Tuesday 1 November 2011

Akar Pemikiran Islam (Upaya Meneguhkan Identitas)

Oleh Ahmad Hadidul Fahmi

Deskripsi Era Kebangkitan; Sebuah Pengantar
Jamak diketahui, kreativitas umat Islam terhenti besamaan dengan runtuhnya dinasti-dinasti Islam yang pernah mengukir masa keemasannya; dinasti Umayah hingga hingga Muwahhidin takluk pada Kristen; Abbasiyyah harus takluk pada tentara Mongol yang membakar habis isi perpustakaan Bait al-Hikmah di Baghdad. Sebab ini banyak sejarawan yang mematok kemunduran Islam dengan kehancuran kota Baghdad dan Andalusia. Selain juga kekuasaan Kekaisaran Utsmani di Mesir semenjak 1517 sampai 1798 M, pun menjadi satu faktor yang tidak bisa diabaikan. Kekaisaran Turki Utsmani dikenal sebagai penebar kebencian dengan ambisi besarnya untuk selalu berperang, serta kebutaan mereka terhadap ilmu peradaban, mekanisme hukum dan aturan-aturan politik. Daerah jajahan mereka teramat luas sampai ke Eropa; Costantinople, Baltik, Balkan, Yunani, Hungaria, Austria-Prusia, akan tetapi mereka tidak mempunyai sistem politik yang tangguh. [1]

Pada abad ke-18, Volney, pelancong dari Prancis, mengunjungi Mesir dan Syam. Bermukim di sana selama empat tahun. Ia mengatakan, bahwa kebodohan dalam keilmuan, seni dan sastra memenuhi generasi Negara ini. Pernyataan Volney ini sampai pada kesimpulan, untuk mengentaskan mereka dari keterbelakangan, tidak mungkin dari generasi mereka sendiri. Akan tetapi harus dari orang lain (ajnabi). Sampai pada titik ini, bisa dikatakan bahwa peradaban Islam ‘tidak bisa bertemu’ dengan peradaban Barat dalam hal kebudayaan, keilmuan atau sistem politik. Kemerosotan umat Islam paling tidak meniscayakan kesenjangan dengan the other. Kebodohan ini sampai pada titik nadir karena Barat—semenjak Perang Salib—enggan membuka pintu peradaban terhadap Islam. Umat Islam kemudian mengalami apa yang disebut “stagnasi peradaban” (tawaqquf al-hadlarah). Apa yang disebut pengetahuan bagi umat Islam adalah pengetahuan agama. Adapun ilmu-ilmu dunia tidak ada fungsinya bagi mereka selain ilmu Hisab untuk menghitung warisan, atau falak untuk mengetahui waktu shalat.[2] Tokoh yang paling representatif untuk menggambarkan keterbelakangan Mesir adalah Abdullah Al-Jabarti (w. 1825) dalam Ajâib al-Atsâr.

Jika kebangkitan di Eropa dimulai pada abad ke 15 dan 16, disusul dengan era modern (al-haddatsâh), maka klasifikasi bentangan peradaban ini hendak diaplikasikan pada laku sejarah peradaban Islam. Umat Islam baru menjumpai era kebangkitan pada abad ke 19. Artinya, empat kurun adalah jeda waktu pembeda “kebangkitan Eropa” dan “kebangkitan Islam”; peradaban Islam sekarang ada di abad ke 15 dan 16 peradaban Eropa. Era kebangkitan dunia Arab ditandai dengan munculnya kesadaran nasionalisme yang tinggi, gerakan revitalisasi agama, akulturasi pengetahuan Barat ke dalam peradaban Islam, serta “gerakan pencerahan” (harakah tanwîriyyah). Selanjutnya, sebagaimana pernah terjadi di Barat, kita akan melakukan pembelaan terhadap kehormatan dan peradaban manusia; mendirikan Negara yang demokratis; meragukan segala temuan ilmuwan di masa lalu; serta membangun ilmu pengetahuan. Masa kebangkitan Eropa mencapai temuan-temuan di bidang kemanusiaan, alam dan agama, serta terjemah karya-karya ulama agung Islam ke dalam bahasa Latin[3]. Maka ketika kita membaca karangan sarjana Barat, dengan meminjam bahasa seorang ilmuwan Timur, peristiwa tersebut kita sebut dengan “kekayaan kita yang dikembalikan pada kita”. [4]

Tertinggalnya Timur dari Barat kemudian memunculkan apa yang disebut oleh para pemikir dengan “Kritik Diri” (al-nadq al-dzâti); sebuah upaya untuk mencari apa yang salah dengan Timur, dan kenapa Barat jauh meninggalkan Timur setelah sebelumnya di bawah kekuasaan umat Islam. Fenomena ini yang oleh Syakib Arselan diabadikan dalam judul bukunya dengan ttajuk, Li Madza Ta’akhkhara al-Muslimun wa Taqaddama Ghairuhum. Sebenarnya filosofi kritik diri—sebagaimana disebutkan oleh Allal al-Fasi dalam al-naqd al-dzâtî--berasal dari sifat yang dimiliki oleh semua manusia; egoisme. Kehilangan sifat egois—hemat Allal al-Fasi—berarti kehilangan eksistensi diri. Egoisme yang diarahkan pada tindak positif pada hakikatnya bisa mengangkat derajat dan martabat seseorang. Egoisme yang mengarah pada tindak negatif adalah sikap yang hanya mementingkan diri sendiri tanpa memperdulikan yang lain. Akan tetapi, egoisme bisa dikategorikan dalam tindak positif jika kemaslahatannya kembali pada eksistensi komunitas, atau jama’î.[5] Mungkin teori ini sangat berkait erat dengan apa yang disebutkan oleh Ibnu Khaldun, bahwa kemajuan peradaban atau—dalam lingkup kecil—komunitas, bisa didapatkan melalui “fanatisme kesukuan”. [6]

Mesir adalah Negara pertama yang merasakan “kesadaran” ini—terutama setelah invasi Napoleon Bonaparte tahun 1798. Fahmi Jad’an memandang, ‘proyek kebangkitan’ pada hakikatnya bisa didapat dari sosok Hassan al-Athar (w. 1835 M), tepatnya pada abad ke 19. Sebuah kalimat sangat terkenal yang dikutip dari al-Athar berbunyi, “Negara kita harus berubah keadaannya, dan harus diperbaharui dengan pengetahuan yang tidak ada di dalamnya”. Al-Athar adalah orang yang secara langsung bersinggungan dengan ilmuwan-ilmuwan Prancis yang dibawa oleh Bonaparte. Dengan mengajarkan Bahasa Arab pada mereka, al-Athar juga menyerap pengetahuan-pengetahuan yang sama sekali baru dan tidak dijumpainya sebelumnya. Al-Athar pula yang menyadarkan generasi Mesir tentang pengetahuan-pengetahuan baru yang ia dapatkan dari ilmuwan Prancis. Generasi itu adalah Rifa’ah Rafi’ al-Thathawi, Ibrahim al-Dasuqi, Mohammad Iyyadl Thantawi dan Mohammad Umar al-Tunisi. Bonaparte, bagi al-Athar, membawa dua misi sekaligus; penjajah sekaligus penjelajah. Bonaparte, selain menjajah, ternyata juga membawa ilmuwan-ilmuwan berkompeten untuk meneliti Mesir dan masyarakatnya. Adalah Rifa’ah al-Rafi’ al-Tahthawi (w. 1873 M). Ia diutus oleh Mohammad Ali (w. 1849 M), pemimpin Mesir kala itu, ke Prancis tahun 1826 M. Ia pun diwasiati oleh gurunya, Hassan al-Athar, untuk mengabadikan semua yang didengar dan dilihat, dalam bukunya yang bertajuk Takhlîs al-Ibrîz fi Talkhîs al-Bâriz.[7]

Selepas itu, datang Jamaluddin al-Afghani (w. 1897 M) di masa yang ia sebut sebagai “masa penjajahan” (zaman al-isti’mâr). Ia berkeliling ke pelbagai daerah dan menemukan bahwa umat Islam terpecah menjadi bermacam golongan dengan pendakuan masing-masing sekte terhadap tunggalitas kebenaran. Gagasan besar Jamaluddin al-Afghani adalah pada agama itu sendiri. Ia menganggap bahwa kuatnya agama sebagai tonggak bagi majunya peradaban, dan lemahnya agama berbanding lurus dengan keterbelakangan sebuah peradaban. Gagasan ini kemudian dikerucutkan oleh Mohammad Abduh melalui “rekonstruksi ilmu kalam” yang tertuang dalam bukunya Risalah al-Tawhid. Secara garis besar, gagasan Mohammad Abduh adalah pada optimalisasi nalar dan menghindari cara berpikir yang stagnan. Dalam pandangan Hassan Hanafi, gagasan Jamaluddin al-Afghani yang diteruskan oleh Mohammad Abduh—berserta Rasyid Ridla—inilah yang disebut revitalisasi agama (al-ishlah al-dînî).[8]

Akan tetapi perlu dicermati di sini, diferensiasi perihal kemajuan secara universal atau peradaban (al-taqaddum al-‘umrânî), dan kemacuan yang bersifat pencerahan (al-taqaddum al-tanwîrî) penting untuk diperhatikan.[9] Icon kemajuan universal terwakili oleh Hassan al-‘Athar[10], Rifa’ah al-Thahtawi. Sedang kemajuan yang bersifat pencerahan, bisa ditilik pada sosok Khairuddin al-Tunisi, Abdurrahman al-Kawakibi, Qasim Amin, serta ‘Ali Yusuf. Kemajuan secara universal mencakup segala lini kehidupan, adapun kemajuan yang bersifat pencerahan lebih memperhatikan hubungan tradisi dan tuntutan modernitas. Pandangan generasi al-Tunisi secara garis besar ada pada harmonisasi antara ilmu agama dan ilmu dunia. Ilmu dunia ini pada hakikatnya didedikasikan untuk ‘berkhidmat’ pada ilmu agama. Jika kita runtut ke belakang, gagasan ini sudah muncul semenjak masa al-Kindi yang kemudian menemukan momentumnya di tangan Ibnu Rushd dalam polemiknya dengan al-Ghazali dalam bukunya yang bertajuk Fashl al-Maqâl fî Mâ baina al-Syari’ah wa al-Hikmah min al-Iththishâl. Walhasil, Turats bukanlah tradisi masa lampau yang tidak bermakna. Namun dalam tradisi terdapat energi hidup dan daya dobrak tentang kesadaran berpikir, berperilaku, dsb. Piranti yang dimunculkan untuk menuju kebangkitan teramat beragam, sebagaimana sebab-sebab kemunduran pun dinilai dari pelbagai macam sudut pandang. Ketika pemahaman a-historis (Allâ Târikhî) terhadap “tradisi” dianggap sebagai penyebab kemunduran, maka pembaharuan terhadap tradisi pun menyita perhatian pemikir. Para pemikir kontemporer menawarkan pelbagai alternatif yang dianggap mampu membawa umat Islam menuju kebangkitan.

Dalam perbincangan sejarah peradaban, yang menjadi perbincangan hangat bukanlah pada bagaimana menciptakan inovasi pada hal-hal yang bersifat duniawi. Mengadopsi teknologi, industri dan pengetahuan umum dari Barat, adalah sebuah keniscayaan. Keniscayaan ini mendapat justifikasi dari hadis Nabi, “kalian lebih mengetahui urusan duniawi kalian”. Sedang mengadopsi “pengalaman atau pemahaman keagamaan” dari orang Barat untuk diaplikasikan pada umat Islam, hal inilah yang mendapat perhatian secara luas dari pelbagai pihak.



Kemajuan dan Tradisi; Akar Pemikiran
Melalui pengantar singkat di atas, paling tidak ada tiga kubu yang mendominasi wacana “kebangkitan”; pertama, revitalisasi agama (al-islâh al-dînî) dengan tokohnya Jamaluddin al-Aghani; 2) liberal (al-libraliyyah) dengan tokohnya Rifa’ah al-Thahthawi; 3) sekuler (al-‘ilmâni) dengan tokohnya Syibli Syumail. Ketiganya ini-–hemat Hassan--sejatinya tetap mengambil spirit tokoh pra-masa kebangkitan. Pertama, tokoh-tokoh yang dijadikan rujukan adalah Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab, Ibnu Taymiah, dan selanjutnya Ahmad bin Hanbal. Kedua, tokohnya adalah Hassan al-‘Athar, Ibnu Rusyd, pemikiran Mu’tazilah serta para Juris politik Islam belakangan, seperti al-Tharthusyi, Ibnu al-Azraq. Dan ketiga, tokohnya adalah para sarjana Matematika, Sejarah, Bahasa. Dari setiap kubu ini menghasilkan tiga generasi; 1) Revitalisasi menelorkan Muhammad ‘Abduh, Rasyid Ridla, dan Hassan al-Bana; kedua, Liberal menelorkan Ahmad Luthfi Sayyid, Qasim Amin, dan ‘Ali Abd al-Raziq, Thaha Husein, dan Al-‘Aqqad; ketiga, Sekuler menelorkan Salamah Musa, Niqola Haddad, Ya’qub Maruf, Isma’il Madzhar dan Zaky Najib Mahmud.[11]

Kelompok revitalis melihat, masa lalu adalah kegemilangan. Yang disebut “maju” adalah pandangan yang bisa sampai, atau minimal menyamai kegemilangan masa lalu. Setidaknya paradigma ini ditopang oleh dua argumen; pertama, transferensial (al-naql). Jika Nabi bersabda bahwa generasi beliau adalah sebaik generasi, kemudian dilanjutkan generasi setelahnya (shahabat), dan generasi tabi’in, maka semakin jauh dari generasi Nabi, sebuah generasi akan lebih ‘terbelakang’. Oleh karena itu, yang disebut generasi progresif, atau terma progresivitas (taqaddumi), meniscayakan upaya meniru generasi Nabi dan dua generasi setelah beliau; kedua, esensi teks-teks dari Nabi itu sendiri, atau atas dasar fakta realitas. Adalah al-Jahidz (w. 255 M), sastrawan besar Muktazilah, dalam tulisannya yang bertajuk Risalah fi al-Nabitah, mengatakan bahwa masa di mana ia hidup adalah fase kekufuran (marhalat al-kufr). Fase kekufuran, baginya, datang setelah fase tauhid (marhalat al-tawhid), yang terejawantah pada masa Nabi, dan fase penyimpangan (marlahat al-fujûr), yang terejawantah setelah masa Nabi; terbunuhnya Umar, chaos politik pada masa Utsman yang mengantarkan terbunuhnya khalifah ketiga ini, dan kekacauan besar pada masa Ali. [12] Inklinasi ini kemudian lebih dikenal dengan “salafisme”.

Akan tetapi, sebenarnya kecenderungan salafisme ini banyak terilhami oleh pemikiran Rasyid Ridla, murid Mohammad Abduh. Dalam beberapa hal, pemikiran guru dan murid ini memang banyak berbeda, terutama dalam permasalahan fundamental. Seperti kecenderungan Rasyid Ridla pada Ibnu Taymiah, dan Ahmad bin Hanbal. Ia dengan terbuka memerangi tokoh-tokoh modern-liberal, seperti Luthfi Sayyid, Thaha Husein, Qasim Amin, dll. Radikalisme Rasyid Ridla menguat di tangan Hassan al-Banna dengan Ikhwan al-Muslimin, dan Sayyid Quthb yang mempopulerkan teori “kedaulatan Tuhan”. Quthb juga memandang pemerintahan yang dipegang oleh Jamal Abdal-Nashir pada masa itu adalah pemerintahan jahili. Hal ini tentu saja membuat Sayyid Quthb “berhadapan” dengan pemeritahan Jamal, yang menghantarkan Quthb ke penjara, sekaligus dihukum mati pada tahun 1966. [13] Pada hakikatnya, generasi Hassan al-Banna, Sayyid Quthb dan Ahmad ‘Awdah ini sudah terputus dari pemikiran Rasyid Ridla, walaupun secara teoritis mereka diikutsertakan dalam barisan “revitalisasi agama”. Sebab, mereka memandang bahwa gerakan kebangkitan sudah gagal mengentaskan umat Islam dari keterbelakangan. Sebagai gantinya, perjuangan dalam ranah politik harus digalakkan untuk mendirikan Negara Islam dan masyarakat islami.[14]

Menanggapi “penafsiran radikal” terhadap hadis Nabi ini, para pemikir kerap mempergunakan argumen Imam Ghazali yang datang menghantam “teori kemajuan” di atas dengan argumen transferensial pula. Baginya, memang betul, setiap masa yang jauh dari masa kenabian, maka akan semakin tidak baik. Akan tetapi patut dicermati, bahwa “kejelekan sebuah masa” ini hanya dalam rentan waktu satu abad (100 tahun). Sebab, di setiap seratus tahun, sebagaimana janji Nabi, akan datang pembaharu yang mengentaskan sebuah masyarakat dari keterbelakangan. Pada titik ini bisa kita cermati dua point penting; pertama, Imam Ghazali hendak mengganti keputusasaan umat Islam dengan sebuah harapan di setiap seratus tahun; kedua, kritik tajam atas konsep al-Mahdi al-Muntadzar sekte Syi’ah, di mana sekte Syi’ah menaruh harapan besar terhadap datangnya Imam Mahdi yang akan mengentaskan mereka dari keterbelakangan.

Selain juga, fakta riilnya, setelah dipraktikkan kecenderungan ini—bagi sebagian kalangan—tidak lagi mampu menghadapi keterbelakangan peradaban. Adonis dalam bukunya al-Tsabit wa al-Mutahawwil melihat, yang dimaksud ‘kemajuan’ bukanlah memandang ke belakang, sebagaimana yang diungkapkan oleh kaum fundamentalis. Sebab, yang disebut ‘identitas’ harus selalu bersentuhan dengan realitas. Realitas Mesir pra kebangkitan, sebagaimana digambarkan secara apik oleh Al-Jabarti dalam ‘Ajaib al-Atsar, dengan ulama-ulamanya yang dikelilingi oleh ilmu-ilmu agama, tetap tidak menjadikan Mesir mampu mengejar ketertinggalannya dari Barat. Bahkan masuknya Napoleon Bonaparte ke Mesir sekaligus menjadi permulaan dari apa yang disebut dengan “masa pencerahan” (‘ashr al-tanwîr). Bonaparte mengatakan pada masyarakat Mesir, “sesungguhnya manusia semuanya sama di hadapan Allah. Yang membedakan mereka hanyalah akal, keutamaan-keutamaan, dan ilmu saja”. Yang mensukseskan hal ini sebenarnya ada pada utusan-utusan intelektual yang dimulai semenjak masa Mohammad Ali. Dalam benak mereka, Yunani mengambil dari Mesir kuno, Arab mengambil dari Yunani, Persia dan India. Eropa, dengan pelbagai latarbelakangnya mengambil dari Arab. Oleh karena itu, sangat mungkin sekali, bahkan sebuah keharusan, kita akan memasuki medan baru. Setelah sebelumnya terjebak lebih dari lima kurun dengan khurafat Mamalik dan Utsmani, kita harus mengambil pengetahuan dari Eropa.

Inklinasi yang bertolak belakang dengan revitalisasi agama adalah sekularistik. Bagi kaum sekularis, kemajuan bisa didapat melalui totalitas umat Islam meniru peradaban Barat. Apabila di Barat berkembang teori Darwin, maka pemikir Arab mencoba mengaplikasikan teori ini pada dunia Arab. Yang mula-mula mempraktikkan ini adalah Francis Marrash (w. 1874 M). Kemudian inklinasi sekularistik menjadi madzhab filsafat resmi di tangan Syibli Syumail dalam bukunya falsafat al-nusyu’ wa al-irtiqâ’, Farah Anton, Niqola Haddad dan Salamah Musa. Syibli Syumail mengatakan dalam bukunya tatkala mengkritik Darwin, “yang saya heran dari teori Darwin ini adalah, walaupun Darwin pencetus pertama teori ini, akan tetapi dia tidak menghasilkan temuan produktif apapun dari teorinya itu”.[15] Pandangan sekularis bertitik tolak pada agama merupakan fenomena ilmiah-historis, sosial, politik, ekonomi, undang-undang atau budaya. Syibli Syumail melihat bahwa agama adalah faktor dominan perpecahan umat Islam. Ia dan Salamah Musa pernah menerbitkan majalah mingguan yang diberi nama “al-mustaqbal”. Akan tetapi ditutup setelah terbit 16 kali. Ilmu-ilmu yang mendominasi pandangan sekularistik ini adalah ilmu-ilmu umum, meliputi ilmu alam, matematika, dan sains. Pandangan politiknya adalah pemisahan agama dari Negara secara total. Isma’il Madzhar mencoba mencari justifikasi sekularisme dari peradaban Islam melalui turats Ikhwan al-Shafa dan Ibnu Thufail dengan novelnya yang terkenal, Hayy bin Yaqdlan.[16]

Dus, Madzhab Darwin yang berdiri abad ke-19 menginspirasi Karl Marx (w. 1883 M) dan Friedrich Engels (w. 1895) untuk mendirikan madzhab baru dengan pemikiran dan konstruk yang berbeda yang diberi nama Materialisme-Dialektik. Madzhab ini mempunyai karakteristik dominasi logika dialektik yang dipelajari Marx dari Hegel. Pada praktiknya, pemikiran Materialisme-Dialektik nantinya banyak mengilhami analisa historis pemikir Arab membaca peradaban Islam, semisal Husein Muruwah dalam al-Naz’ah al-Mâdiyyah fi al-Falsafah al-Arabiyyah atau Mahmud Isma’il. Analisa dialektis terhadap sejarah mengandaikan laju sejarah terus menerus berkembang (tathawwur dâim) yang terdapat satu keterpengaruhan logis antara suatu masa dengan masa setelahnya. Pandangan dialektis terhadap sejarah artinya memandang sejarah sejara objektif tanpa tercampur fanatisme sektarianistik. Sebenarnya Ibnu Khaldun telah menciptakan teori ini 5 abad sebelum Darwin, sebagaimana disebutkan Sathi’ al-Hushri dalam bukunya.

Namun inklinasi sekularisme inipun mendapat kritik tajam; meniru Barat secara total artinya menghilangkan identitas sebagai bangsa Timur di satu sisi, dan umat Islam di sisi yang lain. Salah seorang pemikir yang mengkritik kecenderungan “mbebek” ini adalah Thaha Abdurrahman. Bagi Thaha, dua inklinasi, taklid pada tradisi adalah perbuatan yang tidak baik. Lebih tidak baik lagi, jika sudah mendeklarasikan dirinya memerangi taklid dengan melepaskan diri sepenuhnya dari tradisi, akan tetapi justru mengambil semua yang datang dari Barat tanpa ada filterisasi.[17] Hassan Hanafi sendiri menciptakan kajian “ke-baratan” sebagai respon dari orientalisme. Kajian tersebut dinamakan “Oksidentalisme”. Fungsi oksidentalisme sendiri hendak mengembalikan Barat pada batas alamiahnya. [18]

Pukulan telak Israel ke dunia Arab tahun 1967, adalah masa yang sangat menentukan perjalanan pemikiran Arab Islam, sekaligus merubah arus pemikiran. Di era modern, muncul inklinasi yang mengkritik interpretasi yang bersumber dari taklidisme. Fase ini kemudian lebih dikenal dengan “fase kritik”.[19] Dikatakan kritik karena kritikan lebih dominan dari pada menawarkan solusi konstruktif. Fase ini pada hakikatnya baru dimulai pada sepertiga terakhir abad ke-20, dan masih terus berlangsung sampai sekarang.

***

Ada baiknya kita simak terlebih dahulu pemetaan global Ali Harb terhadap perjalanan pemikiran Islam; fase pertama, ditandai oleh Rifa’ah Rafi’ al-Thathawi yang bersentuhan secara langsung dengan peradaban Barat; fase kedua, fase “peneguhan identitas”. Tokohnya adalah Jamaluddin al-Afghani, Mohammad Abduh, Jurji Zaidan, ‘Abdurrahman al-Kawakibi, Khairuddin al-Tunisi, Syibli Syumail. Karakteristik fase kedua ini paling tidak; pertama, tergambarkan dalam gerakan reformasi dan rekonstruksi tradisi, sebagaimana tergambar dari karangan-karangan Mohammad Abduh; kedua, tergambarkan dalam bentuk teorisasi kebangkitan yang mengadopsi dari pemikiran Eropa, sebagaimana tergambar dari karangan Syibli Syumail; fase ketiga, adalah “fase liberalisme dan pencerahan pemikiran”. Tokoh-tokohnya adalah Luthfi Sayyid, Qasim Amin, Ali Abd al-Raziq, Thaha Husein, Salamah Musa, Thahir al-Haddad, yang mempunyai karakter terbuka dengan peradaban luar dan banyak terpengaruh darinya. Hal ini terlihat dari pemikiran Qasim Amin dalam bukunya Tahrîr al-Mar’ah, atau Thaha Husein yang mempergunakan metode skeptisisme Deskartes untuk membaca tradisi dan sejarah, Ali Abd al-Raziq yang melihat keharusan keterpisahan agama dan Negara (khilafah dan syariah). Generasi liberal yang mempunyai pandangan sekularistik ini mempunyai arus lain yang muncul dari generasi Mohammad Abduh ke Rasyid Ridla; salafisme.

Fase keempat, fase revolusi dan gerakan pembebasan yang didasarkan pada asas Islam, sebagaimana tergambar dari pemikiran Hassan al-Banna, Sayyid Quthb, Mohammad Baqir Shadr, Ruh Allah Khumaini, atau didasarkan pada paham nasionalisme, seperti pada Shati’ al-Hushri, Anton Sa’adah, atau didasarkan pada paham sosialis, sebagaimana para penganut Marxis. Selepas masuknya Israel tahun 1967, dimulai babak baru perjalanan pemikir kontemporer, sebagaimana bisa didapat dari Abdullah al-Urwi dalam ideologi Arab kontemporer, Shadiq Jalal Adzim dengan kritik agamanya, atau Adonis melalui kritik tradisi, Abid Jabiri dengan Kritik Nalar Arab, Mohammad Arkoun dengan Kritik Nalar Islam, dll. Era inilah yang disebut dengan era modern, di mana mereka lebih banyak memberikan kritik tajam dari pada menawarkan solusi konstruktif. Fase ini juga dikenal dengan “fase kritik”. Ali Harb menuturkan, setelah fase kritik ini masih ada fase yang disebut “kritik atas kritik”. Jika yang pertama mendaku sebagai modernis, maka yang kedua disebut dengan post-modernis. Post modernis diproyeksikan untuk mendekonstruksi nalar, pencerahan, kemajuan, inklinasi humanis, rasionalitas dan proyek-proyek pembebasan modernitas.[20]

***

Nah, pada era modern, dialektika antara tradisi—meminjam istilah Hassan Hanafi sebagai al-ana, dan realitas atau al-waqi, serta eksistensi peradaban Eropa yang diistilahkan dengan al-akhar, menemukan momentumnya. Para pemikir yang datang pada generasi di atas semakin menunjukkan keintimannya dengan pengetahuan-pengetahuan dari Barat. Sebagaimana umat Islam dari sarana yang diciptakan oleh Barat, kita berpikirpun dengan metode Barat: konsep, metode, pemikiran, dll. Singkatnya, pemikir Islam masih berkutat pada wacana menghadapkan Islam pada kejayaan pihak lain dan berusaha mereformasi kemunduran ini melalui rekonstruksi tradisi. Tradisi “dilibatkan” karena mereka kini dihadapkan pada kompleksitas kekinian di satu sisi, di sisi yang lain, tradisi masih kuat mencengkram umat Islam dalam batas yang tidak disadari. Melalui redaksi Adonis dikatakan, “kita harus mengetahui apa yang dulu merupakan diri kita, dan apa yang akan datang juga merupakan diri kita.” Sebenarnya jika diperhatikan secara seksama, arus pemikiran di era modern merupakan perpanjangan dari konsep yang pernah ditawarkan oleh Khairuddin al-Tunisi, Mohammad Abduh, al-Kawakibi, serta Ali Yusuf—tokoh kemajuan-pencerahan.

Dalam era modern ini, bermacam proyek telah dilontarkan oleh begawan pemikir kontemporer. Secara garis besar, proyek-proyek itu tidak melewati batas tradisi sebagai identitas, dan tidak total dalam mengadopsi madzhab-madzhab pemikiran dari Barat. Pemikiran mereka kemudian disebut dengan filsafat Arab kontemporer (falsafat al-arabiyyah al-mu’âshirah) yang menghasilkan proyek filsafat (al-masyrû’ al-falsafî) tertentu.

Filsafat Islam; Gambaran Kesadaran Umat Islam
Inklinasi pemikir Timut Tengah pada abad 20 adalah hendak mengembalikan otentisitas pemikiran Islam; melalui penghadiran kembali pemikiran Islam yang autentik. Musthafa Abd al-Raziq (w. 1947), murid Muhammad Abduh sekaligus mantan Syaikh al-Azhar bersuara lantang agar filsafat Islam kembali dikaji dan dihadirkan dalam bentuknya yang paripurna. Kajian yang matang terhadap pemikiran al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, al-Ghazali, Ibnu Thufail, Ibnu Rushd dilakukan olehnya. Dari Musthafa Abd al-Raziq lahir generasi-generasi yang meneruskan kecenderungan ini; Musthafa Hilmi. Musthafa Hilmi disebut-sebut penerus Musthafa Abd al-Raziq di Universitas Kairo dengan penguasannya yang mendalam terhadap diskursus tasawuf, khususnya pemikiran Ibnu al-Faridl. Selain Musthafa Hilmi, dikenal juga Muhammad Abdul Hadi Abu Raydah yang mendedikasikan hidupnya belajar filsafat. Ia yang menulis buku bertajuk Ibrahim bin Sayyar al-Nadzam wa Arauhu al-Kalamiyyah (Ibrahim bin Sayyar al-Nadzam dan pandangan-pandangan teologisnya). Dari pemikiran Abu Raydah, ada kecenderungan secara implisit yang mengatakan bahwa pemikiran Mu’tazilah adalah representasi keautentikan filsafat Islam. Ia mempunyai komentar mendalam terhadap kajian sejarah filsafat Islam T. J De Boer, yang diterjemahkan dari bahasa Jerman ke Arab dengan judul Tarikh al-Falsafah al-Arabiyyah.

Dar al-Ulum juga menghasilkan sarjana yang berhaluan sama dengan pemikiran Musthafa Abd al-Raziq. Adalah Mahmud Qasim. Ia mempunya metode baru dalam kajian filsafat Islam; menghidupkan kembali pola pikir rasional dari generasi Arab. Kajian yang mendalam terhadap pemikiran Ibnu Rushd tersebar luas dari sosok ini, entah dalam bahasa Prancis ataupun Arab. Dari pemikiran Mahmud Qasim disebutkan, Ibnu Rushd merepesentasikan keautentikan pemikiran Islam. Dan Ibnu Rushd—dalam komentar-komentarnya terhadap karya Aristoteles—juga melakukan inovasi dan tidak mengikuti pandangan-pandangan Aristoteles secara paripurna. Bahkan Ibnu Rushd, menurut Mahmud Qasim, mempengaruhi pemikiran Thomas Aquinas. Hal itu tertuang dalam bukunya yang bertajuk Atsar Ibn Rushd fi Thomas al-Akwini (pengaruh Ibnu Rushd terhadap pemikiran Thomas Aquinas).

Selain nama-nama itu, Ali Sami Nasyar menyebut dalam bukunya Nasy’at al-Fikr al-Falsafi fi al-Islam (Kemunculan Pemikiran Filsafat dalam Islam), ada nama Ammar al-Thalibi dengan pembahasannya yang mendalam terhadap pemikiran Khawarij, Ibnu al-Arabi dan Ibnu Badis; Dr. Mohammad Rasyad Salim melalui kajiannya terhadap Ibnu Taymiah; Dr. Fawqiyyah Hassan dengan pemikiran Imam Haramayn, pakar teologi Asy’ari; Dr. Fathullah Khalif dengan kajiannya yang mendalam terhadap Imam Fakhr al-Din al-Razi dan Maturidiyah; Dr. Abdul Qadir Mahmud dengan pemikirannya terhadap sekte Imamiyah dan sejarah tasawuf; Dr. Ahmad Subhi melalui kajiannya yang mendalam terhadap ilmu kalam dan tasawuf Islam. Dari Tokoh al-Azhar, dikenal sosok besar Abdul Halim Mahmud, dengan kajiannya yang mendalam terhadap pemikiran Islam, secara spesifik tasawuf. Selain itu, ada Muhammad Abdurrahman Bayshar dengan varian pembahasannya terhadap pemikiran dan filsafat Ibnu Rushd dan Abu Hamid al-Ghazali. Sulaiman Dunya juga tak boleh ditinggalkan; melalui analisa dan pengkajian secara komprehensif terhadap pemikiran Abu Hamid al-Ghazali.[21]

Di sini akan sedikit saya paparkan tentang pendakuan filsafat Islam yang dituliskan oleh Ali Sami Nasyar dalam bukunya Nasy’at al-Fikr al-Falsafi fî al-Islâm. Pertanyaan mendasar yang muncul adalah, apakah ada yang membedakan antara filsafat Islam dengan filsafat Yunani? Beberapa analis Timur Tengah, dan pemikir Eropa mengatakan, tidak ada kreativitas dalam filsafat Islam. Mereka mengatakan, bahwa filsuf Islam adalah al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Bajah, Ibnu Sina, Ibnu Thufail, Ibnu Rushd. Para filsuf ini yang hendak mengharmoniskan filsafat Islam dengan filsafat Yunani, atau hendak menundukan filsafat Islam pada filsafat Yunani. Memang Orientalis mulai memusatkan perhatian mereka terhadap kajian peradaban Islam, spesifiknya, filsafat Islam. Akan tetapi, kajian orientalis pada umumnya hanya membidik permasalahan parsial filsafat Islam. Filsafat Islam--bagi orientalis--hanyalah copy-paste dari peradaban Yunani semata. Ernest Renan (w. 1892 M), filsuf asal Prancis, mengatakan bahwa tokoh paripatetik (al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Bajah, Thufail, Abu al-Barakat al-Baghdadi) tidak bisa membuahkan inovasi apapun dalam filsafat. Dalam bukunya Histoire générale et système comparé des langues sémitiques, dikatakan bahwa kecenderungan nalar kaum semitik hanya pada produksi pemikiran tauhid (penunggalan Tuhan) semata. Paul Lapie (w. 1927), dalam bukunya Les Civilisations Tunisiennes, mengatakan watak orang Arab adalah berpikir ke belakang (regresif), sedang Yahudi, merupakan pemikir visioner yang selalu memandang ke depan (progresif). Salomon Munk, dalam bukunya Mélanges de philosophie juive et arabe, mengatakan bahwa Ibnu Rushd tidak memberikan konstruk episteme filsafat apapun, melainkan hanya komentator terhadap buku Aristoteles semata. Begitupula dari D.Strauss dan Leon Gauthier. Adapun kajian filsafat Islam secara historis (komprehensif), hanya dilakukan oleh tiga tokoh saja; pertama, Salomon Monk, yang bertajuk Melanges de Philosophie Juive et arabe; kedua, T. J De Boer, yang diterjemahkan oleh Abu Raydah dengan judul Tarikh al-Falsafah al-Islamiyyah; ketiga, Carra de Vaux dalam bukunya Les Penseurs de I’Islam.

Kemunculan Musthafa Abdurraziq kemudian membantah asumsi ini. Ia mempergunakan metode pelacakan kemunculan filsafat Islam melalui analisa terhadap karya-karya sarjana besar Islam sebelum bersentuhan dengan peradaban Yunani. Musthafa Abdurraziq kemudian berpandangan bahwa sarjana Islam mempunyai pemikiran cara berpikir independen yang menjadikan karakteristik mereka. Karakteristik ini ada pada dua disiplin ilmu keislaman; ilmu kalam dan ushul fikih. Dengan sendirinya, pandangan ini meniscayakan asumsi bahwa al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Bajah, Ibnu Sina dan Ibnu Thufail hanyalah komentator filsafat Yunani. Penjelasannya adalah, peradaban Islam tersusun dari beberapa diskursus penting; pertama, filsafat Aristoteles yang berkombinasi dengan Neo-Platonis di satu keadaan, dan Platonisme di sisi yang lain; kedua, tasawuf yang terklasifikasi menjadi dua; tasawuf falsafi, di mana konsep-konsepnya sudah tercampur dengan filsafat Yunani, Neo-Platonis, Hermetisme dan Gnostisisme dari India dan Persia; tasawuf sunni, di mana konsep-konsepnya diambil dari al-Qur’an dan al-Sunah; ketiga, ilmu kalam yang bertugas untuk “melindungi” akidah-akidah umat Islam dengan argumentasi-argumentasi rasional; keempat, ushul fikih, untuk menentukan kaidah umum guna menghasilkan hukum cabang dari dalil-dalil terperinci. Dengan kata lain, ushul fikih adalah metode fikih; kelima, ilmu sosiologi, filsafat politik dan filsafat sejarah. Kecenderungan ini dimulai dengan metode historis semenjak sosok al-Mas’udi, Ya’qubi, kemudian al-Thabari, al-Ghazali, al-Mawardi, Ibnu Khaldun, dst; keenam, filsafat Nahwu, yang mana hendak mempraktikkan teori filsafat Yunani dalam ilmu nahwu. Dengan demikian, dua disiplin yang menggambarkan orisinalitas pemikiran Islam adalah ilmu kalam dan ushul fikih.[22]

Penulis akan mencontohkan satu teori yang diciptakan oleh teolog Muktazilah, Abu Hudzail al-Allaf; al-Jawhar al-Fard (atomisme). Aplikasi atomisme adalah; jika Allah mengetahui semua hal, maka yang dinamakan "segala sesuatu" pasti terhitung; ada, wujud, terbatas. Maka bagian-bagian dari alam raya pun harus bisa dihitung (qâbilan li al-'add) atau perwujudan dari sesuatu yang terbatas, karena eksistensi selain Allah adalah bentuk "kumpulan", dan sesuatu yang terkelompok, pasti mempunyai partikel (ajzâ). Sehingga jika Allah mengetahui segala sesuatu, maka partikel yang menjadi bagian dari "segala sesuatu" juga termasuk di dalamnya. Demikian teori keberawalan alam menurut para teolog. Lalu dimanakah peran atomisme dalam teori keberawalan alam ?

Alam adalah eksistensi selain Allah. Berawal (hâdis) atau tidak berawal (qadîm) nya alam, tergantung dari terbatas (mutanâhi) atau tidak terbatas (ghair al-mutanâhi)nya bagian yang melengkapi alam. Jika bagian yang melengkapi alam sampai pada batas tertentu (had mu'ayyan), maka batas paling akhir dari bagian tersebut itulah yang dinamakan al-jawhar al-fard (atom). Dengan kata lain atom adalah batas maksimal suatu pembagian. Di sini para teolog sekaligus merobohkan argumen filsuf yang berasumsi alam itu tak berawal. Mereka, teolog, mengatakan: jism (corpuscle)-–yang dalam hal ini merupakan bagian dari alam--pada prakteknya ada keterpautan antara satu dengan yang lain. Karena secara kasat mata, misalnya, gajah berbeda dengan semut. Jika tidak terbatas (ghair al-mutanâhî)-–sebagaimana asumsi para filsuf-–maka tidak ada bedanya antara gajah dan semut. Padahal komponen yang tersusun dalam tubuh keduanya berbeda.

Jika sudah terbukti bahwa alam (segala sesuatu selain Allah) hâdist (berawal), maka sebuah keniscayaan membutuhkan pada muhdits (pencipta). Karena keberawalan (hâdits) di sini “tarjîh al-wujûd 'ala al-'adam”. Dalam arti, "wujud"nya alam karena mengalahkan kemungkinan "tidak ada" nya alam. Sehingga mengharuskan ada kekuatan dari luar yang menjadikan alam tersebut ada dengan mengalahkan kemungkinan "tidak ada". Sebagaimana seorang penulis yang bisa menjadikan ada dan tidak adanya sebuah tulisan. Adanya keinginan (menjadikan atau tidaknya sesuatu) tersebut itulah--dalam istilah ilmu kalam--dinamakan kehendak (al-irâdah).[23]

Kemudian teori tersebut diadopsi oleh Abu al-Hasan al-Asy'ari sampai terbentuk sekte Asy'ariyah. Diteruskan oleh Ibnu Mujahid, kemudian al-Qadli Abu Bakar al-Baqilani. Dari al-Qadli, dilanjutkan oleh Abu al-Ma'ali al-Juwainy (Imam al-Haramain) dalam al-syâmil fi ushûl al-din-nya. Imam al-Haramain mempunyai murid Abu Hamid al-Ghazali, penghancur filsafat dengan tahâfut al-falâsifahnya. Munculnya al-Baqilani, Imam Haramain dan Imam Ghazali yang mengkritik filsuf Arab itu sejatinya meneguhkan bahwa peradaban Islam mempunyai pemikiran independen.

Penutup
Sebenarnya masih banyak yang perlu dibahas pada makalah ini. Makalah ini jauh untuk disebut komprehensif jika memotret pemikiran paska Kebangkitan. Akan tetapi dengan sedikit ulasan dari penulis bisa—paling tidak—memetakan gagasan pemikiran paska kebangkitan beserta perkembangannya. Dan semoga tulisan ini bermanfaat.



[1] Ahmad Amin, Zu’ama al-Ishlah fi al-‘Ashr al-Hadits, Beirut: Dar al-Kutub Al-Arabi, tt, hlm. 5-7
[2] Mohammad Imarah, Rifa’ah al-Thathawi; Râid al-Tanwîr fî al-Ashr al-Hadîts, Kairo: Dar al-Syouruq, cet. II, 1988, hlm. 8. Bandingkan juga dengan Ahmad Amin, Zu’âma’ al-Ishlâh, Op. Cit.,hlm. 5-7
[3] Untuk meneropong fenomena perpindahan filsafat Islam ke dalam peradaban Eropa secara komprehensif, lihat Muqaddimah fî ‘Ilm al-Istghrâb, Kairo: Dar al-Fanniyah li al-Nasyr wa al-Tawzi’, 1991 hlm. 204.
[4] Hassan Hanafi, Muqaddimah fî Ilm al-Istighrâb, Op.Cit., 1991, hlm. 235.
[5] Allal al-Fasi, al-Naqd al-Dzâtî, Kairo: Al-Mathba’ah al-‘Alamiyyah, cet. I, 1952, hlm. 1-4
[6] Abdurrahman bin Khaldun, Muqaddimah, Beirut: Dar al-Fikr, cet. I, 2001, hlm. 160
[7] Fahmi Jad’an, al-Madli fi al-Hadlir; Dirâsah fî Tasyakkulât wa Masâlik al-Tajarrubah al-Fikriyyah al-‘Arâbiyyah, Beirut: Dar al-Faris li al-Nasyr wa al-Tawzi’, cet. I, 1997, hlm. 472-473
[8] Hassan Hanafi, Humûm al-Fikr wa al-Wathan; al-Fikr al-‘Arabi al-Mu’âshir, Kairo: Dar al-Quba’ Li al-Thiba’ah wa al-Nasyr wa al-Tawzi’, Juz II, 2003, 427-435
[9] Ibid.,hlm. 472
[10]Hassan al-‘Athar memberikan dua agenda yang harus ditempuh menuju kebangkitan: Taghyîr al-Ahwâl dan Tajdîd al-Ma’ârif.
[11] Hassan Hanafi, Humûm al-Fikr wa al-Wathan al-Fikr al-Araby al-Mu’âshir, Op. Cit., hlm. 51
[12] Lihat selengkapnya pada Fahmi Jad’an, Usus al-Taqaddum inda Mufakkirî al-Islâm, Kairo: Dar al-Syouruq, cet. III, 1988, hlm. 28-29
[13] Ibrahim A’rab, Al-Islâm al-Siyâsi wa al-Haddâtsah, Beirut: Ifriqiya al-Syarq, 2000, hlm. 40
[14] Ibid., hlm. 41
[15] Sayyid Husein Thabathaba’i, Usus al-Falsafah, Beirut: Dar al-Ma’arif li al-Mathbu’at, tt, hlm. 33
[16] Hassan Hanafi, Humum al-Fikr, Op. Cit., hlm. 435-439
[17] Thaha Abdurrahman, Rûh al-Haddâtsah, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, cet. I, 2006, hlm.11
[18] Lihat selengkapnya pada kajian Hassan Hanafi dalam Muqaddimah fi Ilm al-Istighrâb, Kairo: Dar al-Fanniyah li al-Nasyr wa al-Tawzi’, 1991.
[19] www.arabphilosophers.com
[20] Ali Harb, Azminat al-Haddatsah al-Fâiqah, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, cet. I, 2005, hlm. 64-67
[21] Lihat Ali Sami Nasyar, Nasy’at al-Fikr al-Falsafi fi al-Islâm, Kairo: Dar al-Ma’arif, cet. VII, hlm. 24-27
[22] Ibid.,hlm. 47-48
[23] Lihat Ibnu Rushd dalam al-Kasyf ‘an Manahij al-Adillah fi ‘Aqâid al-Millah, pada pengantar Mohammad Abed al-Jabiri, Beirut: Markaz al-Dirasat al-Wahdah al-‘Arabiyyah, cet. I, 1998, hlm. 22-24. Penulis juga pernah mendeskripsikan teori atomisme dalam tulisan singkat penulis, “Muktazilah; Implementasi Teori Ilmu Kalam”

No comments:

Post a Comment