Saturday 11 December 2010

Filsafat Sejarah Menurut Ibnu Khaldun

Oleh Ahmad Hadidul Fahmi

Nama Ibnu Khaldun tak akan terlewatkan jika membincang filsafat sejarah. Terucap dari satu lisan pemikir kontemporer, tiada seorang pemikir atau sejarawan Arab, yang lebih banyak dibincang dari Ibnu Khaldun. Statement tersebut mungkin tak berlebihan, jika melihat murid al-Ghazali ini –oleh kebanyakan pemikir-- didaku peletak pertama teori filsafat sejarah. Terbukti, istilah ini baru muncul di Eropa pada abad ke-18. Namun begitu, menurut Robert Flint --dosen Universitas Edinburgh-- dalam philosophy of history in France and Germany, embrio filsafat sejarah telah terlihat pada tiga buku penting filsafat Yunani; pertama, republic (al-jumhuriyyah) karangan Plato; kedua, politics (al-siyâsah) buah karya Aristoteles; ketiga, city of god (madînatullah) karya St Augustin. Thaha Husein mengungkapkan, Ibnu Khaldun –sebagaimana banyak disebut kebanyakan pemikir, seperti Ferroro dan Gamplowiez-- bukanlah peletak ilmu sosiologi. Namun hanya pengusung rasionalitas untuk menganalisa fenomena sosial. Sikap tersebut selanjutnya diaplikasikan dalam menginterpretasi sejarah.

Lazim dalam menyibak pemikiran tokoh, hal yang dituliskan awal mula dalam falsafah al-târîkh ‘indâ Ibn Khaldun buah karya Zainab Mahmud al-Khudlairi adalah biografi Ibnu Khaldun sendiri. Keturunan Wail bin Hujr ini –shahabat masyhur yang pernah secara langsung didoakan oleh Nabi-- hidup pada saat babakan sejarah hendak memasuki masa kebangkitan (‘ahsr al-nahdlah), tepatnya abad ke-4 H. Ia dilahirkan di Tunisia, tahun 732 H, dan wafat tahun 808 H. Muqaddimah merupakatan magnum opuse Ibnu Khaldun. Dari kajian terhadap buku ini, muncul pandangan, bahwa Ibnu Khaldun merupakan penggagas filsafat sejarah. Belakangan ini Ibnu Khaldun dikatakan inkonsisten, sebab, bukunya bertajuk al-‘ibar fî dîwân al-mubtada’ al-khabar ternyata tidak mempergunakan metode yang ia tuliskan dalam muqaddimahnya.

Selanjutnya Zainab mendeskripsikan gagasan Ibnu Khaldun seputar filsafat sejarah. Menurut pembacaannya, filsafat sejarah merupakan pandangan rasional terhadap peristiwa-peristiwa masa lampau, atau sebuah upaya untuk mengetahui ‘faktor penentu’ yang berperan dalam menganalisa sejarah. Selanjutnya, faktor tersebut dijadikan ‘neraca umum’ dalam membaca sejarah. Para pemikir sendiri berbeda mengenai ‘penggerak’ perjalanan sejarah. Sebagian menyebut, bahwa Tuhan adalah pengatur laju sejarah. Sebagian lagi melihat bahwa manusia dan segala hal yang melingkupinya yang berperan dalam membentuk sejarah. Filsafat sejarah mengarah pada pandangan bahwa peristiwa sejarah “ada” didasarkan pada sebab-sebab, atau aturan-aturan tertentu. Oleh karena itu, Ibnu Khaldun membedakan antara “sejarah” dan “analisa sejarah”. Sejarah hanya rentetan dari kejadian masa lampau. Sedang analisa sejarah berperan menganalisa sebab kejadian tersebut. Analisa sejarah ini yang kemudian disebut sebagai “filsafat sejarah”.

Pandangan terhadap fenomena alam terklasifikasi menjadi dua; pertama, asumsi bahwa fenomena alam dalam laju sejarah tidak mengalami perkembangan; stagnan. Pandangan ini diimani oleh penganut filsafat metafisik. Bahwa fenomena-fenomena alam tidak terkait satu dengan yang lain; kedua, asumsi yang mengatakan bahwa laju sejarah terus berkembang (tathawwur dâim). Pandangan ini merupakan pandangan dialektis terhadap sejarah. Kemajuan peradaban yang akhirnya memfalsifikasi pandangan metafisik terhadap fenomena alam, terjadi tepatnya abad ke-19, tatkala Darwin muncul dengan teori evolusinya. Namun begitu, Sathi’ al-Hashri melihat, Ibnu Khaldun telah memaparkan fakta tersebut 5 abad sebelum Darwin. Tesis Sathi’ al-Hashri ini didasarkan pada kesalahan cetak (atau penghapusan?) yang dilakukan oleh penerbit-penerbit Timur Tengah. Mereka mengganti kata “qirdah” menjadi “qudrah”, sehingga secara tidak langsung mempengaruhi perspektif masyarakat tentang Ibn Khaldun. Jelas, dalam konteks perbincangan Ibnu Khaldun tentang “qirdah” (kera), pandangannya telah terlebih dahulu mendahului teori Darwin. Baginya, kera adalah spesies yang menghubungkan antara hewan dan manusia. Statement ini tertulis jelas dalam Muqaddimah Ibn Khaldun cetakan ‘Ali Abdul Wahid Wafi, volume II. Namun, Mahmud Isma’il dalam kajiannya terhadap Ibn Khaldun berpendapat, semua tesis Ibnu Khaldun tentang filsafat sejarah sejatinya dikutip dari Rasâil Ikhwân al-Shafâ.

Teori evolusi ini selanjutnya diaplikasikan oleh Ibnu Khaldun dalam menganalisa fenomena sosial dalam laju sejarah. Karena, menurutnya, evolusi dalam fenomena sosial lebih kentara dari aplikasi teori ini dalam fenomena alam. Pandangan evolutif kemudian berkembang menjadi analisa dialektis terhadap sejarah; bahwa terdapat keterpengaruhan antara peradaban baru dan peradaban lama, atau terdapat keterpengaruhan satu peradaban dengan yang lain. Bukti konkretnya adalah, satu peradaban baru tak akan terlepas dari peninggalan dan unsur peradaban sebelumnya, serta membentuknya menjadi sebuah peradaban baru. Di sisi lain, proses evolusi tersebut membutuhkan ‘faktor penunjang’ yang menjadikan berpindah dari satu keadaan/peradaban pada keadaan/peradaban lain. Ekonomi merupakan faktor yang paling banyak dituliskan Ibnu Khaldun. Ia membedakan antara perabadan kota dan desa yang didasarkan pada mata pencaharian masyaraktnya. Tesis ini, sekaligus mengisyaratkan bahwa Ibnu Khaldun telah mendahului Karl Marx menyangkut doktrin ‘materialisme-historis’. Nampaknya asumsi ini tak berlebihan, jika kita menilik ungkapan senada dari Muhammad Abid al-Jabiri, pemikir Islam garda depan, tatkala ia berkutat dengan karya Yves Lacoste terkait kajiannya terhadap Ibnu Khaldun.

Satu poin penting yang nampaknya tak boleh tertinggal dari buku ini adalah sebab-sebab kesilapan dalam penulisan sejarah. Diantara sebab tersebut, tutur Zainab Mahmud al-Khudlairi, meyakini doktrin sekte tertentu sebagai kebenaran sejati, atau karena faktor psikologis. Konsekuensinya, analisa obyektif terhadap suatu data telah dikalahkan oleh data-data kontras yang telah terlebih dahulu ‘bertengger’ dan diimani dalam benak sejarawan. Sebab yang lain, label baik atau buruk terhadap pembawa data (al-râwi) didasarkan pada perspektif sejarawan pribadi (subyektif). Dalam ilmu hadis, metode ini dinamakan al-jarh wa al-ta’dîl. Dengan demikian, jelas, bahwa Ibnu Khaldun hendak mengaplikasikan metode dalam musthalah hadis pada data-data sejarah. Namun satu hal yang tampaknya perlu digaris bawahi, aplikasi metode ini setelah terlebih dahulu menguji suatu data mustahil atau tidak.

Penulisan sejarah mempergunakan metode ini akan memandang sejarah secara obyektif, tanpa tercampur fanatisme sektarianistik, atau tendensi tertentu. Zainab mengajari kita, bahwa kita perlu melihat sejarah dengan menempatkan diri bukan bagian dari ‘pelaku sejarah’. Kekhawatiran tersebut muncul tatkala kita mengamati fenomena penulisan sejarah Arab-Islam yang sarat dengan tendensi politik; dipergunakan untuk mengukuhkan posisi golongannya. Perpecahan antar sekte yang timbul sekarang salah satunya karena ‘korban sejarah’.

Judul: Falsafah al-Târîkh ‘indâ Ibn khaldûn
Pengarang: Zainab Mahmud al-Khudlairi
Penerbit: Dar al-Farabi
Kota Terbit: Beirut
Tahun Terbit: 2006
Tebal Buku: 215 Halaman
Resentator: Ahmad Hadidul Fahmi

No comments:

Post a Comment