Saturday 10 March 2012

Tafsir Dan Takwil; Upaya Memahami Kitab Suci

Oleh Ahmad Hadidul Fahmi, Lc

Bagaimanapun, al-Qur'an sebagai kalam suci telah menyita perhatian banyak pihak. Sebab, selain al-Qur'an mencakup aspek ritual, al-Qur’an juga tidak hadir sekonyong-konyong menjadi teks dengan lekukan-lekukan rapi di tengah cover mahal yang mengitarinya. Ada bentangan sejarah panjang semenjak masa diturunkannya wahyu sampai menjadi seperti sekarang. Dari para sarjana Islam klasik, modern, dan bahkan orientalis[1], telah melakukan kajian mendalam terhadap kitab agung ini. Tak terkecuali jika berbincang sejarah penafsiran al-Qur’an. Dalam sejarahnya, hierarki capaian akal yang membentuk perbedaan perspektif manusia terhadap suatu fenomena, meniscayakan pengaruh besar terhadap pola interpretasi terhadap al-Qur’an. Keanekaragaman tersebut ditunjang pula oleh al-Qur'an itu sendiri, seperti dikatakan oleh Abdullah Darraz, "layaknya berlian yang setiap sisinya memancarkan cahaya yang tak seragam: yang berbeda dengan sisi-sisinya yang lain".[2]

“Terhadap Injil, setiap orang meminta keyakinannya, dan di dalamnya pula, setiap orang mendapatkan apa yang ia pinta.” Tampaknya, ungkapan Peter Werenfels ini, ujar Goldziher, selain sesuai dengan konteks pembaca Injil, pun menemukan relevansinya dengan umat Islam terhadap al-Qur’an.[3] Dalam perjalanannya, teks suci selanjutnya mirip ‘mainan’: ditarik ulur untuk menopang kepentingan politik atau ideologi sekte tertentu. Dari sini muncul pertanyaan menarik, sejauh mana “batasan” interaksi umat Islam dengan al-Qur’an?

Sisi Historis Tafsir; Analisa Atas Sebab Perbedaan

Peneliti perkembangan tafsir sepakat bahwa upaya untuk memahami dan menjelaskan kandungan al-Qur’an sudah muncul semenjak masa nabi SAW: terutama saat beberapa shahabat merasa kesulitan mengungkap maksud suatu ayat.[4] Yang membedakan penafsiran pada masa Nabi dan generasi setelahnya pada implikasi perbedaan memahami teks. Dalam arti, masa Nabi belum membuahkan banyak perbedaan, karena Nabi mempunyai otoritas mutlak ketika menjelaskan maksud al-Qur'an, juga permasalahan pada masa itu belum kompleks serta belum mengalami perkembangan signifikan. Baru selepas wafatnya Nabi SAW, di saat perkembangan masalah semakin melebar, beberapa pembesar shahabat mengambil inisiatif untuk melaksanakan ijtihad menginterpretasi ayat.[5] Oleh para ulama, pada masa ini dianggap sebagai "embrio" munculnya beberapa model penafsiran yang beraneka ragam yang muncul di kemudian hari.

Huseyn al-Dzahabi menyebutkan dalam bukunya al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, shahabat dalam memahami ayat tidaklah seragam: di antara mereka ada yang kuat pemahamannya terhadap bahasa Arab, atau yang kerap mendampingi Nabi hingga mengetahui sebab turunnya ayat (asbâb al-nuzûl) secara langsung, dan tak jarang pula di antara mereka yang lemah pemahamannya terhadap bahasa Arab.[6] Dengan demikian, keanekaragaman bentuk penafsiran yang terjadi setelahnya tidak bisa lepas dari perbedaan pandangan yang sudah terjadi di kalangan shahabat. Adalah Ibnu Mas'ud yang cenderung dominan pada daya nalarnya, Ibnu Abbas yang lebih mencolok penafsiran melalui periwayatan (riwâyah). Menurut Huseyn al-Dzahabi, sumber penafsiran al-Qur’an pada masa ini berkisar pada al-Qur’an itu sendiri, sabda Nabi[7], ijtihad, dan Ahl al-Kitab. Ada karakter yang membedakan penafsiran di masa shahabat dengan generasi setelah mereka: penafsiran pada masa ini tidak mencakup keseluruhan ayat, dan hanya ditafsirkan secara global.

Ibnu 'Abbas kemudian mempunyai murid dikalangan tabi'in—generasi setelah shahabat, di antaranya Mujahid (w. 104 H), Atha’ bin Abi Rabbah (w. 114 H), Ikrimah (w. 104 H), Thawus (w. 106 H), Sa'id bin Jubeir (w. 95 H), dll. Sedang ‘Alqamah bin Qays (w. 61 H), Masruq bin Abd al-Rahman (w. 63 H), al-Aswad bin Yazid (w. 74 H), adalah periwayat dari Ibnu Mas’ud. Abu al-Aliyah (w. 90 H), Zaid bin Aslam (w. 136 H) dan Muhammad bin Ka’b (w. 118 H) meriwayatkan dari Ubay bin Ka’b. Ibnu Taymiah dalam Muqaddimah fî Ushûl al-Tafsîr menyatakan, tokoh-tokoh tersebut kemudian yang mendominasi berdirinya tiga madrasah penting dalam sejarah perkembangan tafsir di era tabi’in: madrasah di Mekah yang didirikan oleh Ibnu Abbas, di Iraq yang didirikan oleh Ibnu Mas’ud, dan di Madinah yang didirikan oleh Ubay bin Ka’b. Metode tafsir yang diriwaytkan (transmisional) dari Nabi, shahabat, serta tabi'in ini yang kemudian diistilahkan dengan al-Tafsîr bi al-Ma'tsûr.[8]

Pada tahap ini tafsir al-Qur’an sudah banyak tercampur dengan riwayat Judeo-Kristiani (isrâiliyyât) sebab semakin banyaknya Ahli Kitab yang masuk Islam.[9] Tafsir pada tahap ini juga ditandai dengan banyaknya perbedaan yang diakibatkan kompleksitas masalah yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Akan tetapi, tafsir pada generasi Nabi, shahabat dan tabi’in masih sebatas disampaikan secara oral.

Secara sederhana, setelah masa ini, pembukuan tafsir (al-Tadwîn) mulai digalakkan. Dr. Rumzi al-Na’na’ah memetakan sejarah kodifikasi tafsir dalam empat fase; pertama, bersamaan dengan kodifikasi hadis. Pada fase ini tafsir dikodifikasi secara tematik disesuaikan dengan tema hadis. Tafsir di fase ini tidak berperan menginterpretasi al-Qur’an per-kata, namun hanya mengandalkan interpretasi transmisional yang dinisbatkan pada nabi, shahabat serta tabi’in secara global. Tokohnya adalah Yazid bin Harun al-Silmi (w. 206 H), Syu’bah bin al-Hajjaj (w. 160 H) serta Sufyan bin ‘Uyainah (w. 198 H); kedua, independensi tafsir dari hadis. Tafsir pada fase ini menginterpretasi kata per-kata sesuai dengan urutan mushaf. Corak tersebut dapat dijumpai dari Ibnu Majah (w. 273 H), Ibnu Jarir al-Thabari (w. 310 H), serta Ibnu Abi Hatim (w. 327 H). Sebagai catatan penting, model tafsir ini pun mengandalkan riwayat-riwayat dari Nabi, shahabat, serta tabi’in (transmisional), terkecuali tafsir Ibnu Jarir al-Thabari. Al-Thabari mengupas banyak pendapat, kemudian melakukan seleksi dari sekian pendapat tersebut, terkadang pula menginferensi suatu hukum dari ayat terkait.

Ketiga, tafsir dengan corak transmisional (al-ma’tsûr) disertai mata rantai lengkap. Namun ada beberapa penafsir yang mencukupkan pada rantai tanpa menyebut pengucapnya. Model demikian yang disinyalir sebagai akar kemunculan riwayat Judeo-Kristiani dalam buku-buku tafsir. Hal itu disebabkan tidak jelasnya kualifikasi terhadap riwayat yang datang; keempat, tafsir mengalami perkembangan secara massif. Di samping mengandalkan riwayat transmisional (al-ma’tsûr), corak tafsir rasional (al-‘aqlî) pada masa ini pun menggema. Tafsir yang berdimensi rasional kemudian semakin melebarkan sayapnya tatkala pemerintahan Abasiyah mulai membuka “kran” dengan peradaban luar Islam: Yunani. Corak rasional murni dapat kita jumpai pada Mafâtîh al-Ghaib, karya Fakhr al-Din al-Razi, atau al-Bahr al-Muhîth, karangan Abu Hayyan al-Tawhidi.[10]

Secara umum, para penafsir memulai uraiannya—terhadap suatu ayat—ditopang dengan riwayat yang bersumber dari Nabi. Seandainya tak menjumpai, mereka berpindah menuju perkataan para shahabat, kemudian tabi’in. Karakter para penafsir sendiri berbeda; ada beberapa penafsir yang mendasarkan pendapatnya—secara paripurna—terhadap riwayat transmisional, namun terdapat pula yang bercorak rasional murni. Atas dasar ini, buku tafsir klasik kemudian dijumpai seperti “lautan ilmu”. Jamal al-Banna memetakan dengan apik tipologi penafsir klasik dalam tiga corak; pertama, yang berorientasi terhadap bahasa (al-lughawiyyun); kedua, orientasi sektarian (al-madzhabiyyûn); ketiga, orientasi menafsirkan al-Qur’an mempergunakan riwayat (al-ikhbâriyyûn).[11]

Bagi Jamal sendiri, ketiga corak tafsir ini mempunyai kecacatannya tersendiri. Untuk yang pertama, penyebabnya adalah perbedaan metode antar penafsir yang didasarkan pada unsur bahasa. Mereka terlalu masuk dalam pada persoalan pelik bahasa; entah itu gramatika (al-nahw wa al-sharf) atau keindahan bahasa (balâghah). Imbasnya, al-Qur’an ditundukkan pada kaidah-kaidah gramatika, atau balaghah. Sebagai misal, dalam perbincangan gramatika, struktur asal suatu kalimat tersusun dari tiga unsur: subyek (al-fâ’il), predikat (al-fi’l), dan obyek (al-maf’ûl) yang terangkum dalam susunan “fi’il-fa’il” atau “mubtada-khabar”. Jika tidak terdapat salah satu dari ketiga unsur ini, maka yang bermain kemudian “spekulasi”—atau dibahasakan dengan “taqdîr”. Mari kita simak penuturan Jamal al-Banna—mengutip Abd al-Sattar al-Jawari--terkait hal ini,

“Firman Allah dalam surat al-Nisa: “dan keinginanmu untuk mengawini mereka” (targhabûna an tankihûhunna). Kata kerja “raghiba” akan sampai pada dua obyek dengan dua kata (‘an serta fî), dan akan menghasilkan dua makna yang kontradiktif; apabila mempergunakan “raghiba fî” akan sampai pada makna positif, jika mempergunakan “raghiba ‘an” akan menghasilkan makna negatif […]. Oleh karena itu, Zamakhsyari, ketika mengurai masalah ini mengatakan: “kemungkinan maknanya adalah menyukai, hingga berkehendak menikahinya karena cantik, atau membenci, sehingga tidak mau menikahinya karena jelek”. Namun beberapa pakar dalam permasalahan ini mengatakan: raghbah dalam kalimat ini, entah itu mempergunakan fî atau ‘an sama saja, sehingga tidak dicantumkan. Menurut saya (‘Abd al-Sattar al-Jawari), perkaranya tak sesulit itu. Karena makna kata kerja itulah yang harus dijadikan pegangan. Adapun huruf tambahan hanya untuk membatasi relasi dengan obyek: negatif atau positif. Kata raghbah yang membatasi relasi (negatif atau positif) dengan obyek adalah raghbah fî syain (menyukai suatu hal). Adapun makna negatif (raghbah ‘an syain) merupakan cabang (al-far’) yang tak diketahui terkecuali dijumpai huruf ‘an secara tersurat”.[12]

Al-Qur’an sendiri, dari kacamata gramatika, dapat diklasifikasi pada dua bagian; pertama, bagian yang selaras dengan kaidah-kaidah gramatika; kedua, bagian-bagian yang berbenturan dengan kaidah-kaidah gramatika. Untuk yang kedua ini, sikap penafsir terpetakan mejadi tiga; pertama, secara frontal menyatakan ketidakcocokannya; kedua, masih berupaya mendamaikan walaupun kemudian “mengalahkan” al-Qur’an; ketiga, mentakwil ayat-ayat yang tak selaras dengan kaidah gramatika.[13] Sebagai misal, dalam kaidah nahwu, "la yajûzu wuqû' al-istisnâ al-mufarragh ba'da al-îjâb." Padahal dalam al-Qur'an ada delapan belas “al-istisna al-mufarragh” yang jatuh dalam kalimat postif. Di antaranya lagi, “la yajûzu 'athf al-ismi al-dzâhir 'alâ al-dlamîr al-makhfûdz illâ ba'da i'âdat al-khâfidz." Padahal firman Allah berbunyi (Qira’at Hamzah), "wattaqullah al-ladzî tasâalûna bihi wa al-arhâmi." Lafadz “al-arhâm” dibaca kasrah dan diikutkan ('athaf) pada isim dlamir tanpa mengembalikan khâfidz—dalam qiraat Hamzah. Padahal bacaan ini adalah dari sebagian besar tabi'in, shahabat. Dan menurut Abu Hayyan al-Tawhidi, itu adalah bacaan mutawatir dari Nabi. Oleh karena itu, pakar nahwu jika menjumpai ayat yang tak cocok dengan kaidah nahwu mengatakan, “ini kesalahan penulis”.

Kedua; orientasi sektarianistik (al-madzhabiyyûn). Contoh yang paling kentara ketika al-Qur’an berbicara tentang atribut Tuhan. Sebagaimana dalam tafsir al-Kasysyâf, karangan Zamakhsyari dari sekte Muktazilah, yang terkadang berlebihan menafsirkan suatu ayat agar selaras dengan ideologi sektenya: penafian sifat. Kita melihat bagaimana saat Zamakhsyari memaknai kalâm (berbicara) dengan al-kalmu (luka), sehingga—menurut Muktazilah--maknanya: “Allah menguji Nabi Musa dengan pelbagai macam fitnah.” Karena memang, menurut Zamakhsyari, pada praktiknya al-Qur’an mendedah argumen eksistensi Tuhan hanya melalui “kontemplasi” terhadap keindahan alam raya. Dan penafian “pembicaraan” ini berakibat pula penafian sifat—sebagaimana ideologi Muktazilah. Begitu pula dari sekte Khawarij ketika menafsirkan ayat: “fa minkum kâfir wa minkum mu’min”, bahwa manusia hanya pada dua jalur: mukmin dan kafir. Yang demikian itu karena mereka menganggap bahwa pelaku dosa besar—jika tidak bertaubat—masuk pada golongan kafir.

Ketiga; orientasi menafsirkan al-Qur’an mempergunakan riwayat (al-ikhbâriyyûn). Metode yang ditempuh mempergunakan riwayat transmisional, sehingga kemudian dinamakan “al-Tafsîr bi al-Ma’tsûr”. Faktanya, menurut Jamal al-Banna, riwayat dari Nabi terhadap ayat al-Qur’an sangat sedikit sekali. Bahkan, tafsir terhadap suatu ayat yang datang dari Nabi bukan dari Nabi sendiri, melainkan Nabi hanya mempergunakan ayat al-Qur’an yang lain untuk menafsirkan (tafsîr al-Qur’an bi al-Qur’ân). Sampai riwayat yang dari shahabat serta tabi’in pun kemudian dipakai, jika tak ditemukan pernyataan dari Nabi terhadap ayat tertentu. Bahkan ada yang menuliskan semua riwayat yang datang dari Ibnu ‘Abbas dalam sebuah buku dengan tajuk “Tafsîr ibni ‘Abbas”.[14] Padahal, mayoritas riwayat yang ada dalam kitab tersebut diriwayatkan oleh al-Kalbi, al-Sadiy, serta Muqatil bin Sulaiman. Mereka adalah nama-nama yang sudah mendapat predikat pemalsu. Imam Suyuthi sendiri—yang telah didahului oleh Ibnu Taymiah—berujar, bahwa perkataan Ahmad bin Hanbal, “tiga kitab yang tidak bisa dipertanggungjawabkan; peperangan, mimpi, serta tafsir,” ditujukan untuk periwayat dalam tafsir Ibnu ‘Abbas. Rasyid Ridla meneruskan pernyataan Ahmad bin Hanbal tersebut hingga sampai pada nama-nama buku tafsir yang di“black list” karena berisikan riwayat yang tak dapat dipertanggungjawabkan: al-Wahidi, al-Tsa’labi, Zamakhsyari, Baidlawi. Ada tiga karakter perbincangan corak tafsir model ini; pertama, berbincang tentang para Nabi secara spesifik, Bani Israil, hari Akhir, surga, neraka; kedua, mengerucutkan pembahasan yang disamarkan oleh al-Qur’an (ta’yîn al-mubhamât); ketiga, memaparkan sebab diturunkannya suatu ayat (asbâb al-nuzûl).

Tafsir dan Takwil; Upaya Menumbuhkan Toleransi Penafsiran

Nashr Hamid Abu Zaid, mewakili para pengkaji tafsir dan tafsir al-Qur’an saat mencari legitimasi takwil, mengatakan bahwa tafsir dan takwil sebagai dua terma yang bersinonim telah dinyatakan oleh generasi awal Islam. Ibnu Jarir al-Thabari mempunyai kitab tafsir yang bertajuk Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ay al-Qur’an. Takwil dari penamaan Ibnu Abbas untuk tafsirnya—menurut banyak pengkaji tafsir—mempunyai makna “tafsir”. Begitu pula Nabi saat mendoakan Ibnu Abbas mengatakan, “allahumma faqihhu fi al-dîn wa allimhu al-takwil”—semoga Allah menjadikan dia orang yang memahami agama dan mengerti tentang tafsir. Akan tetapi sinonimitas tidak lantas mempunyai implikasi tak berbeda. Sebab belakangan, terma takwil lebih diidentikkan untuk penjelasan alegoris dan metaforis terhadap al-Qur’an, sebagaimana yang sering dipraktikkan oleh sebagain tokoh-tokoh sufi, teolog dan filsuf. Pada tataran praksis, muncul model-model takwil-an “liar” melalui penjelasan alegoris, hingga memaksakan gagasan-gagasan nakal ke dalam teks literal al-Qur’an. Sebab itulah terma takwil menjadi tidak begitu mendapat apresiasi di kalangan ortodoksi Islam. Walaupun begitu, takwil tetap dinilai sebagai salah satu unsur keindahan bahasa al-Qur'an.[15]

Takwil sendiri sebenarnya terminologi yang problematis dalam babakan sejarah Islam: sebab antar sarjana kerap berbeda-beda memaknai takwil dari masa ke masa. Jika di awal Islam takwil diposisikan sinonim dengan tafsir, selanjutnya berkembang definisinya menjadi “maksud dari sebuah perkataan”. Sedang tafsir merupakan penjelasan terhadap maksud redaksi. Dengan kata lain, jika terdapat redaksi, “Matahari muncul”, maka takwilnya adalah realisasi di alam riil bahwa matahari muncul. Sedang tafsir menjelaskan dan menjabarkan bagaimana kronologis kemunculan serta waktunya. Pun berkembang definisi bahwa definisi tafsir lebih ke transmisi (al-naql) sedang takwil lebih ke penjelasan eksploratif (ijtihâdî) yang didasarkan pada perenungan dan kontemplasi. Sebagai misal, diferensiasi yang dilontarkan oleh al-Raghib al-Ishfahani, bahwa tafsir lebih ke redaksional, berhubungan dengan struktur kalimat, sedang takwil lazimnya berelasi dengan makna susunan kalimat.[16]

Perkembangan takwil juga erat kaitannya dengan implikasi-implikasi ayat yang sebenarnya tak tunggal. Misalnya, jika kita tengok bagaimana Syihab al-Din al-Lusi dalam pengantar tafsirnya, Rûh al-Ma’âni, memberikan argumen untuk pengukuhan makna-makna ayat esoterik. Menurut al-Lusi, makna ayat esoterik bukan hendak meniadakan makna eksoterik. Sebab, keyakinan yang demikian merupakan keyakinan orang-orang murtad. Akan tetapi pemaknaan esoterik berupaya menyibak rahasia-rahasia yang terlampau agung di dalam al-Qur’an. Tanpa melihat ke pemaknaan esoterik, maka mustahil melihat rahasia agung kitab suci ini. Al-Lusi mendasarkan pandangannya, misalnya, pada riwayat, “setiap ayat mempunyai enampuluh ribu pemaknaan.”[17] Contoh yang sama juga bisa kita lihat dari pernyataan al-Razi di Mafâtih al-Ghayb—penafsir al-Qur’an yang bisa menafsirkan surat al-Fatihah sampai tiga ratus halaman. Ia mengatakan di awal kitabnya,

“saya sudah mengatakan dalam beberapa kesempatan, bahwa dari surat ini mampu disimpulkan sepuluh ribu permasalahan. Akan tetapi orang-orang yang bodoh tidak mempercayainya. Dan mereka mengomentari surat al-Qur’an ini dalam buku-bukunya dengan komentar kosong tanpa arti, dan kalimat yang tidak bisa memberikan substansi. Ketika aku menganggit kitab ini, aku mengajukan kata pengantar ini sebagai pengingat bahwa apa yang sudah aku sampaikan sesuatu yang bisa dan dekat kemungkinan terjadi."

Dengan demikian, argumen takwil, disamping mempergunakan riwayat-riwayat yang datang, sebenarnya erat pula kaitannya dengan argumen interpretasi jamak terhadap al-Qur’an: bahwa satu ayat al-Qur’an maknanya tidak tunggal, dan bisa bermacam dengan pelbagai sudut pandang. Berbeda di tangan para teolog, takwil acapkali dipergunakan untuk mentakwilkan ayat-ayat yang secara rasional tidak mungkin dimaknai secara literal. Pemaknaan rasional mempergunakan takwil untuk menghindari inklinasi penyerupaan Tuhan dengan manusia. Jika bagi sebagian teolog porsi takwil tidak begitu besar, di tangan Muktazilah, takwil terhadap ayat sangat berlebihan, sehingga memunculkan bermacam resistensi yang cukup tajam dari sarjana-sarjana Asy’ariyyah. Permisalan yang paling kentara, sebagaimana disebutkan di muka, adalah penafsiran Zamakhsyari, penafsir otoritatif Muktazilah yang memaknai “kalam” (berbicara) dengan “al-kalmu (luka). Yang demikian karena Muktazilah hendak menafikan sifat-sifat yang tak berawal (qadîm) Allah—atau Shifat al-Ma’âni. Sebab, prinsip fundamental dalam teologi Muktazilah dikatakan, segala yang tak berawal tak mungkin mempunyai keserupaan yang tak berawal. [18]

Oleh karena itu, sebenarnya justifikasi takwil bisa dipergunakan untuk legitimasi pemahaman ayat yang multi-interpretatif. Para ulama memberikan batasan-batasan pada takwil yang bisa diterima dan ditolak. Di antaranya, takwil yang bisa diterima harus memperhatikan aspek lafadz melalui kemungkinan-kemungkinan makna lain dengan meneliti struktur kalimat, kosakata, redaksi secara umum, relasi antara satu ayat dan lainnya (munasâbat al-ayât), dan lain sebagainya. Sebenarnya bisa dibahasakan juga, bahwa penerimaan takwil dengan catatan jika masih berada dalam koridor “tafsir”—sebab pensyaratan takwil yang diterima tak jauh berbeda dengan tafsir. Oleh karena itu, Abu Ashi menyebut, setiap bentuk takwil pasti termasuk tafsir, tetapi belum tentu semua tafsir adalah takwil, karena takwil dimaksudkan untuk menjelaskan suatu hal dengan kontemplasi dan perenungan secara mendalam.[19] Bagi penulis, jelas ketetapan ini bisa ditarik dalam batas interaksi antar umat Islam untuk saling menghargai penafsiran masing-masing sekte terhadap al-Qur’an.

Penutup

Ini hanyalah usaha kecil yang tidak komprehensif untuk sekedar menuliskan babakan sejarah yang cukup panjang tentang tafsir dan takwil. Sebetulnya ada yang absen dari tulisan kali ini: muncul madzhab-madzhab baru dalam tafsir di era modern yang belum penulis sebutkan di sini. Pada praktiknya, sebuah pembacaan terhadap terhadap “teks” akan selalu memunculkan pandangan dari pelbagai sudut pandang. Menurut Imam ‘Ali, “al-Qur’an hammâl awjah; kâin mayyit, wa innamâ yuntiquhu al-rijâl”. Dan hal itu pula yang mengantarkan merebaknya varian metode pembacaan, baik pada masa klasik ataupun kontemporer. Semoga tulisan ini bermanfaat.[]


Catatan Kaki
[1] Studi Orientalis terhadap al-Qur’an ditujukan pada dua aspek penting: pertama, “lingkungan sektarian”, atau lingkungan yang turut membentuk al-Qur’an. Kajian terhadap aspek ini berkesimpulan, banyak doktrin, konsep hukum dalam Islam yang sebetulnya tidak otentik; kedua, proses kodifikasi al-Qur’an, untuk melacak sejauh mana sumber-sumber primernya dapat dipercaya. Sedangkan tipologi Orientalis dalam mengkaji al-Qur’an juga terpetakan menjadi dua: pertama, rasionalis-analitis, di mana mengkaji al-Qur’an dengan kacamata Barat, baik melalui sudut pandang Yahudi-Kristen maupun humanis-sekular. Di antaranya, Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, William Montgomery Watt, Kenneth Cragg, Patricia Crone, dll; kedua, kaum mistis-romantis. Di antaranya Martin Lings, Henry Corbin, Titus Burckhardt, Toshihiko Izutsu, dll. Kajian kedua ini umumnya lebih disukai oleh orang Islam. Lihat Ulil Abshar Abdalla, Luthfi Assyaukani, Abd. Moqsith Ghazali dalam Metodologi Studi al-Qur’an, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009, hlm. 31-35

[2] Abdullah Darraz, al-Naba' al-'Adzîm, Kairo: Dar al-Urubah, 1960, hlm. 111

[3] Ignaz Goldziher, Madzâhib al-Tafsîr al-Islâmî, Kairo: Maktabah al-Khonji, peny. Dr. ‘Abdul Halim al-Najjar, 1955, hlm. 15

[4] Lazimnya, penafsiran Nabi terhadap suatu ayat direkam dalam kitab-kitab hadis dengan judul Kitâb al-Tafsîr yang disusun mengikuti susunan mushaf Utsmani. Bisa dilihat misalnya pada Shahih Bukhari/Muslim, serta Sunan Turmudzi. Satu contoh yang masyhur saat nabi menafsirkan kata al-dzulm (6:82) dengan syirik (31:13).

[5] Di antaranya adalah 'Umar bin al-Khattab, Ali bin Abi Thalib, Ibnu 'Abbas, Ibnu Mas'ud, dan selainnya. Pada masa ini, penafsiran shahabat terhadap al-Qur'an banyak menjadikan syair pra-Islam (jahiliyyah) sebagai rujukan. Satu contoh, Ibnu Abbas saat menterjemahkan kata haraj dalam 22:27, beliau berkata: “Jika terlihat kata di dalam al-Qur’an yang terlihat asing, maka jawabnya di dalam syair…”. Lihat Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ây al-Qur’an, peny. Mahmud Muhammad Syakir dan Ahmad Muhammad Syakir, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1966. surat 22:78

[6] Muhammad Huseyn al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Kairo: Maktabah Wahbah, juz I, cet V, 2000, hlm. 30

[7] Para sarjana berbeda pendapat mengenai nominal ayat yang ditafsirkan oleh Nabi: menurut Ibnu Taymiah, Nabi menjelaskan semua makna dan lafadz al-Qur’an. Akan tetapi sebagian yang lain memandang, bahwa Nabi tidak menjelaskan seluruh ayat al-Qur’an, hanya sedikit yang dijelaskan oleh Nabi. Pendapat ini dianut oleh Imam Jalal al-Din al-Suyuthi, dan al-Khuwwi. Tetapi Huseyn al-Dzahabi memandang dua kelompok ini terlalu berlebihan: yang tepat adalah Nabi menafsirkan banyak ayat, walaupun tidak semua ditafsirkan oleh Nabi.

[8] Ada perbedaan signifikan antara tafsir pada masa shahabat dan tabi’in. Pada masa shahabat, tafsir lebih merupakan penjelasan terhadap ayat-ayat yang belum jelas. Itupun tidak seluruhnya, lebih bersifat global dan banyak merujuk pada pendapat Ahl al-Kitab. Sedang pada masa tabi’in, pembahasan menjadi lebih detail, ditandai dengan banyaknya ayat-ayat yang ditafsirkan.

[9] Judeo-Kristian (al-Isrâiliyyât) sendiri merupakan istilah yang merujuk pada umat Yahudi dan Nashrani. Bani Israil merupakan keturunan Ya’qub, sampai pada umat Musa, kemudian ‘Isa. Sedang Nashrani sendiri adalah umat Nabi ‘Isa. Masuknya riwayat Nashrani dalam peradaban Islam sejatinya karena pergumulan Yahudi dan Nashrani yang sudah terjadi sebelum datangnya Islam. Di Madinah, kala itu, terdapat perkampungan murni Yahudi. Sebagian bertempat di Madinah, seperti Bani Qainuqa’, Bani Nadlir, Bani Quraidlah, dan sebagian lagi bertempat agak jauh dari Madinah, seperti Yahudi Khaibar, dan Wadi Qura’. Mereka, kaum Yahudi, membawa tradisi pendahulu; mereka adalah Yahudi dari segi agama, kebiasaan, ataupun etika. Terdapat perdebatan waktu pasti kedatangan Yahudi ke Arab; sebagian berpendapat, Yahudi hijrah ke Arab pada masa Nabi Dawud, sebagian lagi berasumsi pada masa Nabi Yehezkal (Zulkifli). Namun tidak ada argumen valid yang menopang kedua pandangan tersebut, oleh karenanya tidak dipakai oleh para sejarawan. Pendapat yang menjadi konsensus sejarawan, kedatangan Yahudi ke tanah Arab adalah antara abad ke II dan ke III M. Yahudi pra Islam mempunyai tempat untuk belajar berdiskusi yang dinamakan “Midras”. Terdapat riwayat valid yang menyatakan bahwa Nabi dan Abu Bakr serta Umar pernah mengunjungi Midras untuk mengajak kaum Yahudi memeluk Islam. Dalam al-Qur’an pun banyak ayat yang mengutip perdebatan Yahudi dan Umat Islam. Sampai kemudian beberapa pemuka Ahli Kitab masuk Islam, semisal Ka’b al-Ahbar, ‘Abdullah Ibnu Salam, serta Wahb bin Manbah. Interaksi umat Islam dengan kaum Yahudi yang terejawantahkan dalam pertanyaan seputar cerita dalam al-Qur’an secara detail; nama orang, tempat, dan kronologi cerita, merupakan embiro riwayat Judeo-Kristiani dalam tafsir al-Qur’an. Faktor dominan pengadopsian cerita-cerita Ahli Kitab yang diterapkan dalam al-Qur’an karena al-Qur’an pada hakikatnya diturunkan sebagai “pembenar”, sehingga ada kesamaan cerita dengan kitab-kitab sebelumnya. Yang demikian karena cerita di dalam al-Qur’an bersifat umum. Sebagai misal, cerita tentang Nabi Adam, seperti disebutkan dalam al-Qur’an, pun dicantumkan dalam Taurat. Perbedaannya, cerita tentang Nabi Adam dalam al-Qur’an bersifat global; tidak mencantumkan nama tumbuhan yang dimakan oleh Adam, nama sorga, perincian dialog Tuhan dengan Adam, tempat diturunkannya Adam dari sorga, dll. Namun semuanya ini dijelaskan secara spesifik dalam Taurat. Dapat dilacak pada Tafsir Thabari dan Tafsir Muqatil bin Sulaiman ketika menjelaskan peristiwa ini. Thabari dan Muqatil terkadang meriwayatkan dari Wahb bin Manbah, terkadang pula dengan mata rantai: dari Israil dari Asbath, dari al-Sadi. Bahkan riwayat Judeo-Kristiani tak hanya menghiasi buku tafsir klasik, namun merambah pula ke buku sejarah, seperti perbincangan sejarah Bani Israil dan para Nabinya (târîkh banî isrâîl wa anbiyâ’ihim), sebagaimana dituliskan oleh Ibnu Jarir al-Thabari dan Ibnu Ishaq dalam Târîkhnya, serta Ibnu Qutaibah dalam al-Ma’ârif. Lihat Abu Syuhbah, al-Isrâiliyyât wa al-Maudlû’ât fî Kutub al-Tafsîr, Kairo: Maktabah al-Sunah, cet. IV, 1408 H, hlm. 12. Untuk lebih mengetahui efek dari keterpengaruhan ini, bisa dilihat di Musthafa Bouhindi, al-Ta’tsîr al-Masîhî fî Tafsîr al-Qur’an, Beirut: Dar al-Thali’ah, cet. I, 2004

[10] Dr. Rumzi Na’na’ah, al-Isrâ’iliyyât wa Atsaruhâ fî Kutub al-Tafsîr, Beirut: Dar al-Dliya’, cet. I, 1970, hlm. 19-20

[11] Jamal al-Banna, al-Tafsîr baina al-Qudâmâ wa al-Muhditsîn, Kairo: Dar al-Fikr al-Islami, tt, hlm. 58

[12] Ibid., hlm. 64-65

[13] Ibid., hlm. 71

[14]Terdapat fakta menarik seputar buku Ibnu ‘Abbas ini, tutur Nashr Hamid Abu Zaid, untuk melegitimasi “sikap hermeneutis”nya. Asumsi bahwa tafsir Ibnu ‘Abbas ini hanya berisi riwayat transmisional tidak sepenuhnya tepat. Karena Ibnu Abbas sendiri dalam tafsirnya sepakat dengan pentakwilan Khawarij yang kontradiktif dengan riwayat-riwayat yang terdapat dalam buku tafsir. Karena memang, faktanya, diferensiasi terminologi tafsir dan takwil baru muncul pada kurun belakangan. Bahkan Ibnu Jarir al-Thabari, dalam tafsirnya Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl al-Qur’an, tidak membedakan antara terminologi tafsir dan takwil. Nashr Hamid Abu Zaid, Falsafah al-Ta’wîl; Dirâsah fî Ta’wîl al-Qur’ân ‘indâ Muhyiddîn Ibn ‘Arabî, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, cet. VI, 2007, hlm. 12-13

[15] Lihat Jalal al-Din Suyuthi, al-Itqân fî 'Ulûm al-Qur'an, Kairo: Dar al-Hadis, peny. Ahmad bin Ali, juz II, 2004, hlm. 36

[16] Lihat Al-Raghib al-Ishfahani, Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, Kairo: Mushthafa el-Babi al-Halabi, 1961, hlm. 31.

[17] Lihat Abu al-Fadl Syihab al-Din Mahmud al-Lusy, Rûh al-Ma'ânî fî Tafsîr al-Qur'an al-'Adzîm wa al-Sab' al-Matsânî, peny. Sayyid Muhammad Sayyid dan Ibrahim ‘Imran, Kairo: Dar al-Hadis, juz 1, 2005, hlm. 28-29

[18] Muhammad bin Muhammad al-Amir, Hâsyiah al-Amîr ala Syarh Abd al-Salâm bin Ibrâhîm al-Mâlikî li Jawharat al-Tawhîd, Mesir: Musthafa el-Babi el-Halabi, 1948, hlm. 26-27

[19] Muhammad Salim Abu al-Ashi, Maqâlatâni fî al-Ta’wîl: Ma‘âlim fî al-Manhaj wa Rashd li al-Inhirâf, Kairo: Dar al-Bashair, cet. I, 2003, hlm. 13

No comments:

Post a Comment