyebut al-Razi sebagai pembaharu abad ke-6, setelah Abu Hamid al-Ghazali. Rasionalisme al-Razi tentu saja membuat gerah sarjana yang tak berkutik dengan argumennya, semisal, al-Syahrazuri, al-Dzahabi, Ibnu Taymiah, dan Ibnu Hajar al-Asqalani, al-Khuwansari, Abu Syamah al-Maqdisi, dan lain sebagainya.<br /><br />Tatkala sakit, ia mendiktekan surat wasiat pada muridnya, Ibnu Abi Bakr al-Asfhihani pada tahun 606 H. Di surat wasiatnya itu, ia meminta perihal kewafatannya tak diberitahukan ke orang lain. Sebab, al-Razi khawatir terhadap musuhnya, Muktazilah, Hasyawiyyah, Syi'ah, Karamiyyah, akan terus mengincar walaupun pada saat ia sudah meninggal. Tak diketahui apakah wasiat al-Razi dilaksanakan oleh para murid dan pengikutnya, ataukah mereka mengabaikannya. Yang jelas, sampai sekarang tak bisa dipastikan—dan terdapat perbedaan di kalangan sejarawan-- di mana al-Razi pada akhirnya dimakamkan. Al-Razi meninggal di tahun ia berwasiat, 606 H. Berikut adalah wasiat lengkap al-Razi, sebagaimana dituliskanThaha Jabir al-Ulwani yang dikutip dari berbagai sumber,<br /><br />Seseorang yang mengharapkan rahmat Tuhannya, dan mempercayai kemuliaan kekasihnya, Muhammad bin Umar bin al-Husayn al-Razi--pada saat saat terakhirnya di dunia, dan permulaan di akhirat; waktu di mana orang yang keras sekalipun menjadi lunak, dan orang yang hendak lari harus menghadap Tuhannya--mengatakan:<br /><br />Aku memuji Allah dengan pujian-pujian yang diucapkan oleh pembesar Malaikat-Nya di waktu utama mereka menghadap Tuhan, dan diucapkan oleh pembesar nabi-Nya di pilihan waktu tersingkap tabir mereka, bahkan aku mengucapkannya sebab konsekuensi seorang makhluk. Oleh karena itu aku memujinya dengan pujian-pujian yang sifat ketuhanan-Nya berhak menerimanya, pun kesempurnaan sifat murah-Nya meniscayakan pujian itu, baik yang aku tahu, ataupun aku tak mengetahuinya, sebab tidak bisa disamakan antara debu (manusia), dengan keagungan Tuan segala tuan. <br /><br />Salam hormatku terhadap Malaikat yang diberi keistimewaan derajat kedekatan dengan Tuhan, beserta nabi-nabi yang diutus, dan seluruh hamba-hamba Allah yang saleh.<br /><br />Selepas ini, aku berkata: ketahuilah saudaraku seagama, dan saudaraku pencari kebenaran, bahwa orang-orang mengatakan, “jika seseorang meninggal maka relasinya akan terputus dengan hamba,” keumuman kalimat ini mengecualikan dua hal: pertama, bahwasanya masih tersisa perbuatan baik yang menjadi sebab bagi doa. Dan doa mempunyai dampak tersendiri di samping Tuhan; kedua, hal-hal yang berhubungan dengan kemaslahatan anak-anak, cela serta pengembalian hak-hak orang lain dan hak-hak yang dilanggar sebab aniaya (menjadikan orang yang meninggal masih senantiasa berhubungan dengan hamba).<br /><br />Adapun yang pertama, ketahuilah bahwa aku adalah laki-laki yang mencintai ilmu, oleh karena itu aku menulis tulisan dalam semua disiplin, dengan tidak dibatasi oleh kuantitas dan ideologi tertentu; entah itu dalam perkara benar ataupun tidak benar, buruk ataupun baik. Hanya saja, yang aku lihat dalam buku-buku yang bagiku muktabar: alam yang bisa diindera ini berada dibawah kuasa Penguasa—di mana Penguasa tersebut terbebas dari perumpamaan benda yang menempati ruang dan sifat yang tidak tetap, serta tersifati dengan kesempurnaan kuasa, ilmu dan rahmat. <br /><br />Aku telah menguji beragam metode dalam ilmu kalam, metode-metode filsafat, dan aku tidak melihat manfaat di sana yang bisa menyamai manfaat yang aku temukan di dalam al-Qur’an. Sebab al-Qur’an berusaha untuk menyematkan keagungan dan kebesaran terhadap Allah secara total, dan mencegah untuk tidak terlalu masuk dalam pertentangan dan perdebatan. Hal itu tidak lain karena didasari pengetahuan bahwasanya akal manusia kabur dan terbatas jika dihadapkan pada perkara-perkara sulit nan pelik, dan dihadapkan pada metode yang tidak jelas.<br /><br />Oleh karena itu, aku mengatakan, segala sesuatu yang ditetapkan dengan argumen yang kuat tentang keniscayaan keberadaan-Nya, keesaan-Nya, tidak ada yang serupa dengan eksistensi-Nya yang tak berawal dan tak terikat oleh waktu, pengaturan dan tindakan-Nya—semua ini adalah pendapatku, dan melalui pendapat itu, aku akan (berani) bertemu Allah. <br /><br />Adapun persoalan yang berujung pada kerumitan dan ketidakjelasan, maka semua yang terdapat di dalam al-Qur’an dan hadis shahih yang disepakati oleh para imam yang jadi panutan untuk menunjuk terhadap makna satu, maka hal tersebut akan tetap sebagaimana adanya (tanpa dirubah). Adapun yang tidak seperti itu, aku menyatakan:<br /><br />Hai Tuhan semesta alam, aku melihat semua makhluk sepakat bahwa Engkau adalah Dzat yang Termulia, Pemurah; apa yang sudah aku tuliskan dengan penaku, atau yang terbesit dalam pikiran, maka aku mempersaksikan pengetahuan-Mu. Dan aku mengatakan: jika Engkau mengetahui bahwasanya aku memenangkan ketidakbenaran, atau merobohkan kebenaran, maka lakukanlah sepantasnya padaku. Adapun jika Engkau mengetahui bahwa aku berusaha menguatkan apa yang aku yakini sebagai sebuah kebenaran, melalui pemahamanku bahwasanya itu benar, maka semoga rahmat-Mu dengan tujuanku, bukan hasilku. Hal itu adalah kesungguhan pencarian. Engkah adalah Dzat paling pemaaf, kalau hanya untuk sekedar mempersulit orang yang bersalah. Maka selamatkanlah aku, kasihanilah aku, tutuplah kesalahanku, hilangkanlah kesukaranku, Hai Dzat yang tidak bertambah kekuasaanMu dengan bertambahnya orang-orang yang bertakwa, dan tidak berkurang dengan kesalahan orang yang bersalah.<br /><br />Aku mengatakan: agamaku mengikuti Muhammad Saw., dan kitabku adalah al-Qur’an yang agung, dan pada keduanya aku bersandar dalam pencarian agamaku.<br /><br />Hai Dzat pendengar suara, pengabul doa, pemaaf kesalahan, pengasih kesedihan, pengendali alam, aku benar-benar berbaik sangka pada-Mu; luas harapanku terhadap rahmat-Mu, sedang Engkau pernah mengatakan, “Aku berdasar persangkaan hamba-Ku terhadap-Ku,” dan Engkau mengatakan, “siapa yang memperkenankan orang dalam kesulitan apabila berdoa kepada-Nya?”, dan Engkau mengatakan, “jika hamba-hambaKu bertanya padamu tentang-Ku, maka jawablah bahwasanya Aku dekat”. Taruhlah, aku datang tidak membawa apapun, maka Engkau adalah Dzat Kaya lagi Mulia, dan aku adalah orang yang butuh serta berdosa.<br /><br />Aku meyakini bahwa tidak ada Tuhan bagiku selain Engkau, tidak ada Dzat yang baik selain Engkau. Aku mengakui bahwa aku tergelincir, kurang, tidak sempurna, lemah, maka jangan sia-siakan harapanku, dan jangan Engkau tolak doaku. Jadikanlah aku terlindungi dari siksa-Mu sebelum meninggal, atau ketika meninggal dan setelah meninggal. Mudahkanlah untukku sakarat al-mawt, ringankanlah kematian untukku, dan jangan persulit aku dengan siksa dan sakit, karena Engkau adalah Dzat yang Maha Pengasih.<br /><br />Adapun buku-buku ilmiah yang aku tulis, atau ketika aku terlalu banyak melempar persoalan terhadap orang-orang terdahulu, maka untuk yang memperhatikannya, jika melihat ada kebaikan di sana, sertakanlah aku di setiap doa sebagai hadiah dan nikmat. Adapun jika melihat kejelekan di sana, maka hapuslah perkataan yang tidak pantas. Tidak lain aku hanya ingin memperbanyak diskusi dan mengasah pikiran. Dan semuanya tetap bergantung pada Allah. <br /><br />Hal penting kedua, memperbaiki keadaan anak-anak beserta cela (ku). Aku menggantungkan semua ini pada Allah kemudian pada pengganti-Nya, Muhammad (sulthan Muhammad ‘Ala al-Din)—semoga Allah menjadikannya setingkat derajat kakaknya dalam agama dan keluhuran, Muhammad. Hanya saja sulthan yang agung tidak bisa mengurus perkara anak-anak, maka aku berpandangan, seharusnya menyerahkan urusan anak-anakku pada Fulan. Dan aku meminta agar ia senantiasa bertakwa pada Allah: “bahwasanya Allah berserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat baik”.<br /><br />Ibnu Abi Ushaybi’ah mengatakan, “ia berwasiat sampai tuntas.” Kemudian berkata, “aku mewasiatkan, aku mewasiatkan, kemudian aku mewasiatkan: untuk benar-benar mendidik anakku, Abu Bakar. Tanda-tanda kecerdasan dan kepintaran tampak jelas di dirinya. Semoga Allah membuatnya sampai pada kebaikan.”<br /><br />Aku memerintahkan pada Fulan, dan pada semua murid-muridku, dan orang-orang yang aku mempunyai hak terhadapnya: jika aku meninggal, untuk benar-benar menyembunyikan kematianku, dan tidak memberitahu siapapun mengenai hal ini; mengkafaniku dan menguburkanku dengan tata cara islami, kemudian membawaku ke gunung dekat desa Mizdaqan dan menguburkanku di sana. Jika meletakkanku di liang lahat, maka bacakanlah semampunya untukku ayat-ayat al-Qur’an tentang ketuhanan, kemudian tutuplah aku dengan debu. Selepas itu, katakan, “Hai Dzat yang Mulia, orang yang fakir lagi membutuhkan datang pada-Mu, maka berbaik hatilah padanya.”<br /><br />Ini adalah akhir wasiatku pada tulisan ini. Allah adalah Dzat yang bebas berbuat atas apa yang Dia kehendaki. Dan untuk apa yang dikehendaki, Allah pasti kuasa akan hal itu. Untuk berbuat baik, Allah teramat pantas untuk itu.<br /><br /> <br /><br /><span style="font-weight:bold;">Daftar Pustaka</span><br /><br />Al-Razi, Muhammad bin Umar bin Huseyn (1986). Asâs al-Taqdîs. Kairo: Maktabah al-Kulliyyah al-Azhariyyah<br /><br />Al-Razi, Muhammad bin Umar bin Huseyn (tt). Muhashshal Afkâr al-Mutaqaddimîn wa al-Muta'akhkhirîn min al-Ulamâ' wa al-Hukamâ' wa al-Mutakallimîn. Kairo: Maktabah al-Kulliyyah al-Azhariyyah<br /><br />Al-Razi, Muhammad bin Umar bin Huseyn (2007). Al-Isyârah fî Ilm al-Kalâm. Jordan: Markaz Nur al-Ulum li al-Buhuts wa al-Dirasat <br /><br />Al-Razi, Muhammad bin Umar bin Huseyn (tt). Manâqib al-Imâm al-Syâfi'i. Kairo: Maktabah al-Kulliyyah al-Azhariyyah<br /><br />Al-Razi, Muhammad bin Umar bin Huseyn (1988). Al-Mahshûl fî Ilm Ushûl al-Fiqh. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah<br /><br />Al-Razi, Muhammad bin Umar bin Huseyn (1996). Munadzârât al-Râzi fi Bilâdi Mâ warâ’a al-Nahr. Beirut: Muassasah Izz al-Din<br /><br />Al-Zirkan, Muhammad Shaleh (tt). Fakhr al-Dîn al-Râzî wa Arâuhu al-Kalâmiyyah wa al-Falsafiyyah. Dar al-Fikr.<br /><br />Khalif, Fathullah (1976). Fakhr al-Dîn al-Râzi. Kairo: Dar al-Jami'at al-Mishriyyah<br /><br />Al-Uraybi, Muhammad (1996). Al-Munthalaqat al-Fikriyyah indâ al-Imâm al-Râzi. Beirut: Dar al-Fikr al-Lubnani<br /><br />Al-Ulwani, Thaha Jabir (2010). Al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi wa Mushannafâtuh. Kairo: Dar al-Salam. </span></div>Ahmad Hadidul Fahmihttp://www.blogger.com/profile/01841733022516134434noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3803797330041316914.post-76849610209333206612011-11-01T11:14:00.001-07:002012-03-10T15:53:57.204-08:00Akar Pemikiran Islam (Upaya Meneguhkan Identitas)Oleh Ahmad Hadidul Fahmi<br /><br /><div align="justify"><span style="font-weight:bold;">Deskripsi Era Kebangkitan; Sebuah Pengantar</span><br />Jamak diketahui, kreativitas umat Islam terhenti besamaan dengan runtuhnya dinasti-dinasti Islam yang pernah mengukir masa keemasannya; dinasti Umayah hingga hingga Muwahhidin takluk pada Kristen; Abbasiyyah harus takluk pada tentara Mongol yang membakar habis isi perpustakaan Bait al-Hikmah di Baghdad. Sebab ini banyak sejarawan yang mematok kemunduran Islam dengan kehancuran kota Baghdad dan Andalusia. Selain juga kekuasaan Kekaisaran Utsmani di Mesir semenjak 1517 sampai 1798 M, pun menjadi satu faktor yang tidak bisa diabaikan. Kekaisaran Turki Utsmani dikenal sebagai penebar kebencian dengan ambisi besarnya untuk selalu berperang, serta kebutaan mereka terhadap ilmu peradaban, mekanisme hukum dan aturan-aturan politik. Daerah jajahan mereka teramat luas sampai ke Eropa; Costantinople, Baltik, Balkan, Yunani, Hungaria, Austria-Prusia, akan tetapi mereka tidak mempunyai sistem politik yang tangguh. [1]<span class="fullpost"><br /><br />Pada abad ke-18, Volney, pelancong dari Prancis, mengunjungi Mesir dan Syam. Bermukim di sana selama empat tahun. Ia mengatakan, bahwa kebodohan dalam keilmuan, seni dan sastra memenuhi generasi Negara ini. Pernyataan Volney ini sampai pada kesimpulan, untuk mengentaskan mereka dari keterbelakangan, tidak mungkin dari generasi mereka sendiri. Akan tetapi harus dari orang lain (ajnabi). Sampai pada titik ini, bisa dikatakan bahwa peradaban Islam ‘tidak bisa bertemu’ dengan peradaban Barat dalam hal kebudayaan, keilmuan atau sistem politik. Kemerosotan umat Islam paling tidak meniscayakan kesenjangan dengan the other. Kebodohan ini sampai pada titik nadir karena Barat—semenjak Perang Salib—enggan membuka pintu peradaban terhadap Islam. Umat Islam kemudian mengalami apa yang disebut “stagnasi peradaban” (tawaqquf al-hadlarah). Apa yang disebut pengetahuan bagi umat Islam adalah pengetahuan agama. Adapun ilmu-ilmu dunia tidak ada fungsinya bagi mereka selain ilmu Hisab untuk menghitung warisan, atau falak untuk mengetahui waktu shalat.[2] Tokoh yang paling representatif untuk menggambarkan keterbelakangan Mesir adalah Abdullah Al-Jabarti (w. 1825) dalam Ajâib al-Atsâr.<br /><br />Jika kebangkitan di Eropa dimulai pada abad ke 15 dan 16, disusul dengan era modern (al-haddatsâh), maka klasifikasi bentangan peradaban ini hendak diaplikasikan pada laku sejarah peradaban Islam. Umat Islam baru menjumpai era kebangkitan pada abad ke 19. Artinya, empat kurun adalah jeda waktu pembeda “kebangkitan Eropa” dan “kebangkitan Islam”; peradaban Islam sekarang ada di abad ke 15 dan 16 peradaban Eropa. Era kebangkitan dunia Arab ditandai dengan munculnya kesadaran nasionalisme yang tinggi, gerakan revitalisasi agama, akulturasi pengetahuan Barat ke dalam peradaban Islam, serta “gerakan pencerahan” (harakah tanwîriyyah). Selanjutnya, sebagaimana pernah terjadi di Barat, kita akan melakukan pembelaan terhadap kehormatan dan peradaban manusia; mendirikan Negara yang demokratis; meragukan segala temuan ilmuwan di masa lalu; serta membangun ilmu pengetahuan. Masa kebangkitan Eropa mencapai temuan-temuan di bidang kemanusiaan, alam dan agama, serta terjemah karya-karya ulama agung Islam ke dalam bahasa Latin[3]. Maka ketika kita membaca karangan sarjana Barat, dengan meminjam bahasa seorang ilmuwan Timur, peristiwa tersebut kita sebut dengan “kekayaan kita yang dikembalikan pada kita”. [4]<br /><br />Tertinggalnya Timur dari Barat kemudian memunculkan apa yang disebut oleh para pemikir dengan “Kritik Diri” (al-nadq al-dzâti); sebuah upaya untuk mencari apa yang salah dengan Timur, dan kenapa Barat jauh meninggalkan Timur setelah sebelumnya di bawah kekuasaan umat Islam. Fenomena ini yang oleh Syakib Arselan diabadikan dalam judul bukunya dengan ttajuk, Li Madza Ta’akhkhara al-Muslimun wa Taqaddama Ghairuhum. Sebenarnya filosofi kritik diri—sebagaimana disebutkan oleh Allal al-Fasi dalam al-naqd al-dzâtî--berasal dari sifat yang dimiliki oleh semua manusia; egoisme. Kehilangan sifat egois—hemat Allal al-Fasi—berarti kehilangan eksistensi diri. Egoisme yang diarahkan pada tindak positif pada hakikatnya bisa mengangkat derajat dan martabat seseorang. Egoisme yang mengarah pada tindak negatif adalah sikap yang hanya mementingkan diri sendiri tanpa memperdulikan yang lain. Akan tetapi, egoisme bisa dikategorikan dalam tindak positif jika kemaslahatannya kembali pada eksistensi komunitas, atau jama’î.[5] Mungkin teori ini sangat berkait erat dengan apa yang disebutkan oleh Ibnu Khaldun, bahwa kemajuan peradaban atau—dalam lingkup kecil—komunitas, bisa didapatkan melalui “fanatisme kesukuan”. [6]<br /><br />Mesir adalah Negara pertama yang merasakan “kesadaran” ini—terutama setelah invasi Napoleon Bonaparte tahun 1798. Fahmi Jad’an memandang, ‘proyek kebangkitan’ pada hakikatnya bisa didapat dari sosok Hassan al-Athar (w. 1835 M), tepatnya pada abad ke 19. Sebuah kalimat sangat terkenal yang dikutip dari al-Athar berbunyi, “Negara kita harus berubah keadaannya, dan harus diperbaharui dengan pengetahuan yang tidak ada di dalamnya”. Al-Athar adalah orang yang secara langsung bersinggungan dengan ilmuwan-ilmuwan Prancis yang dibawa oleh Bonaparte. Dengan mengajarkan Bahasa Arab pada mereka, al-Athar juga menyerap pengetahuan-pengetahuan yang sama sekali baru dan tidak dijumpainya sebelumnya. Al-Athar pula yang menyadarkan generasi Mesir tentang pengetahuan-pengetahuan baru yang ia dapatkan dari ilmuwan Prancis. Generasi itu adalah Rifa’ah Rafi’ al-Thathawi, Ibrahim al-Dasuqi, Mohammad Iyyadl Thantawi dan Mohammad Umar al-Tunisi. Bonaparte, bagi al-Athar, membawa dua misi sekaligus; penjajah sekaligus penjelajah. Bonaparte, selain menjajah, ternyata juga membawa ilmuwan-ilmuwan berkompeten untuk meneliti Mesir dan masyarakatnya. Adalah Rifa’ah al-Rafi’ al-Tahthawi (w. 1873 M). Ia diutus oleh Mohammad Ali (w. 1849 M), pemimpin Mesir kala itu, ke Prancis tahun 1826 M. Ia pun diwasiati oleh gurunya, Hassan al-Athar, untuk mengabadikan semua yang didengar dan dilihat, dalam bukunya yang bertajuk Takhlîs al-Ibrîz fi Talkhîs al-Bâriz.[7]<br /><br />Selepas itu, datang Jamaluddin al-Afghani (w. 1897 M) di masa yang ia sebut sebagai “masa penjajahan” (zaman al-isti’mâr). Ia berkeliling ke pelbagai daerah dan menemukan bahwa umat Islam terpecah menjadi bermacam golongan dengan pendakuan masing-masing sekte terhadap tunggalitas kebenaran. Gagasan besar Jamaluddin al-Afghani adalah pada agama itu sendiri. Ia menganggap bahwa kuatnya agama sebagai tonggak bagi majunya peradaban, dan lemahnya agama berbanding lurus dengan keterbelakangan sebuah peradaban. Gagasan ini kemudian dikerucutkan oleh Mohammad Abduh melalui “rekonstruksi ilmu kalam” yang tertuang dalam bukunya Risalah al-Tawhid. Secara garis besar, gagasan Mohammad Abduh adalah pada optimalisasi nalar dan menghindari cara berpikir yang stagnan. Dalam pandangan Hassan Hanafi, gagasan Jamaluddin al-Afghani yang diteruskan oleh Mohammad Abduh—berserta Rasyid Ridla—inilah yang disebut revitalisasi agama (al-ishlah al-dînî).[8]<br /><br />Akan tetapi perlu dicermati di sini, diferensiasi perihal kemajuan secara universal atau peradaban (al-taqaddum al-‘umrânî), dan kemacuan yang bersifat pencerahan (al-taqaddum al-tanwîrî) penting untuk diperhatikan.[9] Icon kemajuan universal terwakili oleh Hassan al-‘Athar[10], Rifa’ah al-Thahtawi. Sedang kemajuan yang bersifat pencerahan, bisa ditilik pada sosok Khairuddin al-Tunisi, Abdurrahman al-Kawakibi, Qasim Amin, serta ‘Ali Yusuf. Kemajuan secara universal mencakup segala lini kehidupan, adapun kemajuan yang bersifat pencerahan lebih memperhatikan hubungan tradisi dan tuntutan modernitas. Pandangan generasi al-Tunisi secara garis besar ada pada harmonisasi antara ilmu agama dan ilmu dunia. Ilmu dunia ini pada hakikatnya didedikasikan untuk ‘berkhidmat’ pada ilmu agama. Jika kita runtut ke belakang, gagasan ini sudah muncul semenjak masa al-Kindi yang kemudian menemukan momentumnya di tangan Ibnu Rushd dalam polemiknya dengan al-Ghazali dalam bukunya yang bertajuk Fashl al-Maqâl fî Mâ baina al-Syari’ah wa al-Hikmah min al-Iththishâl. Walhasil, Turats bukanlah tradisi masa lampau yang tidak bermakna. Namun dalam tradisi terdapat energi hidup dan daya dobrak tentang kesadaran berpikir, berperilaku, dsb. Piranti yang dimunculkan untuk menuju kebangkitan teramat beragam, sebagaimana sebab-sebab kemunduran pun dinilai dari pelbagai macam sudut pandang. Ketika pemahaman a-historis (Allâ Târikhî) terhadap “tradisi” dianggap sebagai penyebab kemunduran, maka pembaharuan terhadap tradisi pun menyita perhatian pemikir. Para pemikir kontemporer menawarkan pelbagai alternatif yang dianggap mampu membawa umat Islam menuju kebangkitan.<br /><br />Dalam perbincangan sejarah peradaban, yang menjadi perbincangan hangat bukanlah pada bagaimana menciptakan inovasi pada hal-hal yang bersifat duniawi. Mengadopsi teknologi, industri dan pengetahuan umum dari Barat, adalah sebuah keniscayaan. Keniscayaan ini mendapat justifikasi dari hadis Nabi, “kalian lebih mengetahui urusan duniawi kalian”. Sedang mengadopsi “pengalaman atau pemahaman keagamaan” dari orang Barat untuk diaplikasikan pada umat Islam, hal inilah yang mendapat perhatian secara luas dari pelbagai pihak.<br /><br /> <br /><br /><span style="font-weight:bold;">Kemajuan dan Tradisi; Akar Pemikiran</span><br />Melalui pengantar singkat di atas, paling tidak ada tiga kubu yang mendominasi wacana “kebangkitan”; pertama, revitalisasi agama (al-islâh al-dînî) dengan tokohnya Jamaluddin al-Aghani; 2) liberal (al-libraliyyah) dengan tokohnya Rifa’ah al-Thahthawi; 3) sekuler (al-‘ilmâni) dengan tokohnya Syibli Syumail. Ketiganya ini-–hemat Hassan--sejatinya tetap mengambil spirit tokoh pra-masa kebangkitan. Pertama, tokoh-tokoh yang dijadikan rujukan adalah Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab, Ibnu Taymiah, dan selanjutnya Ahmad bin Hanbal. Kedua, tokohnya adalah Hassan al-‘Athar, Ibnu Rusyd, pemikiran Mu’tazilah serta para Juris politik Islam belakangan, seperti al-Tharthusyi, Ibnu al-Azraq. Dan ketiga, tokohnya adalah para sarjana Matematika, Sejarah, Bahasa. Dari setiap kubu ini menghasilkan tiga generasi; 1) Revitalisasi menelorkan Muhammad ‘Abduh, Rasyid Ridla, dan Hassan al-Bana; kedua, Liberal menelorkan Ahmad Luthfi Sayyid, Qasim Amin, dan ‘Ali Abd al-Raziq, Thaha Husein, dan Al-‘Aqqad; ketiga, Sekuler menelorkan Salamah Musa, Niqola Haddad, Ya’qub Maruf, Isma’il Madzhar dan Zaky Najib Mahmud.[11]<br /><br />Kelompok revitalis melihat, masa lalu adalah kegemilangan. Yang disebut “maju” adalah pandangan yang bisa sampai, atau minimal menyamai kegemilangan masa lalu. Setidaknya paradigma ini ditopang oleh dua argumen; pertama, transferensial (al-naql). Jika Nabi bersabda bahwa generasi beliau adalah sebaik generasi, kemudian dilanjutkan generasi setelahnya (shahabat), dan generasi tabi’in, maka semakin jauh dari generasi Nabi, sebuah generasi akan lebih ‘terbelakang’. Oleh karena itu, yang disebut generasi progresif, atau terma progresivitas (taqaddumi), meniscayakan upaya meniru generasi Nabi dan dua generasi setelah beliau; kedua, esensi teks-teks dari Nabi itu sendiri, atau atas dasar fakta realitas. Adalah al-Jahidz (w. 255 M), sastrawan besar Muktazilah, dalam tulisannya yang bertajuk Risalah fi al-Nabitah, mengatakan bahwa masa di mana ia hidup adalah fase kekufuran (marhalat al-kufr). Fase kekufuran, baginya, datang setelah fase tauhid (marhalat al-tawhid), yang terejawantah pada masa Nabi, dan fase penyimpangan (marlahat al-fujûr), yang terejawantah setelah masa Nabi; terbunuhnya Umar, chaos politik pada masa Utsman yang mengantarkan terbunuhnya khalifah ketiga ini, dan kekacauan besar pada masa Ali. [12] Inklinasi ini kemudian lebih dikenal dengan “salafisme”.<br /><br />Akan tetapi, sebenarnya kecenderungan salafisme ini banyak terilhami oleh pemikiran Rasyid Ridla, murid Mohammad Abduh. Dalam beberapa hal, pemikiran guru dan murid ini memang banyak berbeda, terutama dalam permasalahan fundamental. Seperti kecenderungan Rasyid Ridla pada Ibnu Taymiah, dan Ahmad bin Hanbal. Ia dengan terbuka memerangi tokoh-tokoh modern-liberal, seperti Luthfi Sayyid, Thaha Husein, Qasim Amin, dll. Radikalisme Rasyid Ridla menguat di tangan Hassan al-Banna dengan Ikhwan al-Muslimin, dan Sayyid Quthb yang mempopulerkan teori “kedaulatan Tuhan”. Quthb juga memandang pemerintahan yang dipegang oleh Jamal Abdal-Nashir pada masa itu adalah pemerintahan jahili. Hal ini tentu saja membuat Sayyid Quthb “berhadapan” dengan pemeritahan Jamal, yang menghantarkan Quthb ke penjara, sekaligus dihukum mati pada tahun 1966. [13] Pada hakikatnya, generasi Hassan al-Banna, Sayyid Quthb dan Ahmad ‘Awdah ini sudah terputus dari pemikiran Rasyid Ridla, walaupun secara teoritis mereka diikutsertakan dalam barisan “revitalisasi agama”. Sebab, mereka memandang bahwa gerakan kebangkitan sudah gagal mengentaskan umat Islam dari keterbelakangan. Sebagai gantinya, perjuangan dalam ranah politik harus digalakkan untuk mendirikan Negara Islam dan masyarakat islami.[14]<br /><br />Menanggapi “penafsiran radikal” terhadap hadis Nabi ini, para pemikir kerap mempergunakan argumen Imam Ghazali yang datang menghantam “teori kemajuan” di atas dengan argumen transferensial pula. Baginya, memang betul, setiap masa yang jauh dari masa kenabian, maka akan semakin tidak baik. Akan tetapi patut dicermati, bahwa “kejelekan sebuah masa” ini hanya dalam rentan waktu satu abad (100 tahun). Sebab, di setiap seratus tahun, sebagaimana janji Nabi, akan datang pembaharu yang mengentaskan sebuah masyarakat dari keterbelakangan. Pada titik ini bisa kita cermati dua point penting; pertama, Imam Ghazali hendak mengganti keputusasaan umat Islam dengan sebuah harapan di setiap seratus tahun; kedua, kritik tajam atas konsep al-Mahdi al-Muntadzar sekte Syi’ah, di mana sekte Syi’ah menaruh harapan besar terhadap datangnya Imam Mahdi yang akan mengentaskan mereka dari keterbelakangan.<br /><br />Selain juga, fakta riilnya, setelah dipraktikkan kecenderungan ini—bagi sebagian kalangan—tidak lagi mampu menghadapi keterbelakangan peradaban. Adonis dalam bukunya al-Tsabit wa al-Mutahawwil melihat, yang dimaksud ‘kemajuan’ bukanlah memandang ke belakang, sebagaimana yang diungkapkan oleh kaum fundamentalis. Sebab, yang disebut ‘identitas’ harus selalu bersentuhan dengan realitas. Realitas Mesir pra kebangkitan, sebagaimana digambarkan secara apik oleh Al-Jabarti dalam ‘Ajaib al-Atsar, dengan ulama-ulamanya yang dikelilingi oleh ilmu-ilmu agama, tetap tidak menjadikan Mesir mampu mengejar ketertinggalannya dari Barat. Bahkan masuknya Napoleon Bonaparte ke Mesir sekaligus menjadi permulaan dari apa yang disebut dengan “masa pencerahan” (‘ashr al-tanwîr). Bonaparte mengatakan pada masyarakat Mesir, “sesungguhnya manusia semuanya sama di hadapan Allah. Yang membedakan mereka hanyalah akal, keutamaan-keutamaan, dan ilmu saja”. Yang mensukseskan hal ini sebenarnya ada pada utusan-utusan intelektual yang dimulai semenjak masa Mohammad Ali. Dalam benak mereka, Yunani mengambil dari Mesir kuno, Arab mengambil dari Yunani, Persia dan India. Eropa, dengan pelbagai latarbelakangnya mengambil dari Arab. Oleh karena itu, sangat mungkin sekali, bahkan sebuah keharusan, kita akan memasuki medan baru. Setelah sebelumnya terjebak lebih dari lima kurun dengan khurafat Mamalik dan Utsmani, kita harus mengambil pengetahuan dari Eropa.<br /><br />Inklinasi yang bertolak belakang dengan revitalisasi agama adalah sekularistik. Bagi kaum sekularis, kemajuan bisa didapat melalui totalitas umat Islam meniru peradaban Barat. Apabila di Barat berkembang teori Darwin, maka pemikir Arab mencoba mengaplikasikan teori ini pada dunia Arab. Yang mula-mula mempraktikkan ini adalah Francis Marrash (w. 1874 M). Kemudian inklinasi sekularistik menjadi madzhab filsafat resmi di tangan Syibli Syumail dalam bukunya falsafat al-nusyu’ wa al-irtiqâ’, Farah Anton, Niqola Haddad dan Salamah Musa. Syibli Syumail mengatakan dalam bukunya tatkala mengkritik Darwin, “yang saya heran dari teori Darwin ini adalah, walaupun Darwin pencetus pertama teori ini, akan tetapi dia tidak menghasilkan temuan produktif apapun dari teorinya itu”.[15] Pandangan sekularis bertitik tolak pada agama merupakan fenomena ilmiah-historis, sosial, politik, ekonomi, undang-undang atau budaya. Syibli Syumail melihat bahwa agama adalah faktor dominan perpecahan umat Islam. Ia dan Salamah Musa pernah menerbitkan majalah mingguan yang diberi nama “al-mustaqbal”. Akan tetapi ditutup setelah terbit 16 kali. Ilmu-ilmu yang mendominasi pandangan sekularistik ini adalah ilmu-ilmu umum, meliputi ilmu alam, matematika, dan sains. Pandangan politiknya adalah pemisahan agama dari Negara secara total. Isma’il Madzhar mencoba mencari justifikasi sekularisme dari peradaban Islam melalui turats Ikhwan al-Shafa dan Ibnu Thufail dengan novelnya yang terkenal, Hayy bin Yaqdlan.[16]<br /><br />Dus, Madzhab Darwin yang berdiri abad ke-19 menginspirasi Karl Marx (w. 1883 M) dan Friedrich Engels (w. 1895) untuk mendirikan madzhab baru dengan pemikiran dan konstruk yang berbeda yang diberi nama Materialisme-Dialektik. Madzhab ini mempunyai karakteristik dominasi logika dialektik yang dipelajari Marx dari Hegel. Pada praktiknya, pemikiran Materialisme-Dialektik nantinya banyak mengilhami analisa historis pemikir Arab membaca peradaban Islam, semisal Husein Muruwah dalam al-Naz’ah al-Mâdiyyah fi al-Falsafah al-Arabiyyah atau Mahmud Isma’il. Analisa dialektis terhadap sejarah mengandaikan laju sejarah terus menerus berkembang (tathawwur dâim) yang terdapat satu keterpengaruhan logis antara suatu masa dengan masa setelahnya. Pandangan dialektis terhadap sejarah artinya memandang sejarah sejara objektif tanpa tercampur fanatisme sektarianistik. Sebenarnya Ibnu Khaldun telah menciptakan teori ini 5 abad sebelum Darwin, sebagaimana disebutkan Sathi’ al-Hushri dalam bukunya.<br /><br />Namun inklinasi sekularisme inipun mendapat kritik tajam; meniru Barat secara total artinya menghilangkan identitas sebagai bangsa Timur di satu sisi, dan umat Islam di sisi yang lain. Salah seorang pemikir yang mengkritik kecenderungan “mbebek” ini adalah Thaha Abdurrahman. Bagi Thaha, dua inklinasi, taklid pada tradisi adalah perbuatan yang tidak baik. Lebih tidak baik lagi, jika sudah mendeklarasikan dirinya memerangi taklid dengan melepaskan diri sepenuhnya dari tradisi, akan tetapi justru mengambil semua yang datang dari Barat tanpa ada filterisasi.[17] Hassan Hanafi sendiri menciptakan kajian “ke-baratan” sebagai respon dari orientalisme. Kajian tersebut dinamakan “Oksidentalisme”. Fungsi oksidentalisme sendiri hendak mengembalikan Barat pada batas alamiahnya. [18]<br /><br />Pukulan telak Israel ke dunia Arab tahun 1967, adalah masa yang sangat menentukan perjalanan pemikiran Arab Islam, sekaligus merubah arus pemikiran. Di era modern, muncul inklinasi yang mengkritik interpretasi yang bersumber dari taklidisme. Fase ini kemudian lebih dikenal dengan “fase kritik”.[19] Dikatakan kritik karena kritikan lebih dominan dari pada menawarkan solusi konstruktif. Fase ini pada hakikatnya baru dimulai pada sepertiga terakhir abad ke-20, dan masih terus berlangsung sampai sekarang.<br /><br />***<br /><br />Ada baiknya kita simak terlebih dahulu pemetaan global Ali Harb terhadap perjalanan pemikiran Islam; fase pertama, ditandai oleh Rifa’ah Rafi’ al-Thathawi yang bersentuhan secara langsung dengan peradaban Barat; fase kedua, fase “peneguhan identitas”. Tokohnya adalah Jamaluddin al-Afghani, Mohammad Abduh, Jurji Zaidan, ‘Abdurrahman al-Kawakibi, Khairuddin al-Tunisi, Syibli Syumail. Karakteristik fase kedua ini paling tidak; pertama, tergambarkan dalam gerakan reformasi dan rekonstruksi tradisi, sebagaimana tergambar dari karangan-karangan Mohammad Abduh; kedua, tergambarkan dalam bentuk teorisasi kebangkitan yang mengadopsi dari pemikiran Eropa, sebagaimana tergambar dari karangan Syibli Syumail; fase ketiga, adalah “fase liberalisme dan pencerahan pemikiran”. Tokoh-tokohnya adalah Luthfi Sayyid, Qasim Amin, Ali Abd al-Raziq, Thaha Husein, Salamah Musa, Thahir al-Haddad, yang mempunyai karakter terbuka dengan peradaban luar dan banyak terpengaruh darinya. Hal ini terlihat dari pemikiran Qasim Amin dalam bukunya Tahrîr al-Mar’ah, atau Thaha Husein yang mempergunakan metode skeptisisme Deskartes untuk membaca tradisi dan sejarah, Ali Abd al-Raziq yang melihat keharusan keterpisahan agama dan Negara (khilafah dan syariah). Generasi liberal yang mempunyai pandangan sekularistik ini mempunyai arus lain yang muncul dari generasi Mohammad Abduh ke Rasyid Ridla; salafisme.<br /><br />Fase keempat, fase revolusi dan gerakan pembebasan yang didasarkan pada asas Islam, sebagaimana tergambar dari pemikiran Hassan al-Banna, Sayyid Quthb, Mohammad Baqir Shadr, Ruh Allah Khumaini, atau didasarkan pada paham nasionalisme, seperti pada Shati’ al-Hushri, Anton Sa’adah, atau didasarkan pada paham sosialis, sebagaimana para penganut Marxis. Selepas masuknya Israel tahun 1967, dimulai babak baru perjalanan pemikir kontemporer, sebagaimana bisa didapat dari Abdullah al-Urwi dalam ideologi Arab kontemporer, Shadiq Jalal Adzim dengan kritik agamanya, atau Adonis melalui kritik tradisi, Abid Jabiri dengan Kritik Nalar Arab, Mohammad Arkoun dengan Kritik Nalar Islam, dll. Era inilah yang disebut dengan era modern, di mana mereka lebih banyak memberikan kritik tajam dari pada menawarkan solusi konstruktif. Fase ini juga dikenal dengan “fase kritik”. Ali Harb menuturkan, setelah fase kritik ini masih ada fase yang disebut “kritik atas kritik”. Jika yang pertama mendaku sebagai modernis, maka yang kedua disebut dengan post-modernis. Post modernis diproyeksikan untuk mendekonstruksi nalar, pencerahan, kemajuan, inklinasi humanis, rasionalitas dan proyek-proyek pembebasan modernitas.[20]<br /><br />***<br /><br />Nah, pada era modern, dialektika antara tradisi—meminjam istilah Hassan Hanafi sebagai al-ana, dan realitas atau al-waqi, serta eksistensi peradaban Eropa yang diistilahkan dengan al-akhar, menemukan momentumnya. Para pemikir yang datang pada generasi di atas semakin menunjukkan keintimannya dengan pengetahuan-pengetahuan dari Barat. Sebagaimana umat Islam dari sarana yang diciptakan oleh Barat, kita berpikirpun dengan metode Barat: konsep, metode, pemikiran, dll. Singkatnya, pemikir Islam masih berkutat pada wacana menghadapkan Islam pada kejayaan pihak lain dan berusaha mereformasi kemunduran ini melalui rekonstruksi tradisi. Tradisi “dilibatkan” karena mereka kini dihadapkan pada kompleksitas kekinian di satu sisi, di sisi yang lain, tradisi masih kuat mencengkram umat Islam dalam batas yang tidak disadari. Melalui redaksi Adonis dikatakan, “kita harus mengetahui apa yang dulu merupakan diri kita, dan apa yang akan datang juga merupakan diri kita.” Sebenarnya jika diperhatikan secara seksama, arus pemikiran di era modern merupakan perpanjangan dari konsep yang pernah ditawarkan oleh Khairuddin al-Tunisi, Mohammad Abduh, al-Kawakibi, serta Ali Yusuf—tokoh kemajuan-pencerahan.<br /><br />Dalam era modern ini, bermacam proyek telah dilontarkan oleh begawan pemikir kontemporer. Secara garis besar, proyek-proyek itu tidak melewati batas tradisi sebagai identitas, dan tidak total dalam mengadopsi madzhab-madzhab pemikiran dari Barat. Pemikiran mereka kemudian disebut dengan filsafat Arab kontemporer (falsafat al-arabiyyah al-mu’âshirah) yang menghasilkan proyek filsafat (al-masyrû’ al-falsafî) tertentu.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Filsafat Islam; Gambaran Kesadaran Umat Islam</span><br />Inklinasi pemikir Timut Tengah pada abad 20 adalah hendak mengembalikan otentisitas pemikiran Islam; melalui penghadiran kembali pemikiran Islam yang autentik. Musthafa Abd al-Raziq (w. 1947), murid Muhammad Abduh sekaligus mantan Syaikh al-Azhar bersuara lantang agar filsafat Islam kembali dikaji dan dihadirkan dalam bentuknya yang paripurna. Kajian yang matang terhadap pemikiran al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, al-Ghazali, Ibnu Thufail, Ibnu Rushd dilakukan olehnya. Dari Musthafa Abd al-Raziq lahir generasi-generasi yang meneruskan kecenderungan ini; Musthafa Hilmi. Musthafa Hilmi disebut-sebut penerus Musthafa Abd al-Raziq di Universitas Kairo dengan penguasannya yang mendalam terhadap diskursus tasawuf, khususnya pemikiran Ibnu al-Faridl. Selain Musthafa Hilmi, dikenal juga Muhammad Abdul Hadi Abu Raydah yang mendedikasikan hidupnya belajar filsafat. Ia yang menulis buku bertajuk Ibrahim bin Sayyar al-Nadzam wa Arauhu al-Kalamiyyah (Ibrahim bin Sayyar al-Nadzam dan pandangan-pandangan teologisnya). Dari pemikiran Abu Raydah, ada kecenderungan secara implisit yang mengatakan bahwa pemikiran Mu’tazilah adalah representasi keautentikan filsafat Islam. Ia mempunyai komentar mendalam terhadap kajian sejarah filsafat Islam T. J De Boer, yang diterjemahkan dari bahasa Jerman ke Arab dengan judul Tarikh al-Falsafah al-Arabiyyah.<br /><br />Dar al-Ulum juga menghasilkan sarjana yang berhaluan sama dengan pemikiran Musthafa Abd al-Raziq. Adalah Mahmud Qasim. Ia mempunya metode baru dalam kajian filsafat Islam; menghidupkan kembali pola pikir rasional dari generasi Arab. Kajian yang mendalam terhadap pemikiran Ibnu Rushd tersebar luas dari sosok ini, entah dalam bahasa Prancis ataupun Arab. Dari pemikiran Mahmud Qasim disebutkan, Ibnu Rushd merepesentasikan keautentikan pemikiran Islam. Dan Ibnu Rushd—dalam komentar-komentarnya terhadap karya Aristoteles—juga melakukan inovasi dan tidak mengikuti pandangan-pandangan Aristoteles secara paripurna. Bahkan Ibnu Rushd, menurut Mahmud Qasim, mempengaruhi pemikiran Thomas Aquinas. Hal itu tertuang dalam bukunya yang bertajuk Atsar Ibn Rushd fi Thomas al-Akwini (pengaruh Ibnu Rushd terhadap pemikiran Thomas Aquinas).<br /><br />Selain nama-nama itu, Ali Sami Nasyar menyebut dalam bukunya Nasy’at al-Fikr al-Falsafi fi al-Islam (Kemunculan Pemikiran Filsafat dalam Islam), ada nama Ammar al-Thalibi dengan pembahasannya yang mendalam terhadap pemikiran Khawarij, Ibnu al-Arabi dan Ibnu Badis; Dr. Mohammad Rasyad Salim melalui kajiannya terhadap Ibnu Taymiah; Dr. Fawqiyyah Hassan dengan pemikiran Imam Haramayn, pakar teologi Asy’ari; Dr. Fathullah Khalif dengan kajiannya yang mendalam terhadap Imam Fakhr al-Din al-Razi dan Maturidiyah; Dr. Abdul Qadir Mahmud dengan pemikirannya terhadap sekte Imamiyah dan sejarah tasawuf; Dr. Ahmad Subhi melalui kajiannya yang mendalam terhadap ilmu kalam dan tasawuf Islam. Dari Tokoh al-Azhar, dikenal sosok besar Abdul Halim Mahmud, dengan kajiannya yang mendalam terhadap pemikiran Islam, secara spesifik tasawuf. Selain itu, ada Muhammad Abdurrahman Bayshar dengan varian pembahasannya terhadap pemikiran dan filsafat Ibnu Rushd dan Abu Hamid al-Ghazali. Sulaiman Dunya juga tak boleh ditinggalkan; melalui analisa dan pengkajian secara komprehensif terhadap pemikiran Abu Hamid al-Ghazali.[21]<br /><br />Di sini akan sedikit saya paparkan tentang pendakuan filsafat Islam yang dituliskan oleh Ali Sami Nasyar dalam bukunya Nasy’at al-Fikr al-Falsafi fî al-Islâm. Pertanyaan mendasar yang muncul adalah, apakah ada yang membedakan antara filsafat Islam dengan filsafat Yunani? Beberapa analis Timur Tengah, dan pemikir Eropa mengatakan, tidak ada kreativitas dalam filsafat Islam. Mereka mengatakan, bahwa filsuf Islam adalah al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Bajah, Ibnu Sina, Ibnu Thufail, Ibnu Rushd. Para filsuf ini yang hendak mengharmoniskan filsafat Islam dengan filsafat Yunani, atau hendak menundukan filsafat Islam pada filsafat Yunani. Memang Orientalis mulai memusatkan perhatian mereka terhadap kajian peradaban Islam, spesifiknya, filsafat Islam. Akan tetapi, kajian orientalis pada umumnya hanya membidik permasalahan parsial filsafat Islam. Filsafat Islam--bagi orientalis--hanyalah copy-paste dari peradaban Yunani semata. Ernest Renan (w. 1892 M), filsuf asal Prancis, mengatakan bahwa tokoh paripatetik (al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Bajah, Thufail, Abu al-Barakat al-Baghdadi) tidak bisa membuahkan inovasi apapun dalam filsafat. Dalam bukunya Histoire générale et système comparé des langues sémitiques, dikatakan bahwa kecenderungan nalar kaum semitik hanya pada produksi pemikiran tauhid (penunggalan Tuhan) semata. Paul Lapie (w. 1927), dalam bukunya Les Civilisations Tunisiennes, mengatakan watak orang Arab adalah berpikir ke belakang (regresif), sedang Yahudi, merupakan pemikir visioner yang selalu memandang ke depan (progresif). Salomon Munk, dalam bukunya Mélanges de philosophie juive et arabe, mengatakan bahwa Ibnu Rushd tidak memberikan konstruk episteme filsafat apapun, melainkan hanya komentator terhadap buku Aristoteles semata. Begitupula dari D.Strauss dan Leon Gauthier. Adapun kajian filsafat Islam secara historis (komprehensif), hanya dilakukan oleh tiga tokoh saja; pertama, Salomon Monk, yang bertajuk Melanges de Philosophie Juive et arabe; kedua, T. J De Boer, yang diterjemahkan oleh Abu Raydah dengan judul Tarikh al-Falsafah al-Islamiyyah; ketiga, Carra de Vaux dalam bukunya Les Penseurs de I’Islam.<br /><br />Kemunculan Musthafa Abdurraziq kemudian membantah asumsi ini. Ia mempergunakan metode pelacakan kemunculan filsafat Islam melalui analisa terhadap karya-karya sarjana besar Islam sebelum bersentuhan dengan peradaban Yunani. Musthafa Abdurraziq kemudian berpandangan bahwa sarjana Islam mempunyai pemikiran cara berpikir independen yang menjadikan karakteristik mereka. Karakteristik ini ada pada dua disiplin ilmu keislaman; ilmu kalam dan ushul fikih. Dengan sendirinya, pandangan ini meniscayakan asumsi bahwa al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Bajah, Ibnu Sina dan Ibnu Thufail hanyalah komentator filsafat Yunani. Penjelasannya adalah, peradaban Islam tersusun dari beberapa diskursus penting; pertama, filsafat Aristoteles yang berkombinasi dengan Neo-Platonis di satu keadaan, dan Platonisme di sisi yang lain; kedua, tasawuf yang terklasifikasi menjadi dua; tasawuf falsafi, di mana konsep-konsepnya sudah tercampur dengan filsafat Yunani, Neo-Platonis, Hermetisme dan Gnostisisme dari India dan Persia; tasawuf sunni, di mana konsep-konsepnya diambil dari al-Qur’an dan al-Sunah; ketiga, ilmu kalam yang bertugas untuk “melindungi” akidah-akidah umat Islam dengan argumentasi-argumentasi rasional; keempat, ushul fikih, untuk menentukan kaidah umum guna menghasilkan hukum cabang dari dalil-dalil terperinci. Dengan kata lain, ushul fikih adalah metode fikih; kelima, ilmu sosiologi, filsafat politik dan filsafat sejarah. Kecenderungan ini dimulai dengan metode historis semenjak sosok al-Mas’udi, Ya’qubi, kemudian al-Thabari, al-Ghazali, al-Mawardi, Ibnu Khaldun, dst; keenam, filsafat Nahwu, yang mana hendak mempraktikkan teori filsafat Yunani dalam ilmu nahwu. Dengan demikian, dua disiplin yang menggambarkan orisinalitas pemikiran Islam adalah ilmu kalam dan ushul fikih.[22]<br /><br />Penulis akan mencontohkan satu teori yang diciptakan oleh teolog Muktazilah, Abu Hudzail al-Allaf; al-Jawhar al-Fard (atomisme). Aplikasi atomisme adalah; jika Allah mengetahui semua hal, maka yang dinamakan "segala sesuatu" pasti terhitung; ada, wujud, terbatas. Maka bagian-bagian dari alam raya pun harus bisa dihitung (qâbilan li al-'add) atau perwujudan dari sesuatu yang terbatas, karena eksistensi selain Allah adalah bentuk "kumpulan", dan sesuatu yang terkelompok, pasti mempunyai partikel (ajzâ). Sehingga jika Allah mengetahui segala sesuatu, maka partikel yang menjadi bagian dari "segala sesuatu" juga termasuk di dalamnya. Demikian teori keberawalan alam menurut para teolog. Lalu dimanakah peran atomisme dalam teori keberawalan alam ?<br /><br />Alam adalah eksistensi selain Allah. Berawal (hâdis) atau tidak berawal (qadîm) nya alam, tergantung dari terbatas (mutanâhi) atau tidak terbatas (ghair al-mutanâhi)nya bagian yang melengkapi alam. Jika bagian yang melengkapi alam sampai pada batas tertentu (had mu'ayyan), maka batas paling akhir dari bagian tersebut itulah yang dinamakan al-jawhar al-fard (atom). Dengan kata lain atom adalah batas maksimal suatu pembagian. Di sini para teolog sekaligus merobohkan argumen filsuf yang berasumsi alam itu tak berawal. Mereka, teolog, mengatakan: jism (corpuscle)-–yang dalam hal ini merupakan bagian dari alam--pada prakteknya ada keterpautan antara satu dengan yang lain. Karena secara kasat mata, misalnya, gajah berbeda dengan semut. Jika tidak terbatas (ghair al-mutanâhî)-–sebagaimana asumsi para filsuf-–maka tidak ada bedanya antara gajah dan semut. Padahal komponen yang tersusun dalam tubuh keduanya berbeda.<br /><br />Jika sudah terbukti bahwa alam (segala sesuatu selain Allah) hâdist (berawal), maka sebuah keniscayaan membutuhkan pada muhdits (pencipta). Karena keberawalan (hâdits) di sini “tarjîh al-wujûd 'ala al-'adam”. Dalam arti, "wujud"nya alam karena mengalahkan kemungkinan "tidak ada" nya alam. Sehingga mengharuskan ada kekuatan dari luar yang menjadikan alam tersebut ada dengan mengalahkan kemungkinan "tidak ada". Sebagaimana seorang penulis yang bisa menjadikan ada dan tidak adanya sebuah tulisan. Adanya keinginan (menjadikan atau tidaknya sesuatu) tersebut itulah--dalam istilah ilmu kalam--dinamakan kehendak (al-irâdah).[23]<br /><br />Kemudian teori tersebut diadopsi oleh Abu al-Hasan al-Asy'ari sampai terbentuk sekte Asy'ariyah. Diteruskan oleh Ibnu Mujahid, kemudian al-Qadli Abu Bakar al-Baqilani. Dari al-Qadli, dilanjutkan oleh Abu al-Ma'ali al-Juwainy (Imam al-Haramain) dalam al-syâmil fi ushûl al-din-nya. Imam al-Haramain mempunyai murid Abu Hamid al-Ghazali, penghancur filsafat dengan tahâfut al-falâsifahnya. Munculnya al-Baqilani, Imam Haramain dan Imam Ghazali yang mengkritik filsuf Arab itu sejatinya meneguhkan bahwa peradaban Islam mempunyai pemikiran independen.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Penutup</span><br />Sebenarnya masih banyak yang perlu dibahas pada makalah ini. Makalah ini jauh untuk disebut komprehensif jika memotret pemikiran paska Kebangkitan. Akan tetapi dengan sedikit ulasan dari penulis bisa—paling tidak—memetakan gagasan pemikiran paska kebangkitan beserta perkembangannya. Dan semoga tulisan ini bermanfaat.<br /><br /> <br /><br />[1] Ahmad Amin, Zu’ama al-Ishlah fi al-‘Ashr al-Hadits, Beirut: Dar al-Kutub Al-Arabi, tt, hlm. 5-7<br />[2] Mohammad Imarah, Rifa’ah al-Thathawi; Râid al-Tanwîr fî al-Ashr al-Hadîts, Kairo: Dar al-Syouruq, cet. II, 1988, hlm. 8. Bandingkan juga dengan Ahmad Amin, Zu’âma’ al-Ishlâh, Op. Cit.,hlm. 5-7<br />[3] Untuk meneropong fenomena perpindahan filsafat Islam ke dalam peradaban Eropa secara komprehensif, lihat Muqaddimah fî ‘Ilm al-Istghrâb, Kairo: Dar al-Fanniyah li al-Nasyr wa al-Tawzi’, 1991 hlm. 204.<br />[4] Hassan Hanafi, Muqaddimah fî Ilm al-Istighrâb, Op.Cit., 1991, hlm. 235.<br />[5] Allal al-Fasi, al-Naqd al-Dzâtî, Kairo: Al-Mathba’ah al-‘Alamiyyah, cet. I, 1952, hlm. 1-4<br />[6] Abdurrahman bin Khaldun, Muqaddimah, Beirut: Dar al-Fikr, cet. I, 2001, hlm. 160<br />[7] Fahmi Jad’an, al-Madli fi al-Hadlir; Dirâsah fî Tasyakkulât wa Masâlik al-Tajarrubah al-Fikriyyah al-‘Arâbiyyah, Beirut: Dar al-Faris li al-Nasyr wa al-Tawzi’, cet. I, 1997, hlm. 472-473<br />[8] Hassan Hanafi, Humûm al-Fikr wa al-Wathan; al-Fikr al-‘Arabi al-Mu’âshir, Kairo: Dar al-Quba’ Li al-Thiba’ah wa al-Nasyr wa al-Tawzi’, Juz II, 2003, 427-435<br />[9] Ibid.,hlm. 472<br />[10]Hassan al-‘Athar memberikan dua agenda yang harus ditempuh menuju kebangkitan: Taghyîr al-Ahwâl dan Tajdîd al-Ma’ârif.<br />[11] Hassan Hanafi, Humûm al-Fikr wa al-Wathan al-Fikr al-Araby al-Mu’âshir, Op. Cit., hlm. 51<br />[12] Lihat selengkapnya pada Fahmi Jad’an, Usus al-Taqaddum inda Mufakkirî al-Islâm, Kairo: Dar al-Syouruq, cet. III, 1988, hlm. 28-29<br />[13] Ibrahim A’rab, Al-Islâm al-Siyâsi wa al-Haddâtsah, Beirut: Ifriqiya al-Syarq, 2000, hlm. 40<br />[14] Ibid., hlm. 41<br />[15] Sayyid Husein Thabathaba’i, Usus al-Falsafah, Beirut: Dar al-Ma’arif li al-Mathbu’at, tt, hlm. 33<br />[16] Hassan Hanafi, Humum al-Fikr, Op. Cit., hlm. 435-439<br />[17] Thaha Abdurrahman, Rûh al-Haddâtsah, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, cet. I, 2006, hlm.11<br />[18] Lihat selengkapnya pada kajian Hassan Hanafi dalam Muqaddimah fi Ilm al-Istighrâb, Kairo: Dar al-Fanniyah li al-Nasyr wa al-Tawzi’, 1991.<br />[19] www.arabphilosophers.com<br />[20] Ali Harb, Azminat al-Haddatsah al-Fâiqah, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, cet. I, 2005, hlm. 64-67<br />[21] Lihat Ali Sami Nasyar, Nasy’at al-Fikr al-Falsafi fi al-Islâm, Kairo: Dar al-Ma’arif, cet. VII, hlm. 24-27<br />[22] Ibid.,hlm. 47-48<br />[23] Lihat Ibnu Rushd dalam al-Kasyf ‘an Manahij al-Adillah fi ‘Aqâid al-Millah, pada pengantar Mohammad Abed al-Jabiri, Beirut: Markaz al-Dirasat al-Wahdah al-‘Arabiyyah, cet. I, 1998, hlm. 22-24. Penulis juga pernah mendeskripsikan teori atomisme dalam tulisan singkat penulis, “Muktazilah; Implementasi Teori Ilmu Kalam” </span></div>Ahmad Hadidul Fahmihttp://www.blogger.com/profile/01841733022516134434noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3803797330041316914.post-53269548696803101352011-08-01T12:19:00.001-07:002012-03-10T15:57:07.701-08:00Kritik Pemikiran Hizbut TahrirOleh Ahmad Hadidul Fahmi<br /><br /><div align="justify">Baru-baru ini kita melihat semangat keislaman yang menggelora dari generasi muda. Sayangnya, semangat memunculkan Islam sebagai alternatif terbaik itu tidak diimbangi dengan pemahaman yang ‘mumpuni’ dalam ilmu agama. Merasa bangga ketika memperjuangkan ‘simbol’, akan tetapi buta terhadap ‘esensi’. Karakter yang melekat dari inklinasi semacam ini adalah, mudah sekali menuduh kafir kelompok lain yang tidak se-ide dengan pemikiran mereka. Itulah Hizbut Tahrir. Partai yang masuk ke Indonesia sekitar tahun 1980 ini, cukup mendapat respon yang baik dari pemuda-pemuda kampus yang tidak mempunyai background yang mumpuni tentang pengetahuan Islam. Penulis menduga kuat, suksesnya dakwah mereka cukup paralel dengan slogan-slogan islamis yang dielu-elukan oleh simpatisan ‘Partai Pembebasan’ ini.<span class="fullpost"><br /><br />Pada tulisan ini, penulis hendak membedah inti pemikiran Hizbut Tahrir dari sumber-sumber primer mereka, kemudian penulis akan coba komparasikan dengan pendapat ulama-ulama serta pemikir kontemporer terkait masalah yang dibidik. Permasalahan yang coba penulis tampilkan adalah asumsi keharusan mendirikan Negara Islam sebagai wahana pemersatu umat Islam se-dunia. Permasalahan pertama ini tersusun dari premis-premis; pertama, kedaulatan rakyat adalah sistem kufur yang diciptakan oleh Barat. Karenanya, demokrasi dianggap sistem kufur sebab bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Kedua, praktek politik pada masa Nabi merupakan representasi ideal—sekaligus diasumsikan diambil dari nash qath’iy--bagi kelangsungan politik untuk era sekarang. Khilafah Islamiyyah—bagi mereka--juga alternatif terbaik untuk mengentaskan umat Islam dari hegemoni Barat.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Sejarah Kemunculan dan Falsafah Pemikiran Hizbut Tahrir</span><br /><br />Hizbut Tahrir lahir di Palestina tahun 1953, dengan pendirinya Taqiyuddin al-Nabhani, seorang Hakim di Haifa. Berdirinya Partai Kebebasan ini erat kaitannya dengan invasi Israel ke Palestina dan runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani yang tumbang tahun 1924. Awalnya al-Nabhani merupakan pengagum Sayyid Quthb, dan sempat memberikan beberapa kuliah di markas besar Ikhwanul Muslimin di Yerusalem. Lahir di desa Ijzim, Palestina, 1914 M. Nama lengkapnya adalah Taqiy Al-Din bin Ibrahim bin Musthafa bin Isma’il bin Yusuf Nashir Ad Din An Nabhani. Hidupnya berpindah-pindah, dari Jordania, Syiria, dan akhirnya wafat Lebanon. Ia sempat mengenyam pendidikan di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir pada tahun 1928 M. Al-Nabhani terbilang cukup produktif, beberapa buah karyanya adalah; Nidzam al-Islam, al-Takattul al-Hizbi, Mafahim Hizb al-Tahrir, al-Nidzam al-Iqtishadi fi al-Islam, al-Nidzam al-Ijtima’i fi al-Islam, Nidzam al-Hukmi fi al-Islam, al-Dawlah al-Islamiyyah, Mafahim Siyasiyah li Hizb al-Tahrir, dan lain sebagainya. Buku yang dianggit sebelum mendirikan Partai Pembebasan bertajuk Risalat al-Arab.<br /><br />Sistem kepemimpinan Hizbut Tahrir disebut ‘Imarah’ yang dipegang oleh Amir al-Hizb. Batas kepemimpinan Amir al-Hizb tidak terbatas, atau seumur hidup. Taqiyuddin al-Nabhani sendiri memegang tampuk Amir al-Hizb sampai tahun 1977 (sekaligus tahun wafat beliau). Selepas Al-Nabhani, tampuk Amir digantikan oleh Abdul Qadim Zallum (1977). Sebagaimana al-Nabhani, Abdul Qadim Zallum pernah mengenyam pendidikan di al-Azhar. Perjumpaannya dengan Taqiyuddin al-Nabhani terjadi pada tahun 1952, atau satu tahun sebelum Partai ini berdiri. Di antara karya Zallum adalah; al-Amwal fi Dawlat al-Khilafah, Nidzam al-Hukm fi al-Islam, al-Ta’rif bi Hizb al-Tahrir, al-Dimuqrathiyyah Nidzam Kufr, dan sebagainya. <br /><br />Wafatnya Abdul Qadim Zallum (2003) ditandai dengan perpecahan di tubuh Partai. Masa vakum ini memunculkan kelompok sempalan Hizbut Tahrir yang menamakan diri mereka kelompok reformis (al-Tayyar al-Ishlahi). Kelompok reformis pada hakikatnya merupakan oposisi dari Amir ketiga, Atha’ Abu Rasytah—yang masih memegang posisi Amir sampai sekarang, Juru Bicara Hizbut Tahrir Yordania sekaligus pengganti Abdul Qadim Zallum. Sebab, ketika Abu Rasytah didaulat menjadi Amir, dari kelompok reformis ini telah mengajukan Amir sendiri, Abu Bakar al-Khuwalidah.<br /><br />Dalam perjalanan pergerakan Hizbut Tahrir, mereka membagi dalam tiga fase penting; pertama, fase doktrinasi pemikiran-pemikiran Hizbut Tahrir secara personal, agar masyarakat menerima eksistensi mereka. Pada fase yang diawali semenjak 1953 ini, Taqiyuddin al-Nabhani sangat berperan besar. Sebab secara langsung ‘turun lapangan’ memperkenalkan pada masyarakat doktrin-doktrin Hizbut Tahrir. Pada saat respon masyarakat dinilai positif, mereka melanjutkan pada fase kedua; interaksi dengan masyarakat agar mereka ikut merasakan dakwah Islam dan mempunyai kesadaran yang sama tentang realitas Islam. Pada fase ini, Hizbut Tahrir mulai memerangi pemikiran-pemikiran yang tidak sejalan Islam secara massif. Memprogandakan cacatnya kepemimpinan yang tidak sejalan dengan Islam. Setelah masyarakat mulai kehilangan kepercayaan dengan pemimpin mereka, Hizbut Tahrir mulai beralih ke fase ketiga; penerimaan kekuasaan melalui penegakkan Negara Islam guna mengaplikasikan Islam secara komprehensif.<br /><br />Dalam buku bertajuk Hizb al-Tahrir, keluaran Hizbut Tahrir, definisi Partai Pembebasan ini adalah parta politik yang berideologi Islam, dan lahan dakwahnya dalam ranah politik, serta memimpin umat Islam untuk kembali pada pemerintahan Islam sehingga mampu berhukum dengan sebagaimana yang sudah diturunkan oleh Allah. <br /><br />Falsafah yang mendasari berdirinya ‘partai pembebasan ini’—sebagaimana terangkum dalam buku terbitan Hizbut Tahrir sendiri yang bertajuk Mafahim Hizb al-Tahrir—berpijak dari kemunduran massif peradaban Islam semenjak abad 12 H yang berbanding lurus dengan lemahnya semangat umat Islam untuk memperdalam Islam itu sendiri. Lemahnya generasi umat Islam untuk memperdalam Islam—bagi mereka—inheren dengan upaya memisahkan Arab dan Islam. Sedang gagalnya proyek kebangkitan—yang bertopang dari Islam—setidaknya kembali pada tiga alasan; pertama, tidak memahami secara komprehensif pemikiran Islam; kedua, hanya memperdalam hukum yang bersifat teoritis, akan tetapi mengabaikan aspek praksis; ketiga, asumsi keterpisahan pemikiran Islam dan aplikasinya.<br /><br />Keterpisahan mempelajari hukum Islam yang terpisah dari cara implementasinya secara total termanifestasikan tatkala umat Islam berbondong-bondong mempelajari tatacara shalat, puasa, nikah, talak, akan tetapi mengabaikan hukum Jihad, ghanimah, hukum-hukum dalam pemerintahan, dan sebagainya. Sehingga pada abad 19 M, ada pemahaman yang keliru terkait paradigma aplikasi Islam dalam masyarakat; Islam ditafsirkan agar kontekstual dengan masyarakat, bukan masyarakat yang menyesuaikan dengan Islam. Dengan demikian, merupakan keharusan untuk mengaplikan Islam sebagaimana adanya pada masyarakat tanpa terpengaruh waktu, tempat atau masa.<br /><br />Oleh karena itu, diperlukan adanya gerakan Islam yang mengembalikan Islam pada wacana teori sekaligus memungkinkan mengaplikasikannya secara total, dan memulai hal tersebut dari skala yang paling kecil; dunia Arab. Inilah awal mula muncul ide untuk mendirikan Negara Islam. Dimulai dari sekup yang terkecil untuk bermu’amalat secara Islami, kemudian melebarkan sayapnya ke penjuru Negeri. <br /><br />Selain itu, kewajiban umat Islam adalah menerapkan hukum Islam secara paripurna di semua sendi kehidupan, melalui Undang-Undang atau peraturan yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadis. Aplikasi secara sempurna tersebut tidak mungkin terwujud terkecuali dengan wujudnya Negara yang bisa mengakomodir semua itu. Itulah Negara Islam, dimana Khalifah atau pemimpinnya menerapkan syariat Islam secara sempurna. <br /><br />Hizbut Tahrir dalam merealisasikan agendanya melalui penguasaan parlemen sehingga mampu mendirikan Negara Islam. Adapun piranti untuk sampai pada parlemen adalah; pertama, memusatkan perhatian pada upaya doktrinasi terhadap masyarakat tentang Islam (al-ihtimam bi al-‘amal al-tsaqafi/tastqif). Pada aspek ini, seperti pernyataan al-Nabhani sendiri dalamal-Takattul al-Hizby, Hizbut Tahrir jelas mengikrarkan pengabaian terhadap aspek etika dalam Islam, dan mengedepankan pemikiran dan pengetahuan tentang peradaban Islam. Kedua, memusatkan perhatian aktivitasnya dalam ranah politik (al-ihtimam bi al-‘amal al-siyasi). Dalam ranah politik, mereka berusaha sekuat mungkin untuk meruntuhkan aturan-aturan yang dibuat bukan dari asas islami. Dalam buku yang bertajuk Manhaj Hizb al-Tahrir, mayoritas Negara yang dihuni oleh umat Islam sekarang layak disebut Dar al-Kufr, karena mengadopsi hukum-hukum yang berasal bukan dari asas Islami dan tidak dibawah kontrol masyarakat Islam.<br /><br />Ketika Negara Islam sudah terealisasi, Hizbut Tahrir mengagendakan menyusun Undang-Undang yang diawali dengan telaah problematika masyarakat, kemudian membuat kaidah umum—sebagai referensi Hakim/Qadli ketika memberikan putusan hukum--yang bisa dijadikan neraca mengentaskan varian problem yang berkembang. Mereka mensyaratkan, aturan tersebut merupakan perpanjangan dari fikih Islam. Interpetasi Undang-Undang yang dilakukan oleh Hakim harus melalui penguasaan teks Islam (al-Nushush al-Syar’iyyah), ushul fikih, atau fikih.<br /><br />Mereka beranggapan, Islam sebagai agama mempunyai aturan. Aturan ini adalah hukum-hukum syariat yang diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci. Aturan-aturan tersebut terklasifikasi pada hukum-hukum yang mempunyai orientasi mengentaskan problem masyarakat (fikrah), dan hukum-hukum yang mencakup tatacara aplikasi hukum, menjaga akidah dan menyebarkan dakwah (thariqah). Islam tersusun dari dua unsur ini, dan tak akan mungkin berislam secara sempurna tanpa upaya menjalankan keduanya. Mereka mencontohkan bahwa shalat adalah fikrah. dan Negara Islam merupakan thariqah, yang bertugas tidak hanya menganjutkan umat Islam untuk melaksanakannya secara teratur saja, akan tetapi juga mengupayakan hukuman bagi yang meninggalkan shalat. <br /><br /><span style="font-weight:bold;">Islam Atawa Nasionalisme?</span><br /><br />Hizbut Tahrir secara sosio-historis merupakan aksi yang timbul dari nasionalisme Palestina yang terus menerus ‘dibombardir’ oleh Israel. Inklinasi nasionalisme al-Nabhani terlihat jelas dalam buku pertamanya yang bertajuk Risalat al-Arab. Akan tetapi aksi mereka kemudian beralih ke level yang lebih tinggi; mendirikan Negara Islam. Runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani (1924), juga salah satu faktor yang tidak bisa diabaikan yang mengilhami ambisi HT untuk mempersatukan umat dalam satu kesadaran; kesadaran Islam. Pada hakikatnya, ‘satu kesadaran’ merupakan orientasi semua sekte yang ada dalam Islam sekarang. Akan tetapi piranti yang digunakan berbeda-beda, tergantung dari paradigma apa suatu sekte berpijak. Selain itu, eksistensi adanya ‘negara-negara kecil’ (duwailat) sekarang, tampaknya juga harus dijadikan pertimbangan tersendiri.<br /><br />Pemerintah Islam pada masa Nabi dan shahabat adalah pemerintahan yang tidak mungkin terulang kembali. Islam adalah agama yang diimani oleh orang Arab dan membawa ajaran-ajaran yang tidak pernah mereka jumpai sebelumnya. Dengan kualitas orang yang juga berbeda dengan masa sekarang, mereka mampu ‘mendongkrak’ ke atas dan melakukan ekspansi ke daerah-daerah lain atas nama Islam. Akan tetapi, kenapa Islam sekarang tidak mampu mempersatukan umat Islam dalam satu kesadaran sebagaimana yang terjadi pada zaman Rasul dan Shahabat? Bahkan antara Negara yang mayoritas umat Islam terjadi peperangan yang tak kunjung reda sampai sekarang.<br /><br />Hal paling fundamental yang bisa diungkapkan di sini adalah Islam dengan aplikasi yang maksimal pada masa Nabi masih menyisakan celah-celah fanatisme kabilah yang potensial menimbulkan perseteruan dan perpecahan. Padahal fungsi kabilah pada saat itu tidak kompleks sebagaimana fungsi Negara pada saat ini. Bahkan sangat sederhana. Selain itu, ketika menjadikan Islam sebagai pemersatu umat, kecenderungan ikatan atas dasar Islam sendiri bertingkat; kita mengetahui bersama bahwa rasa kebersamaan Muhajirin lebih kuat dibanding Anshar karena Muhajirin secara langsung berhadapan dan bahkan mendapat siksaan bertubi-tubi dari kaum Musyrik Mekah.<br /><br />Berlanjutnya fanatisme kabilah dalam Islam jelas terlihat ketika Khazraj perannya lebih besar di perang Badar dari pada Aus, sebab Khazraj memandang paman ayah Nabi berasal dari Bani Najjar. Dan Bani Najjar adalah salah satu kelompok Khazraj. Dalam Tarikh Thabari disebutkan, pada saat peristiwa Musailamah yang mendaku Nabi, Thalhah al-Numairi mengatakan pada Musailamah, “saya bersaksi bahwa kamu bohong. Akan tetapi bohongnya Rabi’ah (nama kabilah), lebih saya suka dari pada jujurnya Mudlar”. Artinya, Thalhah mengetahui bahwa Islam adalah agama yang benar, akan tetapi ia merasa tak rela ketika harus bersama Quraisy dan orang Islam yang lain memerangi Musailamah yang berasal kabilahnya.<br /><br />Fanatisme yang tidak berpayung Islam juga berlanjut ke masa Dinasti Umawiyyah. Sejarah mencatat bahwa pemerintahan Umawi memperlihatkan rasa bangga yang berlebihan dengan ras Arab dan terlalu membedakan Arab dengan yang lain. Fanatisme kabilah juga masih cukup kental di sini. Kita melihat perseteruan antara Mudlar dan Yaman yang mengakibatkan revolusi pada masa al-Walid bin Zaid bin Abd al-Malik. <br /><br />Arti ini semua adalah, ikatan Islam memperlihatkan hasil maksimal hanya pada masa Nabi. Oleh karena itu, apabila Hizbut Tahrir hendak menyatukan umat Islam dalam satu payung agama, mereka harus mengetengahkan konsep yang matang serta realistis. Kemustahilan tersebut lagi-lagi datang dari sikap aktivis Hizbut Tahrir sendiri yang sangat mudah sekali menyumpah golongan lain dengan kafir. Tentu saja agenda mereka lebih akan jadi ilusi semata. Pluralitas fikih, pendapat, paradigma, sama sekali tak mendapat tempat dalam Partai ini. Selain itu, kita bahkan sampai sekarang tak mendapat informasi lebih perihal kelompok reformis Hizbut Tahrir dari sumber-sumber primer mereka. Ataukah karena Hizbut Tahrir sendiri enggan disebut gagal dengan agendanya tersebut?<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Kritik Teori Hakimiyyah</span><br /><br />Khalil Abdul Karim menegaskan dalam bukunya li Thatbiq al-Syari’ah, la li al-Hukm, bahwasanya maraknya radikalisme, asumsi kafirnya pemerintah serta tuduhan terhadap umat Islam sebagai masyarakat Jahiliyyah, setidaknya kembali pada dua sebab; teori ‘hakimiyyah’ yang dipopulerkan oleh Sayyid Quthb yang diadopsi dari Abu al-A’la al-Mawdudi, seterusnya menjadi parameter dalam menilai kepemimpinan yang tidak berasal dari Islam; kedua, siksaan yang ditujukan pada kelompok radikalis yang berakhir dengan hukuman mati Sayyid Quthb. <br /><br />Bertolak dari premis ini, aktivis Hizbut Tahrir menjadikan teori tersebut sebagai legitimasi menuduh praktek kepemimpinan saat ini atau yang tidak bersumber dari Nabi dengan predikat kafir. Predikat tersebut sekaligus dijadikan dalih untuk menggusur mereka dari tampuk kekuasaan karena tidak sesuai dengan Islam. Imbasnya juga, Hizbut Tahrir mengatakan bahwa demokrasi merupakan sistem kufur karena penganut demokrasi mengingkari kedaulatan Tuhan (al-hukm lillah). Demokrasi—sebagaimana dituliskan oleh Abdul Qadim Zallum dalam bukunya al-Dimuqrathiyyah Nidzam Kufr—adalah produk Barat yang sumber hukumnya bersandar pada rakyat dan didasarkan pada suara mayoritas. <br /><br />Pada hakekatnya, perkataan kedaulatan ada di tangan Tuhan—sebagaimana disebutkan oleh Yusuf Qardlawi dalam bukunya al-Din wa al-Siyasah--tidak bertentangan sama sekali dengan demokrasi. Sebab, adanya ungkapan kedaulatan rakyat bukan hendak menegasi kedaulatan Tuhan. Akan tetapi sebuah sikap oposisi terhadap pemerintahan diktator. Implikasi yang tepat dari teori Hakimiyyah milik Al-Mawdudi ini, hendak menyerabut legalitas ijtihad di semua masa. Penempatan yang tidak tepat dari teori Hakimiyyah sangat mirip dengan sikap Khawarij; kalimat tersebut pada hakikatnya benar, akan tetapi aplikasinya tidak tepat. Untuk melihat pluralitas interpretasi makna ‘Hakimiyyah’ ini, mari kita simak penjelasan Mahmud Karimah, pakar Syariah Mesir, dalam bukunya Hurmat al-Takfir.<br /><br />Ayat yang biasa dijadikan landasan teori Hakimiyyah adalah ayat “wa man lam yahkum bi ma anzalaLLah, fa ulaika hum al-fasiqun/al-dzalimun/al-kafirun”. Setelah Mahmud Karimah membeberkan varian penafsiran dari ulama klasik terhadap ketiga ayat tersebut, ia pada akhirnya berkesimpulan—dengan mendasarkan pendapatnya dari pendapat yang terkuat dan realistis serta sesuai dengan misi toleransi Islam--bahwa ayat tersebut turun untuk orang-orang yang membuat hukum yang berbeda dari apa yang sudah diturunkan oleh Allah. Sebagai misal, mengatakan bahwa puasa Ramadlan tidak wajib, atau tidak perlu. Oleh karena itu, yang dimaksud berhukum dengan selain hukum Allah dalam ayat adalah; pertama, menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal; kedua, mengingkari disyariatkannya suatu hukum tertentu; ketiga, memperingan hukum, keempat, jika mengaplikasikan ayat ini untuk orang kafir, maka yang dimaksud kafir di sini berfungsi sebagai tawkid (penguat kekafirannya), sedang jika ayat diaplikasikan untuk orang mukmin, maka yang dimaksud adalah tawkid untuk dzalim dan fasik. <br /><br />Muhammad Imarat menambahkan dalam bukunya yang bertajuk al-Dawlah al-Islamiyyah baina al-Ilmaniyyah wa al-Shulthat al-Diniyyah, bahwasanya makna kata “al-hukm” dalam mayoritas ayat al-Qur’an bukan mengarah pada penetapan aturan-aturan dalam ranah politik. Akan tetapi bermakna putusan (al-Qadla’) dan memutus konflik (fashl al-munaza’at). Tidak ada kaitan sama sekali dengan Khilafah, politik, atau aturan-aturan dalam sistem politik tertentu.<br /><br />Secara historis, teori kedaulatan rakyat juga tak bisa dipisahkan dari John Locke, filosof Inggris. Ia hendak menjadikan rakyat sebagai sentral; penentu hukum guna melawan pemerintahan diktator. Begitu pula filosof Perancis, Jean Jacques Rousseau, yang berbicara mengenai ‘kedaulatan rakyat’ sebagai kekuatan oposisi penguasa elit despotik. Sejarah jelas berbicara, bahwa teori kedaulatan rakyat berdiri guna menentang despotisme penguasa.<br /><br />Bahkan, sebagaimana Fahmi Huwaidi utarakan dalam bukunya yang berjudul al-Dimuqrhutiyyah wa al-Islam, pemerintahan dengan praktek Khilafah juga sebenarnya tak lepas dari kerelaan rakyat (ridla al-ummat). Kedaulatan yang ada dalam praktek Khilafah tidak merepresentasikan kedaulatan Tuhan. Ekses dari kedaulatan (dalam ranah politik) di tangan Tuhan sangat berbahaya sekali, karena bisa menjadi legitimasi seorang Khalifah untuk berbicara atas nama Tuhan, dan yang membangkang seolah membangkang pada Tuhan. Tentu saja ini pandangan yang keliru. Dan sangat potensial melahirkan pemimpin despotik. Muhammad Imarah merasionalisasikan gagasan ini pada logika yang paling dekat; jika kedaulatan ada di tangan rakyat, maka Khalifah adalah wakil dari rakyat dan mengatur urusan rakyat. Sedang jika mengatakan kedaulatan Tuhan, maka Khalifah adalah wakil Tuhan dan merepresentasikan maksud Tuhan. Lalu, apa perbedaan pemerintahan Khilafah dengan dominasi Gereja pada masa kegelapan Eropa?<br /><br />Jika berpijak pada fikih klasik, maka pemerintah yang dipilih oleh rakyat dan terdapat wakil rakyat yang menduduki parlemen sudah sah secara syar’i. Oleh karena itu, ketika melihat konteks Indonesia, pemerintah Indonesia sudah sesuai dengan tata cara pemilihan pemimpin yang disebutkan dalam fikih klasik, karena presiden dilantik oleh MPR. Dan MPR adalah wakil rakyat yang statusnya tak berbeda dengan Ahlu al-Halli wa al-‘Aqdi.<br /><br />Dalam perkara dunia, umat Islam diberi kebebasan untuk menetapkan aturan yang selaras dengan kemaslahatan mereka. Sebagaimana dianjurkan untuk mengambil manfaat dari peradaban yang bermacam yang dihasilkan dari nalar manusia tanpa melihat bagaimana serta apa ideologi dari peradaban tersebut. Mengutip Muhammad Abduh, jika mengasumsikan bahwa wahyu sudah mengatur semua kehidupan manusia, diakui atau tidak, hal ini akan menghambat optimalisasi nalar dan kreasi umat. Banyak hal-hal yang baru bentukan peradaban modern tidak terdapat di dalam wahyu. Di sinilah peran manusia untuk berijtihad.<br /><br />Bagi penulis, demokrasi adalah sistem ideal yang bisa diaplikasikan oleh semua Negara. Sistem ini sama sekali tidak bertentangan dengan Islam karena di dalamnya terdapat prinsip-prinsip Islami yang jelas termaktub dalam al-Qur’an dan al-Hadis. Yusuf Qardlawi bahkan menyebut demokrasi dengan Islam itu sendiri (Jawhar al-Islam). Pada demokrasi sudah mencerminkan praktek syura’ (QS. Ali Imran: 159), Ahl Al-Halli wa Aqdi (QS. Al-Nisa’: 59), menolak penguasa despotik (QS. Al-Baqarah: 258, QS. Al-Syu’ara: 150-152), mengikuti suara mayoritas (QS. Al-Tawbah: 105, QS. Al-Ghafir: 35) . <br /><br /><span style="font-weight:bold;">Formalisasi Syariat, Mungkinkah?</span><br /><br />Mengenai relevansi hukum Islam, sebagaimana analisis Mahsun Fuad, relasi hukum Islam dan perubahan sosial setidaknya menghasilkan dua teori yang berbeda; pertama, teori keabadian (normativitas). Dalam arti, hukum Islam tetap abadi, konstan serta tidak berubah dari zaman sebagaimana diturunkannya hukum tersebut. Oleh karenanya, ia tidak bisa diadaptasikan dengan perubahan sosial; kedua, teori adaptabilitas (perubahan). Bahwasanya hukum Islam bisa disesuaikan dengan perubahan sosial dan membutuhkan ijtihad-ijtihad baru yang sesuai dengan realitas sosial dan bisa merespon perubahan sosial. Perlu diketahui di sini bahwa yang dimaksud adaptabilitas bisa mengacu pada dua frame; kemungkinan perluasan hukum yang sudah ada dan keterbukaan satu kumpulan hukum bagi perubahan. <br /><br />Oleh karena itu, jika melihat klasifikasi di atas, Hizbut Tahrir dengan pandangannya hendak membawa umat Islam pada normativitas hukum Islam; hukum Islam yang diasumsikan tidak berubah sampai kapanpun. Pandangan ini tentu saja sangat lemah dari banyak sisi. Padahal tempat dan masa mempunyai andil besar dalam proses inferensi hukum (istinbath al-hukm) bagi para mujtahid. Yusuf Qardlawi dalam kitabnya yang bertajuk al-Fatawa al-Syadzdzah mengkategorikan hukum yang tidak melihat aspek waktu, tempat serta kondisi sebagai hukum yang syadz (lawan hukum yang kuat/shahih). Oleh karena itu kita melihat mujtahid merubah hukum karena pertimbangan tempat dan waktu. Seperti Imam Syafi’I yang mempunyai Qawl Qadim (pendapat lama) yang dikeluarkan sebelum di Mesir, sedang sesudah di Mesir terkenal dengan Qawl Jadid (pendapat baru).<br /><br />Tak jarang juga dalam literatur fikih, seorang imam bisa menelorkan sampai sepuluh hukum dalam satu permasalahan, sebagaimana yang dilakukan oleh imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab al-Furu’ anggitan Ibnu Muflih. Tak jarang pula terdapat perbedaan antara penganut madzhab dengan imam madzhab, seperti perbedaan Abu Hanifah (Imam Madzhab Hanafi) dan Abu Yusuf dan Muhammad (penganut Madzhab). Oleh ulama, perbedaan mereka disebut perbedaan masa dan waktu (ikhtilaf ‘ashr wa zaman). Ibnu Abidin menganggit kitab berjudul Nasyr al-Arfi fi Bina’ Ba’dl al-Ahkam ‘ala al-Urfi. Dalam kitab tersebut disebutkan banyak sekali perubahan fatwa untuk satu kasus dalam satu madzhab. Ibnu Abidin mengatakan, “kebanyakan hukum bisa berbeda-beda menurut pertimbangan masa karena berubahnya adat suatu masyarakat, atau karena dlarurat, atau semakin rusaknya masyarakat, sehingga jika diberikan hukum sebagaimana adanya, maka akan menimbulkan kesusahan dan membahayakan bagi manusia. Dan hal ini bertentangan dengan kaidah syara’ yang didasarkan pada keringanan dan kemudahan”.<br /><br />Dengan demikian, mengambil hukum apa adanya pada satu masa tertentu untuk diaplikasikan di masa yang berbeda adalah tindakan yang semena-mena. Walapun hal ini tidak berlaku dalam semua hukum, akan tetapi hukum-hukum yang didasarkan pada teks yang mempunyai cakupan makna yang multi-interpretatif (dzanny al-dalalah).<br /><br />Bagaimanakah sebenarnya bentuk formalisasi syariat itu? Formalisasi Syariat Islam—sebagaimana didefinisikan oleh Salim al-Awa--adalah mentransfer hukum syariat pada pasal dalam Undang-Undang yang bersifat mengikat. Hal ini berkonsekuensi pada seorang Hakim, ketika memutuskan suatu kasus harus berdasarkan hukum tersebut. Penyeru formalisasi Syariat pertama kali adalah Abdullah Ibnu al-Muqaffa’. Hal tersebut terlihat saat Abdullah Ibnu al-Muqaffa’ membujuk Khalifah Abu Ja’far al-Manshur untuk memformalkan syariat Islam disebuah tulisan yang bertajuk Risalat al-Shahabat. Kemudian Abu Ja’far al-Manshur mengupayakan hal serupa—walau tak disebut taqnin (formalisasi), akan tetapi hendak mengarah ke sana—dengan meminta kitab al-Muwatha’ sebagai acuan hakim ketika memutuskan suatu perkara. Akan tetapi Imam Malik menolaknya. Abu Ja’far membujuk yang kedua kali, imam Malikpun menolak yang kedua kali. Khalifah al-Mahdi melakukan hal serupa, akan tetapi Imam Malik menolak. Begitupula Harun al-Rasyik membujuk imam Malik, beliau tak merubah pendapatnya.<br /><br />Hal itu dapat dimaklumi, sebab hakim mempunyai pertimbangan dan ijtihad sendiri yang berbeda satu dengan yang lain. Ibnu Abdil Barri dalam kitabnya Jami’ Bayan al-Ilm mengutip tentang riwayat Umar bin Khattab yang bertemu seorang laki-laki. Kemudian ia berkata, “apa yang terjadi?” Laki-laki tersebut berkata, “Ali dan Zaid telah memutuskan seperti ini”. Kemudian Umar berkata, “jika saya yang jadi hakim, niscaya saya akan memutuskan seperti ini (berbeda dengan keputusan yang pertama)”.<br /><br />Catatan sejarah mengatakan, sebagaimana dilansir Jamal al-Banna dalam tulisannya yang bertajuk Hal Yumkin Tathbiq al-Syari’ah, bahwa hukum pada pemerintahan Khalifah didasarkan pada ijtihad yang variatif serta tidak ditransfer dalam bentuk aturan baku—terkecuali masa di mana Rasul masih hidup. Hal tersebut dimulai oleh Khalifah masa dinasti Umawi, Umar bin Abdul Aziz. Beliau menghendaki agar hadis Nabi dibukukan sebab dikhawatirkan akan lenyap dengan lenyapnya penghafal hadis. Abu Zur’ah menanggapi aktivitas Umar bin Abdul Aziz dengan ungkapan, “Umar bin Abdul Aziz menghendaki bahwa hukum-hukum untuk manusia dan ijtihad sebagai satu kesatuan. Kemudian berkata, “bahwasanya di setiap pelosok daerah ada shahabat Nabi. Dan di antara mereka ada hakim yang memutuskan hukum berdasar persetujuan shahabat Nabi”. Jamal juga mengatakan, sebelum Umar bin Abdul Aziz sudah ada upaya formalisasi syariat di tangan Walid bin Abdul Malik.<br /><br />Dengan demikian, formalisasi Syariat Islam bukanlah perintah Allah, bukan pula anjuran Nabi.<br /><br />Terakhir, Abu al-Abbas Ahmad bin Idris al-Qarrafi dalam kitabnya al-Ihkam fi Tamyiz al-Fatawa wa al-Ahkam fi Tasharruffati al-Qadli wa al-Imam mengatakan, sunah Nabi terpetakan pada empat bagian; pertama, aktivitas Rasul yang berkaitan dengan risalah, dengan memperhatikan bahwa beliau adalah seorang rasul yang diutus oleh Allah sebagai penyampai berita gembira dan pemberi peringatan; kedua, aktivitas Rasul dalam berfatwa. Yakni ketika menggambarkan kalimat-kalimat yang tidak dimengerti dari wahyu; ketiga, aktivitas beliau sebagai seorang hakim yang memberi putusan dalam kasus tertentu atau perselisihan antara dua orang; keempat, aktivitas rasul yang berkaitan dengan politik atau imamah. Hal ini mencakup semua perkataan, perbuatan, serta pengakuan yang berkenaan dengan aturan pasukan, alokasi dana tertentu, dll. Imam Qarrafi mengatakan, jika yang pertama dan kedua disebut Sunnah dan masuk dalam perkara agama. Sedang yang ketiga dan keempat bukan dari agama. Dan karenanya, kita tak diwajibkan untuk mengikuti serta mengaplikasikannya.</span></div>Ahmad Hadidul Fahmihttp://www.blogger.com/profile/01841733022516134434noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-3803797330041316914.post-71423048915139704712010-12-11T17:00:00.001-08:002012-03-10T15:58:05.640-08:00Fenomenologi Pemikiran Arab-Islam<div align="justify"><blockquote>Semakin merasa “lemah” seorang hamba, semakin kuat pula keinginan untuk “memuji”. Akhirnya bentuk penghambaan terhadap Tuhan bermetamorfosa menjadi penghambaan terhadap penguasa. Kekuasaan agama teralih –secara tak sadar—pada kekuasaan politik. [Hassan Hanafi]</blockquote><br /><span style="font-weight:bold;">Prolog</span><br /><br />Wacana keislaman yang berkembang sekarang masih saja berkutat pada bagaimana menghadapkan Islam pada kejayaan the other, sebuah rivalitas dari pengadopsian secara mutlak keberislaman pada tiga generasi 'terbaik' umat Islam. Yang pertama meniscayakan keterbukaan terhadap the other . Akibatnya, di satu pihak ada imitasi secara massif kebudayaan Barat oleh Timur, dan di pihak lain, filterisasi the other pun digalakkan untuk menemukan identitas ke'diri'an umat Islam. Gejala pertama kemudian disebut westernisasi; sikap pembebekan terhadap Barat secara total. Memang benar tutur Ibnu Khaldun bahwa peradaban yang 'dikuasai' –secara hukum alam—akan selalu mengikuti peradaban yang 'menguasai'. Di satu kondisi, filter terhadap gegap gempita modernitas menumbuhkan ‘sikap apresiatif’ terhadap metode yang sedang lead di Barat untuk menganalisa sebab kemunduran umat Islam dalam segala lini. Seketika itu, peradaban Islam yang konvensional dan dipenuhi mistisisme kian menampakkan taringnya tatkala dibenturkan dengan progresivitas akal Eropa yang sarat rasionalitas. Kondisi demikian ini yang menjadikan fundamentalisme Islam semakin teguh dalam pencarian identitasnya; bahwa semakin ‘dalam’ peradaban Eropa ‘menjajah’ Islam, semakin menjadi pula ‘pencarian jati diri’ umat Islam.<span class="fullpost"><br /><br />Menguaknya rasionalitas melalui persinggungan intim dengan peradaban Barat semakin meneguhkan persepsi, bahwa ‘salafisme’ dirasa tak lagi mampu menghadapi problematika kemunduran peradaban. Ketika itu muncul sebuah ‘pendekatan baru‘ yang digelindingkan oleh Begawan pemikir kontemporer; Muhammad Abid al-Jabiri dengan pisau strukturalis mengklasifikasi nalar Arab pada bayâni, burhâni dan ‘irfâni. Sebab kejumudan peradaban Islam –bagi Jabiri sendiri—karena peng-anak tirian burhâni. Padahal, burhâni menyatukan watak bayâni dan ‘irfâni. Alternatif yang diajukan adalah Ibnu Hazm dengan kritiknya, Ibnu Rusyd dengan rasionalismenya, Syathibi dengan Ushulnya, dan Ibnu Khaldun dengan historiografinya. Dari perspektif lain, Muhammad Arkoun melalui arkeologi pengetahuan membuat terma ‘peradaban ideal’ disandingkan dengan ‘interpretasi’ terhadapnya. Di sini Arkoun memperlakukan ‘materi dasar’ atau teks keagamaan sebagai tindak kebahasaan yang harus dipahami dalam suatu momen dan sikap tertentu. Nasr Hamid Abu Zaid dengan perangkat hermeneutika; bahwa interpretasi terhadap ‘teks utama’ tidak akan terlepas dari konteks sosio-historis pembaca. Sementara perangkat materialisme-historis didengungkan oleh Khalil Abdul Karim, Sa’id al-Asymawi serta Sayyid al-Qumni dalam menganalisa masyarakat Arab-Islam semenjak masa kenabian, bahkan proses pembentukannya pada masa Pra Islam. Sedang Hassan Hanafi sendiri mendaku mempergunakan perangkat fenomenologi. Ia mengkritik perangkat materialisme dan idealisme karena tidak sesuai dengan karakter hukum Islam.<br /><br />Dalam hal ini, pemikir Arab kontemporer -- berdasarkan “rujukan” pemikiran--dapat diklasifikan pada dua kelompok besar; pertama, kelompok yang memusatkan studinya pada masa kenabian karena pertimbangan ‘moral’. Dalam kelompok ini kita mendapati nama Sayyid al-Qumni, Sa’id al-Asymawi, Adonis, Khalil Abdul Karim, serta Husein Muruwah; kedua, kelompok yang memusatkan studinya pada era kodifikasi sebagai rujukan ‘pemikiran’. Kelompok kedua disuarakan oleh Muhammad Arkoun, Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Hassan Hanafi, serta Nashr Hamid Abu Zaid. Namun begitu, dari varian metode yang dipergunakan oleh para pemikir tersebut, sejatinya dapat ditarik beberapa konklusi penting; pertama, baik era kenabian ataupun kodifikasi tidak dipahami dengan mata telanjang tanpa mempertimbangkan proses pembentuknya; kedua, semuanya bertitik tolak pada kemampuan nalar untuk menjembatani dialektika antara teks utama dan realitas yang senantiasa mengalami perubahan dan perkembangan. Dengan demikian, meminjam istilah Muhammad Arkoun, ‘interpretasi’ terhadap “tradisi ideal” harus selalu diperbaharui agar selaras dengan tuntutan modernitas. Pada tulisan kali ini, penulis hendak mendedah perangkat fenomenologi serta aplikasinya dalam menganalisa tradisi keisalaman.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Fenomenologi; Akar Dan Perkembangan Pemikiran</span><br /><br />Salah satu perubahan terbesar dalam perspektif manusia tentang dirinya sendiri berlangsung di Eropa, pada abad 13 dan 17 M. Sebab, di abad pertengahan, manusia memandang segala hal dari sudut pandang ‘ketuhanan’; kaitannya dengan Tuhan yang menciptakan, mengarahkan, mempertahankan, serta penyelamat manusia dan seluruh alam raya. Munculnya modernitas mengubah paradigma berpikir ini, bahkan peralihan tersebut –pada satu keadaan-- bersifat dekonstruktif; reformasi abad-16 yang menolak banyak klaim Gereja, serta dasar-dasar atheism yang dirumuskan oleh filsuf era itu. Hal ini yang mengantarkan peradaban Eropa menuju masa pencerahan. Titik poin yang hendak disinggung adalah, di dalam era kebangkitan terdapat satu kunci pokok modernitas: kesadaran akan ‘subyektivitas’. Subyektif di sini bukan sebagai lawan dari obyektif, melainkan dari kata subyek (aku) sebagai yang menghendaki, bertindak serta mengerti. Kiranya dapat dimaklumi tatkala Hegel berujar, manusia adalah kesadaran diri; manusia tak hanya hadir di dunia sebagai benda, melainkan sebagai subyek yang berpikir, berefleksi, serta bertindak secara kritis dan bebas. Subyektivitas adalah unsur hakiki dalam paradigma antroposentris. Dengan demikian, pada abad 15 dan 16 M, selain masa revitalisasi agama (al-Ishlâh al-Dînî) dan masa kebangkitan Eropa (‘ashr al-Nahdlah), pada saat itu pula muncul penekanan segala hal pada sudut pandang manusia; antroposentris (al-Ittijâh al-Insânî).<br /><br />Titik sentral dalam peradaban Eropa—sebagaimana dikatakan Husserl—adalah ego Cogito Cartesian. Dari ego Cartesian muncul dua aliran yang bertentangan, pertama, rasionalisme (al-Tayyâr al-‘Aqlî). Tokohnya adalah Cartesian pertama, Spinoza; kedua, empirisme (al-Tayyâr al-Tajrîbî), dengan tokohnya David Hume (w. 1776), John Stewart, serta John Locke (w. 1704). Pertentangan ini berlanjut pada perseteruan dua aliran besar filsafat Eropa; idealis (al-Mitsâlî) dan realis (al-Wâqi’î). Immanuel Kant (w. 1804) pernah berupaya menyatukan dua kecenderungan ini, namun yang terjadi justru pengunggulan idealistik atas realistik. Begitu pula Hegel. Selanjutnya ia-pun terjebak pada prioritas ide dan konsep atas materi. Imbasnya, tesisnya lebih mirip ke mitos, serta konsepsi dari pada ke realitas. Edmund Husserl (w. 1938) hadir 4 kurun setelah muculnya kesadaran Eropa pada abad ke 19, dan disebut-sebut sukses menyatukan kecenderungan idealis dan realis. Husserl berupaya membongkar filsafat Barat, dengan menghancurkan ketertutupan kesadaran. Karena “kesadaran” sesuai kodratnya mengarah ke realitas. Kemudian Husserl menciptakan pendekatan filsafat yang menganalisa “kesadaran” dan obyek-obyeknya secara sistemik dan berdasarkan pengalaman. Pendekatan ini yang kemudian dinamakan “fenomenologi”. Istilah ini terus mengalami perkembangan. Tahap-tahap perkembangan istilah fenomenologi dimulai dari Lambert (w. 1777), Hegel (w. 1831), Hamilton, Eduard von Hartmann, dan sampai pada Husserl, Max Scheler, Heidegger (w. 1976), Sartre, dan Merlau-Ponty. Secara genealogis, fenomenologi juga merupakan respon terhadap dominasi ‘rasio’ –abad 17 dan 18. Dominasi rasio terejawantahkan dalam pertimbangan segala hal, termasuk alam raya, pada sikap matematis (hisâb ‘aqlî). Sehingga pada tahap ini rasio telah menjadi “kesadaran” serta “penggerak kehidupan”.<br /><br />Fenomenologi sendiri merupakan ilmu tentang “gejala” yang menampakkan diri (phainomenon) pada “kesadaran” kita. Istilah ini diperkenalkan pertama kali oleh J.H. Lambert tahun 1764 yang mengarah pada “teori penampakan”. Namun secara garis besar, terdapat tiga pandangan yang dominan dalam fenomenologi; pertama, fenomenologi kritik (al-Finûminûlujiyâ al-Naqdiyyah) atas absolutisme. Pandangan ini dinahkodai oleh Immanuel Kant. Kant menjelaskan, bahwa fenomenologi kritik mengungkap syarat yang harus dilalui guna mendapatkan obyektivitas “subyek” demi terwujudnya rivalitas terhadap persepsi absolutisme; kedua, fenomenologi penampakan (fînûminûlujiyya al-Madzâhir) yang dinahkodai Hegel. Hegel merinci tahap-tahap yang harus dilalui –secara ontologis-- agar sampai pada pengetahuan mutlak; ketiga, fenomenologi sistematis/pendasaran (finûminûlujiyâ al-Ta’sîs), dengan tokohnya Edmund Husserl. Huseerl pada hakekatnya hanya berkosentrasi terhadap pendasaran disiplin filsafat agar menjelma menjadi ilmu yang rigorus. Dengan demikian, fenomenologi berasal dari pembedaan yang dilakukan oleh Immanuel Kant terhadap noumenal (alam sesungguhnya) dan phenomenal (alam yang terlihat), serta pengembangan dari phenomenology of spirit-nya Hegel.<br /><br />Husserl pada prakteknya hanya meninggalkan dua kaidah penting dalam fenomenologi: reduksi fenomenologis (al-Tawaqquf ‘an al-Hukm) serta konstitusi (al-Takwîn). Reduksi fenomenologis merupakan upaya peralihan pandangan dari alam real menuju “kesadaran”. Dalam arti, jika sikap natural terhadap fenomena alam “menerima apa adanya”, maka reduksi fenomenologis berarti penangguhan “kepercayaan” terhadap dunia riil. Namun sikap tersebut tidak berarti menafikan realitas, sebab reduksi fenomenologis hanya semacam upaya “netralisasi”—dalam istilah Husserl diberi tanda kurung (eingeklammert). Di sini Husserl membedakan antara reduksi fenomenologis (al-Tawaqquf ‘an al-Hukm al-Fînûminûlujî) dan reduksi eidetik (al-Tawaqquf ‘an al-Hukm al-Transindintâlî). Perbedaannya adalah, reduksi fenomenologis mengindahkan alam riil untuk sementara, guna menyibak ‘esensi’ (mâhiyyah). Sedang reduksi eidetik mementingkan esensi (eidos) tetapi dalam bentuknya yang paripurna. Reduksi fenomenologis ini yang kemudian dinamakan “sikap fenomenologis”. Adapun konstitusi (al-Takwîn) merupakan proses tampaknya fenomena terhadap “kesadaran”. Konstitusi merupakan fase kedua setelah reduksi fenomenologi; tampaknya fenomena dalam “kesadaran”, selanjutnya akan bersatu dengan “kesadaran”, dan subyeknya kemudian disebut “pelaku kesadaran”. Dengan demikian, fenomenologi berarti mengurai relasi antara subyek (al-Dzât) dan kesadaran (al-Syu’ûr).<br /><br />Fenomenologi Husserl demikian terlihat dalam buku Martin Heidegger, Being and Time, sebuah karya yang ia tulis pada tahun 1927, serta didedikasikan secara khusus pada Edmund Husserl. Heidegger menuturkan, bahwa manusia tak mungkin memiliki “kesadaran” jika tidak ada “lahan kesadaran”, suatu tempat, panorama, dunia, agar “kesadaran” dapat terjadi di dalamnya; sehingga suatu eksistensi bersifat duniawi. Atau “ada” dan dunia tak dapat dipisahkan. Eksesnya, suatu eksistensi bersifat temporal karena ia selalu terkungkung dimensi waktu. Dan “kesadaran” sendiri tak pernah berinteraksi langsung dengan realitas jika eksistensi tidak menyeruak menembus “kesadaran”. Titik akhirnya, ke-ada-an mempunyai struktur tiga lapis yang berhubungan dengan masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Jelas bahwa Heidegger hendak menyatukan antara fenomenologi dan ontologi (makna “ada”); mempertanyakan fenomena “ada”. Dalam arti, bagaimana “ada” menjadi “ada”, dan kenapa tidak menjadi “tidak ada”? Satu poin penting, pendekatan Heidegger berbeda dengan Husserl. Di sini Heidegger “meluaskan sekup” konsep Husserl terkait “keterarahan kesadaran”. Pada kenyataannya Husserl sendiri memang menyangkal bahwa Heidegger merupakan pewaris sah pemikirannya.<br /><br />Kritik yang kemudian menggema adalah dari Emmanuel Lêvinas (w. 1995), bahwa perangkat fenomenologi Husserl berhenti terlalu cepat sehingga tidak mampu menyingkap struktur realitas yang sebenarnya. Ia justru terperangkap pada kerangka obyek-subyek; obyek hanya sebagaimana digambarkan subyek. Dalam arti, obyek tidak mampu menampakkan kediriannya karena terperangkap dalam “kesadaran”. Alih-alih menemukan solusi, Husserl justru mengulangi kecacatan seluruh filsafat yang berupaya meleburkan pluralitas kedalam satu kesatuan. Alasan yang diangkat oleh Lêvinas adalah data paling dasar dari “kesadaran” kita sebenarnya tampaknya obyek dalam ke-”diri”-annya yang seolah hendak mendobrak masuk ke dunia “subyek” yang tertutup. Dari kritik terhadap Husserl, sebenarnya Lêvinas hendak mengembangkan fenomenologi Husserl melalui pijakan yang sama. Fenomenologi –ditangan Lêvinas-- bermetamorfosa menjadi seni untuk mengamati fenomena yang sejatinya “ada”, namun jarang atau bahkan tidak menjadi perhatian manusia.<br /><br />Husserl dalam perjalanannya sepakat dengan Descartes, bahwa eksistensi yang selalu hidup dalam diri manusia adalah “kesadarannya” sendiri. Sehingga, pemahaman yang kokoh atas suatu realitas adalah pemahaman yang didasarkan pada “kesadaran”. Dus, fenomenologi merupakan metode yang ditempuh guna sampai pada fenomena hakiki; tanpa tercampur pra-sangka, pra-teori, ataupun pengetahuan-pengetahuan tradisional dan bahkan agamis sekalipun. Penolakan pengalaman inderawi disisihkan terlebih dahulu sehingga sebuah fenomena akan mengungkapkan dirinya sendiri melalui “kesadaran”. Teori ini didendangkan oleh penganut fenomenologi dengan sebuah ungkapan: zu den sachen selbst (terarah kepada benda itu sendiri).<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Problematika Orisinalitas dan Modernitas; Hassan Hanafi Sebagai Sample</span><br /><br />Hassan Hanafi, pemikir yang terkenal dengan proyek Islam Kirinya, disebut-sebut sebagai pengusung fenomenologi Edmund Husserl. Fenomenologi Husserl dengan jelas terbaca pada Essai sur la method d’exeges; disertasi Hassan yang menghadapkan disiplin Ushul Fikih pada fenomenologi. Walaupun ada testimoni bahwa Hassan juga mempergunakan dialektika-materialisme, namun arah pemikiran Hassan lebih dominan pada fenomenologi. George Tharabisyi berujar bahwa Hassan Hanafi memang mendaku mempergunakan perangkat fenomenologi, sebagaimana penuturan Hassan dalam artikelnya yang bertajuk al-Tafkîr al-Dînî wa Izdiwâjiyyah al-Syakhsiyyah. Begitu pula dalam kedua bukunya fî fikrinâ al-Mu’âshir serta fi al-Fikr al-Gharbî al-Mu’âshir Hassan menegaskan statement serupa. Selain itu, proyek Hassan Tradisi dan Pembaharuan (al-Turâts wa al-Tajdîd), dalam penjelasan teoritis rekonstruksi teologi (Min al-‘Aqîdah ilâ al-Tsawrah) serta rekonstruksi Ushul Fikih (Min al-Nash ilâ al-Waqi)’ pun cukup representatif untuk mengatakan bahwa Hassan ‘tergila-gila’ dengan perangkat fenomenologi . Terkait tradisi (turâts) Islam, ia mengatakan, umat Islam tak akan menemukan solusi apapun –dalam tradisi Islam-- terhadap realitas yang sedang dihadapi. Hilangnya aspek kemanusiaan dalam turâts umat Islam berkonsekuensi hilangnya “kesadaran” akan realitas yang sedang dihadapi untuk konteks kekinian. Dengan begitu, krisis umat Islam sekarang adalah krisis menghadapi realitas, dan ironisnya, hal itu justru diimbangi dengan pembacaan terhadap tradisi secara skriptural dan imitatif. Kesamaan mencolok antara Hassan dan Husserl saat keduanya mengaplikasikan fenomenologi pada tradisi masing-masing; Husserl pada tradisi Barat dan sampai pada konklusi “rekonstruksi tradisi Barat”, sedang Hassan pada tradisi Islam untuk menyibak krisis peradaban umat Islam.<br /><br />Yang demikian itu, karena problematika yang mencuat sekarang adalah harmonisasi orisinalitas dan modernitas (al-Ashâlah wa al-Mu’âshirah). Revitalisasi agama (al-Ishlâh al-Dînî) yang berkembang –pada kenyataannya—lebih dekat ke ‘orisinalitas’, sedang era kebangkitan (‘Ashr al-Nahdlah) lebih mengarah ke modernitas. Perbincangan orisinalitas tanpa modernitas maka akan terjatuh pada “pembebekan”. Imbasnya, kecenderungan semacam ini akan mengabaikan “realitas” serta bangga dengan kegemilangan masa lampau (Fakhr bi al-Târikh al-Qadîm). Sebaliknya, modernitas yang mengabaikan orisinalitas seolah ingin membuat babakan sejarah baru (al-Judzuriyah al-Mubkirah) yang terputus dengan masa lampau. Padahal, ‘kekinian’ merupakan bentukan dari masa lampau. Dengan demikian, membincang relasi modernitas dan orisinalitas merupakan perbincangan antara relasi pemikiran dan realitas. Orisinalitas –dalam istilah Hassan Hanafi—merupakan pemikiran pada level historis (al-Fikr ‘alâ Mustawâ al-Târikh), sedang modernitas merupakan realitas pada level praksis (al-Wâqi’ ‘alâ Mustawâ al-Sulûk). Pada tataran praksis, ada asumsi memahami ‘yang orisinil’ sebagai ‘yang tak berubah’, dan tak menghalangi –secara interaktif—dengan modernitas. Bagi kalangan ini, ‘yang orisinil’ akan terus sebagaimana bentuk asal, bahkan ‘esensi’nya pun tak bisa elastis. Konsekuensinya, respon terhadap modernitas sarat dengan nuansa politis, fanatik, serta apologetik. Sebabnya adalah, seorang pemikir atau budayawan, disamping ‘mengimani’yang orisinil serta respek terhadap ‘wewangian’ modernitas, namun tidak berupaya mengharmoniskan keduanya. Dalam artian, mereka terlebih dahulu ‘beragama’ sebelum menjadi seorang budayawan atau pemikir. Kita bisa dengan mudah mencium semerbak aroma fenomenologi Husserl di sini. Hassan menolak pra-asumsi memahami ‘yang orisinil’; bahwa ‘topeng ideologi’, untuk memahami ‘yang orisinil’ harus lah dilepaskan. Dari fenomenologi Husserl kita mendapati reduksi fenomenologis; penangguhan ‘kepercayaan’ terhadap alam riil, atau semacam upaya ‘netralisasi’.<br /><br />Untuk memahami teori ini lebih mendalam mengharuskan merentet fenomena tradisi dan kondisi sosio-historis yang melingkupinya. Ia lahir pada saat peradaban Arab-Islam masih sangat kuat. Sebagai misal, dalam perkara teologis, isu“superioritas” Tuhan yang digambarkan dengan teori-teori ketuhanan, atribut (al-Shifât), dan perbuatan sangat kentara. Hal tersebut wajar saja, karena ketika itu Islam dihadapkan pada tantangan ‘dekonstruktif’ dari luar. Atau dalam disiplin ushul fiqh, universalitas teks juga masih sangat mendominasi; dalam disiplin filsafat nalar masih menjadi tonggak berpikir; dalam disiplin Tashawuf, muncul asumsi, kesementaraan (al-Fanâ’) sebagai “kunci” untuk memperoleh semua hal. Namun “laju gerbong” kereta keilmuan ini terhenti tatkala Barat mengalami puncak superioritasnya dan menjajah Arab-Islam. Dan keadaan berubah total, sejarah kini memasuki babakan baru, yaitu kemunduran dan stagnasi disiplin keilmuan Islam. Tatkala pembentukan keilmuan Islam disesuaikan dengan superioritas Islam, isu-isu yang berkembang adalah isu “kemenangan”. Kemenangan tersebut –ketika itu-- adalah “realitas”. Dan kini realitas tersebut telah tergantikan melalui pergeseran “kedudukan”; inferioritas Islam. Dengan demikian, warisan klasik jika ditransformasikan –secara paripurna-- untuk konteks sekarang merupakan tindakan semena-mena. Dan apabila dipaksakan, relasi realitas sekarang dan warisan masa lampau ibarat jiwa yang berada di suatu tempat, dan badan di tempat yang lain. Hal itu menimbang, tradisi merupakan satu dari tiga unsur yang melingkupi peradaban Arab-Islam; pertama, warisan masa lampau (al-Mawrûts al-Qadîm); kedua, ‘pihak lain’ yang selaras modernitas (al-Wâfid al-Hadîs); ketiga, realitas (al-Wâqi’). Menghendaki kemajuan Arab-Islam, maka harus memperhatikan pula ketiga aspek ini<br /><br />Sebagai misal, background sekte Mu’tazilah dengan lima prinsip pokoknya (al-Ushûl al-Khamsah) perlu dipandang secara kontekstual. Keadilan (al-‘Adl) sebagai kritik atas Jabariah; ke-esa-an (Tawhîd) merupakan kritikan atas filsafat Yahudi dan Nashrani; janji dan ancaman (al-Wa’d wa al-Waîd) sebagai kritik atas pandangan sekte Murjiah; perintah melakukan kebaikan dan larangan melaksanakan keburukan (al-Amr bi al-Ma’rûf wa al-Nahy ‘an al-Munkar) sebagai kritik atas Syi’ah Imamiah di satu sisi, serta Murjiah di sisi yang lain; kedudukan di antara dua tempat (al-Manzilah baina al-Manzilatain) sebagai kritik atas Murjiah di satu sisi, serta Khawarij di sisi yang lain. Artinya adalah, gagasan yang berkembang ketika itu –dalam konteks ini Mu’tazilah, misalnya, tidak terlepas dari background historisnya. “Realitas” pada masa itu mengharuskan diimbangi dengan gagasan teosentris, berpusat pada Tuhan. Melalui perspektif fenomenologis, tradisi Islam muncul ‘untuk mengawal’ realitas historisnya. Kungkungan realitas tersebut dengan sendirinya akan membatasi esensi, konstruksi, metodologi, serta bahasanya. Dalam arti, realitas historis dari tradisi itulah yang menjadikannya relatif. Karena tradisi sendiri merupakan “pengolahan” terhadap teks yang didasarkan pada realitas; interpretasi yang bersifat temporal. Yang demikian itu karena relasi teks dan realitas merupakan relasi ‘yang tunggal’ terhadap plural (‘alâqâh al-Wahdah bi al-Ta’addud)<br /><br />Fenomena-fenomena pemikiran masa lampau yang muncul dari interpretasi terhadap teks dianalisa ulang melalui dua langkah; pertama, meruntut kembali munculnya fenomena interpretatif –antitesa ‘peradaban ideal’ Muhammad Arkoun-- sebagai konstitusi (al-Takwîn) yang menjelaskan kemunculan suatu gagasan dan perkembangannya; kedua, merujuk --untuk yang kedua kali-- sebuah fenomena terhadap teks dasar sebagai ‘pemudaran’ keterpengaruhan lingkungan atau peradaban lain agar sesuai dengan konteks kekinian. Dalam istilah Hassan Hanafi, langkah ini dinamakan Tahlîl al-Khubrât. Karena bagaimanapun, tradisi adalah sesuatu yang ditransformasikan kepada kita, kemudian ia dipahamkan, sekaligus menjadi tuntutan kehidupan kita. Pada tahap transformasi, tradisi memberikan “kesadaran historis”; pada tingkat pemahaman, tradisi bermetamorfosa menjadi “kesadaran eidetis”; sedang pada tataran tuntutan kehidupan, tradisi menjadi “kesadaran praksis”. Meruntut fenomena masa lampau sebagai sebuah interpretasi terhadap ‘teks’ mengharuskan pula merombak tatanan disiplin keilmuan Islam. Dengan demikian, ashâlah di sini berperan menyibak realitas sesungguhnya, karena pada dasarnya ashâlah bukanlah tujuan utama, melainkan hanya perantara.<br /><br />Dalam tataran aplikatif, disiplin keilmuan Islam yang berdimensi teosentris diarahkan menuju antroposentrisme pemaknaan. Ia dicari akar “kesadarannya” melalui perbandingan dengan aspek kemanusiaan. Misalnya saja, pembahasan tentang entitas (dzât), atribut (al-Shifât) serta perbuatan (af’âl) diarahkan menuju pemaknaan manusia sempurna (al-Insân al-Kâmil). Oleh karena itu, dalam buku Min al-‘Aqîdah ilâ al-Tsawrah, Hassan memfokuskan pada pembahasan; dzât al-Insân, shifât al-Insân, fi’l al-Insân, ‘aql al-Insân, dan seterusnya; serta pada pemaknaan manusia sempurna (al-insân al-kâmil); mendedah aspek keadilan (al-‘Adl) yang merombak ideologi keberagamaan kaum Sunni dan menjadikan nalar Mu’tazilah sebagai alternatif karena mengarah pada kebebasan berkehendak, dan seterusnya. Dalam filsafat, mantiq ditransformasikan menjadi logika kesadaran (al-Mantiq al-Syu’ûrî), berdasar premis, dalam filsafat, ada tiga wacana yang menggema; logika (al-Mantiq), ketuhanan (al-Ilâhiyyât), alam (al-Thabî’iyyat). Sedang naturalisme –dalam perspektif sarjana klasik—adalah naturalisme rasional, dan sekarang bermetamorfosa menjadi naturalisme matematis. Adapun ketuhanan harus dipahami secara integral dengan alam, guna melekatkan kesadaran integralitas alam dengan Tuhan dalam benak manusia. Sehingga akan muncul wacana, melestarikan alam atas nama Tuhan. Jika pada kalam dan filsafat, “nash” menghasilkan makna dan teori serta konseptualisasi universal, maka dalam disiplin ushul fiqh, “nash”ditelorkan menjadi metode-rasional-realistis (Manhaj ‘Aqliy Wâqi’î). Problem yang mencuat dalam rekonstruksi Ushul adalah pada bagaimana mentransformasikan ushul fiqh yang istidlâlî-istinbâthî-mantiqî menuju falsafî-insânî-sulûkî. Atau transformasi kesadaran teoritis (al-Wa’y al-Nadzarî) menuju kesadaran praksis (al-Wa’y al-‘Amalî). Hal ini akan menjadikan pelaksanaan tendensi wahyu tertransformasikan menuju hamba; tindakan Tuhan akan terwujud dalam tindakan manusia. Sejalan dengan hal ini, maka Ushul Fiqh merupakan ilmu tanzîl: ilmu pengetahuan yang menginferensikan ketentuan-ketentuan yuridis yang berorientasi pada Allah (teosentris), menuju manusia (antroposentris).<br /><br />Dus, garis akhir dari proyek Hassan Hanafi ini adalah pada unifikasi ilmu yang berpusat pada wahyu untuk menghadapi realitas kekinian. Karena, pada akhirnya, wahyu ditransformasikan pada satu teori, atau metodologi. Hassan Hanafi mendasarkan alasannya pada proses dialektis antar disiplin ilmu; teologi mengkritik filsafat, begitu pula ia ‘mengganyang’ tasawuf dalam teori pantheistik serta zuhud. Relasinya dengan ushul fikih dan fikih, terkadang teologi mencakup beberapa pembahasan fikih serta ushulnya, ataupun permasalahan bahasa, analogi dan ijtihad. Dalam ranah filsafat yang berelasi dengan teologi, kritik untuk ilmu kalam digalakkan karena di dalamnya masih saja sarat nuansa taklid. Berdiri di atas teks, bukan rasio. Bahkan pada satu keadaan filsafat mengarah ke tasawuf, yang terejawantahkan dalam filsafat iluminasi al-Farabi serta Ibnu Sina. Hal serupa terjadi dalam ranah tasawuf terkait kritiknya terhadap filsafat dan teologi. Bahwa Tuhan bukan lah sebagaimana dikonsep oleh teolog dan filsuf, namun harus melalui kontemplasi. Kita pun bisa menjumpai relasi ushul fikih dan tasawuf dalam perumusan ‘tindakan’ yang mampu menjadi acuan secara universal, serta dengan filsafat dalam beberapa pembahasan logika. Semuanya ini berpusat pada, jika relasi antar disiplin ilmu ditemukan, maka unifikasi disiplin keilmuan akan sangat memungkinkan. Kongkretnya, seringkali dijumpai seorang filsuf sekaligus teolog, bahkan sekaligus Juris atau sufi. Seperti dalam sosok Abu Hamid al-Ghazali, Ibnu Taimiah, dsb.<br /><br />Dalam kacamata fenomenologi, realitas tersebut terejawantahkan dalam dimensi kemanusiaan (antroposentris). Jika semua disiplin keilmuan berpusat pada wahyu, serta diunifikasi ke arah antroposentrisme pemaknaan, seterusnya hal itu akan menjadi “kesadaran” –dalam istilah Hassan Hanafi, antroposentrisme pemaknaan itu akan menjadi ideologi dalam “kesadaran” manusia. Sadar bahwa yang sedang dihadapi sekarang adalah kemunduran peradaban; kesadaran sebagai sebuah ideologi yang berelasi secara langsung dengan realitas. Karena “kesadaran individual” itu akan menjelma menjadi “kesadaran sosial” (min al-Wa’y al-Fardî ila wa’y al-Ijtimâ’i). Dan dari dunia “kesadaran” akan menjelma menjadi “dunia realitas”. Realitas yang sedang dihadapi sekarang adalah problematika tanah Palestina, krisis demokrasi dalam setiap Negara karena dominasi penguasa, keadilan sosial, serta problem persatuan umat, dan seterusnya.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Epilog</span><br /><br />Tentunya tulisan ini hanya usaha kecil penulis untuk menyibak aplikasi fenomenologi dalam menyorot peradaban Arab-Islam. Tapi itu tak penting. Yang terpenting adalah bagaimana umat Islam memahami realitas yang melingkupinya sekarang; inferioritas serta dominasi Barat dalam segala lini. Kapankah “kesadaran individual” menjelma menjadi “kesadaran sosial”?<br /><br /><br /><span style="font-weight:bold;">Footnote:</span><br />1. Istilah ego (al-Anâ) merujuk pada umat Islam, dan the other (al-Akhâr) pada Barat. Penamaan tersebut karena terdapat dialektika akut antara Barat dan Islam; yang pertama menghendaki peradabannya menahkodai peradaban seluruhnya, dan kedua terus menerus berupaya menemukan identitas ke’diri’annya. Transliterasi al-Anâ dengan “ego” dan al-akhâr dengan “the other” penulis ambil dari terjemahan Muqaddimah fî ‘Ilm al-Istighrâb yang bertajuk; Oksidentalisme; Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat, Jakarta: Penerbit Paramadina, Cet. I, 2000.<br />2. Adonis, misalnya, mengatakan bahwa identitas seharusnya tidak merujuk ke belakang (al-mâdli), sebagaimana dakwaan kaum fundamental selama ini; sebuah persepsi bahwa identitas Islam adalah sebagaimana keberagamaan tiga generasi pertama Islam. Namun ‘identitas’ meniscayakan memandang ‘ke depan’. Lihat Adonis, al-Tsâbit wa al-Mutahawwil; Bahts fi al-Ibdâ' wa al-Ittibâ' indâ al-'Arab, Beirut: Dar al-Saqi, Vol. I, Cet II, 2002.<br />3. Lihat selengkapnya dalam Adonis, Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam, Jogjakarta: LKiS, Vol. II, 2007, pada pengantar penerjemah.<br />4. Hassan Hanafi, al-Turâts wa al-Tajdîd; Mawqifunâ min al-Turâts al-Qadîm, Beirut: al-Muassasah al-Jami’iyyah li al-Dirasat wa al-Nasyr wa al-Tawzi’, cet. V, 2002, hlm. 13-21<br />5. Adonis, Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam, Op. Cit., pada pengantar penerjemah.<br />6. Franz Magnis Suseno, Menalar Tuhan, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006, hlm. 50<br />7. Ibid.,<br />8. Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyyah, Kairo: Maktabah al-Anglo al-Mishriyyah, tt, hlm. 275<br />9. Bryan Magee, The Story of Philosophy, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2008, hlm. 210<br />10. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005, hlm. 234 dan 235<br />11. Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyyah, Op.Cit.,hlm. 277<br />12. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Op.Cit., hlm. 234 dan 235.<br />13. Dikutip dari makalah Muhammad Syauqi Zain yang bertajuk; al-Finûminûlujiyâ wa Fann al-Ta’wîl.<br />14. Lihat Lorens Bagus dalam Kamus Filsafat, Op.Cit., hlm. 236, dan keterangan lebih mendalam dapat dibaca pada Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyyah, Op.Cit., hlm. 307<br />15. Bryan Magee, The Story of Philosophy, Op.Cit., hlm. 209 dan 212<br />16. F. Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian: Suatu Pengantar Menuju Sein und Zeit, peny. Christina M. Udiani, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, Cet. I, 2003, hlm. 28<br />17. Franz Magnis Suseno, 12 Tokoh Etika Abad 20, hlm. 89-90<br />18. Bryan Magee, The Story of Philosophy, Op.Cit.,hlm. 210<br />19. George Tharabisyi, al-Mutsaqqafûn al-‘Arab wa al-Turâts; al-Tahlîl al-Nafsî li ‘Ashâbin Jama’î, London: , Riyad ar Risy li al Kutub wa an Nasr, Cet. I, 1991, hlm.106.<br />20. Yang dimaksud dengan tradisi menurut Hassan adalah pembahasan tentang dimensi kemanusiaan (antroposentris) dalam tradisi Sunni. Karena dalam tumpukan turâts Mu’tazilah, misalnya, ada pembahasan tentang kebebasan manusia atas dirinya sendiri (hurriyah), baik dan buruk, serta ideologi serta perbuatan. Dengan demikian, umat Islam di sini dipandang sebagai “manusia” (al-Insân min haistu huwa al-insân), bukan sebagai “umat” atau “imam”.<br />21. Lihat pada Hassan Hanafi, Li Madzâ Ghâba Mabhats al-Insân fî Turâtsinâ al-Qadîm, pada Dirâsât Islâmiyyah, Op.Cit., hlm. 394<br />22. Yang perlu menjadi catatan penting, yang dimaksud peradaban dalam istilah Hassan Hanafi adalah segala hal yang bersumber pada agama. Begitu pula jika ada terma tradisi, maka pemaknaannya akan berkisar pada segala hal yang bermuara pada agama/wahyu. Lihat Rifa’at Salam, Bahtsan ‘an al-Turâts al-‘Arâbi; Nadzrah Naqdiyah Manhajiyyah, Kairo: al-Haiah al-‘Amah al-Mishriyah, 2006, hlm. 79-81.<br />23. Hassan Hanafi, Fî Fikrinâ al-Mu’âshir, Beirut: Dar al-Tanwir, 1981, hlm. 49 dan 50<br />24. Ibid., hlm. 51.<br />25. Hassan Hanafi, Humûm al-Fikr wa al-Wathan; al-Fikr al-‘Arabi al-Mu’âshir, Kairo: Dar al-Quba’ Li al-Thiba’ah wa al-Nasyr wa al-Tawzi’, Juz II, 2003, hlm. 126<br />26. Hassan Hanafi, Humûm al-Fikr, Op.Cit, hlm. 91<br />27. Lihat Ibnu al-Murtadla, Thabaqat al-Mu'tazilah, Beirut : Lebanon, cet II, 1987. Bandingkan dengan Ahmad Syauqi Ibrahim, al-Mu'tazilah fi Baghdad wa Atsaruhum fi al-Hayât al-Fikriyah wa al-Siyâsah, Kairo: Madbouli, Cet I, 2000, hlm. 18. Bandingkan juga dengan pengantar M. Imarah pada Rasâil al-'adl wa al-tawhîd oleh Hasan Bashri al-Qadli Abduljabbar al-Qasim al-Rassy al-Syarif al-Murtadla dan al-Imam Yahya bin Husein, Tahqiq; M. 'Imarah, Kairo: Dar al-Syourouq, cet II, 1988, hlm. 16<br />28. Hassan Hanafi, al-Turâts wa al-Tajdîd, Mawqifunâ min al-Turâts al-Qadîm, Op. Cit., hlm. 139<br />29. Ibid.<br />30. Hassan Hanafi, Fî Fikrinâ al-Mu’âshir, Op. Cit., hlm. 180<br />31. Oleh karena itu Hassan Hanafi dalam proyek besarnya al-Turâts wa al-Tajdîd merekonstruksi disiplin keilmuan Islam, yang ia bahasakan “penjelasan teoritis”. Al-Turats wa al-Tajdîd merupakan proyek besar Hassan yang memuat tiga agenda yang masing-masing mempunyai penjelasan teoritis; Mawqifunâ min al-Turâts al-Qadîm (sikap kita terhadap tradisi lama), Mawqifunâ min al-Turats al-Gharbî (sikap kita terhadap tradisi Barat), dan Mawqifunâ min al-Wâqi’(sikap kita terhadap realita), atau yang lebih dikenal teori interpretasi (Nadzariyyah al-Tafsîr). Agenda pertama memuat tujuh penjelasan teoritis; 1). Min al-‘Aqîdah ilâ al-Tsawrah; Muhâwalah lî I’âdah binâ’ ‘Ilm Uû al-Din (Dari Teologi ke Revolusi; Upaya Rekonstruksi Ilmu Ushul al-Din); 2) Min al-Naql ilâ al-Ibdâ’; Muhâwalah lî ‘I’âdah binâ’ Ulûm al-Hikmah (Dari Transferensi ke Inovasi; Upaya Rekonstruksi Ilmu Hikmah); 3) Min al-Fanâ’ ilâ al-Baqâ’; Muhâwalah lî I’âdah binâ ‘Ulûm al-Tashawwuf (Dari Kesementaraan Menuju Keabadian; Upaya Rekonstruksi Tashawuf); 4) Min al-Nash ilâ al-Wâqi’; Muhâwalah lî I’âdah binâ Ushûl al-Fiqh (Dari Teks Menuju Realita; Upaya Rekonstruksi Ushul Fiqh); 5) Min al-Naql ilâ al-‘Aql; Muhâwalah lî I’âdah binâ’ al-‘Ulûm al-‘Aqliyyah (Dari Teks ke Akal; Upaya Rekonstruksi Ilmu Tekstual); 6) al-‘Aql wa al-Thabî’ah; Muhâwalah lî I’âdah binâ’ al-‘Ulûm al-‘Aqliyyah (Akal dan Alam; Upaya Rekonstruksi Ilmu Rasional); 7) al-Insân wa al-Târikh; Muhâwalah lî I’âdah binâ al-‘Ulûm al-Insâniyyah (Manusia dan Sejarah; Upaya Rekonstruksi Ilmu Kemanusiaan). Lihat pada Hassan Hanafi, Muqaddimah fi ‘Ilm al-Istighrâb, Kairo: Dar al-Fanniyah li al-Nasyr wa al-Tawzi’, 1991, hlm. 9-11. Atau lihat pada Hassan Hanafi, Oksidentalisme; Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat, Jakarta: Penerbit Paramadina, cet. I, 2000, hlm. 1-4. Untuk penjelasan masing-masing dapat ditilik pada Hassan Hanafi, al-Turâts wa al-Tajdîd; Mawqifunâ min al-Turâts al-Qadîm, Op.Cit., hlm. 176-186<br />32. Lihat Hassan Hanafi, Min al-Aqîdah ilâ al-Tsawrah, Beirut: Dar al-Tanwir li al-Thiba’ah wa al-Nasyr, cet. I, 1988. Bandingkan dengan al-Turâts wa al-Tajdîd; Mawqifunâ min al-Turâts al-Qadîm, Op. Cit., hlm. 134<br />33. Hassan Hanafi, Humûm al-Fikr wa al-Wathan; al-Turâts wa al-‘Ashr wa al-Haddâtsah, Kairo: Dar al-Quba’ li al-Nasyr wa al-Tawzi’, Juz I, 2003, hlm. 104<br />34. Hassan Hanafi, Min al-Nash ilâ al-Wâqi’, Kairo: Markaz al-Kitab li al-Nasyr, cet. I, 2005, juz II, hlm. 585<br />35. Hassan Hanafi, al-Turâts wa al-Tajdîd; Mawqifunâ min al-Turâts al-Qadîm, Op. Cit., hlm. 173<br />36. Hassan Hanafi, Humûm al-Fikr wa al-Wathan; Al-Fikr al-‘Arâbi al-Mu’âshir, Op. Cit. hlm. 63-66 </span></div>Ahmad Hadidul Fahmihttp://www.blogger.com/profile/01841733022516134434noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3803797330041316914.post-49109173222627629942010-12-11T15:29:00.001-08:002012-03-10T15:58:59.274-08:00Filsafat Sejarah Menurut Ibnu KhaldunOleh Ahmad Hadidul Fahmi<br /><br /><div align="justify">Nama Ibnu Khaldun tak akan terlewatkan jika membincang filsafat sejarah. Terucap dari satu lisan pemikir kontemporer, tiada seorang pemikir atau sejarawan Arab, yang lebih banyak dibincang dari Ibnu Khaldun. Statement tersebut mungkin tak berlebihan, jika melihat murid al-Ghazali ini –oleh kebanyakan pemikir-- didaku peletak pertama teori filsafat sejarah. Terbukti, istilah ini baru muncul di Eropa pada abad ke-18. Namun begitu, menurut Robert Flint --dosen Universitas Edinburgh-- dalam philosophy of history in France and Germany, embrio filsafat sejarah telah terlihat pada tiga buku penting filsafat Yunani; pertama, republic (al-jumhuriyyah) karangan Plato; kedua, politics (al-siyâsah) buah karya Aristoteles; ketiga, city of god (madînatullah) karya St Augustin. Thaha Husein mengungkapkan, Ibnu Khaldun –sebagaimana banyak disebut kebanyakan pemikir, seperti Ferroro dan Gamplowiez-- bukanlah peletak ilmu sosiologi. Namun hanya pengusung rasionalitas untuk menganalisa fenomena sosial. Sikap tersebut selanjutnya diaplikasikan dalam menginterpretasi sejarah.<span class="fullpost"> <br /><br />Lazim dalam menyibak pemikiran tokoh, hal yang dituliskan awal mula dalam falsafah al-târîkh ‘indâ Ibn Khaldun buah karya Zainab Mahmud al-Khudlairi adalah biografi Ibnu Khaldun sendiri. Keturunan Wail bin Hujr ini –shahabat masyhur yang pernah secara langsung didoakan oleh Nabi-- hidup pada saat babakan sejarah hendak memasuki masa kebangkitan (‘ahsr al-nahdlah), tepatnya abad ke-4 H. Ia dilahirkan di Tunisia, tahun 732 H, dan wafat tahun 808 H. Muqaddimah merupakatan magnum opuse Ibnu Khaldun. Dari kajian terhadap buku ini, muncul pandangan, bahwa Ibnu Khaldun merupakan penggagas filsafat sejarah. Belakangan ini Ibnu Khaldun dikatakan inkonsisten, sebab, bukunya bertajuk al-‘ibar fî dîwân al-mubtada’ al-khabar ternyata tidak mempergunakan metode yang ia tuliskan dalam muqaddimahnya. <br /><br />Selanjutnya Zainab mendeskripsikan gagasan Ibnu Khaldun seputar filsafat sejarah. Menurut pembacaannya, filsafat sejarah merupakan pandangan rasional terhadap peristiwa-peristiwa masa lampau, atau sebuah upaya untuk mengetahui ‘faktor penentu’ yang berperan dalam menganalisa sejarah. Selanjutnya, faktor tersebut dijadikan ‘neraca umum’ dalam membaca sejarah. Para pemikir sendiri berbeda mengenai ‘penggerak’ perjalanan sejarah. Sebagian menyebut, bahwa Tuhan adalah pengatur laju sejarah. Sebagian lagi melihat bahwa manusia dan segala hal yang melingkupinya yang berperan dalam membentuk sejarah. Filsafat sejarah mengarah pada pandangan bahwa peristiwa sejarah “ada” didasarkan pada sebab-sebab, atau aturan-aturan tertentu. Oleh karena itu, Ibnu Khaldun membedakan antara “sejarah” dan “analisa sejarah”. Sejarah hanya rentetan dari kejadian masa lampau. Sedang analisa sejarah berperan menganalisa sebab kejadian tersebut. Analisa sejarah ini yang kemudian disebut sebagai “filsafat sejarah”. <br /><br />Pandangan terhadap fenomena alam terklasifikasi menjadi dua; pertama, asumsi bahwa fenomena alam dalam laju sejarah tidak mengalami perkembangan; stagnan. Pandangan ini diimani oleh penganut filsafat metafisik. Bahwa fenomena-fenomena alam tidak terkait satu dengan yang lain; kedua, asumsi yang mengatakan bahwa laju sejarah terus berkembang (tathawwur dâim). Pandangan ini merupakan pandangan dialektis terhadap sejarah. Kemajuan peradaban yang akhirnya memfalsifikasi pandangan metafisik terhadap fenomena alam, terjadi tepatnya abad ke-19, tatkala Darwin muncul dengan teori evolusinya. Namun begitu, Sathi’ al-Hashri melihat, Ibnu Khaldun telah memaparkan fakta tersebut 5 abad sebelum Darwin. Tesis Sathi’ al-Hashri ini didasarkan pada kesalahan cetak (atau penghapusan?) yang dilakukan oleh penerbit-penerbit Timur Tengah. Mereka mengganti kata “qirdah” menjadi “qudrah”, sehingga secara tidak langsung mempengaruhi perspektif masyarakat tentang Ibn Khaldun. Jelas, dalam konteks perbincangan Ibnu Khaldun tentang “qirdah” (kera), pandangannya telah terlebih dahulu mendahului teori Darwin. Baginya, kera adalah spesies yang menghubungkan antara hewan dan manusia. Statement ini tertulis jelas dalam Muqaddimah Ibn Khaldun cetakan ‘Ali Abdul Wahid Wafi, volume II. Namun, Mahmud Isma’il dalam kajiannya terhadap Ibn Khaldun berpendapat, semua tesis Ibnu Khaldun tentang filsafat sejarah sejatinya dikutip dari Rasâil Ikhwân al-Shafâ.<br /><br />Teori evolusi ini selanjutnya diaplikasikan oleh Ibnu Khaldun dalam menganalisa fenomena sosial dalam laju sejarah. Karena, menurutnya, evolusi dalam fenomena sosial lebih kentara dari aplikasi teori ini dalam fenomena alam. Pandangan evolutif kemudian berkembang menjadi analisa dialektis terhadap sejarah; bahwa terdapat keterpengaruhan antara peradaban baru dan peradaban lama, atau terdapat keterpengaruhan satu peradaban dengan yang lain. Bukti konkretnya adalah, satu peradaban baru tak akan terlepas dari peninggalan dan unsur peradaban sebelumnya, serta membentuknya menjadi sebuah peradaban baru. Di sisi lain, proses evolusi tersebut membutuhkan ‘faktor penunjang’ yang menjadikan berpindah dari satu keadaan/peradaban pada keadaan/peradaban lain. Ekonomi merupakan faktor yang paling banyak dituliskan Ibnu Khaldun. Ia membedakan antara perabadan kota dan desa yang didasarkan pada mata pencaharian masyaraktnya. Tesis ini, sekaligus mengisyaratkan bahwa Ibnu Khaldun telah mendahului Karl Marx menyangkut doktrin ‘materialisme-historis’. Nampaknya asumsi ini tak berlebihan, jika kita menilik ungkapan senada dari Muhammad Abid al-Jabiri, pemikir Islam garda depan, tatkala ia berkutat dengan karya Yves Lacoste terkait kajiannya terhadap Ibnu Khaldun. <br /><br />Satu poin penting yang nampaknya tak boleh tertinggal dari buku ini adalah sebab-sebab kesilapan dalam penulisan sejarah. Diantara sebab tersebut, tutur Zainab Mahmud al-Khudlairi, meyakini doktrin sekte tertentu sebagai kebenaran sejati, atau karena faktor psikologis. Konsekuensinya, analisa obyektif terhadap suatu data telah dikalahkan oleh data-data kontras yang telah terlebih dahulu ‘bertengger’ dan diimani dalam benak sejarawan. Sebab yang lain, label baik atau buruk terhadap pembawa data (al-râwi) didasarkan pada perspektif sejarawan pribadi (subyektif). Dalam ilmu hadis, metode ini dinamakan al-jarh wa al-ta’dîl. Dengan demikian, jelas, bahwa Ibnu Khaldun hendak mengaplikasikan metode dalam musthalah hadis pada data-data sejarah. Namun satu hal yang tampaknya perlu digaris bawahi, aplikasi metode ini setelah terlebih dahulu menguji suatu data mustahil atau tidak.<br /><br />Penulisan sejarah mempergunakan metode ini akan memandang sejarah secara obyektif, tanpa tercampur fanatisme sektarianistik, atau tendensi tertentu. Zainab mengajari kita, bahwa kita perlu melihat sejarah dengan menempatkan diri bukan bagian dari ‘pelaku sejarah’. Kekhawatiran tersebut muncul tatkala kita mengamati fenomena penulisan sejarah Arab-Islam yang sarat dengan tendensi politik; dipergunakan untuk mengukuhkan posisi golongannya. Perpecahan antar sekte yang timbul sekarang salah satunya karena ‘korban sejarah’.<br /> <br />Judul: Falsafah al-Târîkh ‘indâ Ibn khaldûn<br />Pengarang: Zainab Mahmud al-Khudlairi<br />Penerbit: Dar al-Farabi<br />Kota Terbit: Beirut<br />Tahun Terbit: 2006<br />Tebal Buku: 215 Halaman<br />Resentator: Ahmad Hadidul Fahmi </span></div>Ahmad Hadidul Fahmihttp://www.blogger.com/profile/01841733022516134434noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3803797330041316914.post-68999051996627124062010-12-09T19:03:00.001-08:002012-03-10T15:59:46.162-08:00Menelisik Ruang Episteme Tasawuf Sunni NusantaraOleh Ahmad Hadidul Fahmi<br /><br /><div align="justify">Diskursus tasawuf telah menarik perhatian antropolog, sejarawan serta peminat kajian komparasi agama, sosiolog, bahkan psikolog semenjak abad-19. Antropolog dan sosiolog memandang tasawuf sebagai fenomena sosial (dzâhirah ijtimâ’iyyah); analisa yang dominan pada aspek material belaka. Sosiolog berasumsi para sufi--dengan berbagai terminologi yang mengitarinya--mengidap penyakit patologis. Begitu pula filsuf menafsirkan tasawuf sebagai fenomena yang bisa merasionalkan sebuah eksistensi secara intuitif. Bagi sarjana Islam klasik, tasawuf justru tawaran dan batu loncatan pengembaraan intelektual mereka. Ibnu Sina (w. 427 H), filsuf sekaligus dokter terkemuka; al-Ghazali (w. 505 H) dan gurunya, Imam al-Haramain (w. 478 H), juris sekaligus teolog Asyari; Ibnu Khaldun (w. 406 M), sejarawan dan perumus sosiologi—semua pada akhirnya menjadikan tasawuf sebagai titik akhir pengembaraan intelektual. Titik akhir pengembaraan ini bukanlah sebagai titik akhir kreativitas, bukan pula mengarahkan pada totalitas hamba dalam berinteraksi dengan Tuhannya sembari menafikan hal-hal selainNya. Mungkin asumsi ini yang membuat tokoh semisal Hassan Hanafi tak sepakat dengan cara keberislaman kaum sufi yang cenderung stagnan dan pasif. Tapi jika boleh jujur, tesis Hassan tak sepenuhnya tepat. Sebab, tokoh-tokoh sufi—dalam perjalanan sejarahnya--justru mempunyai andil yang cukup besar bagi kemajuan peradaban, baik itu yang berinklinasi tasawuf sunni, falsafi, atau bahkan tarekat sekalipun.<span class="fullpost"> <br /><br />Di Indonesia, tasawuf juga berperan dalam proses pribumisasi Islam. Suksesnya Islam di Indonesia diantaranya berkat jasa-jasa kaum sufi. Oleh karena itu, tasawuf dengan semua inklinasinya bisa dijumpai di Nusantara: dari falsafi sampai tarekat bahkan salafi sekalipun. Ketiganya ini jelas mempunyai andil masing-masing bagi keberlangsungan Islam di Nusantara. Akan tetapi saya hendak meneropong proses Islamisasi yang dilakukan oleh sufi dengan orientasi Sunni-nya saja, bukan falsafi. Walaupun penulis sendiri mengetahui, bahwa tasawuf falsafi mempunyai capaian signifikan dalam pribumisasi Islam, seperti nama Syeikh Siti Jenar ataupun Ronggo Warsito, penganut konsep panteisme yang terkenal itu. Pengerucutan tema ini melalui beberapa pertimbangan; pertama, tasawuf Sunni oleh beberapa kalangan dinilai mengandung sikap ketidakberdayaan (khumûl); kedua, ketika dibenturkan dengan fakta bahwa Indonesia sekarang masih terbelakang, konsep-konsep tasawuf Sunni—paling tidak—turut membentuk watak regresif masyarakat Nusantara; ketiga, tawaran reinterpretasi konsep tasawuf Sunni yang akan disesuaikan dengan konteks Nusantara.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Tasawuf Dan Umat Islam di Indonesia</span><br />Apabila merujuk pada sejarawan Perancis, B Bousquet, profil muslim Indonesia—berdasarkan cara pakaiannya--seakan mempunyai “lubang-lubang kecil” yang menyiratkan agama asli penduduk Indonesia: animisme. Hal itu bisa dimaklumi, karena umat Islam di Indonesia pada hakikatnya tak bisa dilepaskan secara mutlak dari agama pendahulu, bahkan setelah Undang Undang Dasar membatasi eksistensi agama terbatas pada lima agama sekalipun. Hal ini merupakan titik pijak awal bahwa aroma mistisisme masih demikian kental di masyarakat Indonesia, sekaligus mengindikasikan potensi harmonisasi tasawuf yang kental mistisisme dan kepercayaan asli Indonesia.<br /><br />Jika Islam pada hakikatnya adalah agama inklusif dan tidak mempersoalkan perbedaan etnis, ras, bahasa serta letak geografis, tasawuf membuka wawasan lebih luas bagi keterbukaan yang meliputi agama-agama lain. Intensitas para sufi ketika terjun ke dalam hal-hal praksis (‘amalî) yang menjadikan mereka bisa harmonis dengan penduduk setempat. Menurut Snouck Hurgronje, walaupun tasawuf berperan nyata dalam proses Islamisasi di Indonesia, akan tetapi ajaran-ajarannya lebih berorientasi ke praktik bid’ah, mistik, serta khurafat. Oleh karena itu, tasawuf, baginya, dihormati masyarakat Indonesia karena bekas-bekas Hinduisme masih melekat pada mereka, sekaligus menjadi faktor dominan bagi keberhasilan proses Islamisasi yang dilakukan kaum sufi. Pandangan serupa juga dikemukakan oleh Supardi, penulis Indonesia, yang mempunyai tesis bahwa proses Islamisasi di Indonesia berkat jasa-jasa pedagang Arab dan India yang menerima ajaran yang sarat mistisisme, sebagai upaya penyesuaian ajaran-ajaran Islam dengan kepercayaan Hindu-Budha di Jawa (sinkretis). Lebih jauh, studi Dr. Hadi Wiyono telah berhasil mencari titik temu antara ideologi Islam versi kaum sufi dan kepercayaan Hindu-Buda yang sudah mengakar di Indonesia sebelum datangnya Islam.<br /><br />Tesis di atas—jika merujuk pada data-data yang dituliskan Alwi Shihab--sebenarnya didasarkan pada pemikiran pemikir Indonesia yang hidup pada abad ke 19 M. Sebut saja pemikiran Hamzah al-Fansuri dan Syams al-Din al-Sumatrani yang dianggap cukup merepresentasikan metodologi kaum sufi dalam proses Islamisasi di Indonesia; menawarkan Islam pada masyarakat dengan memberikan kesan bahwa Islam tidak berbeda dengan kepercayaan mereka sebelumnya. Bahkan pemikiran Hamzah Fansuri dan Syams al-Din al-Sumatrani telah dikenal sebelumnya di kalangan Hindu dengan nama “Niskala”, dan Budha dengan “Dharmakaya”. Apabila kita mengetahui bahwa pemikiran Hamzah Fansuri dan Syams al-Din al-Sumatrani berinklinasi panteistik (wahdat al-wujûd), apakah benar paham tersebut yang berjasa besar dalam “membumikan” Islam di Indonesia?<br /><br />Sebelum menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita kembali melihat secara ringkas perjalanan panjang polemik tasawuf Sunni dan falsafi. Abad ke 3 H merupakan titik awal bermulanya pusaran panas ini. Pada abad ini muncul tokoh besar tasawuf, al-Husein Ibn Mansour al-Hallaj, yang dihukum mati akibat konsep al-hulûlnya. Selepas periode ini, Abu Hamid al-Ghazali dengan gigihnya menumbangkan segala bentuk kecenderungan tasawuf yang dianggap menyimpang. Kritik-kritiknya yang tajam terhadap filsafat, pemikiran-pemikiran Mu’tazilah, serta al-Bathiniyyah, seolah menancapkan pondasi kuat bagi tasawuf Sunni untuk bisa survive di tengah masyarakat Islam ketika itu. Tak bisa dipungkiri, memang sosok ini mempunyai andil besar “membentuk” nalar bawah sadar umat Islam, baik pada era itu, ataupun masa-masa jauh setelahnya. Jika boleh menyebut permisalan, kritiknya terhadap filsafat, bahkan, sampai sekarang masih sangat membekas pada diri umat Islam.<br /><br />Sejak tampilnya al-Ghazali, tasawuf Sunni mulai menancap dan mengakar dengan kuat di benak umat Islam. Bahkan mulai bermunculan tokoh sufi terkemuka yang mendirikan “tarekat” sebagai piranti sosialisasi tasawuf Sunni. Kita mengenal nama Ahmad Rifa’i (w. 570 H), ‘Abdul Qadir al-Jaylani (w. 651 H), Abu Hasan al-Syadzili (w. 650 H) dan muridnya Abu al-‘Abbas al-Mursi (w. 686 H), serta Ibnu ‘Athaillah al-Sakandari (w. 709 H). Model tasawuf yang mereka kembangkan adalah perpanjangan dari corak tasawuf yang dipopulerkan oleh al-Ghazali: tasawuf Sunni.<br /><br />Sementara itu, pada abad ke 6 H muncul corak tasawuf yang mengadopsi teori-teori filsafat, serta mempunyai orientasi filosofis. Corak tasawuf ini dipopulerkan oleh al-Suhrawardi al-Maqtul (w. 587 H), al-Syaikh al-Akbar Muhyiddin Ibnu ‘Arabi (w. 638 H), Umar ibn Farid (w. 632 H), serta Ibnu Sab’in (w. 669 H). Dalam corak filosofis inilah berkembang tasawuf yang berorientasi panteistik (wihdat al-wujud): sebuah unifikasi Tuhan dengan makhlukNya. Tasawuf falsafi mencapai puncaknya di tangan Ibnu Arabi, dimana ia mampu membangun pilar tasawuf falsafi di atas prinsip-prinsip filsafat yang kukuh dalam sebuah kesatuan visi yang sempurna. Faktor dominan yang memunculkan aliran tasawuf falsafi adalah adanya interaksi dengan aliran-aliran mistik, baik itu akibat penerjemahan, ataupun konsekuensi dari ekspansi Islam ke negeri yang mempunyai kecenderungan mistik, semisal India dan Persia. Akibatnya muncul konsep-konsep dalam tasawuf falsafi--seperti al-fanâ’, al-ittihâd, al-hulûl, serta wahdah al-wujûd--yang menurut beberapa kalangan agak sulit ditemukan dasarnya dalam Islam. Konsekuensi lain juga, serangan-serangan terhadap tasawuf yang berinklinasi filosofis semakin gencar digalakkan oleh kalangan Sunni. <br /><br />Betul, bahwa Hamzah Fansuri dan Syams al-Din adalah penganut panteisme. Alwi Sihab menyebut, di buku-buku Hamzah disebutkan nama Ibnu Arabi beberapa kali. Para peneliti pada umumnya juga menganggap bahwa Hamzah dan Syams al-Din sangat terpengaruh dengan Ibnu Arabi dan al-Jilî. Bahkan, Hamzah disinyalir sebagai orang pertama yang menyebarkan paham wihdah al-wujûd di kawasan Asia Tenggara—walaupun tesis ini jelas mengabaikan tokoh yang sezaman dengan Wali Songo, Syeikh Siti Jenar. Mereka misalnya, menurut Azyumardi Azra, menjelaskan alam raya dalam pengertian serangkaian emanasi-emanasi neo-Platonis dan menganggap setiap emanasi sebagai aspek Tuhan itu sendiri. Hal ini pula yang mendorong tokoh setelahnya, Nur al-Din al-Raniry, memberangus habis paham ini sebab dikategorikan sebagai paham sesat (heretical) dan menyimpang (heterodox). Perlu diingat, keterkaitan antara al-Fansuri dan al-Raniry seperti keterkaitan al-Ghazali dan Ibnu Rusyd. Akan tetapi—hemat Athif Iraqi--kritikan Ibnu Rusyd baru mempunyai dampak belakangan, dan “hegemoni” al-Ghazali masih terasa kuat mencengkram. Hal itu berbeda dengan al-Raniry; disamping mempunyai legitimasi sah, ia mampu memilah dan meyakinkan masyarakat bahwa tasawuf yang dibawa oleh Fansuri adalah tasawuf yang menyimpang. Pada saat al-Raniry mengkritik pemikiran Fansuri, murid Fansuri, al-Sumatrani yang memahami betul pemikiran gurunya, telah wafat. Sehingga, ketika itu tidak ada rintangan berarti yang menghalangi jalan al-Raniry. Mungkin secara politis, sikap al-Raniry bisa dibaca hendak mengukuhkan posisinya sebagai satu-satunya rujukan kapabel dalam masalah agama. Dengan demikian, al-Raniry cukup berperan menancapkan tasawuf Sunni di Indonesia. <br /><br />Secara genealogis, tentu saja pemikiran al-Raniry dan al-Fansuri diakarkan pada polemik tasawuf Sunni dan falsafi pada abad 5 dan 6 H. Lebih-lebih jika melihat bahwa al-Raniry sebenarnya juga sebagai mursyid tarekat Rif’aiyah—corak tasawuf yang merupakan perpanjangan dari tasawuf yang diperkenalkan oleh al-Ghazali. Akan tetapi, sebenarnya di Nusantara sendiri tasawuf Sunni telah menemukan lahannya jika kita merujuk pada cara keberislaman yang dianut oleh Wali Songo. Data inilah yang dikritik oleh Ahmad Baso karena tidak disebutkan oleh Azyumardi Azra dalam bukunya. Memang benar, bahwa Wali Songo mempunyai andil besar dalam Islamisasi Nusantara pada abad ke 15. Akan tetapi, menurut Martin van Bruinessen, data-data tentang Islam Nusantara pada abad ke 15 masih sangat sedikit, dan kalaupun ditemukan, hal tersebut banyak bercampur dengan mitos. <br /><br />Baiklah, penulis tak ingin berpanjang-panjang untuk mengatakan bahwa tasawuf yang sekarang berkembang di Indonesia merupakan perpanjangan dari tasawuf yang dipopulerkan oleh al-Ghazali. Entah itu lewat Wali Songo, dengan kecenderungan tasawuf Sunni, ataupun tokoh Nusantara paska Wali Songo yang berkontribusi besar menumbangkan paham panteisme. Hanya sedikit menambahkan data, bahwasanya Wali Songo datang ke Indonesia pada abad ke 14 M atas nama keturunan ‘Alawiyyîn (Ahmad Muhajir Muhammad bin Isa al-‘Alawi). Beberapa alasan yang menjadikan Wali Songo disebut-sebut perpanjangan tasawuf al-Ghazali—sebagaimana disebutkan oleh Alwi Sihab adalah; pertama, terdapat buku “primbon” peninggalan Sunan Bonang yang menjelaskan hakikat pemikiran Wali Songo dalam tasawuf, syariat dan akidah. Pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh Wali Songo—apabila merujuk pada peninggalan tersebut—sama dengan pemikiran Ahl al-Sunah wa al-Jama’ah dan Madzhab Syafi’i; mengajak tauhid, menjauhi syirik, serta mengajak untuk menjauhi ritual-ritual yang bertentangan dengan kepercayaan Sunni. Tak heran mereka menjadikan buku Ihya ‘Ulum al-Din buah karya al-Ghazali sebagai rujukan dalam dakwahnya; kedua, Wali Songo merupakan keturunan Ahmad Muhajir. Al-Ghazali dan Ahmad Muhajir sama-sama membangun pemikiran tasawufnya berdasarkan doktrin Abu Thalib al-Makky; ketiga, salah seorang pemimpin tarekat ‘Alawiyyah (tarekat Wali Songo) mempunyai banyak kesamaan dengan al-Ghazali. Jika kita hendak meruntut keturunan mereka di era belakangan, pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari merupakan keturunan Basyaiban yang sanad keluarganya bersambung pada Ahmad bin Isa.<br /><br />Dengan demikian, kesamaan pemikiran panteistik Fansuri dan Sumatrani dengan ritual Hindu dan Budha tidak bisa serta merta menunjukkan bahwa tasawuf yang berorientasi panteisme telah berjasa membumikan Islam di Nusantara. Boleh jadi, iya. Tetapi mereka mempunyai andil dalam proses Islamisasi an sich, tidak secara langsung membentuk dan mengejawantah dalam etika masyarakat Indonesia, sebagaimana “hegemoni” tasawuf Sunni sekarang. Sebab, masuknya Wali Songo ke Nusantara--dengan tasawuf yang berinklinasi Sunni--sudah dengan sendirinya mengeliminasi andil mereka. Walaupun tentu saja saya tidak hendak mengabaikan tokoh semisal al-Palimbani yang disinyalir mempunyai inklinasi panteistik.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Reinterpretasi Epistemologi Tasawuf Sunni; Sebuah Tawaran Solusi</span><br />Sebenarnya untuk menjelaskan epistemologi Tasawuf Nusantara, saya seharusnya merujuk secara langsung pada karangan Wali Songo sebagai sumber otoritatif. Akan tetapi lagi-lagi saya tak mendapati data-data tentang hal tersebut di sini. Tetapi tidak menjadi masalah, sebab saya akan merujuk secara langsung pula pada konsepsi tentang tasawuf Sunni pada pionir awal corak ini sebagai pijakan: Abu Hamid al-Ghazali.<br /><br />Kita tahu bersama bahwa al-Ghazali pernah mengalami kegundahan jiwa yang menjadikannya harus melepaskan atribut juris (fakih), filsuf, serta teolog untuk kemudian diganti dengan predikat “sufi”. Alasannya sebagaimana yang ia kemukakan dalam kitabnya al-Munqidz min al-Dlalal, bahwasanya tasawuf—dengan inklinasi Sunni-nya--merupakan satu-satunya jalan untuk sampai kepada Tuhan secara sempurna, dan ritualnya merupakan praktik yang mendapat legitimasi secara langsung dari ayat al-Qur’an ataupun hadis-hadis Nabi. Mengandalkan akal an sich, mustahil seseorang bisa sampai kepada Tuhannya. Beliau juga meyakini bahwasanya hati merupakan pondasi iman. Al-Ghazali juga mengkritik pengingkaran terhadap tasawuf, dengan argumentasi; ketika seseorang mensucikan diri (al-thahârah), hal pertama yang harus dilakukan adalah mensucikan hati dari semua hal selain Allah. Penyucian terhadap segala selain Allah merupakan prinsip dasar dalam tasawuf.<br /><br />Satu hal penting yang ada dalam magnum opuse al-Ghazali ini, bahwa ada satu konstruk epistemologi atau sub-sub pembahasan di dalam tasawuf Sunni yang sampai sekarang membentuk sifat pesimistis pada nalar bawah sadar umat Islam Nusantara; tasawuf Sunni sebagai representasi inferioritas peradaban. Hal tersebut bisa dimaklumi ketika kita menelisik bangunan tasawuf yang telah dibangun al-Ghazali dalam al-Ihya’ Ulum al-Dîn. Sebagai misal, al-Ghazali membubuhkan kecacatan dunia dan segala isinya dalam satu pembahasan yang disebut dzamm al-dunya (ketercelaan dunia). Dunia, dalam epistemologi tasawuf Sunni, disebut sebagai sebab terjerumusnya umat dalam lubang kesesatan. Al-Ghazali menyitir ungkapan Musa bin Yasar yang meriwayatkan hadis Nabi Saw., “Allah tidak menciptakan makhluk yang paling dibenci dari penciptaanNya terhadap dunia. Dan Allah—semenjak diciptakannya dunia—tak pernah sekalipun melihat pada dunia”. Ekses dari pengebirian “dunia”, dalam pandangan al-Ghazali, mempelajari ilmu-ilmu yang tidak berhubungan secara langsung dengan Tuhan bukan menjadi prioritas. Apakah definisi dunia menurut al-Ghazali? Bagi al-Ghazali dunia adalah semua hal yang merupa, dan manusia terhadapnya mempunyai hak, sedang untuk melestarikannya membuat manusia dalam kesibukan. “Hal yang merupa” adalah bumi dan segala isinya; barang tambang, tumbuh-tumbuhan dan hewan. Al-Ghazali juga memaparkan relasi dunia terhadap hati dan terhadap badan yang masing-masing mempunyai konsekuensi serta implikasi yang berbeda. Inti dari pandangan al-Ghazali ini, dunia merupakan piranti untuk mengantarkan hamba terhadap akhirat. Kebutuhan serta kecintaan manusia terhadap dunia haruslah pada batas “sewajarnya”. Oleh karena itu, ketika “interaksi” manusia terhadap dunia pada “batas maksimal”, hal itu—dalam pandangan tasawuf Sunni—adalah sesuatu yang tercela.<br /><br />Pun ketika kita melihat pada klasifikasi al-Ghazali terhadap sub pembahasan Ihya’ Ulum al-Din, ia menyertakan rubu’ al-Munjiyyât (seperempat hal yang berperan sebagai penyelamat) pada bab terakhir. Di antaranya ia menyertakan asketisme dan kemiskinan (al-faqr zuhud), takut dan harapan (al-khawf wa al-rajâ’), tawhid dan tawakal (al-tawhîd wa al-tawakkul), dll, sebagai piranti “keselamatan”.<br /><br />Indonesia berpenduduk umat Islam terbesar di dunia. Islam hadir dalam kesadaran penduduk Nusantara dan membentuk, membatasi, serta mengubah keseharian mereka. Islam kemudian berfungsi sebagai “penggerak” dan “kontrol sosial” bersamaan. Kita tentu mengetahui perihal fase perkembangan tasawuf—yang disebutkan oleh Ali Sami Nasyar dalam Nasy’at al-Fikr al-Falsafî fî al-Islâm—yang terpetakan dalam tiga perkembangan; asketisme (zuhud), kemudian dibakukan dalam prinsip-prinsip tasawuf, dan mengejawantah dalam bentuk etika (al-akhlâq). Maka, apabila Islam mengatur etika yang termaktub dalam tasawuf, tasawuf mempunyai porsi yang sangat besar dalam mengatur keseharian masyarakat (sulûk) Indonesia. Ketertinggalan masyarakat Indonesia, baik dari sudut pandang teknologi, intelektual, dan politik tak ubahnya karena tasawuf dipahami sebagai lambang kemalasan dan ketidakberdayaan (khumûl): kemajuan bisa didapatkan dengan tulusnya doa, bukan dengan usaha. Singkatnya, bagaimana hendak memajukan negara jika usaha tersebut sudah dikategorikan sebagai hal yang memalingkan manusia dari Tuhannya? Dengan redaksi lain, memajukan sebuah negara tidak memerlukan pengetahuan Fikih dan Tafsir ataupun Hadis. Bagaimana pula mengentaskan Indonesia dari 100 Negara termiskin di dunia, apabila doktrin agama yang diajarkan justru “anjuran untuk miskin”?<br /><br />Jika hendak melihat dampak secara langsung dikotomi dunia dan akhirat perspektif tasawuf Sunni, kita bisa melihat kultur di pesantren yang dengan jelas membedakan antara ilmu agama dan ilmu umum. Walaupun klasifikasi al-Ghazali terhadap ilmu tidak dikotomis, akan tetapi prioritas “yang agama” terhadap “yang bukan agama” paling tidak menunjukkan pemisahan ini. Misalkan, al-Ghazali mengkategorikan ilmu umum sebagai ilmu yang boleh dipelajari melalui status fardlu kifayah. Doktrin-doktrin yang diajarkan oleh pesantren pun tak bisa dipisahkan sepenuhnya dari pemahaman Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah yang dikembangkan oleh Wali Songo. Penulis sebut tak bisa dipisahkan sepenuhnya karena jaringan ulama Nusantara yang berada di Timur Tengah juga cukup berperan dalam membentuk nalar pesantren “di dalam kisaran doktrin Aswaja”. Bahkan, apabila melihat pemikiran-pemikiran ulama Nusantara yang disebutkan Azra dalam bukunya, serta pemikiran Wali Songo seputar Aswaja, mereka tidak berasal dari sumber yang berbeda. Sedang keterikatan pesantren dengan Wali Songo, kita bisa melihatnya dari pesantren sendiri yang pertama kali didirikan oleh Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M). <br /><br />Dalam hal ini saya menawarkan dua alternatif reinterpretasi konsep tasawuf; pertama, bahwasanya tasawuf yang dipahami sebagai ‘yang tak terpisah dari agama’ harus direinterpretasikan dengan melihat konteks sosio-historis yang melingkupinya: sebagai ‘yang terpisah dari agama’. Hal itu dimaksudkan, agar fungsi tasawuf sebagai “penggerak” dan “kontrol sosial” bisa berjalan maksimal dan kontekstual. Jika merujuk pada tesis Ibnu khaldun dan Ignaz Goldziher, bahwa fase tasawuf diawali dengan praktik asketis, maka saya ingin membukanya dengan mengutip pernyataan Nicholson dalam bukunya Fi al-Tasawwuf al-Islâmî; bahwasanya praktik asketisme itu sendiri merupakan dampak dari perang saudara, tidak stabilnya kondisi politik, despotisme penguasa, serta kelaliman hakim. Kita tahu bahwa chaos paska pemerintahan Utsman semakin parah. Ada bermacam golongan di situ. Al-Nawbakhti dalam Firaq al-Syi’ah menggambarkan kejadian kala itu sebagai berikut,<br /><br />“tatkala Utsman terbunuh, mereka menamakannya dengan kebersamaan (al-jama’ah)”. Kemudian mereka terpisah menjadi tiga kelompok: kelompok yang mendukung Ali, dan kelompok lain mengasingkan diri bersama Sa’d bin Malik, mereka adalah Sa’d bin Abi Waqash, Abdullah bin Umar [..]” <br /><br />Husein Muruwah mengatakan, awalnya sikap mengasingkan diri tersebut sebagai bentuk ketidakberpihakan (in’izâlan ‘adamiyyan). Akan tetapi, ketidakberpihakan sikap mereka yang mengasingkan diri kemudian bermetamorfosa menjadi gerakan asketisme yang sekaligus menyiratkan “penolakan pasif” terhadap kelaliman penguasa dan kekacauan di tengah masyarakat. Jika dahulu Abdullah bin Umar mengasingkan diri karena sikap netral, maka pada masa Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafi ia mengasingkan diri karena penolakan terhadap pemerintahan Hajjaj yang semena-mena (despotis). Abdullah bin Umar yang mengatakan pada pemerintahan Hajaj: “ma syabi’tu mundzu maqtal al-‘Utsman”, bukan hendak memberitahukan pada khalayak bahwa ia dalam keadaan lapar. Akan tetapi hendak memberitahukan bahwa praktik zuhudnya menunjukkan sikap penentangan (al-mawqif al-mu’âridl) terhadap pemerintahan Hajjaj.<br /><br />Kita juga dapat melihat permisalan ini pada sosok Hasan Bashri (w. 110 H), dari kelompok zâhid kurun pertama. Dalam praktik asketismenya, ia bersikap sangat sedih. Akan tetapi Husein Muruwah menafsirkan kesedihannya tersebut secara dialektik-materialistik: kesedihan tersebut karena aksi-aksi aniaya sudah demikian parah di masyarakat ketika itu dan tidak ada kemampuan untuk mengubah keadaan tersebut. Hasan Bashri dan para zâhid pada waktu itu terus merasa berdosa, dengan merasa bahwa merekalah yang berkewajiban memikul semuanya di hadapan Tuhan. Akhirnya mereka—dalam keadaan sedih yang teramat sangat—memilih untuk meninggalkan dunia dengan harapan mampu menghapus dosa-dosa (takfiran ‘an al-dzunûb) dengan sikap zuhudnya. Adapun asketisme Hasan yang berbentuk “penolakan pasif” terjadi pada pemerintahan Ali bin Abi Thalib.<br /><br />Dengan demikian, praktik asketisme pada awalnya adalah sikap “penolakan secara pasif” bagi kondisi politik pada masa itu, kemudian berkembang kedalam praktik lelaku (sulûk) yang terejawantahkan pada pemisahan diri dari aktivitas sosial (al-nasyâth al-ijtimâ’î) untuk berkonsentrasi melaksanakan ibadah terhadap Tuhan. Akan tetapi sikap tersebut dilaksanakan oleh para sufi setelahnya secara a-historis. Hal ini yang—dalam istilah Marxisme--disebut alla istimrâriyyah al-târîkhiyyah: keterputusan akar historis. Sikap asketis yang pada mulanya merupakan respon terhadap aksi-aksi politik kemudian dipisahkan sepenuhnya dari percaturan masa lampau untuk ditarik dalam “wilayah ideologis”: agama.<br /><br />Artinya, ketika asketisme atau ruang epistemologi tasawuf yang lain dihadapkan pada keterbelakangan di Nusantara, sikap yang harus dimunculkan justru sikap responsif dan kritis terhadap wewangian modernitas. Bagaimana agar orientasi akhirat dan dunia bisa seimbang, menciptakan sufi-sufi yang ‘ramah lingkungan’ dan berpikiran progresif, dan sufi yang peka terhadap problem sosial.<br /><br />Kedua, reinterpretasi konsep tasawuf—yang diasumsikan lambang ketidakberdayaan--dengan pemurnian kembali ajaran-ajarannya yang sudah tereduksi. Hal itu disebabkan, terkadang tidak ada pemilahan secara cermat sehingga menimbulkan kesalahan konsepsi pembaca atau sufi itu sendiri. Boleh jadi hal itu karena ranah praksis lebih dominan dari pembekalan secara teoritis, sehingga aspek-aspek teori malah terabaikan. Al-Najjar--dalam bukunya al-Thuruq al-Shufiyyah fi Mashr--menuturkan wejangan al-Ghazali terhadap seorang sufi yang harus mengetahui keilmuan tentang tasawuf (aspek teorinya) dan mengaplikasikannya dalam ranah praksis. Faktanya, pada beberapa tarekat yang berkembang di Indonesia, penekanan ke hal praksis lebih dominan dari pembekalan teorinya. Padahal, di Somalia, tarekat Syadziliyah dan Rifa’iyah mengawali pendirian sekolah-sekolah agama untuk mengentaskan kebodohan masyarakat di sana. Muhammad Fahmi Abd al-Latif dalam al-Fann al-Ilâhi menuturkan bahwa sufilah yang memelihara nyanyian Arab terus lestari hingga kini. Hal itu disebabkan, setelah runtuhnya Baghdad dan Cordova, banyak praktik-praktik kesenian dalam Islam yang terlupakan, salah satunya musik, karena aktivitas mereka dalam bermusik seketika terhenti. Akan tetapi praktik ini masih tetap dilestarikan dalam “majlis sufi” hingga kini. Selain itu, Abu al-Hasan al-Syadzili, peletak tarekat Syadziliyah, bergabung dengan pemuda Mesir untuk menumpas penjajahan ketika itu.<br /><br />Jika kita melihat fakta di atas, ternyata pembesar sufi dan tarekat yang kini digandrungi di Indonesia memberi contoh semangat yang patut ditiru. Mereka bergabung dalam aktivitas masyarakat dan memberikan kontribusi berarti bagi negaranya. Jika demikian, bukankah ada “keterputusan epistemologis” antara praktik konsep sufistik yang dilaksanakan oleh pembesar sufi dahulu dan praktiknya pada masa sekarang? Jika dahulu mereka menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat, sekarang dimensi akhirat sangat dominan sekali. Jika dahulu pembesar sufi turun ke medan perang melawan kolonialisme, sekarang para sufi identik dengan doa dan beribadah kepada Tuhan an sich. Faktanya memang demikian.<br /><br />Keterputusan ini yang membuat pembaharu Mesir, Jamal al-Din al-Afghani (w. 1314 H), mengkritik tasawuf. Tasawuf—di matanya--dianggap bertanggungjawab terhadap merebaknya spirit berserah diri (tawakkul), ideologi predestinasi (al-jabar), dan mengimani qadla dan qadlar untuk berpangku tangan mencari rizki. Dan secara langsung akan berbanding lurus dengan angka kemiskinan suatu komunitas masyarakat. Inilah, bagi Jamal al-Din, tasawuf yang kontradiktif dengan spirit Islam itu sendiri. Tawakal sama sekali tidak menegasi “ambisi positif” manusia. Oleh karena itu, mungkin analisa Najm al-Din al-Thusi dalam al-Luma’ menarik untuk dipaparkan. Di sana disebutkan beberapa penyebab kesalahan pemaknaan konsep sufistik, diantaranya adalah seorang sufi yang mengalami kecacatan dalam hal-hal fundamental, sebab tidak pernah mempelajari syari’at. Kemudian yang mengalami kesalahan dalam memahami cabang-cabang tasawuf, yakni yang berkaitan dengan adab dan akhlak, maqâm dan ahwâl. <br /><br />Paling tidak dua corak reinterpretasi terhadap tasawuf akan bisa menggugah kesadaran masyarakan Indonesia bahwa mereka dalam keterbelakangan. Dan untuk membangun sebuah peradaban harus diawali dari sikap opitimis. Di sisi lain, sufisme tidak melulu berorientasi teosentris, jikapun antroposentris, bukan yang berseberangan dengan nilai-nilai humanisme dan menghambat laju kreativitas. Allahu a’lam. </span> </div>Ahmad Hadidul Fahmihttp://www.blogger.com/profile/01841733022516134434noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3803797330041316914.post-31290713356638427002010-12-09T18:44:00.001-08:002012-03-10T16:01:45.200-08:00Rekonstruksi Ilmu Kalam Menurut Muhammad AbduhOleh Ahmad Hadidul Fahmi<br /><br /><div align="justify">Ilmu Kalam pada kurun terakhir mengalami stagnansi yang signifikan. Fanatisme sektarianistik demikian membumi. Imbas fanatisme ini pada akhirnya membuahkan konflik yang berkepanjangan. Di satu sisi, ilmu pengetahuan kian berkembang. Teori-teori klasik semakin kentara kecacatannya. Abd al-Jabbar al-Rifa’i menuturkan, stagnansi Ilmu Kalam cukup kentara semenjak Nashir al-Din al-Thusi (w. 672 H) mengeluakan al-Tajrîd-nya. Para teolog--setelah al-Thusy--seperti mati suri. Karena, pada seperempat terakhir abad ke 7, al-Tajrîd kemudian menjadi tolak ukur para ahli Kalam dalam proses menganggit kitab; seperti al-Mawâqif buah tangan ‘Idl al-Din al-Ijiy (756 H), atau al-Maqâshid karya Sa’id al-Din al-Taftazani (792 H). Dari semenjak ini, perkembangan Ilmu Kalam sebatas pada tinjuan ulang terhadap karya-karya klasik tanpa ada inovasi yang berarti. <span class="fullpost"> <br /><br />Di lain pihak, pada penghujung abad 18, umat Islam mulai bersentuhan dengan peradaban Barat. Khususnya Mesir, yakni semenjak berpulangnya Syekh Rifa’at al-Tahtawi dari Perancis (1831 M). Melalui beberapa disiplin ilmu yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, ia mampu membangunkan geliat intelektual dunia Arab yang mati suri. Sebagaimana di Mesir, di India terjadi fenomena yang tak jauh berbeda: seruan Sayyid Ahmad Khan untuk menyatu dengan peradaban Barat. Sayyid Ahmad Khan (w. 1898 M) kemudian mengarang tafsir yang mengharmoniskan maksud suatu ayat dengan ilmu kontemporer. Dengan metode barunya ini, ia menyerukan untuk melepaskan ideologi umat Islam untuk diganti dengan keyakinan yang lebih relevan. Sebagaimana ia juga menyerukan humanisasi agama dalam bukunya Tibyân al-Kalâm.<br /><br />Tak ayal, gagasan Ahmad Khan di atas cukup menimbulkan kontroversi di tubuh umat Islam saat itu. Sanggahan-sanggahan untuk Ahmad Khan bermunculan, seperti dari Jamal al-Din al-Afghani (w. 1897 M), Sayyid Akbar Husein Ilah Abadiy (w. 1921 M), dll. Namun justru dari babak ini pula kebangkitan Ilmu Kalam perlahan berjalan. Pakar teolog mulai melepaskan diri dari budaya syarah, hâsyiyah, ta’lîq, serta sikap lain yang tidak menampakkan produktivitas mereka. Gagasan rekonstruktif mereka bisa digolongkan pada dua haluan besar: pertama, pendasaran filosofis (ta’sîs falsafiy), dengan tokoh garda depan Muhammad Iqbal, Muhammad Husein Thabataba’i, Muhammad Baqir Shadr, Murtadla Mutahari, dll. Kedua, pendasaran rasio (ta’sîs ‘aqlî), dengan tokohnya Jamal al-Din al-Afghani, ‘Abdurrahman al-Kawakibi, Muhammad Thahir bin ‘Asyur, Muhammad Husein Kasyif al-Ghita’, dll.<br /><br />Salah satu deretan nama yang mencoba melepaskan diri dari budaya yang tidak produktif adalah al-Imam Muhammad Abduh (1849-1903 M); murid Jamal al-Din al-Afghani. Ia menyerukan rekonstruksi (i’adat al-binâ’) Ilmu Kalam dalam konsep-konsepnya yang dipandang tak lagi relevan untuk umat Islam sekarang. Ide rekonstruktif tersebut berawal dari sebuah pertanyaan, bagaimana jika tauhid memainkan peranannya tidak hanya pada kehidupan spiritual semata (al-hayât al-ruhiyyah), akan tetapi juga pada kehidupan material (al-hayât al-mâdiyyah)? Serta bagaimana agar sebuah kepercayaan juga bisa dipahami semua nalar masyarakat, sehingga mampu dilaksanakan, dan memberi efek/dampak pada kejiwaan mereka?<br /><br />Baginya, stagnansi muncul karena mematikan peran rasio dalam kebertuhanan umat Islam. Oleh karena itu, salah satu cara solutif untuk masalah ini-–menurut Abduh–-adalah; pertama membiarkan rasio kembali memainkan perannya dalam memahami suatu teks, sebagai oposisi kejumudan proses berpikir (fa’âliyyat al-‘aql fî muwâjahat al-jumûd); kedua, mendeskripsikan kembali paham tentang ketuhanan (al-ilâhiyyat), yang berkaitan dengan relevansi tauhid untuk konteks sekarang. Menurut penulis, solusi kedua Abduh sebenarnya perpanjangan dari yang pertama.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Optimalisasi Rasio</span><br />Revolusi yang dilakukan oleh Abduh sangat kentara pada perlawananya terhadap tradisi taklid. Taklid, secara tidak langsung, menjadikan umat Islam tak mampu menciptakan inovasi apapun. Pada generasi yang mengembangkan taklidisme, sikap yang muncul merupakan pembacaan tautologis (tahsîl al-hâsil) dari generasi dahulu. Konsentrasi mereka berpusat sepenuhnya pada literatur klasik, tanpa mau melihat relevansi sebuah wacana untuk konteks kekinian. Seperti dikatakan Abduh dalam tafsîr sûrat al-‘ashr :<br /><br /><span style="font-style:italic;">“innahum hasharû ‘ilmahum fî al-syurûh wa al-hawâsyi wa al-taqârîr ‘alâ nushush al-qadîmah, wa jahilû kulla syain siwaha, hatta asbahû wa ka annahum laisû min ahl al-‘ashr, bal laisû min ahl hadzihi al-dunyâ”</span><br /><br />Stagnansi tersebut, sebagai misal, dapat diukur dari pola bahasa yang dipergunakan—tidak berkembang. Maka tepat jika Zaki Najib Mahmoud kemudian mengatakan, bahasa adalah acuan pertama yang harus diperhatikan jika menghendaki pembaharuan (al-lughah nuqtath al-bidâyah fî tsawrat al-tajdîd). Karena hal ini pula perkembangan bahasa Arab tidak bisa mengiring laju modernitas. Namun yang terpenting, stagnansi bahasa merupakan faktor determinan hilangnya spirit sebuah gagasan. Jika spirit sebuah ide termarginalkan, niscaya suatu pemikiran akan terputus dengan realitas.<br /><br />Keadaan yang demikian juga terjadi pada ilmu tauhid; terputus dengan realitas. Teori-teori yang dikemukakan tak ada lagi relevansinya untuk konteks sekarang. Betul bahwa dahulu Ilmu Kalam berdiri gagah; para teolog mengadopsi mantik Yunani, mengkritik, menjawab serta merobohkan upaya destruktif dari luar. Hilangnya relevansi itu akan demikian terlihat apabila kita sedikit menengok khazanah klasik; menurut para teolog, ilmu yang bermanfaat hanya ilmu yang mempunyai dampak langsung terhadap agama. Oleh karena itu, kita bisa melihat upaya-upaya apologetik teolog belakangan yang kerap menggunakan konsep tempo doeloee untuk menghadapi tantangan sekarang. Bahkan kita kerap menjumpai mereka yang tidak sampai pada apa yang telah dicapai sarjana klasik pada umumnya, atau dengan redaksi lain, mereka mengalami degradasi epistemologis. Fenomena seperti ini bisa dijumpai dalam Umm al-Barâhin-nya al-Sanusi, atau al-Jawâhir al-Kalâmiyyah fi al-‘Aqâid al-Islâmiyyah Thahir al-Jazairy.<br /><br />Dari kenyataan di atas, Abduh melihat perlunya menghancurkan kecenderungan taklid dalam ranah teologis. Potensi taklid tersebut bisa dihancurkan dengan mengoptimalkan peran rasio dalam memahami teks. Ia menawarkan beberapa corak optimalisasi rasio; pertama, mendasarkan keyakinan pada akal (ta’sîs al-i’tiqâd ‘alâ al-‘aql). Abduh berujar, bahwa keyakinan yang rasional lebih bisa diterima oleh masyarakat dari hanya tunduk pada maksud suatu teks. Dan kecenderungan semacam ini sudah bisa dijumpai dari para teolog klasik, semisal al-Asy’ari, al-Baqilani, Imam al-Haramin, Abdul Jabbar, dll. Analisis rasional–-bagi Abduh-–merupakan keharusan atas dasar syariat (wajib syar’i). Dalam hal ini ‘Abduh sejalan dengan Asy’ariyyah, dan berseberangan dengan Mu’tazilah, yang melihat keharusan tersebut sebagai keharusan secara logis (wajib ‘aqli). Namun keduanya-–Mu’tazilah dan Asy’ariyyah–-sama-sama sepakat bahwa rasio mampu mengantarkan pada kebenaran.<br /><br />Kedua, melihat keharusan ijtihad. Pandangan Abduh bukan terhitung baru, karena gagasan ini sudah dipopulerkan oleh para teolog klasik. Dalam ranah Fikih, kita mendapat al-Syawkani (1173-1250 H) yang selalu merobohkan kecenderungan taklidisme. Al-Syawkani termasuk pakar fikih Zaidiyyah yang terpengaruh Mu’tazilah. Bahkan, menurut al-Syawkani, ijtihad pada kurun akhir bisa lebih mudah, karena era kodifikasi telah terlewati. Pandangan kontras disuarakan oleh Ibnu Rajab al-Hanbali (w.790 H) dalam bukunya Fadl al-salaf ‘alâ al-Khalaf. Senada dengan Abduh, kita bisa menjumpai nama Jamal al-Din al-Afhghani dalam al-Radd ‘alâ al-Dahriyyin.<br /><br />Ketiga, interpretasi logis terhadap teks-teks agama (al-Ta’wîl al-‘Aqlî li al-Nushûs al-Dîniyyah). Hal ini bertujuan untuk mensinergikan ilmu klasik dengan wacana kontemporer. Sebagaimana dikuatkan oleh Muhammad al-Amin dalam Râid al-Fikr al-Mishriy, Abduh cenderung meninggalkan metode penafsiran literal. Ia kerap kali abai terhadap aspek bahasa suatu ayat, dan menitiberatkan pada nilai-nilai universal yang terkandung di dalamnya. Bahkan Abduh seringkali mengabaikan riwayat-riwayat yang berkenaan dengan sebab turunnya ayat (asbab al-nuzul) serta mengindahkan pendapat-pendapat penafsir klasik. Satu contoh, penafsirannya terhadap Malaikat dalam al-Manâr, ia berujar,<br /><br /><span style="font-style:italic;">“apakah engkau tidak mengetahui bahwa Allah mempunyai malaikat di bumi dan di langit? Namun apakah engkau mengetahui dimana mereka tinggal? Dan apakah engkau tidak merasa bahwa badan-badan mereka menyinarimu di kegelapan? [....] Ketahuilah bahwa Malaikat adalah kekuatan-kekuatan dan ruh yang ada pada dirimu”</span><br /><br />Rasyid Ridla dengan sigap menimpali, bahwa Abduh dengan interpretasinya bukan hendak mengingkari eksistensi Malaikat. Bahkan Abduh sebenarnya malah ingin membantah golongan yang mengingkari keberadaan Malaikat. Maka Abduh menggunakan penafsiran yang tidak bertentangan dengan rasio agar maksud suatu teks dengan fenomena kontemporer bisa sinergis. Begitupun Abduh menginterpretasikan sujudnya Malaikat pada Adam, atau kemaksiatan Iblis, tidak dengan yang termaktub secara eksplisit dalam ayat terkait.<br /><br />Keempat, menghancurkan fanatisme sektarianistik dalam diskursus teologis (tahtîm al-madzhabiyyah fî ilm al-tawhîd). Baginya, fanatisme sektarianistik merupakan keyakinan pra Islam--yang pada hakikatnya--diperangi oleh Islam sendiri. Karena fanatisme-–dalam segala bentuknya–-seakan menyempitkan porsi kebenaran itu sendiri. Bahkan-–sebagaimana dikatakan Muhammad al-Baha dalam al-Fikr al-Islâmi al-Hadîs wa silatuhu bi al-Isti’mar al-Gharbiy-– fanatisme berdampak pada terpecahnya umat Islam yang bermuara pada melemahnya semangat juang secara keseluruhan. Atas dasar ini, Abduh melihat semua kelompok--dalam ranah teologis--tidak layak untuk diunggulkan satu dari yang lain. Namun ia memposisikan varian sekte dalam Ilmu Kalam sebagai penjelas terhadap Islam dengan prinsip-prinsip dasarnya; memungkinkan untuk benar di satu kelompok, dan salah di kelompok yang lain. Pun sebaliknya.<br /><br />Ada yang cukup menarik dari penafsiran Abduh terhadap riwayat kelompok yang selamat: al-Firqah al-Nâjiyah. Abduh tidak meragukan validitas riwayat terkait. Akan tetapi ia menggeret riwayat itu ke dalam realitas sekarang. Karena terdapat petunjuk (qarinah) dalam riwayat yang menunjukkan “akan” (sataftariqu). Ia mendasarkan asumsinya pada perkataan Nabi yang tidak membatasi kebenaran pada satu golongan saja, seperti yang termaktub dalam sabdanya, “mâ anâ ‘alaih wa ashâbî”. Dengan demikian, Abduh berkata,<br /><br /><span style="font-style:italic;">“kita belum mengetahui apa yang dimaksud mâ anâ ‘alaih wa ashâbî, namun Alam raya ini ada yang menciptakan, dan Hari Akhir pasti ada, serta Nabi adalah benar-benar diutus oleh Allah. Ini yang mejadi kesepakatan semua golongan.”</span><br /><br />Dari sini setidaknya bisa diambil dua konklusi penting: pertama, jika kita mengembalikan masalah pada al-Qur’an dan al-Sunnah, ada enam pondasi rukun Iman: Allah, Malaikat, Kitab Suci, Rasul, dan Hari Akhir. Dari Sunnah muncul Iman pada al-Qadar. Rukun Iman ini oleh beberapa teolog, semisal al-Ghazali (Faishal al-Tafriqah, tt) dan Ibnu Taimiyah (Syarh al-‘Aqidah al-Isfahaniyyah, 1965), diringkas lagi pada al-Ushul dan al-Furu’. Yang inti (ushul) mencakup ketuhanan (ilâhiyyat), kenabian (nubuwwat) serta Hari Akhir (ma’âd). Sedang yang lain merupakan cabang (furu’); kedua, yang dikatakan Ushul—dalam perbincangan ini--adalah yang disepakati oleh semua kelompok Islam. Oleh karena itu, yang mengingkari aksioma itu dengan sendirinya keluar dari wilayah Iman. Maka, bagi Abduh, “kesepakatan aksiomatik” itulah yang merepresentasikan maksud mâ anâ ‘alaih wa ashâbi. Masalah apakah Allah bisa dilihat di Hari Akhir, ataukah tidak berawal (qadim) dan berawal (hadis) nya Alam, adalah masalah yang tidak perlu untuk dibahas terlalu mendalam.<br /><br />Kelima, analisis rasional terhadap prinsip dasar Islam, serta mengaplikasikannya dalam ranah praksis. Artinya, al-tahlîl al-‘aqliy (analyse rationnelle) dibutuhkan agar suatu teori bisa diaplikasikan pada kehidupan real; tidak berhenti pada teori semata. Menurutnya, pemisahan teori dan praktek tidak diajarkan oleh Islam, namun berasal dari peradaban Yunani, khususnya Aristoteles yang melihat konsep ketuhanan lebih utama dibanding pengusung naturalis. <br /><br />Dalam konteks Ilmu Kalam, umat Islam-–menurut Abduh-–terperdaya pada keindahan-keindahan teori. Karena tauhid bukan hanya kajian untuk membuktikan keberadaan Allah semata, namun juga berfungsi untuk menjelaskan tata cara sampai pada hakikat Sang Kuasa. Atau dalam bahasa Malik bin Nabi “berfungsi pula untuk menghidupkan Tuhan, sebagaimana yang sudah dipraktikkan oleh salaf: ‘alâ an yahyâ hadza al-wujûd kamâ hayyâhu al-salaf” (wujhat al-‘âlam al-islâmi, 1959).<br /><br />Kelima, harmonisasi Islam dengan tuntutan modernitas (al-muwâ’amah baina al-islâm wa mutathallibât al-‘ashr). Abduh melihat bahwa Islam tidak hanya agama untuk konteks dimana kita atau generasi dahulu saja, namun juga untuk generasi jauh setelah kita nanti. Oleh karena itu, harmonisasi di sini teramat penting, karena akan menampakkan relevansi Islam itu sendiri. Salah satu bentuk harmonisasi, menurut Abduh, mendahulukan rasio jika terdapat pertentangan antara akal dan teks, selagi teks tersebut bukan dikategorikan teks permanen (qath’iy al-tsubût). Begitupun ia melihat kewajiban menolak kecenderungan sufi tentang asketisme; penolakan terhadap segala hal yang berbau dunia. Namun bukan berarti Abduh menolak sufisme secara mutlak. Yang ia tidak sepakati adalah kencenderungan berpangku tangan yang sampai pada tahap merendahkan dunia.<br /><br />Harmonisasi juga harus mewujud pada relasi Islam dan ilmu. Bagi Abduh, tidak benar bahwa Islam menghalangi pemeluknya mempelajari selain ilmu agama. Fenomena ini dapat kita jumpai pada sosok Syekh Thantawi Jawhari (1287-1358 M), yang tak segan belajar ilmu biologi, falak, serta ilmu alam (al-thabi’iyyah), tidak lain karena melihat indikasi tauhîd di dalamnya (Nahdlat al-Ummah wa Hayâtuhâ, 1908). Sebagaimana Abduh mengharuskan umat Islam untuk terbuka pada peradaban luar. Para teolog terdahulu yang belajar mantik, filsafat, tidak lain karena melihat bahwa Islam harus diharmonisasikan dengan tuntutan zaman.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Ketuhanan</span><br />Dalam tahap ini, Abduh mengklasifikasi dua masalah penting yang berkembang dalam ranah teologi, baik pada kurun lama ataupun kontemporer; pertama, mengenai pembuktian keberadaan Tuhan; kedua, perbincangan seputar sifat-sifatNya. Untuk masalah pembuktian Tuhan, Abduh cenderung eklektis; di satu permasalahan ia menggunakan argumen filsuf, di permasalahan lain menggunakan argumen teolog. Lompatan Abduh cukup brilian, karena di sini ia sekaligus menegaskan keselarasan perspektif filsuf dan para teolog. Padahal seperti sudah maklum, pada awal perkembangannya, para teolog muslim telah “memasang tameng besi” terhadap pemikiran filsuf. <br /><br />Masalah pertama, Abduh menilai, setiap manusia, entah itu dominan kemampuan nalarnya ataupun lemah, selalu mempunyai keyakinan bahwa di luar sana terdapat kekuatan yang melampuinya. Mungkin, kencenderungan Abduh di sini bisa disebut meyakini argumen empiris. Sejatinya argumen ini cukup rapuh dan kurang mendapat sorotan, karena berpijak pada pengalaman subjektif. Karena itu, tak mungkin untuk diverifikasi dan tak bisa untuk dijadikan landasan untuk membangun pengetahuan yang objektif. Namun tak sampai pada tahapan ini lalu selesai, karena dari argumen empiris ini dibangun pula landasan teoritis. Artinya, landasan teoritis pembuktian Tuhan dibangun tidak dengan pra-konsepsi.<br /><br />Model tersebut bisa dijumpai pada argumen teolog muslim, seperti Fakhr al-Din al-Razi dalam Mafâtîh al-Ghaibnya, begitu juga Zamakhsyari dalam al-Kasysyâf. Seperti bisa dilihat pula pada argumen empiris sufi. Atau juga al-Raghib al-Isfahaniy dalam al-Dzarîah ilâ Makârim al-Syari’ah. Hal senada juga disampaikan pemikir modern Jamal al-Din al-Qashi dalam Dalâil al-Tawhîdnya. Perspektif ini juga diamini oleh beberapa filsuf, walaupun pada akhirnya mendapat kritik tajam dari penganut filsafat empiris. Dengan demikiran, pada perbincangan keyakninan Tuhan yang sudah ada pada naluri alamiah manusia (sebelum dibuktikan dengan teori), Abduh sepakat dengan pandangan teolog dan beberapa filsuf.<br /><br />Lalu Abduh mengambil landasan teoritis para teolog dan filsuf. Teori itu sendiri mengacu pada eksistensi Alam Semesta; gerak, sebab, kontingensi, keteraturan. Berdasarkan fakta ini, orang sampai pada kesimpulan bahwa Allah ada sebagai penggerak fakta-fakta ini, atau sebagai causa prima (al-illah al-ûlâ). Dari pembuktian ini, Abduh sepakat secara total dengan filsuf muslim, khususnya Ibnu Sina dan al-Farabi. Namun Abduh selanjutnya melirik argumen teolog: yakni Ibthal Tatâbu’ al-Hawâdits (mematahkan kontinuitas sesuatu yang diawali dari tidak ada). Walhasil, Abduh mengkritik argumen penetapan awal mula Hawâdis para teolog, sebagaimana ia mengkritik diskontinuitas “sebab” dan “yang disebabkan” filsuf.<br /><br />Jelas sekali, saat mengetengahkan bukti berawalnya Alam, Abduh mengambil argumen filsuf dan teolog. Namun saat melangkah lebih jauh, ia membuat kreasi baru dalam membuktikan adanya Tuhan: kontemplasi “yang berkemungkinan” (mumkin) dan “yang niscaya” (wajib). Jika yang disebut mumkin adalah “sesuatu yang ada” tidak dari dirinya sendiri, maka pastinya membutuhkan pada creator. Ia ada karena adanya sang kreator, dan tidak ada karena tidak adanya sang kreator. Maka, Abduh mengatakan, <br /><br /><span style="font-style:italic;">“jika engkau merentet sesuatu yang “mungkin mewujud” sampai tak terhingga, aku tak akan mengatakan padamu sebab-sebab wujud tersebut. Namun aku akan bertanya, dimana pencipta pertama “sesuatu yang berkemungkinan ada” (mumkin)? Apakah ia adalah hakikat “mungkin” itu sendiri? Bagaimana mungkin hakikat “yang berkemungkinan” itu sendiri jika ia terbentuk dari “tidak ada”? Bagi saya (Abduh), sudah demikian jelas, karena pada hakikatnya pembuktian tersebut tak perlu keluar dari batas “mungkin”: bisa dilogikakan dari “yang mungkin ada” itu sendiri.</span><br /><br />Sedang permasalahan kedua, Abduh cenderung membatasi nalar manusia untuk terlalu jauh masuk pada perenungan sifat-sifat Tuhan (attribute divins). Baginya, cukuplah mengetahui bahwa Tuhan tak serupa dengan makhlukNya. Karena bagaimanapun, selain tak memberi manfaat yang berarti, justru akan semakin memperuncing perbedaan. <br /><br />Terlepas relevan atau tidak pembuktian itu untuk konteks sekarang, yang jelas Abduh dengan sikap eklektisnya ingin melepaskan umat Islam dari sekat-sekat fanatisme sektarianistik. Lebih jauh, ia ingin membebaskan umat Islam dari budaya taklidisme yang telah lama membelenggu mereka. Pada akhirnya, Abduh hendak meyakinkan bahwa “tawaran konsep” yang keluar dari kelompok dalam Ilmu Kalam bukan sebuah harga mati yang “tanpa tawar” dan “tanpa diskon”. Namun dari masing-masing mempunyai potensi untuk benar di satu permasalahan, dan salah di permasalahan yang lain. Pun sebaliknya.</span></div>Ahmad Hadidul Fahmihttp://www.blogger.com/profile/01841733022516134434noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3803797330041316914.post-61211149877189236992010-12-09T16:44:00.001-08:002012-03-10T16:02:26.623-08:00Kritik Atas Kritik Sastra Pra IslamOleh Ahmad Hadidul Fahmi<br /><br /><div align="justify">Theodor Nôldeke dalam bukunya Min Tarikh wa Naqd al-Syi’r al-Qadîm berujar, bahwa menentukan ‘batas akhir’ (nihâyah) sastra pra-Islam lebih mudah dari menentukan awal kemunculannya (bidâyah). Benarlah apa kata Nôldeke, menelusuri akar genealogis sastra pra-Islam merupakan permasalahan yang memunculkan perdebatan sengit diantara peminat kajian sastra. Ia disebut-sebut tak ditemukan akar kemunculannya. Faktornya pun beragam. Sebut saja, penelusuran terhadap transmisi sastra pra-Islam hanya berujung pada riwayâh syafawiyyah (dari mulut ke mulut), dan tak didasarkan pada kualifikasi yang jelas.<span class="fullpost"> <br /><br />Satu sampel, kodifikasi sastra pra-Islam berbeda sepenuhnya dengan kodifikasi hadis. Untuk mendaku validitas sebuah hadis harus melalui seleksi secara ketat. Berbeda dengan sastra pra-Islam; setelah periwayat hilang satu demi satu, syair-syair tersebut segera dikumpulkan sebanyak-banyaknya, baru kemudian diseleksi (al-jam’ tsumma al-tamhîsh). Padahal, signifikansi syair pra-Islam tak bisa dipandang sebelah mata, khususnya ketika berbicara bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur’an. Sebut saja sya’ir pra-Islam dipergunakan untuk menafsirkan lafadz al-Qur’an yang ambigu. Ia pun dijadikan standar bahasa Arab yang sah dan orisinil (fushâ).<br /><br />Atas dasar riwayat dari mulut ke mulut tersebut, dan tidak jelasnya kualifikasi terhadap penyampai riwayat, konsekuensinya, nalar kritis yang tidak terikat oleh doktrin lampau akan meragukan eksistensi syair pra-Islam. Nampaknya ‘keraguan’ terhadap eksistensi syair pra-Islam sendiri sudah muncul semenjak abad ke-II H, dan semakin merebak saat babakan sejarah memasuki abad ke III dan IV. Namun baru dimunculkan lagi oleh Thaha Husein dengan fî syi’ir al-jâhilî-nya. Cacatnya transmisi sastra ini pun disinggung oleh Musthafa Shadiq Rafi’i. Walaupun kajian tersebut baru tenar belakangan, namun analisa ini sejatinya sudah dimunculkan oleh sarjana Islam klasik, Muhammad bin Salam al-Jamhi dalam thabaqât al-syu’arâ-nya, walaupun konklusi yang dihasilkan berbeda sepenuhnya. Begitu pula dari Orientalis Jerman, Theodor Noldeke yang bahkan telah 65 tahun mendahului Thaha mengkaji sastra pra-Islam dan menemukan konklusi serupa, tepatnya tahun 1891 M. Abdurrahman Badawi mengumpulkan kajian Orientalis terhadap sastra pra-Islam dalam arâ’ al-musytasyriqîn hawla al-syi’r al-jâhili.<br /><br />Ilusi Sastra Pra-Islam<br /><br />Mengencani lembaran buku-buku yang mengupas sastra, semisal al-Aghânî buah tangan al-Isfahani atau al-Mughnî buah karya Suyuthi serta al-Hammâsah karangan Abu Tamam, pastinya akan menemukan fakta menarik. Bahwa terkadang satu syair dinisbatkan kepada penyair yang berbeda. Hal tersebut wajar saja, karena kala itu penggunaan peralatan tulis-menulis sebagai sarana kodifikasi masih sangat minim. Dan jarak antara penyair dan era kodifikasi sendiri berkisar 150 tahun. ‘Kekacauan’ tersebut tampak kentara saat ditemukan satu sya’ir mempunyai penutup, namun pada saat yang sama, dari sumber lain tidak ditemukan penutup (khâtimah), atau susunan suatu syair berbeda satu dengan yang lain, padahal keduanya disuarakan oleh satu penyair. Wilhelm Ahlwardt, Orientalis Jerman, menuturkan, kekacauan penisbatan serta susunan pada syai’r terdahulu bisa dikembalikan pada analisa terhadap sejarah pengumpulannya. Perbincangan sejarah pengumpulan syair Jahili sendiri mengharuskan membincang dua tokoh penggerak pengumpulan ini. Mereka adalah Hammad bin Salamah bin Dinar (w. 167 H) dan Khalaf al-Ahmar (w. 180 H).<br /><br />Nama pertama, Hammad bin Salamah, tutur Ibnu Salam, adalah orang pertama yang mengumpulkan syair pra Islam. Suyuthi dalam Thabaqât al-Nuhât menegaskan, Hammad bin Salamah adalah orang yang bisa menyanyikan 3000 ribu syi’ir jahili di luar kepala. Namun ia, hemat Wilhelm Ahlwardt, tidak terpercaya. Karena ada beberapa data yang menyebutkan bahwa Hammad bin Salamah tidak tahu sama sekali saat beberapa pertanyaan seputar syair pra-Islam dialamatkan padanya. Lebih jauh, pemuka madrasah Bashrah, salahsatu sekolah bahasa kala itu, telah melabeli Hammad dengan ‘pemalsu’. Nama kedua adalah Khalaf al-Ahmar. Ia, tutur Ibnu Qutaibah dalam al-Syi’r wa al-Syu’arâ’, adalah orang yang mempunyai kapasitas mencengangkan dalam sastra. Ia mampu mendendangkan beribu bait syair pra-Islam dengan dialek yang sama persis dengan mereka. Ia pula yang menisbatkan banyak syair terhadap Imru’ al-Qais, ‘Untarah, dll. Namun Khalaf mengalami permasalahan serupa dengan Hammad. Sampai di sini, Ahlwardt mencium ada konspirasi dari sarjana Islam terkait transmisisi syair pra-Islam yang sampai pada kita sekarang.<br /><br />Menguatkan tesis Ahldwardt di atas, Thaha Husein dalam Fî Syi’r al-Jâhilînya mengungkapkan hal senada. Bahwa ada sederetan nama penyair pra-Islam, beserta syair-syairnya yang ditransfer dan ‘dipersembahkan’ oleh para sarjana Islam hingga sampai pada kita sekarang, namun data-data yang ada tidak valid. Deretan nama penyair beserta syairnya kian ‘sakral’ tatkala muncul era kodifikasi (‘ahsr al-tadwîn), yang kemudian terekam dalam sebuah tumpukan buku-buku sejarah. Bahwa ada nama Imru’ al-Qais, ‘Amru bin Kultsum, atau klasifikasi kaum Arab pada ‘âribah (Arab asli) dan musta’rabah (ter-arabkan), serta perkataan bangsa Arab yang mencakup natsar dan syi’ir, dan lain sebagainya, adalah konsumsi publik yang kian ‘membumi’. Ketetapan-sakral-sastrawi ini menghasilkan kubu kontra yang mengawali studinya dengan metode ‘skeptisisme’ ala Descartes terhadap konsensus sarjana Islam pada masa awal. Mereka akan mengkaji ulang –catatan yang dianggap oleh manusia—sebagai sejarah, bukan sebagai sejarah, atau bahkan akan merubah sejarah itu sendiri. Bahwa syair-syair yang selama ini disematkan pada penyair-penyair pra Islam; Imru’ al-Qais, ‘Untarah, Ibn Kultsum, Zuheir, dan lain sebagainya, ternyata –melalui aspek kebahasaan-- tidak mungkin berasal dari nama-nama tersebut. Melainkan sebuah varian dialek, mitos yang berlebihan, serta asumsi dan pemalsuan yang dilakukan oleh para sarjana tafsir, hadis dan kalam yang terlahir dari upaya apologetik. Dan ternyata tidak ada yang dinamakan sastra pra-Islam (syi’ir jâhilî), karena ia hanya produk penyair paska munculnya Islam.<br /><br />Problematika dari sudut pandang lain adalah mengenai akar genealogis bahasa Arab itu sendiri. Sebab secara genealogis, bangsa Arab pra-Islam terklasifikasi menjadi dua kubu besar; pertama, Qahthaniyyah, kaum yang dinisbatkan pada Ya’rab bin Qahthan; keturunan Nabi Nuh, dan bermukim pertama kali di Yaman;kedua, ‘Adnâniyyah yang bermukim di Hijaz. Para sejarawan sepakat, bahwa Qahthan telah teristimewakan dengan bahasa Arab sebagai bahasa asli. Sedang bahasa kaum ‘Adnan adalah bahasa Ibrani. Interaksi dengan bangsa Arab membuat mereka perlahan mempelajari bahasa Arab. Keseriusan kaum ‘Adnan berbuah pada terhapusnya bahasa pertama; Ibrani. Oleh karena itu, kaum Qahthân disebut al-‘Arab al-‘Âribah, sedang ‘Adnân disebut al-‘Arab al-Musta’rabah. Kaum ‘Adnan inilah yang dikenal sebagai keturunan Isma’il bin Ibrahim. Pada kenyataannya, setelah melalui riset serius, kedua bahasa yang dipergunakan oleh bangsa asli Arab (al-‘âribah), dan yang ter-arabkan (al-musta’rabah) berbeda dari sudut pandang kaidah-kaidah gramatika yang dipergunakan. Perbedaan ini diakui oleh Abu ‘Amru bin al-‘Ala, sembari berujar: “Mâ Lisânu Himyar (al-‘âribah) bi Lisânina, wa lâ Lughatuhum bi Lughâtinâ”. Jika demikian, maka keganjilan ditemukan di sini. Bahwa kaum Qahthan dan ‘Adnan tidak pernah berinteraksi. Atau kemungkinan lain, kaum ‘Adnan membuat bahasa tersendiri yang berbeda dengan yang dipergunakan oleh kaum Qahthan. Konsekuensinya, sekarang ditemukan dua bahasa yang berbeda.<br /><br />Sedangkan nama-nama penyair yang didaku sebagai penyair pra-Islam berasal dari tanah Yaman; kaum Qahthân. Jika didasarkan pada riwayat Abu ‘Amru bin al-‘Ala --antara Qahthan dan ‘Adnan mempunyai pola bahasa yang berbeda, maka syair pra-Islam yang sampai kepada kita pun harus mempunyai pola bahasa yang berbeda dengan bahasa Arab yang dipergunakan sekarang. Namun kenyataannya tidak demikian; syair pra-Islam yang ada sekarang justru didaku sebagai bahasa orisinil kaum Arab. Oleh karenanya dipergunakan sebagai ‘panduan’ dalam menyibak kerumitan bahasa al-Qur’an, atau bahkan sebagai standar umum jika terdapat pertentangan dalam kaidah-kaidah gramatika. Maka tak salah jika kemudian muncul statement, syair-syair yang dinisbatkan pada kaum Qahthan sejatinya bukan dari mereka. Namun merupakan plagiasi yang dilakukan oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab karena sebab politik, agama, ataupun persengketaan antar kabilah.<br /><br />Kritik Pijakan Referensial Ilusi Sastra pra-Islam<br /><br />Seperti yang sudah penulis singgung di atas, kajian terhadap syair pra-Islam cukup menyita perhatian pemikir, baik Arab-Islam, atau Orientalis, semisal, Theodor Noldeke (w. 1931 M), Wilhelm Ahlwardt (w. 1909 M), D. S. Margoliouth (w. 1940 M). Di kalangan Arab-Islam, kajian progresif terhadap sastra pra-Islam dimunculkan dikembangkan oleh Thaha Husein dalam bukunya yang menuai banyak kontroversi, Fî Syi’r al-Jâhilî. Metode yang dipergunakan untuk mengkritik sastra pra-Islam adalah sama; “skeptisisme”. Di Barat sendiri, Ernest Renan (w. 1892), sang filsuf Perancis, dalam bukunya Histoire générale et système comparé des langues sémitiques, adalah orang pertama yang mempergunakan “metode” ini untuk menganalisa seputar sastra pra-Islam. Ia, misalnya, mengawali sikap skeptisnya dengan pertanyaan, apakah bahasa sastra ini telah mendahului bahasa al-Qur’an? Sedang Thaha Husein, apakah syair pra-Islam memang benar ada? Noldek meragukan turats, transmisi, serta pembawa berita (ruwât); Margoliouth menyoal mukjizat al-Qur’an –dari aspek kebahasaan—jika didahului oleh bahasa serupa. Semuanya kemudian berpusat pada satu konklusi menarik; sastra pra-Islam muncul setelah al-Qur’an diturunkan.<br /><br />Kritikus sastra pra-Islam di atas mendasarkan tesisnya pada bahasa baku yang dipergunakan oleh kaum Arab sekarang sama persis dengan syair pra-Islam. Sedangkan bahasa Arab sendiri baru dibakukan dengan dialek Quraisy. Jika sastra pra-Islam baru dikodifikasikan pada masa dinasti Umawi, maka hal ini bermuara pada dua kemungkinan; pertama, bahasa baku sastra pra-Islam adalah dialek Quraisy; kedua, sastra pra-Islam yang ada sekarang bukanlah bentukan peradaban pra-Islam. Tampaknya kritikus sastra pra-Islam, dengan beberapa argumen di atas lebih condong pada kemungkinan kedua. Ahmad ‘Ustman dalam bukunya Fî Syi’r al-Jâhilî wa al-Lughahatsar menuturkan, Thaha Husein tidak total mempergunakan metodenya. Dalam arti, jika ada konsistensi dengan metode Descartes, seharusnya ia mempertanyakan dialek Quraisy sebagai bahasa Arab baku. Faktanya, bahasa Arab baku yang dipergunakan semenjak zaman dahulu (abad ke 14 SM) –sebagaimana Homerus, dialek sastrawan Yunani, dan Qibti Mesir-- merupakan bahasa sastra dan tulisan, bukan bahasa lisan. Dan ia mencakup unsur-unsur bahasa dari bermacam dialek yang berbeda-beda, sebagaimana yang terekam dalam ‘Surat Imaranah’ –sebuah surat yang ditulis oleh raja Palestina, Fenisia, dan Suria, walaupun secara resmi penulisannya mempergunakan Akkadia. Nah, bahasa Arab baku yang berkembang sekarang merupakan perpanjangan dari percampuran dialek ini. Tutur Ahmad ‘Utsman, sastra-satra pra-Islam ditulis mempergunakan bahasa ini. Hal senada juga diungkapkan oleh Dr. Khalid al-Tuwaijiri yang menegaskan, dakwa bahwa bahasa Arab yang baku adalah dialek Quraisy tidak sepenuhnya benar. Karena faktanya dalam bahasa Arab yang baku ditemukan bahasa Yunani serta Persia. Hal tersebut wajar saja, karena akar historis bahasa Arab sendiri erat kaitannya dengan perbincangan sejarah Mesir kuno.<br /><br />Jika terekam dalam catatan sejarah, pemimpin dan raja-raja terdahulu melakukan standarisasi penulisan mempergunakan bahasa Akkadia, maka dalam dunia Arab-Islam, para penyair pra-Islam lah yang melakukan standarisasi bahasa Arab dalam penulisan syair mereka. Standar ini yang seterusnya menjadi bahasa Arab baku. Unsur-unsur yang melingkupi bahasa baku tersebut –sebagaimana disinggung di atas—tersusun dari bermacam dialek yang berbeda. Adalah Abu ‘Ubaid al-Qasim Ibnu Salam (w.838 M) salah satu pengkaji bahasa Arab yang mengumpulkan dialek-dialek bahasa Arab baku, serta menelusuri akar dialeknya dari berbagai macam suku. Ia mengupas hal ini dalam tiga bukunya yang bertajuk gharîb al-musannaf, gharîb al-qur’an, dan gharîb al-hadîts. Walaupun bahasa Arab baku sekarang tersusun dari bermacam dialek, namun ada satu karakter dominan, yakni dialek Najd, karena fushâ disusun oleh penyair-penyair dari tanah Najd. Sebagai misal, kata “hal”, “kadzalik”, serta “in” hanya dipergunakan di daerah Selatan Najd, walaupun ada pula yang merupakan serapan dari non-Arab, suku Barbar, Utara Afrika; seperti lafadz “ghad”.<br /><br />Selain itu, penyematan ‘Arab asli’ (‘Aribah) pada kaum Qahthan dan ‘ter-arabkan’ Musta’rabah pada kaum ‘Adnan cukup tak berdasar, sehingga kemudian ada asumsi, bahwa bahasa Arab kaum Qahthan harus mempunyai kesamaan dialek dengan bahasa Arab yang baku sekarang –atas dasar pertimbangan, kaum ‘Adnan pernah ‘belajar’ bahasa Arab Qahthan. Hal itu menimbang, tidak ada data sejarah valid yang menyebut demikian, selain dari mitos-mitos dalam Taurat yang menisbatkan Ibrahim pada negara Kaldani. Dan mitos ini tidak didasarkan pada data historis yang kokoh. Karena rata-rata penulis Taurat pada abad ke-6 SM adalah kaum Yahudi dari Babilonia yang hendak menisbatkan Ibrani pada negara tersebut, atas dasar, di sanalah terbentuk “peradaban” pertama kali. Oleh karena itu muncul opini kemudian, Babilonia merupakan kota pertama yang dibangun oleh manusia. Padahal faktanya, Ibrahim berasal dari Madyana, sebuah suku di Sina’ yang juga merupakan bagian dari Arab. Luthfullah Qari menuturkan, belakangan terungkap, bahasa Arab di Yaman dijumpai telah tertulis menggunakan “khath musnad”, penulisan gaya kaum Himyar. Sedang bahasa Arab di Najran sendiri mempergunakan bahasa Arab sebagaimana yang dikenal selama ini. Najran sendiri –berdasar klasifikasi Musthafa Shadiq Rafi’i dalam Târikh al-Adâb al-‘Arabî—termasuk daerah Yaman pada masa pra-Islam. Artinya adalah, antara beberapa suku Qahthan dan ‘Adnan sejatinya tidak ada perbedaan dialek. Juga ditemukan –mempergunakan “khath” serupa-- bahasa Arab yang sama di Saudi yang berasal dari abad ke II dan ke III SM. Qahthan sendiri –menurut Khudlari Beik dan analis belakangan-- merupakan percampuran dari banyak rumpun. Misalnya saja, Qahthan banyak mengadopsi lafadz-lafadz Finisia yang dipergunakan dalam praktek penulisan mereka. Hingga berlebihan jika mengatakan Qahthan merupakan bahasa Arab baku yang dipergunakan selama ini. Baku dan tidak baku dalam bahasa Arab hanyalah standarisasi yang dilakukan oleh penyair pra-Islam guna menulis syair-syair mereka. Dari sini kita bisa memahami secara lebih jernih perkataan Abu ‘Amru bin al-‘Ala terkait bahasa kaum Himyar yang dikatakan tidak sama dengan bahasa Arab baku yang sekarang.<br /><br />Namun begitu, penulis sendiri tidak mengingkari ada upaya pemalsuan yang dilakukan oleh beberapa oknum. Namun pemalsuan itu tidak mesti berimbas pada penafian eksistensi syair pra-Islam. Ibnu Salam al-Jamhi, ataupun Muhammad Shadiq Rafi’i, walaupun mengamini indikasi pemalsuan, namun tidak bisa ditarik pada kesimpulan, bahwa Ibnu Salam al-Jamhi misalnya, sebagaimana asumsi Abdurrahman Badawi, menafikan pula eksistensi syair pra-islam. Pemalsuan hadis oleh beberapa oknum yang tidak bertanggung jawab untuk mengukuhkan golongannya, sebagai sample, tidak mesti menghilangkan eksistensi hadis Nabi dalam sejarah.</span></div>Ahmad Hadidul Fahmihttp://www.blogger.com/profile/01841733022516134434noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3803797330041316914.post-48659236325613566132010-12-09T16:34:00.001-08:002012-03-10T16:03:19.560-08:00Membumikan Sekularisme Mengubur FundamentalismeOleh Ahmad Hadidul Fahmi<br /><br /><div align="justify">Mungkin Hasan Hanafi benar, saat modernisasi begitu pesatnya merasuki seluruh relung kehidupan masyarakat, maka pada saat itulah mereka berusaha mencari 'identitas' keagamaannya. Dan oleh karenanya, perjuangan merebut identitas dianggap sebuah kewajiban. Namun dalam pencarian identitas keagamaan tersebut, menurut al-Jabiri, ada perbedaan mencolok antara gerakan di masa lalu, dan di masa kontemporer. Gerakan ekstremis masa lampau saat melawan modernisme pada tataran akidah, sedang masa kontemporer pada tataran syariah. Pada tahap ini, primordialisme pun kiat menguat. Namun, rasa kebersamaan yang mencerminkan kebersamaan dan solidaritas sebagai pemeluk suatu agama pada akhrinya bergeser ke dalam bentuk radikalisme dan militanisme saat berhadapan dengan kelompok lain.<span class="fullpost"><br /><br />Implikasinya, kita secara tidak sadar menjumpai gugatan demi gugatan tentang wacana mengembalikan otentisitas (ashâlah) Islam yang semakin gencar. Bagi kalangan islam progresif, ide-ide mereka tentunya sangat kolot, konservatif. Mereka menganggap, otentisitas Islam hilang manakala dicampuri oleh unsur dari luar. Gugatan ini muncul tak hanya berbentuk ide dan gagasan, namun telah termanifestasikan dalam sebuah gerakan; ormas-ormas islam: ikhwân al-muslîmîn, Hizbut Tahrir, dan sebagainya. Dalam artian, gugatan-gugatan mereka telah masuk pada level praksis. Namun dibalik itu semua, apakah yang dimaksud dengan otentik dalam perbincangan ini? apakah yang dimaksud otentik harus ke-Arab-Araban? Menerima Islam pada masa Nabi sebagai ajaran yang transenden, stagnan, baku dan kekal tanpa mau melirik Islam dengan pehaman yang lebih substansial? Apakah islam otentik mesti "garang" terhadap semua yang bukan dari Islam; tradisi lokal dan modernitas?<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Dari Fundamentalis Sampai Fikih Siyâsah ; Sebuah Telaah Kritis</span><br />Membincang otentifikasi, maka merupakan keharusan menilik konsep politik Abu al-A'la al-Maududi. Karena dari konsep ini terlahir istilah "politik identitas". Konsep yang oleh para pengikutnya dianggap satu-satunya kebenaran. Konsep tersebut –menurut mereka– paling representatif mencerminkan otentisitas Islam. Maka muncul trademark, konsep tersebut harus diaplikasikan oleh umat Muslim se-dunia secara paripurna. Dari al-Maududi pula terlahir konsep politik agama dan Negara yang tak terpisahkan (integrated). Dengan adagium al-islâm dîn wa dawlah, pemerintah Negara – dalam asumsi mereka – dilaksanakan atas dasar kedaulatan tuhan (divine sovereignity). Karena menurut catatan bingkai sejarah versi kelompok ini, pemisahan agama dari Negara (fashl al-dîn 'an al-dawlah) adalah tindakan yang tidak ditemukan dalam Islam. Pandangan demikian ini --yang oleh Fazl Rahman – diistilahkan revivalis-fundamentalis.<br /><br />Pada hakikatnya, jika memasuki tataran praksis, terdapat kesulitan memilah antara otoritas agama dan politik. Namun kesulitan pemilahan itu bukan karena keduanya tak terpisahkan (integrated). Otoritas agama lebih cenderung subyektif, dalam arti, adanya seseorang dalam memegang kekuasaan atas nama agama diukur –menurut kacamata orang lain- dari tingkat seberapa jauh orang tersebut menjalankan agamanya. Sedang otoritas politik berangkat dari obyektivitas, karena penilaiannya berdasarkan kualitas dan kemampuan seseorang dalam menjalankan pemerintahan. Dengan demikian, ada perbedaan mencolok antara pemimpin yang berlatar belakang agamis dan politis, kaitannya dengan "jangkauan" mereka terhadap pengikutnya. Inilah yang akan penulis tuliskan dalam beberapa baris ke depan.<br /><br />Tidak ada pembahasan lebih lanjut jika pemegang tampuk kekuasaan adalah nabi SAW. Hal itu karena selain beliau memang rajul siyâsî, juga pemegang amanat risâlah dari Tuhan. Namun akan berbeda jika khalifah di tangan empat sahabat setelahnya. Sebagai misal, sampai saat ini masih saja terjadi perdebatan panjang mengenai otoritas Abu Bakar sebagai khalifah; saat Abu Bakr memerangi orang yang tidak mau membayar zakat dan gerakan murtad, para sarjana Islam masih tumpang tindih untuk menginterpretasikan sikap Abu Bakr, sebagai khalifah pengganti nabi dalam artian agama? atau sebagai khalifah yang bertendensi politik? Namun pada prakteknya, memahami sikap Abu Bakr diatas masih terlampau sulit, karena Madinah pada masa itu belum bisa dikatakan sebagai institusi negara. Jadi mau tidak mau harus memahami otoritas politik Abu Bakr secara personal.<br /><br />"Kabur"nya otoritas politik dan agama mencapai puncaknya saat Ali bin Abi Thalib terbunuh; memasuki kekuasaan dinasti Umayah. Gelar-gelar (al-alqâb) penguasa Umayah – semisal khalifatullâh – menunjukkan sangat besarnya otoritas keagamaan yang dimiliki oleh khalifah. Pada masa ini upaya politisasi agama sangat kentara. Semua yang keluar dari lisan penguasa –dengan berlandaskan al-Qur'an dan al-Hadis– hanya bentuk apologi semata. Memasuki kekuasaan dinasti Abbasiyyah, seperti kasus mihnah (inquisisi) Ahmad bin Hanbal, saat khalifah pada masa itu menganut ideologi Mu'tazilah, adalah satu contoh konkret sulitnya memilah otoritas agama dan politik. Praktek kepemimpinan yang bermuara pada satu pemerintahan, kemudian benar-benar hancur setelah pembunuhan al-Mutawakkil oleh para tentara bayaran Turki yang membantunya meraih kekuasaan.<br /><br />Bagi penggemar Arkoun tentu terperanjat dengan pembacaan sejarah di atas. Karena interpretasi sejarah menurut Arkoun bisa dikatakan lebih radikal; baginya hubungan antara agama dan politik mengalami konversi semenjak berkuasanya dinasti Umayah dan Abbasiyah. Sebab dinasti Umayyah dan Abbasiyah murni terlahir di atas pertempuran tragis. Maka –menurut pembacaan Arkoun-- klaim agama dan politik sebagai entitas yang tak terpisahkan masih dapat diterima sepenuhnya hingga berakhirnya kekuasaan al-khulafâ al-rasyîdîn.<br /><br /> ***<br /><br />Sampai disini kita perlu untuk mengintip sejenak konsep para intelektual Islam dalam menilai corak perkembangan politik yang variatif. Walaupun tak se-radikal konsep al-Maududi, namun fikih siyâsi dijadikan salah satu rujukan untuk melegitimasi tindakan kalangan konsevatif. Hal ini merupakan paradoks-paradoks politik Islam yang tidak membaca Islam dalam pemahaman yang lebih substansial.<br /><br />Terma politik dalam Islam, tak akan lepas dari tiga pendekatan; filosofis, juristik dan teologis, serta administratif. Pendekatan filosofis dalam politik –menurut Madjid Fakhri dalam A History of Islamic Philoshopy-- tak dapat dipisahkan dengan aliran filsafat Yunani kuno yang telah mengalami Helenisasi dalam bentuk Neo-Platonisme. Anggapan senada juga keluar dari lisan sarjana Islam klasik, bahwa pendekatan filosofis dalam politik merupakan adopsi tulen dari peradaban Yunani semata. Dalam corak ini, kita bisa menjumpai nama al-Farabi dengan arâ' ahl al-madînah al-fadlîlahnya, Ibnu Bajjah dengan tadbîr al-mutawahhid, serta Ibnu Sina dalam fî aqsâm al-ulûm al'aqliyyahnya.<br /><br />Kitapun bisa menjumpai fikih politik dengan pendekatan adminstratif – seperti jika disusun oleh seorang wazir (perdana menteri) sebagai petunjuk untuk penguasa – jika penulis tidak mempunyai latar belakang teolog atau juris. Hingga kebanyakan buku-buku yang ditulis dengan corak administratif seakan tendensius; isinya kebanyakan berisi pujian dan sanjungan terhadap penguasa. Al-Jawhar al-Nafîs fi Siyâsat al-Raîs yang dianggit oleh Ibnu al-Haddad, serta al-Adâb al-Kabîr buah tangan Ibnu al-Muqaffa' merupakan salah satu buku politik dalam corak ini.<br /><br />Sedang corak juristik dan teologis merupakan pure poltical. Dikatakan pure political karena – seperti Asumsi 'Abid al-Jabiri – memasukkan politik (al-siyâsah) dalam wilayah netral pengetahuan fiqh yang bernalar bayânî. Dan riset al-Jabiri - dalam takwîn al-'aql al-'arâbî – menunjukkan selama beberapa waktu yang lama, seluruh pengetahuan yang sifatnya bayânî –termasuk fikih– murni ditegakkan diatas sendi-sendi ortodoksi tekstual yang dibangun ulama, bukan diatas ortodoksi penguasa. Al-ahkâm al-shulthaniyyah buah tangan al-Mawardi serta Ghiyyâts al-umamnya al-Haramain cukup mewakili beberapa karya dalam bidang politik melalui pendekatan juristic, dan teologis dengan al-isryâdnya, sebab beliau menyinggung permasalahan al-Imâmah didalamnya.<br /><br />Sejatinya, pendekatan politik juristic-teologis inilah yang merepresentasikan penyatuan agama dan politik. Walaupun berangkat dari konsep hubungan yang simbiotik (antara agama dan politik) --dalam arti Negara memerlukan agama dan sebaliknya– namun pada tataran praksis, yang ada malah Negara menelikung agama. Ajaran-ajaran agama yang seharusnya mengatur kehidupan bernegara, malah diatur oleh penguasa dan dibatasi ruang geraknya. Agama dieksploitasi sedemikian rupa, sehingga cenderung menuju konsep al-islâm dîn wa dawlah (islam adalah agama dan Negara). <br /><br />Maka konsep politik al-Maududi (al-islâm dîn wa dawlah) dan konsep politik yang melalui pendekatan juristic-teologis –melalui buah tangan al-Mawardi misalnya-, tidak ditemukan perbedaan yang mencolok. Dalam arti, keduanya –pada akhirnya– sama-sama berjalan pada satu jalur. Sebagaimana keduanya masih menyisakan perbedaan yang signifikan; al-Mawardi melihat jabatan khalifah adalah penerus misi kenabian. Sedang Maududian tetap berpendapat kekuasaan yang absolut ada di tangan tuhan.<br /><br />Konsep al-Mawardi yang mendengungkan hubungan simbiotik antara agama dan Negara, tidaklah terlahir begitu saja. Lahirnya ide hubungan simbiotik antara agama dan Negara sangat berkait-kelindan dengan corak politik melalui pendekatan administratif; mengambil sample Abdullah Ibnu al-Muqaffa', misalnya. Satu contoh, dalam bukunya al-Adâb al-Saghir, Ibnu al-Muqaffa' menjadikan muhâsabah al-nafs dan riyâdlah bersifat sosio-politis dari yang tadinya disakralkan oleh kalangan sufi. Dengan meminjam "cara pendekatan kaum sufi" tersebut, Ibnu Muqaffa' menggunakannya untuk menjamin stabilitas Negara dengan memanipulasi konsep-konsep agama, sehingga dari sana kalangan elit bisa terkontrol secara otomatis. Begitu pula ia memanipulasi al-'aqîl dzû al-fadl wa al-'ilm (sebutan untuk orang berilmu), dari yang tadinya bentuk ketaatan pada Tuhan, menjadi ketaatan kepada pengusa.<br /><br />Dus, tidak terlalu berlebihan untuk mengatakan dari awal konsep politik dengan pendekatan juristik, sudah mulai tercium aroma politisasi agama, namun dengan ruak gerak yang berbeda. Anggapan seperti ini muncul, berangkat dari upaya manipulatif yang dilakukan corak konsep politik melalui pendekatan administratif. Dan yang ternyata mengilhami al-Mawardi dalam al-ahkâmnya. Oleh karena itu – menurut al-Jabiri dalam al-'aql al-siyâsî – penulis sekaliber al-Jahiz dalam al-tâj dan al-Tharthusyi – dalam sirâj al-mulûk menjadikan ketaatan penguasa merupakan manifestasi dari ketaatan pada tuhan (thâ'ath al-imâm min thâ'athillâh).<br /><br /><br /> ***<br /><br />Namun dibalik itu semua, ada perbedaan yang signifikan antara tampuk kekuasaan pada masa Nabi dan generasi setelahnya. Hemat Ahmad an-Na'em dalam Islam and Secular State: Negotiating the Future of Syaria, yang juga sejalan dengan gagasan Abdurraziq dalam al-islâm wa ushûl al-hukmnya, kepemimpinan pada masa nabi – hampir – tidak bisa diinterpretasikan sebagai kepemimpinan politik. Sedangkan generasi setelah beliau – pada hakikatnya - lebih tepat untuk dimaknai sebagai kepemimpinan yang bersifat politis; bukan agamis. Oleh karena itu tindakan Abu Bakr dalam menumpas pemberontakan bisa diterima oleh para shahabat dengan memandang Abu Bakr sebagai pemegang otoritas politik. Juga penolakan beberapa shahabat – diantaranya Umar bin al-Khattab - saat Abu Bakr memerangi kelompok yang tidak mau membayar zakat membuktikan otoritas Abu Bakr bersifat politis, bukan agamis. Tentu kondisinya akan berbeda, jika jabatan khalifah saat itu dipegang oleh Umar.<br /><br />Dan al-Maududi dengan pandangan politiknya, sebagaimana dikatakan oleh Abu al-Hasan al-Nadawi dalam al-Tafsir al-Siyâsî li al-Islâm, terlalu membatasi ajaran Islam terbatas pada hubungan Tuhan dan manusia semata. Jika konsep al-Mawardi sedikit banyak terpengaruh dengan upaya manipulatif Ibnu al-Muqaffa', al-Maududi – menurut penulis – telah jatuh pada kesalahan pemahaman; mengasumsikan kondisi politik pada zaman nabi dan generasi setelahnya sebagai satu kesatuan. Padahal keduanya sangat jelas berbeda. Bisa juga kita ambil perspektif Arkoun jika hendak menelaah secara kritis konsep al-Maududi, yaitu memahami format ideal politik islam sebagai satu-satunya model yang solutif serta otentik, adalah suatu sikap "abai" terhadap nilai-nilai historisitas (al-târikhiyyah). Dan hal itu berimplikasi pada pensakralan pemikiran keagamaan, dan dikukuhkan oleh makin kuatnya cara berpikir yang mengedepankan ortodoksi dan dogmatisme.<br /><br />Adapun konsep politik yang diambil dari praktek politik nabi dan shahabat (juristik), sangat kentara sekali adanya unsur-unsur politisasi agama didalamnya (walaupun dengan ruang gerak yang berbeda), sebagaimana yang sudah penulis tuliskan di atas. Walaupun corak yang ada bersifat simbiotik, namun konsep-konsep Ibnu al-Muqaffa' juga cukup berperan dalam pembentukan fikih siyâsî model al-Mawardi pada umumnya. Padahal langkah-langkah Ibnu Muqaffa' yang manipulatif sudah tercium pada ide-idenya guna men"sakralkan penguasa" dimata rakyat. Pengaruh Ibnu Muqaffa' pada konsep fikih siyâsî terlihat jelas pada pengharaman kritik terhadap penguasa. Oleh karena itu al-Ghazali dan al-Mawardi menamakan buku mereka nashîhat al-mulûk (nasehat pada raja-raja), padahal didalamnya berisi kritik terhadap penguasa.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Problematika Hubungan Ulama dan Penguasa; sekularisme sebuah solusi</span><br />Adalah Sahl bin Salma al-Anshary, salah satu warga Baghdad yang mengalungkan kertas di lehernya menyeru al-amr bi al-ma'rûf wa al-nahy 'an al-munkar. Ia dengan tindakannya tersebut berhasil meraup banyak dukungan dari penjuru kota, tak terkecuali ulama sekaliber Ahmad bin Hanbal. Dalam orasinya, Sahl menyeru untuk kembali ke al-Qur'an dan al-Sunnah guna melawan dan menumbangkan otoritas Negara yang telah gagal menegakkan syariat islam. Dengan demikian, organisasi yang dibangun oleh Sahl mewakili kemunculan spontan sebuah pemerintahan bersifat keagamaan yang militan dan menolak otoritas khalifah secara terbuka. Kejadian ini tepatnya bersamaan dengan tragedi mihnah pada masa al-Makmun; independensi teologis Ahmad bin Hanbal dan pengikutnya.<br /><br />Tindakan memisahkan diri sekelompok ulama, sebagaimana satu contoh diatas, bukanlah awal kalinya terjadi. Namun, sebelum itu, tidak sedikit ulama yang menilai otoritas politik penguasa sudah tidak bisa dipertanggungjawabkan melalui kacamata agama. Muhammad al-Ghazali dalam al-istibdâd al-siyâsî menuliskan kasus khalifah Abdul Malik bin Marwan yang melamar putri salah satu ahli fikih Madinah (fuqâha' sab'ah), Sa'id bin Musayyab (w.94H), untuk putra mahkotanya. Sa'id menolaknya dan buru-buru ia menikahkan putrinya dengan salah seorang muridnya yang miskin. Penganggit kitâb al-mihan, Abi al-'Arabi, menyebut "salah satu riwayat" penolakan Abu Hanifah untuk menjadi Hakim (al-Qadli ) menyebabkan khalifah Abu Ja'far al-Mansur meletakkan racun dalam minumannya, dan ia (Abu Hanifah) meninggal karena meminum racun tersebut. Abu Yusuf – sahabat karib Abu Hanifah– tidak diterima riwayatnya oleh ulama hadis (muhadditsîn) karena ia pernah menjadi Qâdli. Pada Abad ke 4 H, muncul asumsi dari para ulama bahwa antek penguasa setara dengan orang fasik. Lebih parah lagi, mereka harus segera diminta bertaubat (istitâb). Jika ada antek penguasa yang sudah melepaskan diri dari pemerintahan, kemudian ia kembali ke pemerintahan untuk kedua kali, maka para ulama menyebutnya dengan murtad. Dan seabreg kasus lain yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu di sini.<br /><br />Jika Muhammad al-Ghazali menangkap fenomena tersebut sebagai al-istibdâd (kelaliman), penulis melihat, apa yang dilakukan oleh para ulama mencerminkan sikap preventif karena kesadaran mereka terhadap misi suci sebuah agama yang akan terkotori jika disatukan dengan institusi pemerintahan. Karena yang akan terjadi selanjutnya adalah upaya politisasi agama, atau melegimatasi tindakan penguasa atas nama agama. Oleh karena itu, sangat diperlukan upaya sekularisasi. Sekularisasi di sini bukan pemisahan agama secara total, namun ia bermakna –seperti yang sering ditulis oleh Nurcholis Majid– menduniawikan hal-hal yang memang bersifat duniawi, dan mengukhrawikan hal-hal yang memang bersifat ukhrawi. Atau memilih mana yang profan, dan mana yang transendental. Dengan begitu, tidak ada lagi upaya atau peluang untuk mempolitisasi isu-isu keagamaan, apalagi memanipulasinya secara tak bertanggung jawab.<br /><br />Keberanian 'Ali Abdurraziq dalam menelorkan fatwanya yang kontroversial, seakan membuka pintu-pintu baru bagi pemikir Islam yang lain untuk mengeluarkan unek-unek mereka tentang pemisahan negara dan agama. Setelah Abdurraziq mengeluarkan karya monumentalnya, al-islâm wa ushûl al-hukm, tepatnya tahun 1925 M, satu tahun kemudian Thaha Husaen mengeluarkan buku yang bersisi tata cara pembentukan Negara sekular yang bertajuk mustaqbal al-tsaqâfah fî misr. Di waktu Ali Abdurraziq dan Thaha Husein mendapat kecaman keras dari pemerintah, Muhammad Husein Haikal Basya mendukung ide tersebut dengan tulisan-tulisannya di majalah-majalah ternama saat itu. Namun keadaan menjadi berubah, ketika Abdurraziq menarik pendapatnya disebabkan tekanan pemerintah pada saat itu. Setidaknya permasalahan akan lain, jika pemerintah tidak campur tangan dengan ide-ide Abdurraziq. Karena sekarang tulisan-tulisan Abdurraziq seakan sudah tidak bernilai, dengan apologi ia sudah menarik gagasannya kontroversinya.<br /><br />Di balik itu, jika kita mencermati khazanah turats, gagasan sekularisme (fashl al-dîn 'an al-dawlah) sejatinya sudah bisa dijumpai pada tulisan-tulisan sarjana klasik. Sebut saja Ibnu Rusyd, yang menyinggung inklinasi sekularisme. Namun sayangnya --sebagaimana disebutkan oleh Arkoun dalam al-akhlâq al-siyâsahnya- ajaran tersebut tenggelam dalam sejarah yang didominasi oleh politisasi agama.</span></div>Ahmad Hadidul Fahmihttp://www.blogger.com/profile/01841733022516134434noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3803797330041316914.post-21080295155374812302010-12-09T14:38:00.002-08:002012-03-10T16:03:51.004-08:00Akal dan Tuhan<div align="justify"><blockquote>Al-hamd li Wâhib al-‘Aql wa Mubdi’ih, wa Mushawwir al-Kull wa Mukhtari’ih, Kafâ Ihsânuh al-Qadîm wa Ifdlâluh, wa al-Shalah ‘alâ Sayyid al-Anbiya’ wa Ashabih<br /> --Abi Nashr al-Farabi—</blockquote><br /><br />Memahami Tuhan, merupakan keniscayaan yang bermula dari argumen eksistensi Tuhan. Karena kedua hal tersebut merupakan “fase”, dimana tak akan mampu memahami esensi Tuhan, sebelum meyakini bahwa Tuhan ada. Argumen pembuktian eksistensi Tuhan sendiri terklasifikasi menjadi tiga; kosmologi (al-dalîl al-kawnî), ontologi (al-dalîl al-wujûdî), dan teleologi (al-dalîl al-thabî’i al-Lâhûtî). Ada argumen keempat yang tidak dimasukkan pada daftar argumen, karena ia berdasar pada kesepakatan universal dan tidak didasarkan pernyataan logis; bahwa Tuhan ada, namun tanpa disokong oleh argumen lain. Tak pelak, terdapat perdebatan yang cukup akut bahkan dalam setiap macam argumen tersebut. Saling kritik dan menunjukkan kelemahan. Lebih jauh, Hume menyatakan kegagalan tiga argumen tersebut, yang pada akhirnya mengantarkan pada skeptisisme. Penulis di sini bukan ingin mengetengahkan perbedaan paradigma terhadap pembuktian eksistensi Tuhan. Hanya ingin berangkat dari sebuah pijakan, Tuhan itu ada. Aksioma yang tentunya kita sepakati bersama. <span class="fullpost"> <br /> <br />Merupakan hal yang naluriah, seperti ungkap Ramadhan al-Bhouti, manusia pasti berupaya untuk mengetahui hakekat Tuhan. Mengimani zat yang “Ada” namun tak diketahui (majhûl), bagi sebagian orang tentu akan menjadi beban. Apalagi untuk iman yang menuntut totalitas. “Sebagian orang” yang merasa terbebani akhirnya memilih menggunakan akalnya untuk menyelami esensi Tuhan. Ketika menelusuri beberapa buku teologi, penulis hampir tidak menemukan penjelasan hakekat Allah. Allah hanya didefinisikan sebagai zat tunggal, transenden (al-Muta’âlî), serta yang menciptakan segala hal. Ia juga yang diistilahkan --seperti bahasa Aristoteles-- sebagai al-Muharrik al-Awwal (penggerak pertama). Atau sebuah definisi komunal, Allah adalah sesembahan semua manusia (ma’bûd al-jamâ’ah). Descartes mengatakan, Allah adalah wujud sempurna (al-Wujûd al-Kâmil). Namun semuanya ini berlaku tatkala dibenturkan pada segala hal selain Allah yang berfungsi sebagai pembanding. Ketika manusia berawal (hâdis), maka Allah tak berawal (qadîm). Atau saat Alam raya tersusun dari jism(corpuscle), maka Allah tak mungkin tersusun dari jism. Dan seterusnya.<br /><br />Tuhan yang “majhûl” berkonsekuensi memunculkan perbedaan pemahaman terhadap hakekat Tuhan. Tuhan, menurut Mujassimah, adalah Tuhan yang berupa jism (corpuscle). Perbuatan Tuhan diandaikan dengan fenomena yang terjadi pada manusia. Satu bukti konkret dipaparkan oleh al-Asy’ari dalam Maqâlât al-Islâmiyyin tatkala menyebut Hasyim bin Salim yang mengatakan Tuhan serupa dengan bentuk manusia, namun tak mempunyai darah dan daging. Perspektif semacam ini pertama kali muncul di tangan Syi’ah Rafidlah, kemudian diteruskan –menurut sebagian kalangan Asy’ariyah—oleh Ibnu Taymiah, dan yang kemudian menjelma menjadi Wahabiyah. Tuhan menurut Mu’tazilah adalah Tuhan yang tidak mempunyai atribut (al-sifhât) tanpa meneruskan untuk menyelami esensiNya. Pandangan ini pertama kali muncul dari mulut seorang Jahm bin Shafwan. Oleh karena itu Mu’tazilah kadang disebut dengan nama Jahmiyyah. Sedang Tuhan menurut Asy’ariyah adalah Tuhan yang mempunyai atribut dengan bermacam klasifikasinya, yang jika ditelusuri alur logikanya sangat mungkin sampai pada penyerupaan (tasybîh). Karena terlalu banyak berbicara tentang sifat dan hampir ke arah tasybîh, Asy’ariyah –oleh beberapa filsuf—dikatakan sebagai Shifâtiyyah. Jika kita lacak pada literatur Mu’tazilah ataupun Asy’ariyah, keduanya tak menawarkan konsep konkret tentang Tuhan. Namun hal ini dapat dimaklumi, karena latar munculnya kedua sekte tersebut lebih bersifat apologetik. <br /><br />Fenomena sangat menarik pun terjadi di sini. Tuhan yang dikonsep melalui penalaran, namun selanjutnya disalahkan pula oleh penalaran. Penalaran Mu’tazilah terhadap Tuhan berani memfalsifikasi penalaran Asy’ari; Penalaran Asy’ari terhadap Tuhan berani memfalsifikasi penalaran Mujassimah atau Syi’ah; Lebih jauh, penalaran teologis berani memfalsifikasi penalaran filosofis. Pun sebaliknya. Ironisnya, falsifikasi penalaran terhadap penalaran yang lain kemudian dikemas dengan kata “kafir”. Padahal penalaran merupakan sebentuk konsepsi manusia yang tak berkaitan dengan agama. Jika masing-masing mendaku penalarannya selaras dengan agama sehingga berwenang mengemas falsifikasi penalaran yang lain dengan kata “kafir”, maka penulis pun layak untuk bertanya, apakah Tuhan pernah mendefinisikan diriNya sendiri? Paling jauh, jawaban yang nantinya muncul hanya berkutat pada “indikasi-indikasi” yang tersurat dalam dua teks otoritatif Islam. Padahal, ketika berbicara “indikasi”, baik Mu’tazilah, Mujassimah, Syi’ah, dll, telah merasa memakai “indikasi” tersebut guna menuju ke arah konsepsi yang lebih “jauh”.<br /><br />Jikalau Tuhan yang “majhûl” dirupakan melalui cara pandang beberapa sekte dalam Islam, maka sejatinya esensi Tuhan ditundukkan oleh nalar tatkala keluar dari indikasi menuju ke arah yang lebih “jauh”. Tuhan yang tak pernah menggambarkan esensiNya sendiri mencoba ditundukkan oleh nalar melalui “indikasi-indikasi” yang multi-interpretatif. Konsekuensinya, esensi Tuhan akan senantiasa berubah disesuaikan dengan varian penalaran manusia. Penalaran yang sampai pada titik tertinggi, untuk sementara waktu mungkin dengan bangga memegang “bendera kemenangan”: layaknya Mu’tazilah dan Asy’ariyah yang “pernah” sampai pada penalaran tertinggi keterpisahan antara zat Tuhan dengan Alam, yang selanjutnya sampai pada titik menolak Tuhan sebagai jism. Namun, penalaran ini sampai pada titik nadir tatkala Ibnu Rusyd muncul dengan mega proyek “dekonstruksi kalam Asy’ari”, yang secara khusus tertuju pada al-Ghazali. Sampai akhirnya muncul Ibnu ‘Arabi yang mencoba “menyelami” Tuhan menggunakan argumen demonstratif-empirik. Kemunculan Ibnu ‘Arabi dalam percaturan polemik tersebut, hemat Hendry Corbin, mencoba menyatukan Ghazalian-sentris dan Rusydian-sentris. Namun lagi-lagi alur pemikiran Ibnu ‘Arabi dan beberapa pandangannya, hanya memahami Tuhan secara ontologis; keberadaan Alam dan manusia sebagai badan “otonom” yang “diperlukan” Tuhan untuk merealisasikan Zat. <br /><br />Konsekuensi logis dari varian penalaran semacam ini, akan memunculkan Tuhan ala Mu’tazilah, Tuhan ala Asy’ariyyah, atau “versi-versi” yang lain. Fenomena ini boleh jadi akan mengantarkan kita pada satu konklusi penting; Tuhan tak bisa ditembus oleh akal. Maka, tepatlah jika ada sabda Nabi SAW: Tafakkarû fî khalqillah, wa lâ tafakkarû fil-Lah (bolehlah kalian berpikir tentang ciptaan Allah, namun jangan sekali-kali memikirkan tentang (hakekat) Allah). Oleh karena itu, sebenarnya keberagamaan manusia –meminjam istilah Assyaukani-- tidak lebih dari “dalam batas iman saja”. Namun boleh jadi hendak mengantarkan kita pada konklusi “lain” yang tak patut untuk disebutkan pada tulisan ini. Wallâh a’lam.</span> </div>Ahmad Hadidul Fahmihttp://www.blogger.com/profile/01841733022516134434noreply@blogger.com0