Ahmad Hadidul Fahmi
Masjid di awal perkembangan Islam diperuntukkan sebagai tempat ibadah. Pembangunan masjid sendiri dimulai pada masa Nabi, hingga kemudian disusul oleh beberapa kelompok shahabat yang menyebarkan Islam ke pelbagai negeri. Di Bashrah dibangun masjid pada tahun 14 H, di Kufah tahun 17 H, sedang di Mesir, Amru bin al-Ash mengikuti tradisi ini dengan membangun sebuah masjid di Fustat, Kairo, pada tahun 21 H. Menurut al-Maqrizi seperti dikutip Su’ad Mahir, bersamaan dengan meluasnya daerah kekuasaan Islam, pembangunan masjid di satu daerah tidak hanya satu. Hal ini membuat khalifah Umar bin al-Khattab meminta Abu Musa al-Asy’ari untuk membuat sebuah masjid yang dipergunakan untuk berkumpul semua masyarakat di satu momen perayaan tertentu. Tempat ini kemudian populer dengan istilah jâmi’. Jâmi’ diperuntukkan bagi “masjid besar”, atau tempat berkumpulnya masyarakat (jama’âh)—di samping ada istilah “masjid” (kecil) sebagai tempat shalat kabilah. Pada masa Umawiyyah, jâmi’ mempunyai makna politis: sebuah masjid besar yang diimami oleh khalifah atau orang yang menggantikannya di shalat Jum’at. Atau ia digunakan sebagai masjid resmi suatu negara.
Dalam perkembangannya, masjid tidak hanya sebagai tempat ibadah semata: di antaranya, masjid mempunyai peranan yang cukup signifikan dalam pembentukan keilmuan umat Islam. Di ruwaq-ruwaq dan tiang-tiangnya digelar berbagai macam aktivitas keilmuan dan diskusi-diskusi ilmiah. Ahmad Fikri dalam Masâjid al-Qahirah menegaskan bahwa aktivitas keilmuan di masjid bahkan sudah ada semenjak abad ke 2 H. Sebelum al-Azhar berdiri, aktivitas keilmuan di Masjid Kairo terkenal di dua tempat: masjid Amru bin al-Ash, dan masjid Ibnu Thulun—sebuah masjid yang didirikan oleh Ahmad bin Thulun tahun 263 H. Di Masjid Amru bin al-Ash digelar majlis Sulayman bin Itr al-Tujaybi tahun 38 H dan berkembang sampai empat puluh majlis. Termasuk Imam Syafi’i juga mempunyai majlis di sini, serta menghasilkan sosok seperti Rabi’ bin Sulaiman al-Muradi, al-Buwaithi, al-Azdi. Ruwaq Imam Syafi’i masih terjaga beberapa abad, dan dipergunakan untuk kegiatan belajar mengajar sampai ada perombakan masjid. Termasuk yang mengajar di sini adalah Muhammad bin Jarir al-Thabari, yang diminta oleh Abu al-Hasan bin Siraj untuk membacakan syair al-Thurmah. Adapun Masjid Ibnu Thulun, di antara yang mengajar di sana Rabi’ bin Sulayman al-Muradi, murid Imam Syafi’i. Ia membacakan hadis. Ibnu Thulun memberikan perhatian besar terhadap masjid, dan menggalakkan pengajaran fikih madzhab empat, hadis, tafsir dan disiplin keilmuan yang lain.
Aktivitas Keilmuan di Masjid Al-Azhar
Semenjak masjid al-Azhar selesai dibangun oleh Jawhar al-Shiqilli—panglima dinasti Fathimiyyah— tahun 361 H, empat tahun kemudian, atau tahun 365 H, mulai digalakkan aktivitas belajar mengajar di sana. Kehormatan mengajar di al-Azhar diberikan pada keluarga al-Nu’man: Abu al-Hasan Ali bin al-Nu’man (w. 373 H), seta saudaranya Muhammad bin al-Nu'man (w. 389 H), dan anaknya Hasan bin al-Nu'man (w. 389 H). Namun yang pertama kali mengajar adalah Abu al-Hasan Ali bin al-Nu'man. Beliau adalah putra Abu Hanifah al-Nu’man, atau Al-Qadli al-Nu'man yang diberi predikat “Sayyiduna al-Qadli al-Nu'man”, untuk membedakan dengan Abu Hanifah, penggagas Madzhab Hanafi. Sebagaimana kaum Syiah juga menyebutnya dengan “Sayyiduna al-Awhad”, atau “Abu Hanifah al-Syiah”. Karangannya mencampai 40 kitab, dan yang masih tersisa sekarang berkisar antara 20. Menurut Su’ad Mahir, aktivitas keilmuan yang dilakukan pertama kali di masjid al-Azhar adalah pengajian fikih Syi’ah—dengan kitabnya al-Iqtishâr--oleh Qadli al-Qudlat Abu al-Hasan Ali bin al-Nu’man, tahun 365 H, di akhir pemerintahan Mu’iz li Dini-llah. Abu al-Hasan bin al-Nu’man ini sekaligus orang pertama yang diberi predikat Qadli al-Qudlat di Mesir. Ia masih tetap menggelar halaqah keilmuan di masjid al-Azhar sampai tahun 369 H: tahun di mana al-Azhar menjelma menjadi universitas dengan sistem pendidikan yang tertata. Ya’qub bin Killis merupakan orang pertama yang disebut mempunyai gagasan al-Azhar digunakan untuk aktivitas pendidikan.
Ya’qub bin Killis mempunyai kitab al-Risalah al-Waziriyyah fi al-Fiqh al-Syi’i. Al-Risalah al-Waziriyyah adalah ajaran-ajaran Syi’ah Ismailiyyah yang dicatat dari al-Muiz dan putranya, al-Aziz. Ia membacakan kitab tersebut di masjid dengan orientasi keilmuan murni, tanpa batasan-batasan guru-murid—yang lazim dilakukan sebelumnya. Oleh karena itu, halaqah Ibnu Killis terhitung sebagai kuliah pertama yang digelar di masjid al-Azhar. Ia meminta izin pada khalifah al-Aziz bi-llah, putra al-Muiz li Dinil-llah untuk menjadikan al-Azhar sebagai pusat pendidikan, dan mengundang para fakih untuk menggelar aktivitas keilmuan selepas shalat Jum’at sampai Ashar. Jumlahnya mencapai 37 ahli fikih, masing-masing mereka diberi subsidi setiap bulan, serta fasilitas tempat tinggal di samping masjid al-Azhar. Pada tahap ini al-Azhar benar-benar menjelma sebagai lembaga pendidikan.
Satu tahun kemudian, yakni 370 H, guru-guru dan pelajaran di al-Azhar mengalami sistematisasi. Pada tahap ini Masjid al-Azhar bukan hanya mempelajari fikih semata, akan tetapi juga digelar halaqah untuk pelajaran filsafat dan ilmu rasional. Selain untuk lelaki, halaqah ini juga digelar untuk perempuan. Halaqah filsafat digelar untuk awam hanya dengan penjelasan kaidah-kaidah umum. Sedangkan untuk para pengkaji atau orang-orang tertentu, halaqah ini masuk ke pembahasan yang lebih dalam. Perkembangan mata pelajaran yang diajarkan selanjutnya di masjid meliputi; bahasa, matematika, filsafat, kedokteran, logika, di samping ilmu-ilmu Islam lainnya. Sarjana yang turut berperan mengajar pada masa Dinasti Fathimiyyah adalah Ibnu Zaulaq (w. 387 H), Ibnu Yunus ahli falak (w. 399 H), al-Musabbahi (w. 420 H), al-Hufi al-Nahwi (w. 430 H), Ibnu Haytsam (w. 430 H), al-Qadla’i (454 H). Majlis di al-Azhar terus berkembang pada masa Fathimiyyah sampai meliputi majlis untuk perempuan, majlis untuk penguasa, majlis untuk para syaikh, majlis untuk para awam, dan untuk pendatang.
Dalam bukunya al-Azhar fi Dhill al-Fathimiyyin, Dr. Rumziyyah al-Athr mengatakan, Qadli al-Qudlat menyelenggarakan halaqahnya setiap hari Senin dan Selasa. Sedangkan halaqah Jum'at di Masjid al-Azhar diselenggarakan secara berjamaah. Di sana ada para fakih, teolog, penyair, dan halaqah bersifat interaktif. Di antara nama perempuan yang tecatat hadir di majlis ini adalah Ummu Zaynab Fathima binti Abbas. Sedang kitab yang dikaji sampai abad ke 4 antara lain Da'aim al-Islam, Ikhtilaf Ushul al-Madzahib, dan al-Akhbar.
Selepas Dinasti Ayyubiyyah menguasai Mesir (567-648 H), Shalahuddin al-Ayyubi memberhentikan Qadli al-Nu'man dan menggantinya dengan Shadr al-Din Abd al-Malik bin Dirbas, pembesar madzhab Syafi'I masa itu. Ayyubiyyah juga mendirikan madrasah-madrasah yang menggelar halaqah madzhab Syafi’i untuk mengungguli popularitas Syiah. Tidak ada kesulitan signifikan untuk mengendorkan popularitas Syiah, sebab Madzhab Syafii sudah terlebih dahulu mendapat tempat di hati masyarakat Mesir sebelumnya setelah Madzhab Maliki. Madzhab Imam Malik —sebelum Madzhab Syafii—adalah madzhab resmi di Mesir: Abdullah bin Wahb—murid Imam Malik yang bergelar Syaikh Ahl Mishr—merupakan pembawa Madzhab Maliki ke Mesir. Di antara pembesar Malikiyah pada masa itu adalah Ishaq bin al-Farrat (w. 204 H), murid Imam Malik sekaligus Qadli di Mesir, dan al-Harits bin Miskin (w. 250 H). Ketika Imam Syafi’i memasuki Mesir tahun 199 H, madzhab ini kemudian menyebar dan menandingi popularitas madzhab Maliki. Sedang Madzhab Abu Hanifah sampai ke Mesir melalui Isma’il al-Kindi, Qadli Bikar bin Qutaybah—yang diutus oleh Khalifah al-Mutawakkil, dan Abu Ja’far al-Thahawi. Adapun Madzhab Imam Ahmad berkembang di Mesir di masa-masa akhir. Serta tidak begitu populer sebagaimana tiga madzhab sebelumnya.
Selain itu, Ayyubiyyah juga merombak buku-buku diktat yang dipergunakan di al-Azhar, walaupun pada masa itu, kedokteran, mantik, filsafat, tetap dikaji. Khalifah bahkan meniadakan khubtah Jum’at—atas fatwa dari sang Qadli—di masjid al-Azhar karena mengamalkan pendapat dalam madzhab Syafii yang mengatakan bahwa shalat Jum’at tidak boleh dilaksanakan di dua masjid dalam satu daerah. Pengajaran di al-Azhar mengalami reformasi pada saat Shalahuddin al-Ayyubi mendirikan berbagai macam sekolah (madrasah) di Mesir. Hal itu tidak lain dimaksudkan untuk mengungguli popularitas al-Azhar yang condong ke madzhab Syi’ah. Sebagaimana jamak diketahui, bahwa Ayyubiyah sangat fanatik terhadap madzhab Syafi’i dan Asy’ari. Walapun begitu, peniadaan shalat Jum’at di masjid al-Azhar tidak menghapus aktivitas keilmuan di sana.
Pada masa Ayyubiyyah, ada Musa bin Maymun yang menyampaikan pelajaran matematika, falak dan kedokteran, kemudian Abd al-Lathif al-Baghdadi yang memberi materi ilmu kalam, mantik, dan kedokteran sampai wafatnya al-Malik al-Aziz, putra Shalahuddin al-Ayyubi. Ibnu Iyyas dalam Badâi’ al-Zuhûr mengatakan, di masa akhir Ayyubiyyah, terdapat beberapa nama yang tercatat sempat mengajar di masjid al-Azhar, seperti Ibnu al-Faridl (w. 632 H) yang mempunyai halaqah sufiyyah, kemudian Abu al-Qasim al-Manfaluthi, dan Ibnu Khillikan sebagaimana ia sebutkan sendiri dalam Wafiyat al-A’yan. Secara global, nama yang muncul pada masa Ayyubiyyah adalah Hasan al-Farisi (w. 598 H), Ibn al-Hajib al-Nahwi (w. 646), al-Syathibi (w. 590 H), Ibnu al-Faridl (w. 632), Izz al-Din bin Abd al-Salam (w. 660 M), al-Hafidz al-Mundziri (w. 660 H), al-Sakhawi (w. 643 H), Ibnu Bari (w. 582 H), Ibnu Mu’thi (w. 628 H), Ibnu Malik (w. 672 H), dan Ibnu Shalah (w. 643 H). Pada masa ini pula madzhab empat sudah masuk ke al-Azhar. Dan di ruwaq-ruwaq dipilih setiap syaikh yang jadi pengampu di setiap madzhab.
Memasuki kekuasaan Mamalik (648-922 H), sultan Dzahir Baibars kembali memfungsikan masjid al-Azhar untuk shalat Jum’at tahun 665 H. Dzahir Baibars merupakan sultan yang sangat menaruh perhatian terhadap aktivitas keilmuan di al-Azhar. Oleh karena itu, pada masa ini, al-Azhar menuai masa keemasannya. Muhammad al-Baha menyebutkan, ulama-ulama besar atau sarjana Islam yang muncul pada masa Mamalik seperti al-Bushiri (w. 696 H), Ibnu Daqiq al-Id (w, 702 H), Ibnu Hisyam (749 H),Taqiy al-Din al-Subki (756 H), Ibnu Aqil (769 H), Syaikh al-Islam al-Bulqini (805 H), Fayruzabadi (817 H), al-Maqrizi (845 H), al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani (852 H), al-Sakhawi (902 H), al-Suyuthi (911 H), Ibnu Iyyas (930 H), Zakariya al-Anshari (w. 926 H). Menurut Muhammad Baha lagi, di antara ulama yang mendatangi Mesir adalah Ibnu Khaldun, Ibnu Bathutah, Taqiy al-Din al-Fasi, Syams al-Din al-Asfhihani, Ibnu Hayyan al-Gharnathi.
Di dekat al-Azhar dibangun madrasah Dzahiriyyah yang didirikan oleh Baibars pada tahun 661 H. Di sana digelar pengajian madzhab Syafii oleh Taqiyy al-Din bin Razin, Hanafiyyah oleh Muhyiddin Abd al-Rahman al-Kahhal, Hadis oleh al-Hafidz Syaraf al-Din al-Dimyati, dan Qira’at Kamal al-Din al-Qurasyi. Selain itu, dibangun madrasah Thibrisiyyah tahun 709 H (ke arah kanan dari pintu masuk Muzayinin)—yang di dalamnya di gelar pengajian fikih Syafi’i--dan madrasah Aqbaghawiyyah tahun 740 (ke arah kiri dari pintu masuk Muzayinin). Dua madrasah ini kemudian dijadikan satu dengan masjid al-Azhar ketika pintu Muzayinin dibangun. Ibnu Khaldun tercatat pernah mengunjungi al-Azhar dan menyampaikan pelajaran di sana. Masa Mamalik merupakan masa keemasan al-Azhar. Hal itu disebabkan, ketika Mamalik berkuasa di Mesir disusul dengan runtuhnya Baghdad dan Andalus di tangan Mongol. Faktor ini yang menjadikan al-Azhar menjadi tujuan semua pelajar setelah keruntuhan Baghdad dan Mongol.
Ustmani menguasai Mesir pada tahun 922 H. Bersamaan dengan masuknya Mesir di tangan Utsmani, semangat keilmuan di Mesir melemah, dan sama sekali mengabaikan pembelajaran ilmu-ilmu rasional. Pengharaman filsafat, mantik, matematika semakin hari semakin menguat. Oleh karena itu banyak sejarawan memandang, bahwa berkuasanya Turki Utsmani di Mesir sekaligus memutus hubungan Mesir dengan pengetahuan. Muhammad al-Baha menggambarkan ekspansi Ustmani ke Mesir mirip dengan ekspansi Mongol ke Baghdad; penghancuran bangunan-bangunan bersejarah dan membakar kitab-kitab ulama. Sultan Salim bahkan mengirim para pembesar di Masjid al-Azhar secara umum, atau Mesir, ke Qasthantiniyyah. Kemudian taklid berkembang, serta pintu ijtihad dianggap tertutup. Para ulama pada masa itu mengeluarkan fatwa untuk tidak mempelajari ilmu-ilmu rasional. Pemerintah Mesir bahkan tidak bisa memasukkan matematika dan ilmu umum ke kurikulum al-Azhar, sampai setelah Syaikh al-Muhammad Anbabi memfatwakan bolehnya mempelajari ilmu ini. Al-Azhar masih sampai di keadaan yang memprihatinkan sampai Jamal al-Din al-Afghani menyuarakan pembaharuan. Kita mengenal ulama-ulama yang mengajar di al-Azhar pada masa ini tidak se populer ulama-ulama Azhar sebelumnya. Di antaranya adalah: Nur al-Din Ali al-Buhayri (w. 944 H), Syihab al-Din al-Sanbathi (w. 950 H), Abd al-Rahman al-Munadi (w. 950 H), Syams al-Din al-Alqami (w. 962 H).
Sedang para pengajar di pertengahan Turki Utsmani, al-Jabarti menyebut nama-nama yang muncul dari al-Azhar seperti al-Zurqani al-Maliki (w. 1099 H), Syahin bin Mansur bin Amir (w. 1101 H), Syams al-Din al-‘Annai, Ibrahim bin Muhammad al-Barmawi (w. 1106 H). Sedang ulama yang datang dari luar seperti Hasan bin Ali al-Jabarti (w. 1188 H), ayah dari sejarawan besar Abdurrahman al-Jabarti. Kemudian Syihab al-Din al-Maqarri (w. 1631 H), Murtadla al-Husayni, Abd al-Ghani al-Nabulisi (w. 1143 H). Sebagaimana direkam al-Jabarti lagi, kitab-kitab yang dikaji oleh al-Azhar pada masa ini adalah tentang Nahwu dan Sharaf: al-Asymuni, Ibnu Aqil, Syudzur al-Dzahab, serta Tawhid: syarah Jawharah dan Syarah Sanusiyyah Kubra, dan beberapa kitab fikih, hadis dan balaghah.
Dari Ruwaq al-Azhar ke Sistem Pendidikan Modern
Ahmad Fikri dalam bukunya Masâjid al-Qahirah wa Madârisuhâ menuturkan, aktivitas keilmuan dengan berbagai latarbelakang madzhab yang digelar di masjid, lazimnya dibacakan oleh seorang Syaikh di satu tiang masjid, kemudian dikelilingi oleh muridnya. Jika untuk Qadli, biasanya diberi kehormatan di sekitar Mihrab agar bisa dihadiri orang banyak. Ruwaq—atau riwaq—secara etimologis diperuntukkan untuk pemaknaan satu tiang yang memanjang. Secara istilah, maknanya kemudian dipergunakan untuk sebuah tempat yang dipergunakan belajar di suatu masjid atau tempat ibadah tertentu. Ruwaq lazimnya berada di sisi-sisi masjid, di bawah tiang yang menjulang atau tembok yang memanjang, di mana letaknya mengelilingi bagian tengah masjid. Sebagaimana masjid itu sendiri, ruwaq merupakan bagian sejarah yang tak bisa ditinggalkan. Bahkan jika berbincang masjid sebagai pusat keilmuan, sejarah ruwaq tentunya tak boleh untuk terlewat.
Dalam buku al-Azhar; Târikhuh wa Thathawwuruh, Muhammad al-Baha mengatakan bahwa Al-Maqrizi merupakan orang pertama yang menyinggung ruwaq di masjid al-Azhar; ketika menyebutkan jumlah fakir miskin di Masjid ini abad ke 9 H mencapai nominal 750. Masing-masing fakir itu mempunyai sudut sebagai tempat ‘berteduh’. Mereka berasal dari bermacam latarbelakang dan bermacam daerah. Di masa ini, para bangsawan berlomba memberi tunjangan pada mereka. Abad inilah, para siswa dari Zayla’, Maghrib, dan bermacam daerah di Mesir menempati tempat tertentu untuk tempat mereka tinggal, yang kemudian terkenal dengan istilah "Ruwaq". Nama-nama ruwaq ini disesuaikan dengan latarbelakang penghuni yang menempati, semisal Atrak dari Turki, Baghdadiyyin dari Baghdad, Jawi dari Jawa, Magharibah dari Maghrib, dan selainnya. Jika melihat keterangan al-Maqrizi bahwa peraturan ruwaq (nidzam al-arwiqah) sudah dimulai semenjak masa Fathimiyyah, itu artinya ruwaq sudah ada semenjak masa Fathimiyyah—walaupun mungkin belum berkembang istilah ruwaq.
Di abad ke 14 H, ruwaq di al-Azhar dikalkulasi mencapai nominal dua puluh sembilan. Yang pertama, ruwaq untuk penghuni dari Mesir sendiri. Jumlahnya ada enam. Yang paling terkenal adalah “Ruwaq Sha’ayidah” yang menampung seribu penghuni (sudah dengan jumlah guru dan murid). Ruwaq ini setiap hari menghabiskan seribu roti karena banyaknya penghuni. Kemudian “Ruwaq Syarqawiyyah” yang didirikan oleh syaikh Abdullah al-Syarqawi, kemudian “Ruwaq Buhairah”, “Ruwaq Fayyumiyyah” yang ditempati seratus siswa, “Ruwaq Syinwaniyyah” (penghuninya kurang dari 30) dan “Ruwaq Fasyaniyyah” (penghuninya lebih dari 200). Kedua, ruwaq yang disediakan bagi pelajar dari luar Mesir. Jumlahnya ada 17, yang meliputi Turki, Syam, Baghdad, Maghrib, dan selainnya. Ruwaq al-Azhar mempunyai peraturan, bahwa murid-murid yang hendak belajar di sana harus menetap di tempat yang telah disediakan bagi masing-masing daerah. Di samping itu, terdapat ruwaq yang dihuni bukan dari latarbelakang daerah, akan tetapi dari latarbelakang madzhab. Ada ruwaq Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah.
Ruwaq yang diketahui didirikan oleh Mamalik adalah ruwaq Atrak, Syam, dan Magharibah. Ruwaq al-Azhar mulai ramai justru ketika masa Turki Utsmani. Beberapa pelajar dari luar Mesir berbondong-bondong ke al-Azhar; Turki, India, Syam, Maghrib, al-Ajm, Zayla’, Yaman. Di awal abad ke 9, atau tahun 818 H, pelajar di al-Azhar mencapai angka 750 orang dari berbagai latarbelakang. Beberapa nama Ruwaq yang tercatat didirikan pada masa Turki Utsmani di antaranya ruwaq Hanabilah, Haramayn, Sulaimaniyyah (Afghanistan). Sedangkan ruwaq Abbasi, ruwaq terbesar di masjid itu, didirikan baru pada kepemimpinan Syaikh Hasunah Nawawi di Syaikh al-Azhar. Adapun ruwaq-ruwaq yang sudah ada sebelumnya dan penghuninya dipindah ke ruwaq Abbasi adalah, ruwaq Akrad, ruwaq Hunud, ruwaq Baghdad, ruwaq Yaman, ruwaq Thibrisiyyah dan Aqbaghawiyyah—diambil dari Madrasah Thibrisiyya dan Aqbaghawiyyah, ruwaq Fayyumiyyah, dan ruwaq Buhayrah. Selain yang sudah disebutkan, tidak ada keterangan terperinci kapan dan bagaimana dibangun.
Pada masa awal terbentuknya halaqah, sebagaimana dikatakan Ahmad Syalabi, tradisi yang berkembang adalah seorang syaikh berada di satu tiang Masjid membacakan sebuah buku. Lazimnya ia duduk di kursi—walaupun pada awal mula, kursi hanya diperuntukkan bagi syaikh al-Jami (syaikh masjid). Sedang para murid melingkar di sekitar syaikh. Biasanya, para murid duduk sangat berdekatan dengan syaikh, dengan catatan tidak melebihi tempat syaikh. Ketika selesai membacakan hadis atau sebuah kitab, dilanjutkan penjelasan dari syaikh terkait makna hadis atau makna kitab. Kemudian para murid mencatat keterangan yang disampaikan oleh syaikh. Jika sudah selesai pengajian terhadap kitab tertentu, biasanya syaikh menguji catatan para muridnya, untuk meluruskan jika ada kesalahan catatan. Jika catatannya selesai dibacakan di depan syaikh, kemudian syaikh memberi tanda di kertas murid yang sudah selesai diuji. Di antara catatan-catatan para siswa ini, beberapa ada yang masih tersimpan berupa Makhtutah. Seperti catatan al-Murtadla, Ibnu al-Hajib, al-Zajjaj, dan lain sebagainya.
Menurut Su’ad Mahir, peraturan-peraturan sistem pembelajaran di al-Azhar adalah; pertama, seorang murid selalu mengiringi syaikhnya sampai meninggal. Sikap itu merupakan perwujudan harapan dari seorang murid agar bisa sampai di derajat gurunya. Misalnya, imam Suyuthi ketika berhaji ia berharap agar kemampuan fikihnya bisa sederajat dengan al-Bulqini dan hadis setara dengan Ibnu Hajar; kedua, seorang guru bisa memberikan ijazah di satu pelajaran, akan tetapi di pelajaran lain ia dibolehkan untuk meminta ijazah. Atau ia bisa menjadi murid dan guru sekaligus; ketiga, kesaksian kapabilitas murid dari seorang guru adalah Ijazah. Jika seorang murid sudah merasa mampu untuk mengajar dan memberi fatwa, ia boleh untuk meminta ijazah pada gurunya; keempat, seorang murid dibebaskan untuk memilih pelajaran yang ia sukai. Dan guru boleh memilih antara hadir dan tidak; kelima, di setiap kitab yang dipelajari, biasanya ada seorang murid yang bertugas sebagai pembaca di hadapan gurunya.
Ilmu yang marak dipelajari di al-Azhar sampai pertengahan abad ke 9 H adalah sastra, fikih dan tawhid. Sedangkan waktu penyelenggaraan belajar adalah tafsir dan hadis selepas shalat Fajar, kemudian fikih pagi hari, nahwu, sharaf dan balaghah selepas shalat Dzuhur, matematika, sejarah, geografi, dan ilmu-ilmu modern, selepas Ashar. Untuk mantik dan etika berdebat dilaksanakan selepas Maghrib. Lazimnya, pembelajaran menghabiskan waktu satu atau dua jam.
Tidak ada keterangan pasti seorang syaikh yang mengajar atau pernah menjadi murid di ruwaq-ruwaq tertentu. Hanya saja, ketika penyebutan biografi seorang syaikh, disebutkan bahwa syaikh ini pernah mengajar di ruwaq tertentu. Semisal, al-Imam al-Bushiri adalah siswa di ruwaq Sha’idi. Syaikh Abdullah Syarqawi pernah menjadi syaikh di ruwaq Syarqawi (abad ke 13 H); syaikh Shalih Ja’fari pernah menyepi di ruwaq Magharibah, dan sebelumnya Ibnu Khaldun juga pernah mengunjungi ruwaq Magharibah. Selain itu, Muhammad bin Ali al-Sanusi juga pernah menjadi siswa di Ruwaq Maghariba di abad ke 12 H. Magharibah setelah generasi al-Sanusi berjumlah seratus orang, dan kebanyakan dari Tunisia. Selain itu, Syaikh Ahmad al-Dardiri, pembesar Madzhab Maliki di zamannya juga pernah menjadi pengajar fikih Maliki di ruwaq Sha’idi selepas wafatnya Syaikh Ali bin Ali al-Sha’idi pada abad ke 11 H. Begitu pula syaikh Ali al-Sha’idi. Syaikh al-Sayyid Muhammad Amin al-Suhaymi pernah menjadi syaikh di ruwaq Atrak. Jumlah siswa di ruwaq Atrak mencapai 50 orang. Beberapa ulama yang menempati ruwaq juga bisa dilacak juga dari biografi ringkas Abdurrahman al-Khafaji dalam al-Azhar fi Alf ‘Am: misal, al-Syaikh Muhammad al-Bannani adalah ulama Azhar yang menghadiri pelajaran syaikh al-Dardiri dan Ali al-Sha’idi. Artinya syaikh al-Bannani juga merupakan salah satu murid di ruwaq Sha’idi.
Karena semakin bertambahnya siswa di al-Azhar, pada kepemimpinan Muhammad Musthafa al-Maraghi di Syaikh al-Azhar, para pelajar yang menetap di ruwaq-ruwaq dipindahkan ke sebuah asrama yang disebut “Madinat al-Bu’uts al-Islamiyyah”. Buu’ts merupakan asrama bagi siswa-siswa dari luar untuk menetap, dan masih ada sampai sekarang. Pada tahap ini ruwaq-ruwaq di al-Azhar tidak lagi difungsikan sebagai asrama. Beberapa ada yang dijadikan perpustakaan, dan beberapa tetap difungsikan untuk tempat belajar-mengajar.
Tradisi belajar mengajar di al-Azhar masih terus dengan model klasik sampai muncul berbagai kebijakan-kebijakan baru: seperti kebijakan tahun 1288 H atau 1872 M. Syaikh al-Azhar pada masa itu adalah Syaikh Muhammad Mahdi al-Abbasi di pemerintahan Khediv Isma’il. Peraturan ini dibuat untuk memperoleh ijazah resmi yang bisa dipergunakan di institusi pendidikan lain. Kebijakan tersebut adalah, para siswa diberi ijazah resmi yang bertingkat; tingkat satu sampai tiga. Sedangkan materi-materi yang diujikan meliputi hadis, tafsir, fikih, nahwu, sharaf, balaghah, mantik, dan tawhid. Kritikan sistem pembelajaran klasik keluar dari sosok Muhammad Abduh. Ia mengatakan, misalnya, tidak ada peraturan yang jelas untuk para siswa untuk datang dan tidak datang, serta murid tidak bertanya pada guru tentang sebab absen mereka dan tidak ditanya tentang kadar pemahaman mereka, serta ijazah pada masa itu tidak mempunyai batasan jelas. Perlahan-lahan, reformasi Muhammad Abduh mendapat sambutan; mulai diberlakukan pembatasan absensi siswa, pemahaman bagi siswa lebih penting dari sekedar melihat kitab, membatasi waktu ujian, menetapkan gaji tetap bagi para pengajar. Hal itu terjadi pada tahun 1895, setelah Syaikh Hasunah Nawawi ditunjuk sebagai Syaikh al-Azhar. Hasunah Nawawi dan Muhammad Abduh mengeluarkan kebijakan baru pada tahun 1314 H atau 1896 M, tentang penambahan materi pelajaran di al-Azhar. Materi tersebut meliputi etika (akhlak), musthalah al-hadis, balaghah, matematika, aljabar, arudl. Serta menjadikan sejarah Islam, pelajaran Insya’, Fiqh al-Lughah, Handasah, sebagai opsi bagi siswa. Muncul kebijakan juga larangan membaca catatan pinggir dan taqrir (syarah atas catatan pinggir). Pada masa ini ruwaq-ruwaq di al-Azhar diperbaharui; dialiri air bersih, dan lampu minyak diganti dengan listrik.
Di tahun 1329 H atau 1911 M, ada sistematisasi lebih rapi di al-Azhar. Seperti absensi siswa, gaji pengajar, dan menentukan pengajar untuk mata pelajaran non agama. Pada tahun 1348 H, atau 1930 M, ketika syaikh Ahmadi al-Dzawahiri memegang jabatan Syaikh al-Azhar, ada kebijakan pembagian kuliah ke Lughah, Ushul al-Din, dan Syariah. Serta ada spesifikasi materi tergantung dari spesifikasi bidang yang diambil. Pada tahun 1936, dibentuk peraturan untuk menjadikan al-Azhar berjenjang; Ibtida’i, Tsanawi, Aliyyah, dan Takhassus. Di setiap tingkat mereka diberi ijazah. Sedangkan gedung kuliah sendiri selesai dibangun pada tahun 1351 H atau 1933 M. Cabang-cabang kuliah ini seterusnya berkembang dari waktu ke waktu. Bahkan, sekarang di al-Azhar sendiri sudah dibuka kuliah-kuliah untuk umum.
Di fase ini, menurut Muhammad al-Baha, pembelajaran model halaqah di Masjid sudah hilang diganti dengan sistem pembelajaran modern di kuliah—ketika kuliah resmi dibagi dalam tiga cabang: Ushul al-Din, Syariah dan Lughah. Pemberhentian itu, menurut Muhammad al-Baha lagi, respon dari agresi-agresi barbarian Turki Utsmani terhadap pengetahuan. Selain mengembalikan ulama ke Negara-negara mereka, Ustmani juga mewajibkan bahasa Turki bagi penduduk Mesir. Efeknya adalah berkembang dialek-dialek Ammiyyah.
Dengan demikian, proyek pembaharuan ini dimulai di tangan Muhammad Abduh, kemudian mendapat sambutan dari Syaikh Hasunah Nawawi. Dilanjutkan perjuangannya oleh Syaikh Ahmadi al-Dzawahiri dan Syaikh Musthafa al-Maraghi. Musthafa al-Maraghi mengatakan, beragama tidak menafikan untuk mempelajari bermacam budaya. Pembaharuan ini diawali di permulaan abad ke 19, atau 13 H. Para pembaharu mencoba mengadopsi sistem pendidikan di Barat untuk diaplikasikan di al-Azhar. Pada tahap pembaharuan ini, kita juga tidak bisa melupakan sosok Rifa’ah Rafi’ al-Thathawi; tokoh yang disebut-sebut sebagai orang pertama yang mengingatkan pentingnya ilmu-ilmu modern di kurikulum al-Azhar.
Di masa Utsmani, kitab-kitab yang diajarkan di antaranya, al-Kawkab al-Munir fi Syarh Jami’ Shaghir, Multaqa al-Bahrayn bain al-Jam’ min Kalam Syaikhain, al-Faraid al-Sunniyah fi Syarh Muqaddimah al-Sanusiyyah, al-Durar al-Sunniyyah li Halli Alfadz al-Jurumiyyah, Aqrab al-masalik li Madzhab Imam Malik dan selainnya.
Sedang di masa modern, kitab-kitab yg dikaji adalah, Umm al-Barahin karangan Muhammad Yusuf Sanusi dengan Syarahnya dari Sanusi, Syaikh Hudhudi, dan Syaikh al-Bajuri, Jawharat al-Tawhid, al-Maqasid, Taflis al-Iblis, al-Ihya, al-Kasysyaf, al-Jalalayn, Tuhfat al-Athfal, shahih Bukhari, Muslim, Muwatha syarah Zurqani, al-Jami al-Shaghir karangan Suyuthi, al-Syamail al-Muhammadiyyah karangan al-Hafidz al-Turmudzi, alfiyyat al-Hadis karangan al-Hafidz al-Iraqi, al-Nukhbah karangan Ibnu Hajar, al-Bayquniyyah, al-Bidayah karangan al-Marghinani, Fath al-Qadir, Asybah wa al-Nadzair karangan Ibnu Najim, al-Kharraj Abu Yusuf, al-Asymawiyyah, Aqrab al-Masalik karangan al-Dardiri, al-Majmu syaikh al-Amir, Asybah wa al-Nadzair, Taqrib, al-Wajiz, al-Muqni Ibnu Qudamah, Inshaf Mardawi, Jam’ al-Jawami’, Waraqat, Mukhtashar Ibnu al-Hajib, Fiqh al-Lughah karangan al-Tsa’labi, Alfiyyah, Jurumiyyah, Mughn al-Labib, al-Syafiyyah karangan Ibnu al-Hajib, al-Talkhis li al-Quzwaini bisyarh al-Sa’d, al-Jawhar al-Maknun karangan Akhdlari dengan syarah Damanhuri, serta al-Kafi, al-Khazrajiyyah (Arudl), al-Sullam li al-Akhdlari, al-Tahdzib karangan Sa’d al-Din al-Taftazani (Mantik), dan seterusnya.
Pada tahun 1911 dikeluarkan keputusan untuk membentuk sekumpulan Dewan Tinggi Ulama al-Azhar (Hay’ah Kibar al-Ulama) di kepemimpinan syaikh Salim Bisyri. Setiap dari mereka diberi waktu khusus di al-Azhar untuk mengajarkan ilmu-ilmu tradisional dengan cara tradisional, serta tidak terikat peraturan sebagaimana peraturan-peraturan di universitas modern. Hal ini sebagai benteng agar pengajaran tradisional tidak dilupakan, setelah sebelumnya al-Azhar berkutat dengan sistem pendidikan modern. Di antara peraturan-peraturan yang diberlakukan di kelompok ulama ini: umurnya tak boleh kurang dari 45 tahun, sudah pernah mengajar di Masjid al-Azhar atau tempat lain minimal 10 tahun, harus sudah mempunyai buku di disiplin keislaman, bertakwa. Kemudian nama “Ha’yah Kibar al-Ulama” dirubah pada tahun 1936 menjadi “Jama’ah Kibar al-Ulama”. Di tahun ini pula ditambahkan beberapa syarat bagi yang hendak mengajar di al-Azhar; harus terdaftar di keanggotaan ulama yang memberikan peran di bidang agama, dan harus menyerahkan hasil karya sebagai syarat masuk. Sebagian dari mereka mengajar di sekolah kejuruan, dan sebagian lagi tak mengajar. Lazimnya, para anggota ini terus mengajarkan ilmu di al-Azhar sampai meninggal. Akan tetapi pada tahun 1961, Jama’ah Kibar al-Ulama diberhentikan. Dan diganti dengan Majma’ al-Buhus al-Islamiyyah. Lembaga ini dianggotai oleh 50 ulama kapabel dari setiap madzhab. Lembaga ini terus mengalami perkembangan di tahun-tahun setelahnya.
Di abad ke 21 ini, menurut Ridwan Sayyid, al-Azhar telah terang-terangan menunjukkan moderatismenya terhadap berbagai persoalan. Jika pra revolusi, Islam garis keras tak bisa bersuara, maka paska revolusi di Mesir, gerakan Islam garis keras seakan mempunyai lahan luas untuk menyebarkan pemahaman mereka. Ikon moderatisme al-Azhar sendiri—menurut Ridwan Sayyid—telah terwakili di dua sosok Syaikh al-Azhar: Sayyid Thantawi dan Syaikh Ahmad Thayyib. Dua tokoh ini merupakan representasi yang cukup baik bagi gerakan reformasi al-Azhar setelah Muhammad Abduh. Paska revolusi, di kepemimpinan syaikh Ahmad Thayyib, al-Azhar kemudian kembali memfungsikan ruwaq-ruwaqnya secara lebih tertata untuk memberikan konsep moderatisme Islam pada siswanya, serta membentengi mereka dari pemahaman radikalisme yang berkembang. Di antara yang mengajar di sana adalah Syaikh al-Azhar sendiri, Ahmad Thayyib, kemudian mufti Mesir, syaikh Ali Jum’ah Muhammad yang kita kenal dengan fatwa-fatwanya yang toleran terhadap berbagai perbedaan di tubuh umat Islam, syaikh Hasan Syafi’i, syaikh Usamah Sayyid al-Azhari, syaikh Jamal al-Faruq, dan selainnya. Kitab-kitab yang dikaji meliputi fikih madzhab empat, tafsir, bahasa, ilmu kalam, serta mantik. Di antaranya adalah al-Kasysyaf, Mughni al-Labib, al-Asybah wa al-Nadzair , Hasyiah al-Amir, Minhaj al-Thalibin, Syarh Ibnu Aqil, Bahjat al-Nufus, al-Fawakih al-Dawani, al-Rawdl al-Murabba’, dan selainnya. Sedang tempat yang dipergunakan untuk halaqah ini adalah ruwaq al-Atrak, Magharibah, Fasyaniyyah, Abbasi, dan Sha’ayidah.
Selengkapnya...
Dalam perkembangannya, masjid tidak hanya sebagai tempat ibadah semata: di antaranya, masjid mempunyai peranan yang cukup signifikan dalam pembentukan keilmuan umat Islam. Di ruwaq-ruwaq dan tiang-tiangnya digelar berbagai macam aktivitas keilmuan dan diskusi-diskusi ilmiah. Ahmad Fikri dalam Masâjid al-Qahirah menegaskan bahwa aktivitas keilmuan di masjid bahkan sudah ada semenjak abad ke 2 H. Sebelum al-Azhar berdiri, aktivitas keilmuan di Masjid Kairo terkenal di dua tempat: masjid Amru bin al-Ash, dan masjid Ibnu Thulun—sebuah masjid yang didirikan oleh Ahmad bin Thulun tahun 263 H. Di Masjid Amru bin al-Ash digelar majlis Sulayman bin Itr al-Tujaybi tahun 38 H dan berkembang sampai empat puluh majlis. Termasuk Imam Syafi’i juga mempunyai majlis di sini, serta menghasilkan sosok seperti Rabi’ bin Sulaiman al-Muradi, al-Buwaithi, al-Azdi. Ruwaq Imam Syafi’i masih terjaga beberapa abad, dan dipergunakan untuk kegiatan belajar mengajar sampai ada perombakan masjid. Termasuk yang mengajar di sini adalah Muhammad bin Jarir al-Thabari, yang diminta oleh Abu al-Hasan bin Siraj untuk membacakan syair al-Thurmah. Adapun Masjid Ibnu Thulun, di antara yang mengajar di sana Rabi’ bin Sulayman al-Muradi, murid Imam Syafi’i. Ia membacakan hadis. Ibnu Thulun memberikan perhatian besar terhadap masjid, dan menggalakkan pengajaran fikih madzhab empat, hadis, tafsir dan disiplin keilmuan yang lain.
Aktivitas Keilmuan di Masjid Al-Azhar
Semenjak masjid al-Azhar selesai dibangun oleh Jawhar al-Shiqilli—panglima dinasti Fathimiyyah— tahun 361 H, empat tahun kemudian, atau tahun 365 H, mulai digalakkan aktivitas belajar mengajar di sana. Kehormatan mengajar di al-Azhar diberikan pada keluarga al-Nu’man: Abu al-Hasan Ali bin al-Nu’man (w. 373 H), seta saudaranya Muhammad bin al-Nu'man (w. 389 H), dan anaknya Hasan bin al-Nu'man (w. 389 H). Namun yang pertama kali mengajar adalah Abu al-Hasan Ali bin al-Nu'man. Beliau adalah putra Abu Hanifah al-Nu’man, atau Al-Qadli al-Nu'man yang diberi predikat “Sayyiduna al-Qadli al-Nu'man”, untuk membedakan dengan Abu Hanifah, penggagas Madzhab Hanafi. Sebagaimana kaum Syiah juga menyebutnya dengan “Sayyiduna al-Awhad”, atau “Abu Hanifah al-Syiah”. Karangannya mencampai 40 kitab, dan yang masih tersisa sekarang berkisar antara 20. Menurut Su’ad Mahir, aktivitas keilmuan yang dilakukan pertama kali di masjid al-Azhar adalah pengajian fikih Syi’ah—dengan kitabnya al-Iqtishâr--oleh Qadli al-Qudlat Abu al-Hasan Ali bin al-Nu’man, tahun 365 H, di akhir pemerintahan Mu’iz li Dini-llah. Abu al-Hasan bin al-Nu’man ini sekaligus orang pertama yang diberi predikat Qadli al-Qudlat di Mesir. Ia masih tetap menggelar halaqah keilmuan di masjid al-Azhar sampai tahun 369 H: tahun di mana al-Azhar menjelma menjadi universitas dengan sistem pendidikan yang tertata. Ya’qub bin Killis merupakan orang pertama yang disebut mempunyai gagasan al-Azhar digunakan untuk aktivitas pendidikan.
Ya’qub bin Killis mempunyai kitab al-Risalah al-Waziriyyah fi al-Fiqh al-Syi’i. Al-Risalah al-Waziriyyah adalah ajaran-ajaran Syi’ah Ismailiyyah yang dicatat dari al-Muiz dan putranya, al-Aziz. Ia membacakan kitab tersebut di masjid dengan orientasi keilmuan murni, tanpa batasan-batasan guru-murid—yang lazim dilakukan sebelumnya. Oleh karena itu, halaqah Ibnu Killis terhitung sebagai kuliah pertama yang digelar di masjid al-Azhar. Ia meminta izin pada khalifah al-Aziz bi-llah, putra al-Muiz li Dinil-llah untuk menjadikan al-Azhar sebagai pusat pendidikan, dan mengundang para fakih untuk menggelar aktivitas keilmuan selepas shalat Jum’at sampai Ashar. Jumlahnya mencapai 37 ahli fikih, masing-masing mereka diberi subsidi setiap bulan, serta fasilitas tempat tinggal di samping masjid al-Azhar. Pada tahap ini al-Azhar benar-benar menjelma sebagai lembaga pendidikan.
Satu tahun kemudian, yakni 370 H, guru-guru dan pelajaran di al-Azhar mengalami sistematisasi. Pada tahap ini Masjid al-Azhar bukan hanya mempelajari fikih semata, akan tetapi juga digelar halaqah untuk pelajaran filsafat dan ilmu rasional. Selain untuk lelaki, halaqah ini juga digelar untuk perempuan. Halaqah filsafat digelar untuk awam hanya dengan penjelasan kaidah-kaidah umum. Sedangkan untuk para pengkaji atau orang-orang tertentu, halaqah ini masuk ke pembahasan yang lebih dalam. Perkembangan mata pelajaran yang diajarkan selanjutnya di masjid meliputi; bahasa, matematika, filsafat, kedokteran, logika, di samping ilmu-ilmu Islam lainnya. Sarjana yang turut berperan mengajar pada masa Dinasti Fathimiyyah adalah Ibnu Zaulaq (w. 387 H), Ibnu Yunus ahli falak (w. 399 H), al-Musabbahi (w. 420 H), al-Hufi al-Nahwi (w. 430 H), Ibnu Haytsam (w. 430 H), al-Qadla’i (454 H). Majlis di al-Azhar terus berkembang pada masa Fathimiyyah sampai meliputi majlis untuk perempuan, majlis untuk penguasa, majlis untuk para syaikh, majlis untuk para awam, dan untuk pendatang.
Dalam bukunya al-Azhar fi Dhill al-Fathimiyyin, Dr. Rumziyyah al-Athr mengatakan, Qadli al-Qudlat menyelenggarakan halaqahnya setiap hari Senin dan Selasa. Sedangkan halaqah Jum'at di Masjid al-Azhar diselenggarakan secara berjamaah. Di sana ada para fakih, teolog, penyair, dan halaqah bersifat interaktif. Di antara nama perempuan yang tecatat hadir di majlis ini adalah Ummu Zaynab Fathima binti Abbas. Sedang kitab yang dikaji sampai abad ke 4 antara lain Da'aim al-Islam, Ikhtilaf Ushul al-Madzahib, dan al-Akhbar.
Selepas Dinasti Ayyubiyyah menguasai Mesir (567-648 H), Shalahuddin al-Ayyubi memberhentikan Qadli al-Nu'man dan menggantinya dengan Shadr al-Din Abd al-Malik bin Dirbas, pembesar madzhab Syafi'I masa itu. Ayyubiyyah juga mendirikan madrasah-madrasah yang menggelar halaqah madzhab Syafi’i untuk mengungguli popularitas Syiah. Tidak ada kesulitan signifikan untuk mengendorkan popularitas Syiah, sebab Madzhab Syafii sudah terlebih dahulu mendapat tempat di hati masyarakat Mesir sebelumnya setelah Madzhab Maliki. Madzhab Imam Malik —sebelum Madzhab Syafii—adalah madzhab resmi di Mesir: Abdullah bin Wahb—murid Imam Malik yang bergelar Syaikh Ahl Mishr—merupakan pembawa Madzhab Maliki ke Mesir. Di antara pembesar Malikiyah pada masa itu adalah Ishaq bin al-Farrat (w. 204 H), murid Imam Malik sekaligus Qadli di Mesir, dan al-Harits bin Miskin (w. 250 H). Ketika Imam Syafi’i memasuki Mesir tahun 199 H, madzhab ini kemudian menyebar dan menandingi popularitas madzhab Maliki. Sedang Madzhab Abu Hanifah sampai ke Mesir melalui Isma’il al-Kindi, Qadli Bikar bin Qutaybah—yang diutus oleh Khalifah al-Mutawakkil, dan Abu Ja’far al-Thahawi. Adapun Madzhab Imam Ahmad berkembang di Mesir di masa-masa akhir. Serta tidak begitu populer sebagaimana tiga madzhab sebelumnya.
Selain itu, Ayyubiyyah juga merombak buku-buku diktat yang dipergunakan di al-Azhar, walaupun pada masa itu, kedokteran, mantik, filsafat, tetap dikaji. Khalifah bahkan meniadakan khubtah Jum’at—atas fatwa dari sang Qadli—di masjid al-Azhar karena mengamalkan pendapat dalam madzhab Syafii yang mengatakan bahwa shalat Jum’at tidak boleh dilaksanakan di dua masjid dalam satu daerah. Pengajaran di al-Azhar mengalami reformasi pada saat Shalahuddin al-Ayyubi mendirikan berbagai macam sekolah (madrasah) di Mesir. Hal itu tidak lain dimaksudkan untuk mengungguli popularitas al-Azhar yang condong ke madzhab Syi’ah. Sebagaimana jamak diketahui, bahwa Ayyubiyah sangat fanatik terhadap madzhab Syafi’i dan Asy’ari. Walapun begitu, peniadaan shalat Jum’at di masjid al-Azhar tidak menghapus aktivitas keilmuan di sana.
Pada masa Ayyubiyyah, ada Musa bin Maymun yang menyampaikan pelajaran matematika, falak dan kedokteran, kemudian Abd al-Lathif al-Baghdadi yang memberi materi ilmu kalam, mantik, dan kedokteran sampai wafatnya al-Malik al-Aziz, putra Shalahuddin al-Ayyubi. Ibnu Iyyas dalam Badâi’ al-Zuhûr mengatakan, di masa akhir Ayyubiyyah, terdapat beberapa nama yang tercatat sempat mengajar di masjid al-Azhar, seperti Ibnu al-Faridl (w. 632 H) yang mempunyai halaqah sufiyyah, kemudian Abu al-Qasim al-Manfaluthi, dan Ibnu Khillikan sebagaimana ia sebutkan sendiri dalam Wafiyat al-A’yan. Secara global, nama yang muncul pada masa Ayyubiyyah adalah Hasan al-Farisi (w. 598 H), Ibn al-Hajib al-Nahwi (w. 646), al-Syathibi (w. 590 H), Ibnu al-Faridl (w. 632), Izz al-Din bin Abd al-Salam (w. 660 M), al-Hafidz al-Mundziri (w. 660 H), al-Sakhawi (w. 643 H), Ibnu Bari (w. 582 H), Ibnu Mu’thi (w. 628 H), Ibnu Malik (w. 672 H), dan Ibnu Shalah (w. 643 H). Pada masa ini pula madzhab empat sudah masuk ke al-Azhar. Dan di ruwaq-ruwaq dipilih setiap syaikh yang jadi pengampu di setiap madzhab.
Memasuki kekuasaan Mamalik (648-922 H), sultan Dzahir Baibars kembali memfungsikan masjid al-Azhar untuk shalat Jum’at tahun 665 H. Dzahir Baibars merupakan sultan yang sangat menaruh perhatian terhadap aktivitas keilmuan di al-Azhar. Oleh karena itu, pada masa ini, al-Azhar menuai masa keemasannya. Muhammad al-Baha menyebutkan, ulama-ulama besar atau sarjana Islam yang muncul pada masa Mamalik seperti al-Bushiri (w. 696 H), Ibnu Daqiq al-Id (w, 702 H), Ibnu Hisyam (749 H),Taqiy al-Din al-Subki (756 H), Ibnu Aqil (769 H), Syaikh al-Islam al-Bulqini (805 H), Fayruzabadi (817 H), al-Maqrizi (845 H), al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani (852 H), al-Sakhawi (902 H), al-Suyuthi (911 H), Ibnu Iyyas (930 H), Zakariya al-Anshari (w. 926 H). Menurut Muhammad Baha lagi, di antara ulama yang mendatangi Mesir adalah Ibnu Khaldun, Ibnu Bathutah, Taqiy al-Din al-Fasi, Syams al-Din al-Asfhihani, Ibnu Hayyan al-Gharnathi.
Di dekat al-Azhar dibangun madrasah Dzahiriyyah yang didirikan oleh Baibars pada tahun 661 H. Di sana digelar pengajian madzhab Syafii oleh Taqiyy al-Din bin Razin, Hanafiyyah oleh Muhyiddin Abd al-Rahman al-Kahhal, Hadis oleh al-Hafidz Syaraf al-Din al-Dimyati, dan Qira’at Kamal al-Din al-Qurasyi. Selain itu, dibangun madrasah Thibrisiyyah tahun 709 H (ke arah kanan dari pintu masuk Muzayinin)—yang di dalamnya di gelar pengajian fikih Syafi’i--dan madrasah Aqbaghawiyyah tahun 740 (ke arah kiri dari pintu masuk Muzayinin). Dua madrasah ini kemudian dijadikan satu dengan masjid al-Azhar ketika pintu Muzayinin dibangun. Ibnu Khaldun tercatat pernah mengunjungi al-Azhar dan menyampaikan pelajaran di sana. Masa Mamalik merupakan masa keemasan al-Azhar. Hal itu disebabkan, ketika Mamalik berkuasa di Mesir disusul dengan runtuhnya Baghdad dan Andalus di tangan Mongol. Faktor ini yang menjadikan al-Azhar menjadi tujuan semua pelajar setelah keruntuhan Baghdad dan Mongol.
Ustmani menguasai Mesir pada tahun 922 H. Bersamaan dengan masuknya Mesir di tangan Utsmani, semangat keilmuan di Mesir melemah, dan sama sekali mengabaikan pembelajaran ilmu-ilmu rasional. Pengharaman filsafat, mantik, matematika semakin hari semakin menguat. Oleh karena itu banyak sejarawan memandang, bahwa berkuasanya Turki Utsmani di Mesir sekaligus memutus hubungan Mesir dengan pengetahuan. Muhammad al-Baha menggambarkan ekspansi Ustmani ke Mesir mirip dengan ekspansi Mongol ke Baghdad; penghancuran bangunan-bangunan bersejarah dan membakar kitab-kitab ulama. Sultan Salim bahkan mengirim para pembesar di Masjid al-Azhar secara umum, atau Mesir, ke Qasthantiniyyah. Kemudian taklid berkembang, serta pintu ijtihad dianggap tertutup. Para ulama pada masa itu mengeluarkan fatwa untuk tidak mempelajari ilmu-ilmu rasional. Pemerintah Mesir bahkan tidak bisa memasukkan matematika dan ilmu umum ke kurikulum al-Azhar, sampai setelah Syaikh al-Muhammad Anbabi memfatwakan bolehnya mempelajari ilmu ini. Al-Azhar masih sampai di keadaan yang memprihatinkan sampai Jamal al-Din al-Afghani menyuarakan pembaharuan. Kita mengenal ulama-ulama yang mengajar di al-Azhar pada masa ini tidak se populer ulama-ulama Azhar sebelumnya. Di antaranya adalah: Nur al-Din Ali al-Buhayri (w. 944 H), Syihab al-Din al-Sanbathi (w. 950 H), Abd al-Rahman al-Munadi (w. 950 H), Syams al-Din al-Alqami (w. 962 H).
Sedang para pengajar di pertengahan Turki Utsmani, al-Jabarti menyebut nama-nama yang muncul dari al-Azhar seperti al-Zurqani al-Maliki (w. 1099 H), Syahin bin Mansur bin Amir (w. 1101 H), Syams al-Din al-‘Annai, Ibrahim bin Muhammad al-Barmawi (w. 1106 H). Sedang ulama yang datang dari luar seperti Hasan bin Ali al-Jabarti (w. 1188 H), ayah dari sejarawan besar Abdurrahman al-Jabarti. Kemudian Syihab al-Din al-Maqarri (w. 1631 H), Murtadla al-Husayni, Abd al-Ghani al-Nabulisi (w. 1143 H). Sebagaimana direkam al-Jabarti lagi, kitab-kitab yang dikaji oleh al-Azhar pada masa ini adalah tentang Nahwu dan Sharaf: al-Asymuni, Ibnu Aqil, Syudzur al-Dzahab, serta Tawhid: syarah Jawharah dan Syarah Sanusiyyah Kubra, dan beberapa kitab fikih, hadis dan balaghah.
Dari Ruwaq al-Azhar ke Sistem Pendidikan Modern
Ahmad Fikri dalam bukunya Masâjid al-Qahirah wa Madârisuhâ menuturkan, aktivitas keilmuan dengan berbagai latarbelakang madzhab yang digelar di masjid, lazimnya dibacakan oleh seorang Syaikh di satu tiang masjid, kemudian dikelilingi oleh muridnya. Jika untuk Qadli, biasanya diberi kehormatan di sekitar Mihrab agar bisa dihadiri orang banyak. Ruwaq—atau riwaq—secara etimologis diperuntukkan untuk pemaknaan satu tiang yang memanjang. Secara istilah, maknanya kemudian dipergunakan untuk sebuah tempat yang dipergunakan belajar di suatu masjid atau tempat ibadah tertentu. Ruwaq lazimnya berada di sisi-sisi masjid, di bawah tiang yang menjulang atau tembok yang memanjang, di mana letaknya mengelilingi bagian tengah masjid. Sebagaimana masjid itu sendiri, ruwaq merupakan bagian sejarah yang tak bisa ditinggalkan. Bahkan jika berbincang masjid sebagai pusat keilmuan, sejarah ruwaq tentunya tak boleh untuk terlewat.
Dalam buku al-Azhar; Târikhuh wa Thathawwuruh, Muhammad al-Baha mengatakan bahwa Al-Maqrizi merupakan orang pertama yang menyinggung ruwaq di masjid al-Azhar; ketika menyebutkan jumlah fakir miskin di Masjid ini abad ke 9 H mencapai nominal 750. Masing-masing fakir itu mempunyai sudut sebagai tempat ‘berteduh’. Mereka berasal dari bermacam latarbelakang dan bermacam daerah. Di masa ini, para bangsawan berlomba memberi tunjangan pada mereka. Abad inilah, para siswa dari Zayla’, Maghrib, dan bermacam daerah di Mesir menempati tempat tertentu untuk tempat mereka tinggal, yang kemudian terkenal dengan istilah "Ruwaq". Nama-nama ruwaq ini disesuaikan dengan latarbelakang penghuni yang menempati, semisal Atrak dari Turki, Baghdadiyyin dari Baghdad, Jawi dari Jawa, Magharibah dari Maghrib, dan selainnya. Jika melihat keterangan al-Maqrizi bahwa peraturan ruwaq (nidzam al-arwiqah) sudah dimulai semenjak masa Fathimiyyah, itu artinya ruwaq sudah ada semenjak masa Fathimiyyah—walaupun mungkin belum berkembang istilah ruwaq.
Di abad ke 14 H, ruwaq di al-Azhar dikalkulasi mencapai nominal dua puluh sembilan. Yang pertama, ruwaq untuk penghuni dari Mesir sendiri. Jumlahnya ada enam. Yang paling terkenal adalah “Ruwaq Sha’ayidah” yang menampung seribu penghuni (sudah dengan jumlah guru dan murid). Ruwaq ini setiap hari menghabiskan seribu roti karena banyaknya penghuni. Kemudian “Ruwaq Syarqawiyyah” yang didirikan oleh syaikh Abdullah al-Syarqawi, kemudian “Ruwaq Buhairah”, “Ruwaq Fayyumiyyah” yang ditempati seratus siswa, “Ruwaq Syinwaniyyah” (penghuninya kurang dari 30) dan “Ruwaq Fasyaniyyah” (penghuninya lebih dari 200). Kedua, ruwaq yang disediakan bagi pelajar dari luar Mesir. Jumlahnya ada 17, yang meliputi Turki, Syam, Baghdad, Maghrib, dan selainnya. Ruwaq al-Azhar mempunyai peraturan, bahwa murid-murid yang hendak belajar di sana harus menetap di tempat yang telah disediakan bagi masing-masing daerah. Di samping itu, terdapat ruwaq yang dihuni bukan dari latarbelakang daerah, akan tetapi dari latarbelakang madzhab. Ada ruwaq Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah.
Ruwaq yang diketahui didirikan oleh Mamalik adalah ruwaq Atrak, Syam, dan Magharibah. Ruwaq al-Azhar mulai ramai justru ketika masa Turki Utsmani. Beberapa pelajar dari luar Mesir berbondong-bondong ke al-Azhar; Turki, India, Syam, Maghrib, al-Ajm, Zayla’, Yaman. Di awal abad ke 9, atau tahun 818 H, pelajar di al-Azhar mencapai angka 750 orang dari berbagai latarbelakang. Beberapa nama Ruwaq yang tercatat didirikan pada masa Turki Utsmani di antaranya ruwaq Hanabilah, Haramayn, Sulaimaniyyah (Afghanistan). Sedangkan ruwaq Abbasi, ruwaq terbesar di masjid itu, didirikan baru pada kepemimpinan Syaikh Hasunah Nawawi di Syaikh al-Azhar. Adapun ruwaq-ruwaq yang sudah ada sebelumnya dan penghuninya dipindah ke ruwaq Abbasi adalah, ruwaq Akrad, ruwaq Hunud, ruwaq Baghdad, ruwaq Yaman, ruwaq Thibrisiyyah dan Aqbaghawiyyah—diambil dari Madrasah Thibrisiyya dan Aqbaghawiyyah, ruwaq Fayyumiyyah, dan ruwaq Buhayrah. Selain yang sudah disebutkan, tidak ada keterangan terperinci kapan dan bagaimana dibangun.
Pada masa awal terbentuknya halaqah, sebagaimana dikatakan Ahmad Syalabi, tradisi yang berkembang adalah seorang syaikh berada di satu tiang Masjid membacakan sebuah buku. Lazimnya ia duduk di kursi—walaupun pada awal mula, kursi hanya diperuntukkan bagi syaikh al-Jami (syaikh masjid). Sedang para murid melingkar di sekitar syaikh. Biasanya, para murid duduk sangat berdekatan dengan syaikh, dengan catatan tidak melebihi tempat syaikh. Ketika selesai membacakan hadis atau sebuah kitab, dilanjutkan penjelasan dari syaikh terkait makna hadis atau makna kitab. Kemudian para murid mencatat keterangan yang disampaikan oleh syaikh. Jika sudah selesai pengajian terhadap kitab tertentu, biasanya syaikh menguji catatan para muridnya, untuk meluruskan jika ada kesalahan catatan. Jika catatannya selesai dibacakan di depan syaikh, kemudian syaikh memberi tanda di kertas murid yang sudah selesai diuji. Di antara catatan-catatan para siswa ini, beberapa ada yang masih tersimpan berupa Makhtutah. Seperti catatan al-Murtadla, Ibnu al-Hajib, al-Zajjaj, dan lain sebagainya.
Menurut Su’ad Mahir, peraturan-peraturan sistem pembelajaran di al-Azhar adalah; pertama, seorang murid selalu mengiringi syaikhnya sampai meninggal. Sikap itu merupakan perwujudan harapan dari seorang murid agar bisa sampai di derajat gurunya. Misalnya, imam Suyuthi ketika berhaji ia berharap agar kemampuan fikihnya bisa sederajat dengan al-Bulqini dan hadis setara dengan Ibnu Hajar; kedua, seorang guru bisa memberikan ijazah di satu pelajaran, akan tetapi di pelajaran lain ia dibolehkan untuk meminta ijazah. Atau ia bisa menjadi murid dan guru sekaligus; ketiga, kesaksian kapabilitas murid dari seorang guru adalah Ijazah. Jika seorang murid sudah merasa mampu untuk mengajar dan memberi fatwa, ia boleh untuk meminta ijazah pada gurunya; keempat, seorang murid dibebaskan untuk memilih pelajaran yang ia sukai. Dan guru boleh memilih antara hadir dan tidak; kelima, di setiap kitab yang dipelajari, biasanya ada seorang murid yang bertugas sebagai pembaca di hadapan gurunya.
Ilmu yang marak dipelajari di al-Azhar sampai pertengahan abad ke 9 H adalah sastra, fikih dan tawhid. Sedangkan waktu penyelenggaraan belajar adalah tafsir dan hadis selepas shalat Fajar, kemudian fikih pagi hari, nahwu, sharaf dan balaghah selepas shalat Dzuhur, matematika, sejarah, geografi, dan ilmu-ilmu modern, selepas Ashar. Untuk mantik dan etika berdebat dilaksanakan selepas Maghrib. Lazimnya, pembelajaran menghabiskan waktu satu atau dua jam.
Tidak ada keterangan pasti seorang syaikh yang mengajar atau pernah menjadi murid di ruwaq-ruwaq tertentu. Hanya saja, ketika penyebutan biografi seorang syaikh, disebutkan bahwa syaikh ini pernah mengajar di ruwaq tertentu. Semisal, al-Imam al-Bushiri adalah siswa di ruwaq Sha’idi. Syaikh Abdullah Syarqawi pernah menjadi syaikh di ruwaq Syarqawi (abad ke 13 H); syaikh Shalih Ja’fari pernah menyepi di ruwaq Magharibah, dan sebelumnya Ibnu Khaldun juga pernah mengunjungi ruwaq Magharibah. Selain itu, Muhammad bin Ali al-Sanusi juga pernah menjadi siswa di Ruwaq Maghariba di abad ke 12 H. Magharibah setelah generasi al-Sanusi berjumlah seratus orang, dan kebanyakan dari Tunisia. Selain itu, Syaikh Ahmad al-Dardiri, pembesar Madzhab Maliki di zamannya juga pernah menjadi pengajar fikih Maliki di ruwaq Sha’idi selepas wafatnya Syaikh Ali bin Ali al-Sha’idi pada abad ke 11 H. Begitu pula syaikh Ali al-Sha’idi. Syaikh al-Sayyid Muhammad Amin al-Suhaymi pernah menjadi syaikh di ruwaq Atrak. Jumlah siswa di ruwaq Atrak mencapai 50 orang. Beberapa ulama yang menempati ruwaq juga bisa dilacak juga dari biografi ringkas Abdurrahman al-Khafaji dalam al-Azhar fi Alf ‘Am: misal, al-Syaikh Muhammad al-Bannani adalah ulama Azhar yang menghadiri pelajaran syaikh al-Dardiri dan Ali al-Sha’idi. Artinya syaikh al-Bannani juga merupakan salah satu murid di ruwaq Sha’idi.
Karena semakin bertambahnya siswa di al-Azhar, pada kepemimpinan Muhammad Musthafa al-Maraghi di Syaikh al-Azhar, para pelajar yang menetap di ruwaq-ruwaq dipindahkan ke sebuah asrama yang disebut “Madinat al-Bu’uts al-Islamiyyah”. Buu’ts merupakan asrama bagi siswa-siswa dari luar untuk menetap, dan masih ada sampai sekarang. Pada tahap ini ruwaq-ruwaq di al-Azhar tidak lagi difungsikan sebagai asrama. Beberapa ada yang dijadikan perpustakaan, dan beberapa tetap difungsikan untuk tempat belajar-mengajar.
Tradisi belajar mengajar di al-Azhar masih terus dengan model klasik sampai muncul berbagai kebijakan-kebijakan baru: seperti kebijakan tahun 1288 H atau 1872 M. Syaikh al-Azhar pada masa itu adalah Syaikh Muhammad Mahdi al-Abbasi di pemerintahan Khediv Isma’il. Peraturan ini dibuat untuk memperoleh ijazah resmi yang bisa dipergunakan di institusi pendidikan lain. Kebijakan tersebut adalah, para siswa diberi ijazah resmi yang bertingkat; tingkat satu sampai tiga. Sedangkan materi-materi yang diujikan meliputi hadis, tafsir, fikih, nahwu, sharaf, balaghah, mantik, dan tawhid. Kritikan sistem pembelajaran klasik keluar dari sosok Muhammad Abduh. Ia mengatakan, misalnya, tidak ada peraturan yang jelas untuk para siswa untuk datang dan tidak datang, serta murid tidak bertanya pada guru tentang sebab absen mereka dan tidak ditanya tentang kadar pemahaman mereka, serta ijazah pada masa itu tidak mempunyai batasan jelas. Perlahan-lahan, reformasi Muhammad Abduh mendapat sambutan; mulai diberlakukan pembatasan absensi siswa, pemahaman bagi siswa lebih penting dari sekedar melihat kitab, membatasi waktu ujian, menetapkan gaji tetap bagi para pengajar. Hal itu terjadi pada tahun 1895, setelah Syaikh Hasunah Nawawi ditunjuk sebagai Syaikh al-Azhar. Hasunah Nawawi dan Muhammad Abduh mengeluarkan kebijakan baru pada tahun 1314 H atau 1896 M, tentang penambahan materi pelajaran di al-Azhar. Materi tersebut meliputi etika (akhlak), musthalah al-hadis, balaghah, matematika, aljabar, arudl. Serta menjadikan sejarah Islam, pelajaran Insya’, Fiqh al-Lughah, Handasah, sebagai opsi bagi siswa. Muncul kebijakan juga larangan membaca catatan pinggir dan taqrir (syarah atas catatan pinggir). Pada masa ini ruwaq-ruwaq di al-Azhar diperbaharui; dialiri air bersih, dan lampu minyak diganti dengan listrik.
Di tahun 1329 H atau 1911 M, ada sistematisasi lebih rapi di al-Azhar. Seperti absensi siswa, gaji pengajar, dan menentukan pengajar untuk mata pelajaran non agama. Pada tahun 1348 H, atau 1930 M, ketika syaikh Ahmadi al-Dzawahiri memegang jabatan Syaikh al-Azhar, ada kebijakan pembagian kuliah ke Lughah, Ushul al-Din, dan Syariah. Serta ada spesifikasi materi tergantung dari spesifikasi bidang yang diambil. Pada tahun 1936, dibentuk peraturan untuk menjadikan al-Azhar berjenjang; Ibtida’i, Tsanawi, Aliyyah, dan Takhassus. Di setiap tingkat mereka diberi ijazah. Sedangkan gedung kuliah sendiri selesai dibangun pada tahun 1351 H atau 1933 M. Cabang-cabang kuliah ini seterusnya berkembang dari waktu ke waktu. Bahkan, sekarang di al-Azhar sendiri sudah dibuka kuliah-kuliah untuk umum.
Di fase ini, menurut Muhammad al-Baha, pembelajaran model halaqah di Masjid sudah hilang diganti dengan sistem pembelajaran modern di kuliah—ketika kuliah resmi dibagi dalam tiga cabang: Ushul al-Din, Syariah dan Lughah. Pemberhentian itu, menurut Muhammad al-Baha lagi, respon dari agresi-agresi barbarian Turki Utsmani terhadap pengetahuan. Selain mengembalikan ulama ke Negara-negara mereka, Ustmani juga mewajibkan bahasa Turki bagi penduduk Mesir. Efeknya adalah berkembang dialek-dialek Ammiyyah.
Dengan demikian, proyek pembaharuan ini dimulai di tangan Muhammad Abduh, kemudian mendapat sambutan dari Syaikh Hasunah Nawawi. Dilanjutkan perjuangannya oleh Syaikh Ahmadi al-Dzawahiri dan Syaikh Musthafa al-Maraghi. Musthafa al-Maraghi mengatakan, beragama tidak menafikan untuk mempelajari bermacam budaya. Pembaharuan ini diawali di permulaan abad ke 19, atau 13 H. Para pembaharu mencoba mengadopsi sistem pendidikan di Barat untuk diaplikasikan di al-Azhar. Pada tahap pembaharuan ini, kita juga tidak bisa melupakan sosok Rifa’ah Rafi’ al-Thathawi; tokoh yang disebut-sebut sebagai orang pertama yang mengingatkan pentingnya ilmu-ilmu modern di kurikulum al-Azhar.
Di masa Utsmani, kitab-kitab yang diajarkan di antaranya, al-Kawkab al-Munir fi Syarh Jami’ Shaghir, Multaqa al-Bahrayn bain al-Jam’ min Kalam Syaikhain, al-Faraid al-Sunniyah fi Syarh Muqaddimah al-Sanusiyyah, al-Durar al-Sunniyyah li Halli Alfadz al-Jurumiyyah, Aqrab al-masalik li Madzhab Imam Malik dan selainnya.
Sedang di masa modern, kitab-kitab yg dikaji adalah, Umm al-Barahin karangan Muhammad Yusuf Sanusi dengan Syarahnya dari Sanusi, Syaikh Hudhudi, dan Syaikh al-Bajuri, Jawharat al-Tawhid, al-Maqasid, Taflis al-Iblis, al-Ihya, al-Kasysyaf, al-Jalalayn, Tuhfat al-Athfal, shahih Bukhari, Muslim, Muwatha syarah Zurqani, al-Jami al-Shaghir karangan Suyuthi, al-Syamail al-Muhammadiyyah karangan al-Hafidz al-Turmudzi, alfiyyat al-Hadis karangan al-Hafidz al-Iraqi, al-Nukhbah karangan Ibnu Hajar, al-Bayquniyyah, al-Bidayah karangan al-Marghinani, Fath al-Qadir, Asybah wa al-Nadzair karangan Ibnu Najim, al-Kharraj Abu Yusuf, al-Asymawiyyah, Aqrab al-Masalik karangan al-Dardiri, al-Majmu syaikh al-Amir, Asybah wa al-Nadzair, Taqrib, al-Wajiz, al-Muqni Ibnu Qudamah, Inshaf Mardawi, Jam’ al-Jawami’, Waraqat, Mukhtashar Ibnu al-Hajib, Fiqh al-Lughah karangan al-Tsa’labi, Alfiyyah, Jurumiyyah, Mughn al-Labib, al-Syafiyyah karangan Ibnu al-Hajib, al-Talkhis li al-Quzwaini bisyarh al-Sa’d, al-Jawhar al-Maknun karangan Akhdlari dengan syarah Damanhuri, serta al-Kafi, al-Khazrajiyyah (Arudl), al-Sullam li al-Akhdlari, al-Tahdzib karangan Sa’d al-Din al-Taftazani (Mantik), dan seterusnya.
Pada tahun 1911 dikeluarkan keputusan untuk membentuk sekumpulan Dewan Tinggi Ulama al-Azhar (Hay’ah Kibar al-Ulama) di kepemimpinan syaikh Salim Bisyri. Setiap dari mereka diberi waktu khusus di al-Azhar untuk mengajarkan ilmu-ilmu tradisional dengan cara tradisional, serta tidak terikat peraturan sebagaimana peraturan-peraturan di universitas modern. Hal ini sebagai benteng agar pengajaran tradisional tidak dilupakan, setelah sebelumnya al-Azhar berkutat dengan sistem pendidikan modern. Di antara peraturan-peraturan yang diberlakukan di kelompok ulama ini: umurnya tak boleh kurang dari 45 tahun, sudah pernah mengajar di Masjid al-Azhar atau tempat lain minimal 10 tahun, harus sudah mempunyai buku di disiplin keislaman, bertakwa. Kemudian nama “Ha’yah Kibar al-Ulama” dirubah pada tahun 1936 menjadi “Jama’ah Kibar al-Ulama”. Di tahun ini pula ditambahkan beberapa syarat bagi yang hendak mengajar di al-Azhar; harus terdaftar di keanggotaan ulama yang memberikan peran di bidang agama, dan harus menyerahkan hasil karya sebagai syarat masuk. Sebagian dari mereka mengajar di sekolah kejuruan, dan sebagian lagi tak mengajar. Lazimnya, para anggota ini terus mengajarkan ilmu di al-Azhar sampai meninggal. Akan tetapi pada tahun 1961, Jama’ah Kibar al-Ulama diberhentikan. Dan diganti dengan Majma’ al-Buhus al-Islamiyyah. Lembaga ini dianggotai oleh 50 ulama kapabel dari setiap madzhab. Lembaga ini terus mengalami perkembangan di tahun-tahun setelahnya.
Di abad ke 21 ini, menurut Ridwan Sayyid, al-Azhar telah terang-terangan menunjukkan moderatismenya terhadap berbagai persoalan. Jika pra revolusi, Islam garis keras tak bisa bersuara, maka paska revolusi di Mesir, gerakan Islam garis keras seakan mempunyai lahan luas untuk menyebarkan pemahaman mereka. Ikon moderatisme al-Azhar sendiri—menurut Ridwan Sayyid—telah terwakili di dua sosok Syaikh al-Azhar: Sayyid Thantawi dan Syaikh Ahmad Thayyib. Dua tokoh ini merupakan representasi yang cukup baik bagi gerakan reformasi al-Azhar setelah Muhammad Abduh. Paska revolusi, di kepemimpinan syaikh Ahmad Thayyib, al-Azhar kemudian kembali memfungsikan ruwaq-ruwaqnya secara lebih tertata untuk memberikan konsep moderatisme Islam pada siswanya, serta membentengi mereka dari pemahaman radikalisme yang berkembang. Di antara yang mengajar di sana adalah Syaikh al-Azhar sendiri, Ahmad Thayyib, kemudian mufti Mesir, syaikh Ali Jum’ah Muhammad yang kita kenal dengan fatwa-fatwanya yang toleran terhadap berbagai perbedaan di tubuh umat Islam, syaikh Hasan Syafi’i, syaikh Usamah Sayyid al-Azhari, syaikh Jamal al-Faruq, dan selainnya. Kitab-kitab yang dikaji meliputi fikih madzhab empat, tafsir, bahasa, ilmu kalam, serta mantik. Di antaranya adalah al-Kasysyaf, Mughni al-Labib, al-Asybah wa al-Nadzair , Hasyiah al-Amir, Minhaj al-Thalibin, Syarh Ibnu Aqil, Bahjat al-Nufus, al-Fawakih al-Dawani, al-Rawdl al-Murabba’, dan selainnya. Sedang tempat yang dipergunakan untuk halaqah ini adalah ruwaq al-Atrak, Magharibah, Fasyaniyyah, Abbasi, dan Sha’ayidah.