Oleh Ahmad Hadidul Fahmi
Ilmu Kalam pada kurun terakhir mengalami stagnansi yang signifikan. Fanatisme sektarianistik demikian membumi. Imbas fanatisme ini pada akhirnya membuahkan konflik yang berkepanjangan. Di satu sisi, ilmu pengetahuan kian berkembang. Teori-teori klasik semakin kentara kecacatannya. Abd al-Jabbar al-Rifa’i menuturkan, stagnansi Ilmu Kalam cukup kentara semenjak Nashir al-Din al-Thusi (w. 672 H) mengeluakan al-Tajrîd-nya. Para teolog--setelah al-Thusy--seperti mati suri. Karena, pada seperempat terakhir abad ke 7, al-Tajrîd kemudian menjadi tolak ukur para ahli Kalam dalam proses menganggit kitab; seperti al-Mawâqif buah tangan ‘Idl al-Din al-Ijiy (756 H), atau al-Maqâshid karya Sa’id al-Din al-Taftazani (792 H). Dari semenjak ini, perkembangan Ilmu Kalam sebatas pada tinjuan ulang terhadap karya-karya klasik tanpa ada inovasi yang berarti.
Di lain pihak, pada penghujung abad 18, umat Islam mulai bersentuhan dengan peradaban Barat. Khususnya Mesir, yakni semenjak berpulangnya Syekh Rifa’at al-Tahtawi dari Perancis (1831 M). Melalui beberapa disiplin ilmu yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, ia mampu membangunkan geliat intelektual dunia Arab yang mati suri. Sebagaimana di Mesir, di India terjadi fenomena yang tak jauh berbeda: seruan Sayyid Ahmad Khan untuk menyatu dengan peradaban Barat. Sayyid Ahmad Khan (w. 1898 M) kemudian mengarang tafsir yang mengharmoniskan maksud suatu ayat dengan ilmu kontemporer. Dengan metode barunya ini, ia menyerukan untuk melepaskan ideologi umat Islam untuk diganti dengan keyakinan yang lebih relevan. Sebagaimana ia juga menyerukan humanisasi agama dalam bukunya Tibyân al-Kalâm.
Tak ayal, gagasan Ahmad Khan di atas cukup menimbulkan kontroversi di tubuh umat Islam saat itu. Sanggahan-sanggahan untuk Ahmad Khan bermunculan, seperti dari Jamal al-Din al-Afghani (w. 1897 M), Sayyid Akbar Husein Ilah Abadiy (w. 1921 M), dll. Namun justru dari babak ini pula kebangkitan Ilmu Kalam perlahan berjalan. Pakar teolog mulai melepaskan diri dari budaya syarah, hâsyiyah, ta’lîq, serta sikap lain yang tidak menampakkan produktivitas mereka. Gagasan rekonstruktif mereka bisa digolongkan pada dua haluan besar: pertama, pendasaran filosofis (ta’sîs falsafiy), dengan tokoh garda depan Muhammad Iqbal, Muhammad Husein Thabataba’i, Muhammad Baqir Shadr, Murtadla Mutahari, dll. Kedua, pendasaran rasio (ta’sîs ‘aqlî), dengan tokohnya Jamal al-Din al-Afghani, ‘Abdurrahman al-Kawakibi, Muhammad Thahir bin ‘Asyur, Muhammad Husein Kasyif al-Ghita’, dll.
Salah satu deretan nama yang mencoba melepaskan diri dari budaya yang tidak produktif adalah al-Imam Muhammad Abduh (1849-1903 M); murid Jamal al-Din al-Afghani. Ia menyerukan rekonstruksi (i’adat al-binâ’) Ilmu Kalam dalam konsep-konsepnya yang dipandang tak lagi relevan untuk umat Islam sekarang. Ide rekonstruktif tersebut berawal dari sebuah pertanyaan, bagaimana jika tauhid memainkan peranannya tidak hanya pada kehidupan spiritual semata (al-hayât al-ruhiyyah), akan tetapi juga pada kehidupan material (al-hayât al-mâdiyyah)? Serta bagaimana agar sebuah kepercayaan juga bisa dipahami semua nalar masyarakat, sehingga mampu dilaksanakan, dan memberi efek/dampak pada kejiwaan mereka?
Baginya, stagnansi muncul karena mematikan peran rasio dalam kebertuhanan umat Islam. Oleh karena itu, salah satu cara solutif untuk masalah ini-–menurut Abduh–-adalah; pertama membiarkan rasio kembali memainkan perannya dalam memahami suatu teks, sebagai oposisi kejumudan proses berpikir (fa’âliyyat al-‘aql fî muwâjahat al-jumûd); kedua, mendeskripsikan kembali paham tentang ketuhanan (al-ilâhiyyat), yang berkaitan dengan relevansi tauhid untuk konteks sekarang. Menurut penulis, solusi kedua Abduh sebenarnya perpanjangan dari yang pertama.
Optimalisasi Rasio
Revolusi yang dilakukan oleh Abduh sangat kentara pada perlawananya terhadap tradisi taklid. Taklid, secara tidak langsung, menjadikan umat Islam tak mampu menciptakan inovasi apapun. Pada generasi yang mengembangkan taklidisme, sikap yang muncul merupakan pembacaan tautologis (tahsîl al-hâsil) dari generasi dahulu. Konsentrasi mereka berpusat sepenuhnya pada literatur klasik, tanpa mau melihat relevansi sebuah wacana untuk konteks kekinian. Seperti dikatakan Abduh dalam tafsîr sûrat al-‘ashr :
“innahum hasharû ‘ilmahum fî al-syurûh wa al-hawâsyi wa al-taqârîr ‘alâ nushush al-qadîmah, wa jahilû kulla syain siwaha, hatta asbahû wa ka annahum laisû min ahl al-‘ashr, bal laisû min ahl hadzihi al-dunyâ”
Stagnansi tersebut, sebagai misal, dapat diukur dari pola bahasa yang dipergunakan—tidak berkembang. Maka tepat jika Zaki Najib Mahmoud kemudian mengatakan, bahasa adalah acuan pertama yang harus diperhatikan jika menghendaki pembaharuan (al-lughah nuqtath al-bidâyah fî tsawrat al-tajdîd). Karena hal ini pula perkembangan bahasa Arab tidak bisa mengiring laju modernitas. Namun yang terpenting, stagnansi bahasa merupakan faktor determinan hilangnya spirit sebuah gagasan. Jika spirit sebuah ide termarginalkan, niscaya suatu pemikiran akan terputus dengan realitas.
Keadaan yang demikian juga terjadi pada ilmu tauhid; terputus dengan realitas. Teori-teori yang dikemukakan tak ada lagi relevansinya untuk konteks sekarang. Betul bahwa dahulu Ilmu Kalam berdiri gagah; para teolog mengadopsi mantik Yunani, mengkritik, menjawab serta merobohkan upaya destruktif dari luar. Hilangnya relevansi itu akan demikian terlihat apabila kita sedikit menengok khazanah klasik; menurut para teolog, ilmu yang bermanfaat hanya ilmu yang mempunyai dampak langsung terhadap agama. Oleh karena itu, kita bisa melihat upaya-upaya apologetik teolog belakangan yang kerap menggunakan konsep tempo doeloee untuk menghadapi tantangan sekarang. Bahkan kita kerap menjumpai mereka yang tidak sampai pada apa yang telah dicapai sarjana klasik pada umumnya, atau dengan redaksi lain, mereka mengalami degradasi epistemologis. Fenomena seperti ini bisa dijumpai dalam Umm al-Barâhin-nya al-Sanusi, atau al-Jawâhir al-Kalâmiyyah fi al-‘Aqâid al-Islâmiyyah Thahir al-Jazairy.
Dari kenyataan di atas, Abduh melihat perlunya menghancurkan kecenderungan taklid dalam ranah teologis. Potensi taklid tersebut bisa dihancurkan dengan mengoptimalkan peran rasio dalam memahami teks. Ia menawarkan beberapa corak optimalisasi rasio; pertama, mendasarkan keyakinan pada akal (ta’sîs al-i’tiqâd ‘alâ al-‘aql). Abduh berujar, bahwa keyakinan yang rasional lebih bisa diterima oleh masyarakat dari hanya tunduk pada maksud suatu teks. Dan kecenderungan semacam ini sudah bisa dijumpai dari para teolog klasik, semisal al-Asy’ari, al-Baqilani, Imam al-Haramin, Abdul Jabbar, dll. Analisis rasional–-bagi Abduh-–merupakan keharusan atas dasar syariat (wajib syar’i). Dalam hal ini ‘Abduh sejalan dengan Asy’ariyyah, dan berseberangan dengan Mu’tazilah, yang melihat keharusan tersebut sebagai keharusan secara logis (wajib ‘aqli). Namun keduanya-–Mu’tazilah dan Asy’ariyyah–-sama-sama sepakat bahwa rasio mampu mengantarkan pada kebenaran.
Kedua, melihat keharusan ijtihad. Pandangan Abduh bukan terhitung baru, karena gagasan ini sudah dipopulerkan oleh para teolog klasik. Dalam ranah Fikih, kita mendapat al-Syawkani (1173-1250 H) yang selalu merobohkan kecenderungan taklidisme. Al-Syawkani termasuk pakar fikih Zaidiyyah yang terpengaruh Mu’tazilah. Bahkan, menurut al-Syawkani, ijtihad pada kurun akhir bisa lebih mudah, karena era kodifikasi telah terlewati. Pandangan kontras disuarakan oleh Ibnu Rajab al-Hanbali (w.790 H) dalam bukunya Fadl al-salaf ‘alâ al-Khalaf. Senada dengan Abduh, kita bisa menjumpai nama Jamal al-Din al-Afhghani dalam al-Radd ‘alâ al-Dahriyyin.
Ketiga, interpretasi logis terhadap teks-teks agama (al-Ta’wîl al-‘Aqlî li al-Nushûs al-Dîniyyah). Hal ini bertujuan untuk mensinergikan ilmu klasik dengan wacana kontemporer. Sebagaimana dikuatkan oleh Muhammad al-Amin dalam Râid al-Fikr al-Mishriy, Abduh cenderung meninggalkan metode penafsiran literal. Ia kerap kali abai terhadap aspek bahasa suatu ayat, dan menitiberatkan pada nilai-nilai universal yang terkandung di dalamnya. Bahkan Abduh seringkali mengabaikan riwayat-riwayat yang berkenaan dengan sebab turunnya ayat (asbab al-nuzul) serta mengindahkan pendapat-pendapat penafsir klasik. Satu contoh, penafsirannya terhadap Malaikat dalam al-Manâr, ia berujar,
“apakah engkau tidak mengetahui bahwa Allah mempunyai malaikat di bumi dan di langit? Namun apakah engkau mengetahui dimana mereka tinggal? Dan apakah engkau tidak merasa bahwa badan-badan mereka menyinarimu di kegelapan? [....] Ketahuilah bahwa Malaikat adalah kekuatan-kekuatan dan ruh yang ada pada dirimu”
Rasyid Ridla dengan sigap menimpali, bahwa Abduh dengan interpretasinya bukan hendak mengingkari eksistensi Malaikat. Bahkan Abduh sebenarnya malah ingin membantah golongan yang mengingkari keberadaan Malaikat. Maka Abduh menggunakan penafsiran yang tidak bertentangan dengan rasio agar maksud suatu teks dengan fenomena kontemporer bisa sinergis. Begitupun Abduh menginterpretasikan sujudnya Malaikat pada Adam, atau kemaksiatan Iblis, tidak dengan yang termaktub secara eksplisit dalam ayat terkait.
Keempat, menghancurkan fanatisme sektarianistik dalam diskursus teologis (tahtîm al-madzhabiyyah fî ilm al-tawhîd). Baginya, fanatisme sektarianistik merupakan keyakinan pra Islam--yang pada hakikatnya--diperangi oleh Islam sendiri. Karena fanatisme-–dalam segala bentuknya–-seakan menyempitkan porsi kebenaran itu sendiri. Bahkan-–sebagaimana dikatakan Muhammad al-Baha dalam al-Fikr al-Islâmi al-Hadîs wa silatuhu bi al-Isti’mar al-Gharbiy-– fanatisme berdampak pada terpecahnya umat Islam yang bermuara pada melemahnya semangat juang secara keseluruhan. Atas dasar ini, Abduh melihat semua kelompok--dalam ranah teologis--tidak layak untuk diunggulkan satu dari yang lain. Namun ia memposisikan varian sekte dalam Ilmu Kalam sebagai penjelas terhadap Islam dengan prinsip-prinsip dasarnya; memungkinkan untuk benar di satu kelompok, dan salah di kelompok yang lain. Pun sebaliknya.
Ada yang cukup menarik dari penafsiran Abduh terhadap riwayat kelompok yang selamat: al-Firqah al-Nâjiyah. Abduh tidak meragukan validitas riwayat terkait. Akan tetapi ia menggeret riwayat itu ke dalam realitas sekarang. Karena terdapat petunjuk (qarinah) dalam riwayat yang menunjukkan “akan” (sataftariqu). Ia mendasarkan asumsinya pada perkataan Nabi yang tidak membatasi kebenaran pada satu golongan saja, seperti yang termaktub dalam sabdanya, “mâ anâ ‘alaih wa ashâbî”. Dengan demikian, Abduh berkata,
“kita belum mengetahui apa yang dimaksud mâ anâ ‘alaih wa ashâbî, namun Alam raya ini ada yang menciptakan, dan Hari Akhir pasti ada, serta Nabi adalah benar-benar diutus oleh Allah. Ini yang mejadi kesepakatan semua golongan.”
Dari sini setidaknya bisa diambil dua konklusi penting: pertama, jika kita mengembalikan masalah pada al-Qur’an dan al-Sunnah, ada enam pondasi rukun Iman: Allah, Malaikat, Kitab Suci, Rasul, dan Hari Akhir. Dari Sunnah muncul Iman pada al-Qadar. Rukun Iman ini oleh beberapa teolog, semisal al-Ghazali (Faishal al-Tafriqah, tt) dan Ibnu Taimiyah (Syarh al-‘Aqidah al-Isfahaniyyah, 1965), diringkas lagi pada al-Ushul dan al-Furu’. Yang inti (ushul) mencakup ketuhanan (ilâhiyyat), kenabian (nubuwwat) serta Hari Akhir (ma’âd). Sedang yang lain merupakan cabang (furu’); kedua, yang dikatakan Ushul—dalam perbincangan ini--adalah yang disepakati oleh semua kelompok Islam. Oleh karena itu, yang mengingkari aksioma itu dengan sendirinya keluar dari wilayah Iman. Maka, bagi Abduh, “kesepakatan aksiomatik” itulah yang merepresentasikan maksud mâ anâ ‘alaih wa ashâbi. Masalah apakah Allah bisa dilihat di Hari Akhir, ataukah tidak berawal (qadim) dan berawal (hadis) nya Alam, adalah masalah yang tidak perlu untuk dibahas terlalu mendalam.
Kelima, analisis rasional terhadap prinsip dasar Islam, serta mengaplikasikannya dalam ranah praksis. Artinya, al-tahlîl al-‘aqliy (analyse rationnelle) dibutuhkan agar suatu teori bisa diaplikasikan pada kehidupan real; tidak berhenti pada teori semata. Menurutnya, pemisahan teori dan praktek tidak diajarkan oleh Islam, namun berasal dari peradaban Yunani, khususnya Aristoteles yang melihat konsep ketuhanan lebih utama dibanding pengusung naturalis.
Dalam konteks Ilmu Kalam, umat Islam-–menurut Abduh-–terperdaya pada keindahan-keindahan teori. Karena tauhid bukan hanya kajian untuk membuktikan keberadaan Allah semata, namun juga berfungsi untuk menjelaskan tata cara sampai pada hakikat Sang Kuasa. Atau dalam bahasa Malik bin Nabi “berfungsi pula untuk menghidupkan Tuhan, sebagaimana yang sudah dipraktikkan oleh salaf: ‘alâ an yahyâ hadza al-wujûd kamâ hayyâhu al-salaf” (wujhat al-‘âlam al-islâmi, 1959).
Kelima, harmonisasi Islam dengan tuntutan modernitas (al-muwâ’amah baina al-islâm wa mutathallibât al-‘ashr). Abduh melihat bahwa Islam tidak hanya agama untuk konteks dimana kita atau generasi dahulu saja, namun juga untuk generasi jauh setelah kita nanti. Oleh karena itu, harmonisasi di sini teramat penting, karena akan menampakkan relevansi Islam itu sendiri. Salah satu bentuk harmonisasi, menurut Abduh, mendahulukan rasio jika terdapat pertentangan antara akal dan teks, selagi teks tersebut bukan dikategorikan teks permanen (qath’iy al-tsubût). Begitupun ia melihat kewajiban menolak kecenderungan sufi tentang asketisme; penolakan terhadap segala hal yang berbau dunia. Namun bukan berarti Abduh menolak sufisme secara mutlak. Yang ia tidak sepakati adalah kencenderungan berpangku tangan yang sampai pada tahap merendahkan dunia.
Harmonisasi juga harus mewujud pada relasi Islam dan ilmu. Bagi Abduh, tidak benar bahwa Islam menghalangi pemeluknya mempelajari selain ilmu agama. Fenomena ini dapat kita jumpai pada sosok Syekh Thantawi Jawhari (1287-1358 M), yang tak segan belajar ilmu biologi, falak, serta ilmu alam (al-thabi’iyyah), tidak lain karena melihat indikasi tauhîd di dalamnya (Nahdlat al-Ummah wa Hayâtuhâ, 1908). Sebagaimana Abduh mengharuskan umat Islam untuk terbuka pada peradaban luar. Para teolog terdahulu yang belajar mantik, filsafat, tidak lain karena melihat bahwa Islam harus diharmonisasikan dengan tuntutan zaman.
Ketuhanan
Dalam tahap ini, Abduh mengklasifikasi dua masalah penting yang berkembang dalam ranah teologi, baik pada kurun lama ataupun kontemporer; pertama, mengenai pembuktian keberadaan Tuhan; kedua, perbincangan seputar sifat-sifatNya. Untuk masalah pembuktian Tuhan, Abduh cenderung eklektis; di satu permasalahan ia menggunakan argumen filsuf, di permasalahan lain menggunakan argumen teolog. Lompatan Abduh cukup brilian, karena di sini ia sekaligus menegaskan keselarasan perspektif filsuf dan para teolog. Padahal seperti sudah maklum, pada awal perkembangannya, para teolog muslim telah “memasang tameng besi” terhadap pemikiran filsuf.
Masalah pertama, Abduh menilai, setiap manusia, entah itu dominan kemampuan nalarnya ataupun lemah, selalu mempunyai keyakinan bahwa di luar sana terdapat kekuatan yang melampuinya. Mungkin, kencenderungan Abduh di sini bisa disebut meyakini argumen empiris. Sejatinya argumen ini cukup rapuh dan kurang mendapat sorotan, karena berpijak pada pengalaman subjektif. Karena itu, tak mungkin untuk diverifikasi dan tak bisa untuk dijadikan landasan untuk membangun pengetahuan yang objektif. Namun tak sampai pada tahapan ini lalu selesai, karena dari argumen empiris ini dibangun pula landasan teoritis. Artinya, landasan teoritis pembuktian Tuhan dibangun tidak dengan pra-konsepsi.
Model tersebut bisa dijumpai pada argumen teolog muslim, seperti Fakhr al-Din al-Razi dalam Mafâtîh al-Ghaibnya, begitu juga Zamakhsyari dalam al-Kasysyâf. Seperti bisa dilihat pula pada argumen empiris sufi. Atau juga al-Raghib al-Isfahaniy dalam al-Dzarîah ilâ Makârim al-Syari’ah. Hal senada juga disampaikan pemikir modern Jamal al-Din al-Qashi dalam Dalâil al-Tawhîdnya. Perspektif ini juga diamini oleh beberapa filsuf, walaupun pada akhirnya mendapat kritik tajam dari penganut filsafat empiris. Dengan demikiran, pada perbincangan keyakninan Tuhan yang sudah ada pada naluri alamiah manusia (sebelum dibuktikan dengan teori), Abduh sepakat dengan pandangan teolog dan beberapa filsuf.
Lalu Abduh mengambil landasan teoritis para teolog dan filsuf. Teori itu sendiri mengacu pada eksistensi Alam Semesta; gerak, sebab, kontingensi, keteraturan. Berdasarkan fakta ini, orang sampai pada kesimpulan bahwa Allah ada sebagai penggerak fakta-fakta ini, atau sebagai causa prima (al-illah al-ûlâ). Dari pembuktian ini, Abduh sepakat secara total dengan filsuf muslim, khususnya Ibnu Sina dan al-Farabi. Namun Abduh selanjutnya melirik argumen teolog: yakni Ibthal Tatâbu’ al-Hawâdits (mematahkan kontinuitas sesuatu yang diawali dari tidak ada). Walhasil, Abduh mengkritik argumen penetapan awal mula Hawâdis para teolog, sebagaimana ia mengkritik diskontinuitas “sebab” dan “yang disebabkan” filsuf.
Jelas sekali, saat mengetengahkan bukti berawalnya Alam, Abduh mengambil argumen filsuf dan teolog. Namun saat melangkah lebih jauh, ia membuat kreasi baru dalam membuktikan adanya Tuhan: kontemplasi “yang berkemungkinan” (mumkin) dan “yang niscaya” (wajib). Jika yang disebut mumkin adalah “sesuatu yang ada” tidak dari dirinya sendiri, maka pastinya membutuhkan pada creator. Ia ada karena adanya sang kreator, dan tidak ada karena tidak adanya sang kreator. Maka, Abduh mengatakan,
“jika engkau merentet sesuatu yang “mungkin mewujud” sampai tak terhingga, aku tak akan mengatakan padamu sebab-sebab wujud tersebut. Namun aku akan bertanya, dimana pencipta pertama “sesuatu yang berkemungkinan ada” (mumkin)? Apakah ia adalah hakikat “mungkin” itu sendiri? Bagaimana mungkin hakikat “yang berkemungkinan” itu sendiri jika ia terbentuk dari “tidak ada”? Bagi saya (Abduh), sudah demikian jelas, karena pada hakikatnya pembuktian tersebut tak perlu keluar dari batas “mungkin”: bisa dilogikakan dari “yang mungkin ada” itu sendiri.
Sedang permasalahan kedua, Abduh cenderung membatasi nalar manusia untuk terlalu jauh masuk pada perenungan sifat-sifat Tuhan (attribute divins). Baginya, cukuplah mengetahui bahwa Tuhan tak serupa dengan makhlukNya. Karena bagaimanapun, selain tak memberi manfaat yang berarti, justru akan semakin memperuncing perbedaan.
Terlepas relevan atau tidak pembuktian itu untuk konteks sekarang, yang jelas Abduh dengan sikap eklektisnya ingin melepaskan umat Islam dari sekat-sekat fanatisme sektarianistik. Lebih jauh, ia ingin membebaskan umat Islam dari budaya taklidisme yang telah lama membelenggu mereka. Pada akhirnya, Abduh hendak meyakinkan bahwa “tawaran konsep” yang keluar dari kelompok dalam Ilmu Kalam bukan sebuah harga mati yang “tanpa tawar” dan “tanpa diskon”. Namun dari masing-masing mempunyai potensi untuk benar di satu permasalahan, dan salah di permasalahan yang lain. Pun sebaliknya.
Di lain pihak, pada penghujung abad 18, umat Islam mulai bersentuhan dengan peradaban Barat. Khususnya Mesir, yakni semenjak berpulangnya Syekh Rifa’at al-Tahtawi dari Perancis (1831 M). Melalui beberapa disiplin ilmu yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, ia mampu membangunkan geliat intelektual dunia Arab yang mati suri. Sebagaimana di Mesir, di India terjadi fenomena yang tak jauh berbeda: seruan Sayyid Ahmad Khan untuk menyatu dengan peradaban Barat. Sayyid Ahmad Khan (w. 1898 M) kemudian mengarang tafsir yang mengharmoniskan maksud suatu ayat dengan ilmu kontemporer. Dengan metode barunya ini, ia menyerukan untuk melepaskan ideologi umat Islam untuk diganti dengan keyakinan yang lebih relevan. Sebagaimana ia juga menyerukan humanisasi agama dalam bukunya Tibyân al-Kalâm.
Tak ayal, gagasan Ahmad Khan di atas cukup menimbulkan kontroversi di tubuh umat Islam saat itu. Sanggahan-sanggahan untuk Ahmad Khan bermunculan, seperti dari Jamal al-Din al-Afghani (w. 1897 M), Sayyid Akbar Husein Ilah Abadiy (w. 1921 M), dll. Namun justru dari babak ini pula kebangkitan Ilmu Kalam perlahan berjalan. Pakar teolog mulai melepaskan diri dari budaya syarah, hâsyiyah, ta’lîq, serta sikap lain yang tidak menampakkan produktivitas mereka. Gagasan rekonstruktif mereka bisa digolongkan pada dua haluan besar: pertama, pendasaran filosofis (ta’sîs falsafiy), dengan tokoh garda depan Muhammad Iqbal, Muhammad Husein Thabataba’i, Muhammad Baqir Shadr, Murtadla Mutahari, dll. Kedua, pendasaran rasio (ta’sîs ‘aqlî), dengan tokohnya Jamal al-Din al-Afghani, ‘Abdurrahman al-Kawakibi, Muhammad Thahir bin ‘Asyur, Muhammad Husein Kasyif al-Ghita’, dll.
Salah satu deretan nama yang mencoba melepaskan diri dari budaya yang tidak produktif adalah al-Imam Muhammad Abduh (1849-1903 M); murid Jamal al-Din al-Afghani. Ia menyerukan rekonstruksi (i’adat al-binâ’) Ilmu Kalam dalam konsep-konsepnya yang dipandang tak lagi relevan untuk umat Islam sekarang. Ide rekonstruktif tersebut berawal dari sebuah pertanyaan, bagaimana jika tauhid memainkan peranannya tidak hanya pada kehidupan spiritual semata (al-hayât al-ruhiyyah), akan tetapi juga pada kehidupan material (al-hayât al-mâdiyyah)? Serta bagaimana agar sebuah kepercayaan juga bisa dipahami semua nalar masyarakat, sehingga mampu dilaksanakan, dan memberi efek/dampak pada kejiwaan mereka?
Baginya, stagnansi muncul karena mematikan peran rasio dalam kebertuhanan umat Islam. Oleh karena itu, salah satu cara solutif untuk masalah ini-–menurut Abduh–-adalah; pertama membiarkan rasio kembali memainkan perannya dalam memahami suatu teks, sebagai oposisi kejumudan proses berpikir (fa’âliyyat al-‘aql fî muwâjahat al-jumûd); kedua, mendeskripsikan kembali paham tentang ketuhanan (al-ilâhiyyat), yang berkaitan dengan relevansi tauhid untuk konteks sekarang. Menurut penulis, solusi kedua Abduh sebenarnya perpanjangan dari yang pertama.
Optimalisasi Rasio
Revolusi yang dilakukan oleh Abduh sangat kentara pada perlawananya terhadap tradisi taklid. Taklid, secara tidak langsung, menjadikan umat Islam tak mampu menciptakan inovasi apapun. Pada generasi yang mengembangkan taklidisme, sikap yang muncul merupakan pembacaan tautologis (tahsîl al-hâsil) dari generasi dahulu. Konsentrasi mereka berpusat sepenuhnya pada literatur klasik, tanpa mau melihat relevansi sebuah wacana untuk konteks kekinian. Seperti dikatakan Abduh dalam tafsîr sûrat al-‘ashr :
“innahum hasharû ‘ilmahum fî al-syurûh wa al-hawâsyi wa al-taqârîr ‘alâ nushush al-qadîmah, wa jahilû kulla syain siwaha, hatta asbahû wa ka annahum laisû min ahl al-‘ashr, bal laisû min ahl hadzihi al-dunyâ”
Stagnansi tersebut, sebagai misal, dapat diukur dari pola bahasa yang dipergunakan—tidak berkembang. Maka tepat jika Zaki Najib Mahmoud kemudian mengatakan, bahasa adalah acuan pertama yang harus diperhatikan jika menghendaki pembaharuan (al-lughah nuqtath al-bidâyah fî tsawrat al-tajdîd). Karena hal ini pula perkembangan bahasa Arab tidak bisa mengiring laju modernitas. Namun yang terpenting, stagnansi bahasa merupakan faktor determinan hilangnya spirit sebuah gagasan. Jika spirit sebuah ide termarginalkan, niscaya suatu pemikiran akan terputus dengan realitas.
Keadaan yang demikian juga terjadi pada ilmu tauhid; terputus dengan realitas. Teori-teori yang dikemukakan tak ada lagi relevansinya untuk konteks sekarang. Betul bahwa dahulu Ilmu Kalam berdiri gagah; para teolog mengadopsi mantik Yunani, mengkritik, menjawab serta merobohkan upaya destruktif dari luar. Hilangnya relevansi itu akan demikian terlihat apabila kita sedikit menengok khazanah klasik; menurut para teolog, ilmu yang bermanfaat hanya ilmu yang mempunyai dampak langsung terhadap agama. Oleh karena itu, kita bisa melihat upaya-upaya apologetik teolog belakangan yang kerap menggunakan konsep tempo doeloee untuk menghadapi tantangan sekarang. Bahkan kita kerap menjumpai mereka yang tidak sampai pada apa yang telah dicapai sarjana klasik pada umumnya, atau dengan redaksi lain, mereka mengalami degradasi epistemologis. Fenomena seperti ini bisa dijumpai dalam Umm al-Barâhin-nya al-Sanusi, atau al-Jawâhir al-Kalâmiyyah fi al-‘Aqâid al-Islâmiyyah Thahir al-Jazairy.
Dari kenyataan di atas, Abduh melihat perlunya menghancurkan kecenderungan taklid dalam ranah teologis. Potensi taklid tersebut bisa dihancurkan dengan mengoptimalkan peran rasio dalam memahami teks. Ia menawarkan beberapa corak optimalisasi rasio; pertama, mendasarkan keyakinan pada akal (ta’sîs al-i’tiqâd ‘alâ al-‘aql). Abduh berujar, bahwa keyakinan yang rasional lebih bisa diterima oleh masyarakat dari hanya tunduk pada maksud suatu teks. Dan kecenderungan semacam ini sudah bisa dijumpai dari para teolog klasik, semisal al-Asy’ari, al-Baqilani, Imam al-Haramin, Abdul Jabbar, dll. Analisis rasional–-bagi Abduh-–merupakan keharusan atas dasar syariat (wajib syar’i). Dalam hal ini ‘Abduh sejalan dengan Asy’ariyyah, dan berseberangan dengan Mu’tazilah, yang melihat keharusan tersebut sebagai keharusan secara logis (wajib ‘aqli). Namun keduanya-–Mu’tazilah dan Asy’ariyyah–-sama-sama sepakat bahwa rasio mampu mengantarkan pada kebenaran.
Kedua, melihat keharusan ijtihad. Pandangan Abduh bukan terhitung baru, karena gagasan ini sudah dipopulerkan oleh para teolog klasik. Dalam ranah Fikih, kita mendapat al-Syawkani (1173-1250 H) yang selalu merobohkan kecenderungan taklidisme. Al-Syawkani termasuk pakar fikih Zaidiyyah yang terpengaruh Mu’tazilah. Bahkan, menurut al-Syawkani, ijtihad pada kurun akhir bisa lebih mudah, karena era kodifikasi telah terlewati. Pandangan kontras disuarakan oleh Ibnu Rajab al-Hanbali (w.790 H) dalam bukunya Fadl al-salaf ‘alâ al-Khalaf. Senada dengan Abduh, kita bisa menjumpai nama Jamal al-Din al-Afhghani dalam al-Radd ‘alâ al-Dahriyyin.
Ketiga, interpretasi logis terhadap teks-teks agama (al-Ta’wîl al-‘Aqlî li al-Nushûs al-Dîniyyah). Hal ini bertujuan untuk mensinergikan ilmu klasik dengan wacana kontemporer. Sebagaimana dikuatkan oleh Muhammad al-Amin dalam Râid al-Fikr al-Mishriy, Abduh cenderung meninggalkan metode penafsiran literal. Ia kerap kali abai terhadap aspek bahasa suatu ayat, dan menitiberatkan pada nilai-nilai universal yang terkandung di dalamnya. Bahkan Abduh seringkali mengabaikan riwayat-riwayat yang berkenaan dengan sebab turunnya ayat (asbab al-nuzul) serta mengindahkan pendapat-pendapat penafsir klasik. Satu contoh, penafsirannya terhadap Malaikat dalam al-Manâr, ia berujar,
“apakah engkau tidak mengetahui bahwa Allah mempunyai malaikat di bumi dan di langit? Namun apakah engkau mengetahui dimana mereka tinggal? Dan apakah engkau tidak merasa bahwa badan-badan mereka menyinarimu di kegelapan? [....] Ketahuilah bahwa Malaikat adalah kekuatan-kekuatan dan ruh yang ada pada dirimu”
Rasyid Ridla dengan sigap menimpali, bahwa Abduh dengan interpretasinya bukan hendak mengingkari eksistensi Malaikat. Bahkan Abduh sebenarnya malah ingin membantah golongan yang mengingkari keberadaan Malaikat. Maka Abduh menggunakan penafsiran yang tidak bertentangan dengan rasio agar maksud suatu teks dengan fenomena kontemporer bisa sinergis. Begitupun Abduh menginterpretasikan sujudnya Malaikat pada Adam, atau kemaksiatan Iblis, tidak dengan yang termaktub secara eksplisit dalam ayat terkait.
Keempat, menghancurkan fanatisme sektarianistik dalam diskursus teologis (tahtîm al-madzhabiyyah fî ilm al-tawhîd). Baginya, fanatisme sektarianistik merupakan keyakinan pra Islam--yang pada hakikatnya--diperangi oleh Islam sendiri. Karena fanatisme-–dalam segala bentuknya–-seakan menyempitkan porsi kebenaran itu sendiri. Bahkan-–sebagaimana dikatakan Muhammad al-Baha dalam al-Fikr al-Islâmi al-Hadîs wa silatuhu bi al-Isti’mar al-Gharbiy-– fanatisme berdampak pada terpecahnya umat Islam yang bermuara pada melemahnya semangat juang secara keseluruhan. Atas dasar ini, Abduh melihat semua kelompok--dalam ranah teologis--tidak layak untuk diunggulkan satu dari yang lain. Namun ia memposisikan varian sekte dalam Ilmu Kalam sebagai penjelas terhadap Islam dengan prinsip-prinsip dasarnya; memungkinkan untuk benar di satu kelompok, dan salah di kelompok yang lain. Pun sebaliknya.
Ada yang cukup menarik dari penafsiran Abduh terhadap riwayat kelompok yang selamat: al-Firqah al-Nâjiyah. Abduh tidak meragukan validitas riwayat terkait. Akan tetapi ia menggeret riwayat itu ke dalam realitas sekarang. Karena terdapat petunjuk (qarinah) dalam riwayat yang menunjukkan “akan” (sataftariqu). Ia mendasarkan asumsinya pada perkataan Nabi yang tidak membatasi kebenaran pada satu golongan saja, seperti yang termaktub dalam sabdanya, “mâ anâ ‘alaih wa ashâbî”. Dengan demikian, Abduh berkata,
“kita belum mengetahui apa yang dimaksud mâ anâ ‘alaih wa ashâbî, namun Alam raya ini ada yang menciptakan, dan Hari Akhir pasti ada, serta Nabi adalah benar-benar diutus oleh Allah. Ini yang mejadi kesepakatan semua golongan.”
Dari sini setidaknya bisa diambil dua konklusi penting: pertama, jika kita mengembalikan masalah pada al-Qur’an dan al-Sunnah, ada enam pondasi rukun Iman: Allah, Malaikat, Kitab Suci, Rasul, dan Hari Akhir. Dari Sunnah muncul Iman pada al-Qadar. Rukun Iman ini oleh beberapa teolog, semisal al-Ghazali (Faishal al-Tafriqah, tt) dan Ibnu Taimiyah (Syarh al-‘Aqidah al-Isfahaniyyah, 1965), diringkas lagi pada al-Ushul dan al-Furu’. Yang inti (ushul) mencakup ketuhanan (ilâhiyyat), kenabian (nubuwwat) serta Hari Akhir (ma’âd). Sedang yang lain merupakan cabang (furu’); kedua, yang dikatakan Ushul—dalam perbincangan ini--adalah yang disepakati oleh semua kelompok Islam. Oleh karena itu, yang mengingkari aksioma itu dengan sendirinya keluar dari wilayah Iman. Maka, bagi Abduh, “kesepakatan aksiomatik” itulah yang merepresentasikan maksud mâ anâ ‘alaih wa ashâbi. Masalah apakah Allah bisa dilihat di Hari Akhir, ataukah tidak berawal (qadim) dan berawal (hadis) nya Alam, adalah masalah yang tidak perlu untuk dibahas terlalu mendalam.
Kelima, analisis rasional terhadap prinsip dasar Islam, serta mengaplikasikannya dalam ranah praksis. Artinya, al-tahlîl al-‘aqliy (analyse rationnelle) dibutuhkan agar suatu teori bisa diaplikasikan pada kehidupan real; tidak berhenti pada teori semata. Menurutnya, pemisahan teori dan praktek tidak diajarkan oleh Islam, namun berasal dari peradaban Yunani, khususnya Aristoteles yang melihat konsep ketuhanan lebih utama dibanding pengusung naturalis.
Dalam konteks Ilmu Kalam, umat Islam-–menurut Abduh-–terperdaya pada keindahan-keindahan teori. Karena tauhid bukan hanya kajian untuk membuktikan keberadaan Allah semata, namun juga berfungsi untuk menjelaskan tata cara sampai pada hakikat Sang Kuasa. Atau dalam bahasa Malik bin Nabi “berfungsi pula untuk menghidupkan Tuhan, sebagaimana yang sudah dipraktikkan oleh salaf: ‘alâ an yahyâ hadza al-wujûd kamâ hayyâhu al-salaf” (wujhat al-‘âlam al-islâmi, 1959).
Kelima, harmonisasi Islam dengan tuntutan modernitas (al-muwâ’amah baina al-islâm wa mutathallibât al-‘ashr). Abduh melihat bahwa Islam tidak hanya agama untuk konteks dimana kita atau generasi dahulu saja, namun juga untuk generasi jauh setelah kita nanti. Oleh karena itu, harmonisasi di sini teramat penting, karena akan menampakkan relevansi Islam itu sendiri. Salah satu bentuk harmonisasi, menurut Abduh, mendahulukan rasio jika terdapat pertentangan antara akal dan teks, selagi teks tersebut bukan dikategorikan teks permanen (qath’iy al-tsubût). Begitupun ia melihat kewajiban menolak kecenderungan sufi tentang asketisme; penolakan terhadap segala hal yang berbau dunia. Namun bukan berarti Abduh menolak sufisme secara mutlak. Yang ia tidak sepakati adalah kencenderungan berpangku tangan yang sampai pada tahap merendahkan dunia.
Harmonisasi juga harus mewujud pada relasi Islam dan ilmu. Bagi Abduh, tidak benar bahwa Islam menghalangi pemeluknya mempelajari selain ilmu agama. Fenomena ini dapat kita jumpai pada sosok Syekh Thantawi Jawhari (1287-1358 M), yang tak segan belajar ilmu biologi, falak, serta ilmu alam (al-thabi’iyyah), tidak lain karena melihat indikasi tauhîd di dalamnya (Nahdlat al-Ummah wa Hayâtuhâ, 1908). Sebagaimana Abduh mengharuskan umat Islam untuk terbuka pada peradaban luar. Para teolog terdahulu yang belajar mantik, filsafat, tidak lain karena melihat bahwa Islam harus diharmonisasikan dengan tuntutan zaman.
Ketuhanan
Dalam tahap ini, Abduh mengklasifikasi dua masalah penting yang berkembang dalam ranah teologi, baik pada kurun lama ataupun kontemporer; pertama, mengenai pembuktian keberadaan Tuhan; kedua, perbincangan seputar sifat-sifatNya. Untuk masalah pembuktian Tuhan, Abduh cenderung eklektis; di satu permasalahan ia menggunakan argumen filsuf, di permasalahan lain menggunakan argumen teolog. Lompatan Abduh cukup brilian, karena di sini ia sekaligus menegaskan keselarasan perspektif filsuf dan para teolog. Padahal seperti sudah maklum, pada awal perkembangannya, para teolog muslim telah “memasang tameng besi” terhadap pemikiran filsuf.
Masalah pertama, Abduh menilai, setiap manusia, entah itu dominan kemampuan nalarnya ataupun lemah, selalu mempunyai keyakinan bahwa di luar sana terdapat kekuatan yang melampuinya. Mungkin, kencenderungan Abduh di sini bisa disebut meyakini argumen empiris. Sejatinya argumen ini cukup rapuh dan kurang mendapat sorotan, karena berpijak pada pengalaman subjektif. Karena itu, tak mungkin untuk diverifikasi dan tak bisa untuk dijadikan landasan untuk membangun pengetahuan yang objektif. Namun tak sampai pada tahapan ini lalu selesai, karena dari argumen empiris ini dibangun pula landasan teoritis. Artinya, landasan teoritis pembuktian Tuhan dibangun tidak dengan pra-konsepsi.
Model tersebut bisa dijumpai pada argumen teolog muslim, seperti Fakhr al-Din al-Razi dalam Mafâtîh al-Ghaibnya, begitu juga Zamakhsyari dalam al-Kasysyâf. Seperti bisa dilihat pula pada argumen empiris sufi. Atau juga al-Raghib al-Isfahaniy dalam al-Dzarîah ilâ Makârim al-Syari’ah. Hal senada juga disampaikan pemikir modern Jamal al-Din al-Qashi dalam Dalâil al-Tawhîdnya. Perspektif ini juga diamini oleh beberapa filsuf, walaupun pada akhirnya mendapat kritik tajam dari penganut filsafat empiris. Dengan demikiran, pada perbincangan keyakninan Tuhan yang sudah ada pada naluri alamiah manusia (sebelum dibuktikan dengan teori), Abduh sepakat dengan pandangan teolog dan beberapa filsuf.
Lalu Abduh mengambil landasan teoritis para teolog dan filsuf. Teori itu sendiri mengacu pada eksistensi Alam Semesta; gerak, sebab, kontingensi, keteraturan. Berdasarkan fakta ini, orang sampai pada kesimpulan bahwa Allah ada sebagai penggerak fakta-fakta ini, atau sebagai causa prima (al-illah al-ûlâ). Dari pembuktian ini, Abduh sepakat secara total dengan filsuf muslim, khususnya Ibnu Sina dan al-Farabi. Namun Abduh selanjutnya melirik argumen teolog: yakni Ibthal Tatâbu’ al-Hawâdits (mematahkan kontinuitas sesuatu yang diawali dari tidak ada). Walhasil, Abduh mengkritik argumen penetapan awal mula Hawâdis para teolog, sebagaimana ia mengkritik diskontinuitas “sebab” dan “yang disebabkan” filsuf.
Jelas sekali, saat mengetengahkan bukti berawalnya Alam, Abduh mengambil argumen filsuf dan teolog. Namun saat melangkah lebih jauh, ia membuat kreasi baru dalam membuktikan adanya Tuhan: kontemplasi “yang berkemungkinan” (mumkin) dan “yang niscaya” (wajib). Jika yang disebut mumkin adalah “sesuatu yang ada” tidak dari dirinya sendiri, maka pastinya membutuhkan pada creator. Ia ada karena adanya sang kreator, dan tidak ada karena tidak adanya sang kreator. Maka, Abduh mengatakan,
“jika engkau merentet sesuatu yang “mungkin mewujud” sampai tak terhingga, aku tak akan mengatakan padamu sebab-sebab wujud tersebut. Namun aku akan bertanya, dimana pencipta pertama “sesuatu yang berkemungkinan ada” (mumkin)? Apakah ia adalah hakikat “mungkin” itu sendiri? Bagaimana mungkin hakikat “yang berkemungkinan” itu sendiri jika ia terbentuk dari “tidak ada”? Bagi saya (Abduh), sudah demikian jelas, karena pada hakikatnya pembuktian tersebut tak perlu keluar dari batas “mungkin”: bisa dilogikakan dari “yang mungkin ada” itu sendiri.
Sedang permasalahan kedua, Abduh cenderung membatasi nalar manusia untuk terlalu jauh masuk pada perenungan sifat-sifat Tuhan (attribute divins). Baginya, cukuplah mengetahui bahwa Tuhan tak serupa dengan makhlukNya. Karena bagaimanapun, selain tak memberi manfaat yang berarti, justru akan semakin memperuncing perbedaan.
Terlepas relevan atau tidak pembuktian itu untuk konteks sekarang, yang jelas Abduh dengan sikap eklektisnya ingin melepaskan umat Islam dari sekat-sekat fanatisme sektarianistik. Lebih jauh, ia ingin membebaskan umat Islam dari budaya taklidisme yang telah lama membelenggu mereka. Pada akhirnya, Abduh hendak meyakinkan bahwa “tawaran konsep” yang keluar dari kelompok dalam Ilmu Kalam bukan sebuah harga mati yang “tanpa tawar” dan “tanpa diskon”. Namun dari masing-masing mempunyai potensi untuk benar di satu permasalahan, dan salah di permasalahan yang lain. Pun sebaliknya.
No comments:
Post a Comment