Oleh Ahmad Hadidul Fahmi
Partai Jihad di Mesir meminta presiden terpilih, Mohammad Mursi untuk mengambil sikap tegas serta mengawasi kelompok yang mengatasnamakan dirinya lembaga “al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar”. Pasalnya, kelompok ini telah meresahkan ketentraman masyarakat melalui tindakan-tindakan anarkis dengan mengatasnamakan agama. Insiden yang baru-baru saja terjadi adalah terbunuhnya satu orang di Suez dan kekacauan di Thanta, Mesir (tahrîrnews.com). Dalam konteks Indonesia, kasus paling dekat yang sempat marak menghiasi media adalah sweeping diskusi Irshad Manji oleh Front Pembela Islam (FPI) di Salihara, dan Majlis Mujahidin Indonesia (MMI) di Lkis, Jogja (detik.com), ancaman pembubaran konser Lady Gaga, dan penyerangan ibadah non Muslim di Makassar (tribunnews.com).
Doktrin al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar merupakan doktrin luhur, sebab umat Islam mampu berpartisipasi dalam memformulasi tatanan masyarakat yang lebih baik. Akan tetapi pada praktiknya, konsep ini mengalami pendangkalan makna dan aplikasi. Itulah kenapa, di tengah aksi anarkis yang kerap dilakukan oleh lembaga Amar Makruf Nahi Munkar di Mesir, al-Azhar menerbitkan sub al-Amr bi al-Ma’rûf wa al-Nahy an al-Munkar—yang merupakan bagian dari buku Ihyâ Ulûm al-Dîn karangan Abu Hamid al-Ghazali—dengan judul, “fikih melawan despotisme” (fî fiqh muqâwamat al-istibdâd). Buku ini diberi pra-kata oleh Dr. Mohammad Imarah, pimpinan redaksi Majalah al-Azhar.
Nahi Munkar Dalam Perspektif Sarjana Klasik: Tinjuan Kritis
Abu Hamid al-Ghazali dalam Ihyâ Ulûm al-Dîn memberikan syarat tertentu bagi Polisi Syariat (al-muhtasib). Di antaranya adalah, tertaklif, Islam, dan mempunyai kekuatan. Walaupun al-Ghazali menuliskan keharusan mendapat izin dari pemimpin sebagai syarat, al-Ghazali menolak profesi muhtasib harus mendapat mandat dari pemimpin atau imam: bagi al-Ghazali, muhtasib merupakan profesi yang seharusnya dilakukan oleh setiap orang Islam, sebab anjuran tersebut terlahir langsung dari rahim teks-teks Islam. Walaupun begitu, menurut al-Ghazali, nahi munkar mempunyai fase-fase untuk bisa sampai pada tahapan tindakan tegas (al-‘unf): pertama, memberikan pemahaman (al-ta’rîf); kedua, menasehati dengan bahasa lemah lembut (bi al-kalâm al-lathîf); ketiga, menghujat (al-sabb wa al-ta’nîf) dengan menghardik, “hai, bodoh!”; keempat, menghindarkan hal-hal yang dilarang dari jangkauan pelaku maksiat secara paksa; kelima, memukul sebagai ancaman. Yang terakhir ini, bagi al-Ghazali, harus mendapat izin dari imam (Abu Hamid al-Ghazali, 2004).
Apa yang dituliskan al-Ghazali sedikit berbeda dengan salah satu tokoh besar madzhab Hanbali, Abu Bakr bin al-Khallal (w. 311 H), dalam buku al-Amr bi al-Ma’rûf wa al-Nahy an al-Munkar; min Masâil al-Imâm al-Mubajjal Abi Abdillah Ahmad bin Hanbal, sebuah buku yang memuat pandangan-pandangan Ahmad bin Hanbal mengenai terma nahi munkar. Dalam buku tersebut terdapat sub judul “perintah untuk berlemah-lembut dalam nahi munkar” (ma yu’mar bih min al-rifq fi al-inkâr). Al-Khallal menyebut tiga sifat yang harus dimiliki oleh seorang muhtasib: pertama, lemah lembut dalam memerintah dan lemah lembut dalam melarang; kedua, adil dalam memerintah dan adil dalam melarang; ketiga, mengetahui apa yang ia perintahkan dan mengetahui apa yang ia larang. Bahkan, menurut Ahmad bin Hanbal, apabila pelaku munkar telah diperingatkan dan mengindahkan, tidak ada kewajiban untuk melaporkan ke pemimpin (Abu Bakr al-Khallal, 2003)
Tugas muhtasib yang diasumsikan harus bagi semua umat Islam dikritik dengan baik oleh Ibnu Taymiah yang menganggap nahi munkar harus mendapat izin dari pemimpin. Stabilitas negara adalah pertimbangan penting dari pemikiran Ibnu Taymiah. Bagi Ibnu Taymiah, penyampaian lemah-lembut (al-rifq) merupakan piranti yang paling tepat untuk melaksanakan praktik amar makruf nahi munkar. Pasalnya, Ibnu Taymiah masih mengimani terma “amar makruf dengan cara makruf, dan nahi munkar bukan dengan cara munkar: li yakun amruka bi al-ma’rûf bi al-ma’rûf, wa nahyuk ‘an munkar ghairu munkar. Maka Ibnu Taymiah memandang—melalui praktik amar makruf nahi munkar—efek positif yang ditimbulkan harus lebih besar porsinya dari efek negatif (mafsadah). Sebab Islam meniscyakan maslahat. Oleh sebab itu, menurut Ibnu Taymiah, jika dalam praktik nahi munkar ternyata malah banyak memunculkan efek negatif, maka sejatinya ia “bukan termasuk perintah” dalam Islam (Ibnu Taymiah, 2005).
Murid Ibnu Taymiah, Ibnu Qayyim al-Jawziah, mengamini apa yang telah dinyatakan oleh gurunya: bahwa mencegah kemunkaran merupakan kewajiban seorang Muslim. Akan tetapi jika upaya pencegahan meniscayakan kemunkaran lain, maka nahi munkar tak lagi menjadi praktik yang legitimate dalam Islam. Bagi Ibnu Qayyim, salah satu kekeliruan umat Islam adalah, tak sabar melihat praktik munkar kemudian “menghardiknya”, hingga memunculkan kemunkaran lain yang lebih besar. Efek yang ditimbulkan aksi nahi munkar, dalam pandangan Ibnu Qayyim, ada empat; pertama, kemunkaran hilang dan memunculkan maslahat; kedua, mampu meminimalisir praktik munkar walaupun tak hilang secara total; ketiga, memunculkan kemunkaran lain yang sepadan; keempat, memunculkan kemunkaran lain yang lebih besar. Jika yang pertama dan kedua dianjurkan, ketiga digantungkan pada kondisi tertentu (ijtihâd), maka yang keempat dilarang sama sekali (muharramah). (Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, 2004)
Berpijak dari pandangan al-Ghazali, bisa ditarik konklusi bahwa siapapun bisa untuk memposisikan diri sebagai “Polisi Syariat” dalam ruangnya yang tidak terbatas. Bahkan jika harus menghadapi resiko terbunuh sekalipun di hadapan pemimpin: al-Ghazali mencontohkan dengan memberi nasehat pada pemimpin dzalim, kemudian dibunuh, maka syahidnya adalah syahid yang ter-mulia. Tentu saja pandangan al-Ghazali ini sangat berbahaya jika diaplikasikan dalam konteks masyarakat plural, di mana sudah tidak lagi mempraktikkan Islam sebagai landasan negara: Indonesia misalnya, yang mengakui lima agama sebagai bukti pluralitas masyarakatnya. Ambil contoh sweeping FPI terhadap warung makan yang buka siang hari di bulan puasa dalam konteks Indonesia: mereka tentu harus mempertimbangkan tidak semua masyarakat Indonesia beragama Islam. Jikapun Islam, ada beberapa keadaan dalam Islam yang dibolehkan bahkan diharuskan tidak berpuasa: perempuan yang menghadapi tamu bulanan, seorang yang dalam perjalanan, sakit, lemah karena pertimbangan usia, dan lain sebagainya.
Jika ditarik dalam ruang perbedaan fikih, salah satu disiplin Islam yang dijadikan parameter untuk mengukur “benar dan salah” satu tindakan, maka eksistensi Polisi Syariat dengan sendirinya telah mengeliminir perbedaan dalam fikih: benar dan salah diukur berdasar “ruang sempit” perbedaan fikih. Sebab, penulis berpijak dari pernyataan al-Mawardi dalam al-ahkâm al-shulthâniyyah, jika amar makruf dan nahi munkar dalam “koridor perbedaan fikih”, maka pemaksaan untuk mengikuti satu madzhab tertentu mendapat legitimasinya jika muhtasib adalah seorang yang alim fikih (al-Mawardi, 1989). Indonesia tentu saja bukan negara Islam yang menganut satu madzhab tertentu sebagai pijakan berfikih. Perbedaan latarbelakang pendidikan dan masyarakat telah membentuk pola fikih masyarakat Indonesia: baik pola fikih klasik yang diadopsi dari varian madzhab—yang pada akhirnya membentuk paradigma yang plural, maupun pengetahuan sebagian masyarakat terkait perkembangan mutakhir hukum fikih yang diformulasi dari perubahan jaman. Dalam konteks Mesir, larangan perempuan keluar tanpa mahram, telah menganulir ijtihad mutakhir dari sebagian ulama yang memperbolehkan perempuan keluar tanpa mahram karena kebutuhan jaman.
Sedangkan pandangan Ahmad bin Hanbal, Ibnu Taymiah maupun Ibnu Qayyim, meskipun toleran dan cukup kompromis, bagi penulis, tidak bisa lagi ditarik dalam konteks sekarang, konteks yang sama sekali berbeda. Hal itu karena beberapa alasan: pertama, mereka hidup di masa kepemimpinan Islam di mana interaksi yang intervensif dalam ruang agama masih bisa dibenarkan; kedua, pola berfikih umat Islam telah mengalami perkembangan yang dinamis. Gagasan-gagasan rekonstruktif dan kontekstual dalam fikih telah terlahir dari tangan pembaharu-pembaharu Islam. Sedangkan praktik kemunkaran dalam buku ketiga sarjana ini masih berkisar pada rebana, gitar kecapi, nyanyian, topeng monyet, dll; ketiga, hisbah masih diasumsikan sebagai wadzîfah dîniyyah (misi agama) dengan formatnya yang tak bisa berubah. Pembacaan penulis sendiri terhadap ketiga buku ini, mereka memberikan jenjang—walaupun tidak dituliskan secara sistematis—praktik nahi munkar yang diperbolehkan dilakukan melalui tindakan keras atau tegas. Satu praktik nahi munkar—dan disebutkan dalam buku Abu Bakr bin al-Khallal—yang barangkali bisa mengisyaratkan berjenjangnya pandangan Ahmad bin Hanbal dalam nahi munkar adalah legitimasi aksi anarkis (memukul) jika sebuah maksiat sudah menjadi kebiasaan, dan sudah melalui beberapa peringatan.
Menafsiri Ulang Nahi Munkar: Tawaran Alternatif praktik “hisbah”
Secara teoritis, hisbah merupakan aplikasi dari prinsip dasar amar makruf nahi munkar dalam Islam. Oleh sebab itu, al-Mawardi membedakan al-muhtasib dan al-muthatawwi’: jika yang pertama mendapat mandat dari pemimpin, maka yang kedua merupakan peran individu atau kelompok dalam aplikasi teks amar makruf nahi munkar. Hanya saja, bagi Ibnu Taymiah, individu seyogyanya konsentrasi terhadap diri sendiri sebelum ke orang lain. Artinya, peran hisbah yang telah diambil alih oleh negara, hendaknya membuat individu untuk semakin fokus terhadap pengembangan diri sendiri ke arah yang lebih baik. Walaupun begitu, bagi penulis, pembacaan objektif terhadap teks sarjana-sarjana di atas tidak bisa hanya menitik pada satu pembahasan kemudian mengenyampingkan pandangannya yang lain. Integralitas sebuah gagasan penting untuk diperhatikan dalam membaca ide-ide klasik, kemudian merekonstruksinya dengan pembacaan baru yang toleran, kontekstual dan humanis. Harus ada ketegasan bahwa ide tersebut sudah tidak lagi relevan dipraktikkan dalam konteks negara demokratis.
Terma muhtasib dalam pandangan sarjana klasik merupakan "ijtihad", dan ijtihad ini masih perlu diteruskan secara serius. Sebab, bagaimanapun aplikasi teks klasik nahi munkar dalam wadah muhtasib terlahir dari konteks yang sama sekali berbeda. Hilmy Namnam telah memulai langkah progresif dalam bukunya yang bertajuk "al-hisbah wa huriyyat al-ta'bîr": "al-hisbah" di awal kemunculannya hanya ditujukan untuk menopang kekacauan ekonomi (al-fasâd al-iqtishâdi) dan managemen kota untuk maslahat bersama. Oleh sebab itu praktiknya di pasar-pasar, meneliti timbangan dan mengoreksi muamalah. Ibnu Abd al-Barr dalam al-Istî’âb mengatakan, shahabat pertama yang ditunjuk oleh Nabi menjadi muhtasib adalah Sa’id bin Sa’id bin al-Ash: ia ditugaskan mengawasi pasar Mekah setelah ditaklukkan (fath makkah). Di masa Umar bin al-Khattab juga juga diberlakukan kontrol pasar. Umar meminta Syifa binti Abdillah mengawasi praktik jual beli di pasar. Penguat lain adalah, banyak sarjana Islam yang memandang praktik ini diadopsi dari Byzantium, pasalnya, umat Islam menemukan negara yang dikuasai oleh Byzantium mempraktikkan kontrol pasar—terlepas dari kuat atau tidaknya asumsi keterpengaruhan ini, tapi kemudian bisa ditarik pada kesepaktan “format awal” praktik hisbah hanya pada “kontrol ekonomi” semata.
Hisbah dalam praktiknya yang “historis” pada akhirnya memunculkan pelbagai karangan sarjana Islam sebagai pengukuh, sebut saja ahkâm al-sûq (hukum-hukum pasar) buah tangan Yahya bin Umar (w. 289 H). Atau pernyataan dari Nidzam al-Mulk al-Hasan bin Ali dalam bukunya siyâsah nâmah terkait peran muhtasib untuk mengontrol harga di pasar agar tidak terjadi penipuan dan kekacauan ekonomi. Buku yang secara independen dikarang tentang hisbah —dalam arti tidak menjadi bagian dari tema umum, seperti dalam al-ahkâm al-shulthâniyyah al-Mawardi—adalah nihâyat al-rutbah fî thalab al-hisbah karya Abd al-Rahman bin Nashr al-Syairazi (w. 589 H). Buku ini pertama kali dicetak di Kairo tahun 1945 dan menjadi rujukan primer bagi anggitan tema hisbah. Peran muhtasib disebutkan di sini, sebagai kontrol pasar, jalan, timbangan, serta pelbagai profesi pekerjaan.
Predikat “muhtasib” baru diresmikan pada pemerintahan Abbasiyyah, di masa khalifah Abu Jakfar al-Mansur (w. 158 H). Menurut Ibnu Abi Ushaibi’ah, al-Mansur memindahkan pasar Madinah dan Baghdad ke daerah tertentu yang jauh dari kota, kemudian menentukan pengawas untuk mengontrol praktik jual-beli di sana. Hisbah secara pesat berkembang menjadi bukan hanya kontrol jual beli, akan tetapi kebersihan masjid, kontrol terhadap muadzin untuk mengumandangkan adzan tepat waktu. Bahkan lebih jauh dari itu, muhtasib secara langsung turun menguji kelayakan seseorang dalam satu pekerjaan tertentu: sebagaimana permintaan khalifah al-Mu’tadlil pada Sannan bin Tsabit untuk menguji calon dokter yang hendak membuka praktik kedokteran di Baghdad.
Konklusi yang bisa ditarik di sini adalah, hisbah secara historis diperuntukkan mengontrol stabilitas harga di pasar, bukan “kontrol moralitas agama”. Terminologi “muhtasib” juga ternyata tidak dikenal di masa kenabian dan empat khalifah setelahnya. Walaupun begitu, praktik tersebut bukan tidak ditemukan di awal Islam, hanya saja praktiknya tidak dilakukan oleh sembarang orang: dilakukan oleh seorang yang kapabilitas intelektualnya telah diakui oleh pemimpin (faqîh). Hilmy Namnam dengan baik telah menghidangkan metamorfosa “hisbah”, dari kontrol pasar dan managemen kota menjadi “kontrol moralitas agama”, kebebasan berpendapat dan berpikir, bahkan sampai pada tindakan-tindakan anarkis.
Menurut Hilmy Namnam, jika bukan negara Islam, maka "muhtasib " seharusnya tidak ada lagi. Kalaupun ada, muhtasib (Polisi Syariat) dahulu tidak pernah mencampuri "ruang pemikiran": tidak mempraktikkan aksinya pada para penyair, penulis, atau pemikir. Adanya praktik "penganiayaan" dalam ruang pemikiran (terhadap ulama yang mempunyai ideologi tertentu) murni karena tendensi politik. Oleh sebab itu, adanya lembaga-lembaga yang berafiliasi amar makruf nahi munkar telah mereduksi peran nahi munkar itu sendiri: sebab praktiknya beralih ke “penghakiman” terhadap ideologi kelompok yang bersebrangan, aktivitas yang dianggap munkar atau maksiat.
Oleh karena itu, untuk menemukan bentuknya yang lebih relevan, pembedaan muhtasib dan mutathawwi’ dalam pandangan al-Mawardi kembali menemukan momentumnya. Muhtasib merupakan tugas yang diberikan oleh pemimpin untuk mengatur tatanan masyarakat sesuai dengan hukum yang berlaku dalam suatu negara. Oleh sebab itu, mereka digaji secara khusus oleh negara. Jika dalam negara Islam, maka peran muhtasib mengarahkan masyarakat agar bisa mengaplikasikan aturan-aturan Islam secara benar, baik melalui pemaksaan atau secara persuasif—di luar lingkup hudûd dan jinâyat. Akan tetapi lain cerita ketika sebuah negara tidak lagi menjadikan Islam sebagai dasar negara. Karena, sebagaimana ditegaskan oleh al-Mawadi dalam bukunya yang lain, adâb al-dunyâ wa al-dîn, eksistensi negara Islam sendiri sebagai piranti agar aplikasi Syariat bisa sempurna (al-Mawardi, 2002). Maka, jika bukan negara Islam, seperti penuturan Dr. Ismail al-Faruqi, pakar perbandingan agama Palestina, parameter yang diambil adalah parameter hukum yang dipraktikkan oleh satu negara tertentu (Undang-Undang), bukan “benar dan salah” dalam pandangan Islam. Atas dasar ini, bagi penulis, petugas hukum yang ada sekarang telah memenuhi syarat muhtasib dalam konteks negara modern.
Memang, pandangan sarjana Islam terkait hisbah sendiri sangat variatif. Ada yang menganggap bahwa hisbah sebagai kewajiban seorang muslim yang didasarkan pada prinsip-prinsip amar makruf nahi munkar, seperti al-Ghazali, tapi ada pula yang memandang bahwa hisbah merupakan ketrampilan yang harus dipelajari dan praktiknya murni kebijakan negara, seperti definisi yang dituliskan oleh Haji Khalifah (w. 1068 H) dalam kasyf al-dzunûn, maupun al-Tahanuwi (w. 1158 H) dalam kasysyâf ishtilâhât al-funûn. Berikut bisa kita simak definisi dari Haji Khalifah,
“ilmu yang membahas interaksi antara masyarakat di suatu negara; sebuah interaksi yang mampu menciptakan iklim kondusif, dengan menjadikan parameter adil sebagai rujukan hingga memunculkan sikap saling rela di antara dua pihak, atau mengatur masyarakat untuk tidak mempraktikkan kemunkaran dan menganjurkan kebaikan, sehingga tidak ada pertikaian di antara mereka. Prinsip yang dipakai adalah kebijakan khalifah, baik yang diambil dari fikih, atau hal-hal yang dianggap baik (istihsân) oleh khalifah.” (Haji Khalifah, 2001)
Merujuk pada definisi Haji Khalifah di atas, hukum yang dirujuk dalam praktik hisbah yang sesungguhnya tidak melulu harus fikih. Akan tetapi kebijakan pemimpin dalam suatu negara bisa menjadi rujukan melalui pertimbangan maslahat. Definisi ini bisa menjadi pintu masuk dalam membaca “munkar” itu sendiri: munkar dari yang tadinya berkisar pada kecapi, minuman keras, rebana, perzinaan, ditransformasikan menjadi kemunkaran yang lebih besar dan berhubungan langsung dengan problem kemanusiaan di era moden: seperti korupsi, problem HAM; diskriminasi, ketidakadilan, dan lain sebagainya.
Namun bukan berarti konsep amar makruf nahi munkar sama sekali kehilangan relevansi. Aplikasi teks amar makruf nahi munkar bisa dilaksanakan melalui inisiatif pribadi—meminjam redaksi al-Mawardi: al-mutathawwi’—itupun dalam tataran “anjuran”, bukan keharusan. Hanya saja, seperti penulis sudah sebutkan di muka, karena ruang yang sama sekali berbeda, “interaksi intervensif” sama sekali tidak diperkenankan di sini, apalagi sampai pada tindakan anarkis. Interaksi internvensif sama saja hendak meletakkan dikotomi agama dan negara yang dibangun dari nasionalisme. Tentu saja anggapan dikotomis semacam ini keliru. Banyaknya ijtihad-ijtihad mutakhir dari pakar fikih, baik klasik maupun kontemporer, bertujuan untuk meletakkan fikih bukan dalam ruangnya yang sempit, bukan semata-mata dalam negara Islam an sich, akan tetapi agar fikih mampu fleksibel dalam konteks negara yang mempraktekkan sistem demokrasi. Ambil contoh ijtihad mutakhir Fahmi Huwaidi, dalam bukunya muwathinûn lâ dzimmiyyûn, yang telah berani pada kesimpulan, kafir dzimmi untuk sekarang tidak ada lagi, diganti dengan warga negara yang disatukan oleh nasionalitas (muwâthin) (Fahmi Huwaidi, 1990); Thaha Jabir al-Ulwani—dalam buku isykâliyyat al-riddah wa al-murtaddîn—yang berpendapat hukum murtad bukan hukum bunuh: adanya peristiwa memerangi pelaku murtad murni karena sikap politis. Ia berpendapat bahwa hukum bunuh tidak ada di dalam al-Qur’an, dan satu-satunya argumentasi adalah dari hadis Ahad (Thaha Jabir al-Ulwani, 2006); Abu Zahrah yang berpandangan rajam bagi pelaku zina adalah tradisi Yahudi dan tidak menemukan pembenarannya dari Islam. (Musthafa Zarqa, 2004)
Dengan demikian, tidak ada dualisme “kekuasaan” di satu pemerintahan. Peran “muhtasib” telah dijalankan dengan baik oleh petugas keamanan yang mendapat mandat dari Presiden, sedangkan individu lebih fokus untuk memaksimalkan diri melaksanakan ajaran-ajaran agamanya. Sebab kesadaran komunal berawal dari kesadaran individu. Di sisi lain, munkar itu sendiri harus ditarik dalam ruang lain yang lebih kontekstual: problem kemanusiaan. Maka nahi munkar bukan melulu agar seseorang melaksanakan ajaran agama secara baik, tapi mampu menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk berinteraksi secara baik dengan sesamanya, dan lebih jauh dari itu, umat Islam mampu berkompetisi dengan negara-negara maju.
Doktrin al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar merupakan doktrin luhur, sebab umat Islam mampu berpartisipasi dalam memformulasi tatanan masyarakat yang lebih baik. Akan tetapi pada praktiknya, konsep ini mengalami pendangkalan makna dan aplikasi. Itulah kenapa, di tengah aksi anarkis yang kerap dilakukan oleh lembaga Amar Makruf Nahi Munkar di Mesir, al-Azhar menerbitkan sub al-Amr bi al-Ma’rûf wa al-Nahy an al-Munkar—yang merupakan bagian dari buku Ihyâ Ulûm al-Dîn karangan Abu Hamid al-Ghazali—dengan judul, “fikih melawan despotisme” (fî fiqh muqâwamat al-istibdâd). Buku ini diberi pra-kata oleh Dr. Mohammad Imarah, pimpinan redaksi Majalah al-Azhar.
Nahi Munkar Dalam Perspektif Sarjana Klasik: Tinjuan Kritis
Abu Hamid al-Ghazali dalam Ihyâ Ulûm al-Dîn memberikan syarat tertentu bagi Polisi Syariat (al-muhtasib). Di antaranya adalah, tertaklif, Islam, dan mempunyai kekuatan. Walaupun al-Ghazali menuliskan keharusan mendapat izin dari pemimpin sebagai syarat, al-Ghazali menolak profesi muhtasib harus mendapat mandat dari pemimpin atau imam: bagi al-Ghazali, muhtasib merupakan profesi yang seharusnya dilakukan oleh setiap orang Islam, sebab anjuran tersebut terlahir langsung dari rahim teks-teks Islam. Walaupun begitu, menurut al-Ghazali, nahi munkar mempunyai fase-fase untuk bisa sampai pada tahapan tindakan tegas (al-‘unf): pertama, memberikan pemahaman (al-ta’rîf); kedua, menasehati dengan bahasa lemah lembut (bi al-kalâm al-lathîf); ketiga, menghujat (al-sabb wa al-ta’nîf) dengan menghardik, “hai, bodoh!”; keempat, menghindarkan hal-hal yang dilarang dari jangkauan pelaku maksiat secara paksa; kelima, memukul sebagai ancaman. Yang terakhir ini, bagi al-Ghazali, harus mendapat izin dari imam (Abu Hamid al-Ghazali, 2004).
Apa yang dituliskan al-Ghazali sedikit berbeda dengan salah satu tokoh besar madzhab Hanbali, Abu Bakr bin al-Khallal (w. 311 H), dalam buku al-Amr bi al-Ma’rûf wa al-Nahy an al-Munkar; min Masâil al-Imâm al-Mubajjal Abi Abdillah Ahmad bin Hanbal, sebuah buku yang memuat pandangan-pandangan Ahmad bin Hanbal mengenai terma nahi munkar. Dalam buku tersebut terdapat sub judul “perintah untuk berlemah-lembut dalam nahi munkar” (ma yu’mar bih min al-rifq fi al-inkâr). Al-Khallal menyebut tiga sifat yang harus dimiliki oleh seorang muhtasib: pertama, lemah lembut dalam memerintah dan lemah lembut dalam melarang; kedua, adil dalam memerintah dan adil dalam melarang; ketiga, mengetahui apa yang ia perintahkan dan mengetahui apa yang ia larang. Bahkan, menurut Ahmad bin Hanbal, apabila pelaku munkar telah diperingatkan dan mengindahkan, tidak ada kewajiban untuk melaporkan ke pemimpin (Abu Bakr al-Khallal, 2003)
Tugas muhtasib yang diasumsikan harus bagi semua umat Islam dikritik dengan baik oleh Ibnu Taymiah yang menganggap nahi munkar harus mendapat izin dari pemimpin. Stabilitas negara adalah pertimbangan penting dari pemikiran Ibnu Taymiah. Bagi Ibnu Taymiah, penyampaian lemah-lembut (al-rifq) merupakan piranti yang paling tepat untuk melaksanakan praktik amar makruf nahi munkar. Pasalnya, Ibnu Taymiah masih mengimani terma “amar makruf dengan cara makruf, dan nahi munkar bukan dengan cara munkar: li yakun amruka bi al-ma’rûf bi al-ma’rûf, wa nahyuk ‘an munkar ghairu munkar. Maka Ibnu Taymiah memandang—melalui praktik amar makruf nahi munkar—efek positif yang ditimbulkan harus lebih besar porsinya dari efek negatif (mafsadah). Sebab Islam meniscyakan maslahat. Oleh sebab itu, menurut Ibnu Taymiah, jika dalam praktik nahi munkar ternyata malah banyak memunculkan efek negatif, maka sejatinya ia “bukan termasuk perintah” dalam Islam (Ibnu Taymiah, 2005).
Murid Ibnu Taymiah, Ibnu Qayyim al-Jawziah, mengamini apa yang telah dinyatakan oleh gurunya: bahwa mencegah kemunkaran merupakan kewajiban seorang Muslim. Akan tetapi jika upaya pencegahan meniscayakan kemunkaran lain, maka nahi munkar tak lagi menjadi praktik yang legitimate dalam Islam. Bagi Ibnu Qayyim, salah satu kekeliruan umat Islam adalah, tak sabar melihat praktik munkar kemudian “menghardiknya”, hingga memunculkan kemunkaran lain yang lebih besar. Efek yang ditimbulkan aksi nahi munkar, dalam pandangan Ibnu Qayyim, ada empat; pertama, kemunkaran hilang dan memunculkan maslahat; kedua, mampu meminimalisir praktik munkar walaupun tak hilang secara total; ketiga, memunculkan kemunkaran lain yang sepadan; keempat, memunculkan kemunkaran lain yang lebih besar. Jika yang pertama dan kedua dianjurkan, ketiga digantungkan pada kondisi tertentu (ijtihâd), maka yang keempat dilarang sama sekali (muharramah). (Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, 2004)
Berpijak dari pandangan al-Ghazali, bisa ditarik konklusi bahwa siapapun bisa untuk memposisikan diri sebagai “Polisi Syariat” dalam ruangnya yang tidak terbatas. Bahkan jika harus menghadapi resiko terbunuh sekalipun di hadapan pemimpin: al-Ghazali mencontohkan dengan memberi nasehat pada pemimpin dzalim, kemudian dibunuh, maka syahidnya adalah syahid yang ter-mulia. Tentu saja pandangan al-Ghazali ini sangat berbahaya jika diaplikasikan dalam konteks masyarakat plural, di mana sudah tidak lagi mempraktikkan Islam sebagai landasan negara: Indonesia misalnya, yang mengakui lima agama sebagai bukti pluralitas masyarakatnya. Ambil contoh sweeping FPI terhadap warung makan yang buka siang hari di bulan puasa dalam konteks Indonesia: mereka tentu harus mempertimbangkan tidak semua masyarakat Indonesia beragama Islam. Jikapun Islam, ada beberapa keadaan dalam Islam yang dibolehkan bahkan diharuskan tidak berpuasa: perempuan yang menghadapi tamu bulanan, seorang yang dalam perjalanan, sakit, lemah karena pertimbangan usia, dan lain sebagainya.
Jika ditarik dalam ruang perbedaan fikih, salah satu disiplin Islam yang dijadikan parameter untuk mengukur “benar dan salah” satu tindakan, maka eksistensi Polisi Syariat dengan sendirinya telah mengeliminir perbedaan dalam fikih: benar dan salah diukur berdasar “ruang sempit” perbedaan fikih. Sebab, penulis berpijak dari pernyataan al-Mawardi dalam al-ahkâm al-shulthâniyyah, jika amar makruf dan nahi munkar dalam “koridor perbedaan fikih”, maka pemaksaan untuk mengikuti satu madzhab tertentu mendapat legitimasinya jika muhtasib adalah seorang yang alim fikih (al-Mawardi, 1989). Indonesia tentu saja bukan negara Islam yang menganut satu madzhab tertentu sebagai pijakan berfikih. Perbedaan latarbelakang pendidikan dan masyarakat telah membentuk pola fikih masyarakat Indonesia: baik pola fikih klasik yang diadopsi dari varian madzhab—yang pada akhirnya membentuk paradigma yang plural, maupun pengetahuan sebagian masyarakat terkait perkembangan mutakhir hukum fikih yang diformulasi dari perubahan jaman. Dalam konteks Mesir, larangan perempuan keluar tanpa mahram, telah menganulir ijtihad mutakhir dari sebagian ulama yang memperbolehkan perempuan keluar tanpa mahram karena kebutuhan jaman.
Sedangkan pandangan Ahmad bin Hanbal, Ibnu Taymiah maupun Ibnu Qayyim, meskipun toleran dan cukup kompromis, bagi penulis, tidak bisa lagi ditarik dalam konteks sekarang, konteks yang sama sekali berbeda. Hal itu karena beberapa alasan: pertama, mereka hidup di masa kepemimpinan Islam di mana interaksi yang intervensif dalam ruang agama masih bisa dibenarkan; kedua, pola berfikih umat Islam telah mengalami perkembangan yang dinamis. Gagasan-gagasan rekonstruktif dan kontekstual dalam fikih telah terlahir dari tangan pembaharu-pembaharu Islam. Sedangkan praktik kemunkaran dalam buku ketiga sarjana ini masih berkisar pada rebana, gitar kecapi, nyanyian, topeng monyet, dll; ketiga, hisbah masih diasumsikan sebagai wadzîfah dîniyyah (misi agama) dengan formatnya yang tak bisa berubah. Pembacaan penulis sendiri terhadap ketiga buku ini, mereka memberikan jenjang—walaupun tidak dituliskan secara sistematis—praktik nahi munkar yang diperbolehkan dilakukan melalui tindakan keras atau tegas. Satu praktik nahi munkar—dan disebutkan dalam buku Abu Bakr bin al-Khallal—yang barangkali bisa mengisyaratkan berjenjangnya pandangan Ahmad bin Hanbal dalam nahi munkar adalah legitimasi aksi anarkis (memukul) jika sebuah maksiat sudah menjadi kebiasaan, dan sudah melalui beberapa peringatan.
Menafsiri Ulang Nahi Munkar: Tawaran Alternatif praktik “hisbah”
Secara teoritis, hisbah merupakan aplikasi dari prinsip dasar amar makruf nahi munkar dalam Islam. Oleh sebab itu, al-Mawardi membedakan al-muhtasib dan al-muthatawwi’: jika yang pertama mendapat mandat dari pemimpin, maka yang kedua merupakan peran individu atau kelompok dalam aplikasi teks amar makruf nahi munkar. Hanya saja, bagi Ibnu Taymiah, individu seyogyanya konsentrasi terhadap diri sendiri sebelum ke orang lain. Artinya, peran hisbah yang telah diambil alih oleh negara, hendaknya membuat individu untuk semakin fokus terhadap pengembangan diri sendiri ke arah yang lebih baik. Walaupun begitu, bagi penulis, pembacaan objektif terhadap teks sarjana-sarjana di atas tidak bisa hanya menitik pada satu pembahasan kemudian mengenyampingkan pandangannya yang lain. Integralitas sebuah gagasan penting untuk diperhatikan dalam membaca ide-ide klasik, kemudian merekonstruksinya dengan pembacaan baru yang toleran, kontekstual dan humanis. Harus ada ketegasan bahwa ide tersebut sudah tidak lagi relevan dipraktikkan dalam konteks negara demokratis.
Terma muhtasib dalam pandangan sarjana klasik merupakan "ijtihad", dan ijtihad ini masih perlu diteruskan secara serius. Sebab, bagaimanapun aplikasi teks klasik nahi munkar dalam wadah muhtasib terlahir dari konteks yang sama sekali berbeda. Hilmy Namnam telah memulai langkah progresif dalam bukunya yang bertajuk "al-hisbah wa huriyyat al-ta'bîr": "al-hisbah" di awal kemunculannya hanya ditujukan untuk menopang kekacauan ekonomi (al-fasâd al-iqtishâdi) dan managemen kota untuk maslahat bersama. Oleh sebab itu praktiknya di pasar-pasar, meneliti timbangan dan mengoreksi muamalah. Ibnu Abd al-Barr dalam al-Istî’âb mengatakan, shahabat pertama yang ditunjuk oleh Nabi menjadi muhtasib adalah Sa’id bin Sa’id bin al-Ash: ia ditugaskan mengawasi pasar Mekah setelah ditaklukkan (fath makkah). Di masa Umar bin al-Khattab juga juga diberlakukan kontrol pasar. Umar meminta Syifa binti Abdillah mengawasi praktik jual beli di pasar. Penguat lain adalah, banyak sarjana Islam yang memandang praktik ini diadopsi dari Byzantium, pasalnya, umat Islam menemukan negara yang dikuasai oleh Byzantium mempraktikkan kontrol pasar—terlepas dari kuat atau tidaknya asumsi keterpengaruhan ini, tapi kemudian bisa ditarik pada kesepaktan “format awal” praktik hisbah hanya pada “kontrol ekonomi” semata.
Hisbah dalam praktiknya yang “historis” pada akhirnya memunculkan pelbagai karangan sarjana Islam sebagai pengukuh, sebut saja ahkâm al-sûq (hukum-hukum pasar) buah tangan Yahya bin Umar (w. 289 H). Atau pernyataan dari Nidzam al-Mulk al-Hasan bin Ali dalam bukunya siyâsah nâmah terkait peran muhtasib untuk mengontrol harga di pasar agar tidak terjadi penipuan dan kekacauan ekonomi. Buku yang secara independen dikarang tentang hisbah —dalam arti tidak menjadi bagian dari tema umum, seperti dalam al-ahkâm al-shulthâniyyah al-Mawardi—adalah nihâyat al-rutbah fî thalab al-hisbah karya Abd al-Rahman bin Nashr al-Syairazi (w. 589 H). Buku ini pertama kali dicetak di Kairo tahun 1945 dan menjadi rujukan primer bagi anggitan tema hisbah. Peran muhtasib disebutkan di sini, sebagai kontrol pasar, jalan, timbangan, serta pelbagai profesi pekerjaan.
Predikat “muhtasib” baru diresmikan pada pemerintahan Abbasiyyah, di masa khalifah Abu Jakfar al-Mansur (w. 158 H). Menurut Ibnu Abi Ushaibi’ah, al-Mansur memindahkan pasar Madinah dan Baghdad ke daerah tertentu yang jauh dari kota, kemudian menentukan pengawas untuk mengontrol praktik jual-beli di sana. Hisbah secara pesat berkembang menjadi bukan hanya kontrol jual beli, akan tetapi kebersihan masjid, kontrol terhadap muadzin untuk mengumandangkan adzan tepat waktu. Bahkan lebih jauh dari itu, muhtasib secara langsung turun menguji kelayakan seseorang dalam satu pekerjaan tertentu: sebagaimana permintaan khalifah al-Mu’tadlil pada Sannan bin Tsabit untuk menguji calon dokter yang hendak membuka praktik kedokteran di Baghdad.
Konklusi yang bisa ditarik di sini adalah, hisbah secara historis diperuntukkan mengontrol stabilitas harga di pasar, bukan “kontrol moralitas agama”. Terminologi “muhtasib” juga ternyata tidak dikenal di masa kenabian dan empat khalifah setelahnya. Walaupun begitu, praktik tersebut bukan tidak ditemukan di awal Islam, hanya saja praktiknya tidak dilakukan oleh sembarang orang: dilakukan oleh seorang yang kapabilitas intelektualnya telah diakui oleh pemimpin (faqîh). Hilmy Namnam dengan baik telah menghidangkan metamorfosa “hisbah”, dari kontrol pasar dan managemen kota menjadi “kontrol moralitas agama”, kebebasan berpendapat dan berpikir, bahkan sampai pada tindakan-tindakan anarkis.
Menurut Hilmy Namnam, jika bukan negara Islam, maka "muhtasib " seharusnya tidak ada lagi. Kalaupun ada, muhtasib (Polisi Syariat) dahulu tidak pernah mencampuri "ruang pemikiran": tidak mempraktikkan aksinya pada para penyair, penulis, atau pemikir. Adanya praktik "penganiayaan" dalam ruang pemikiran (terhadap ulama yang mempunyai ideologi tertentu) murni karena tendensi politik. Oleh sebab itu, adanya lembaga-lembaga yang berafiliasi amar makruf nahi munkar telah mereduksi peran nahi munkar itu sendiri: sebab praktiknya beralih ke “penghakiman” terhadap ideologi kelompok yang bersebrangan, aktivitas yang dianggap munkar atau maksiat.
Oleh karena itu, untuk menemukan bentuknya yang lebih relevan, pembedaan muhtasib dan mutathawwi’ dalam pandangan al-Mawardi kembali menemukan momentumnya. Muhtasib merupakan tugas yang diberikan oleh pemimpin untuk mengatur tatanan masyarakat sesuai dengan hukum yang berlaku dalam suatu negara. Oleh sebab itu, mereka digaji secara khusus oleh negara. Jika dalam negara Islam, maka peran muhtasib mengarahkan masyarakat agar bisa mengaplikasikan aturan-aturan Islam secara benar, baik melalui pemaksaan atau secara persuasif—di luar lingkup hudûd dan jinâyat. Akan tetapi lain cerita ketika sebuah negara tidak lagi menjadikan Islam sebagai dasar negara. Karena, sebagaimana ditegaskan oleh al-Mawadi dalam bukunya yang lain, adâb al-dunyâ wa al-dîn, eksistensi negara Islam sendiri sebagai piranti agar aplikasi Syariat bisa sempurna (al-Mawardi, 2002). Maka, jika bukan negara Islam, seperti penuturan Dr. Ismail al-Faruqi, pakar perbandingan agama Palestina, parameter yang diambil adalah parameter hukum yang dipraktikkan oleh satu negara tertentu (Undang-Undang), bukan “benar dan salah” dalam pandangan Islam. Atas dasar ini, bagi penulis, petugas hukum yang ada sekarang telah memenuhi syarat muhtasib dalam konteks negara modern.
Memang, pandangan sarjana Islam terkait hisbah sendiri sangat variatif. Ada yang menganggap bahwa hisbah sebagai kewajiban seorang muslim yang didasarkan pada prinsip-prinsip amar makruf nahi munkar, seperti al-Ghazali, tapi ada pula yang memandang bahwa hisbah merupakan ketrampilan yang harus dipelajari dan praktiknya murni kebijakan negara, seperti definisi yang dituliskan oleh Haji Khalifah (w. 1068 H) dalam kasyf al-dzunûn, maupun al-Tahanuwi (w. 1158 H) dalam kasysyâf ishtilâhât al-funûn. Berikut bisa kita simak definisi dari Haji Khalifah,
“ilmu yang membahas interaksi antara masyarakat di suatu negara; sebuah interaksi yang mampu menciptakan iklim kondusif, dengan menjadikan parameter adil sebagai rujukan hingga memunculkan sikap saling rela di antara dua pihak, atau mengatur masyarakat untuk tidak mempraktikkan kemunkaran dan menganjurkan kebaikan, sehingga tidak ada pertikaian di antara mereka. Prinsip yang dipakai adalah kebijakan khalifah, baik yang diambil dari fikih, atau hal-hal yang dianggap baik (istihsân) oleh khalifah.” (Haji Khalifah, 2001)
Merujuk pada definisi Haji Khalifah di atas, hukum yang dirujuk dalam praktik hisbah yang sesungguhnya tidak melulu harus fikih. Akan tetapi kebijakan pemimpin dalam suatu negara bisa menjadi rujukan melalui pertimbangan maslahat. Definisi ini bisa menjadi pintu masuk dalam membaca “munkar” itu sendiri: munkar dari yang tadinya berkisar pada kecapi, minuman keras, rebana, perzinaan, ditransformasikan menjadi kemunkaran yang lebih besar dan berhubungan langsung dengan problem kemanusiaan di era moden: seperti korupsi, problem HAM; diskriminasi, ketidakadilan, dan lain sebagainya.
Namun bukan berarti konsep amar makruf nahi munkar sama sekali kehilangan relevansi. Aplikasi teks amar makruf nahi munkar bisa dilaksanakan melalui inisiatif pribadi—meminjam redaksi al-Mawardi: al-mutathawwi’—itupun dalam tataran “anjuran”, bukan keharusan. Hanya saja, seperti penulis sudah sebutkan di muka, karena ruang yang sama sekali berbeda, “interaksi intervensif” sama sekali tidak diperkenankan di sini, apalagi sampai pada tindakan anarkis. Interaksi internvensif sama saja hendak meletakkan dikotomi agama dan negara yang dibangun dari nasionalisme. Tentu saja anggapan dikotomis semacam ini keliru. Banyaknya ijtihad-ijtihad mutakhir dari pakar fikih, baik klasik maupun kontemporer, bertujuan untuk meletakkan fikih bukan dalam ruangnya yang sempit, bukan semata-mata dalam negara Islam an sich, akan tetapi agar fikih mampu fleksibel dalam konteks negara yang mempraktekkan sistem demokrasi. Ambil contoh ijtihad mutakhir Fahmi Huwaidi, dalam bukunya muwathinûn lâ dzimmiyyûn, yang telah berani pada kesimpulan, kafir dzimmi untuk sekarang tidak ada lagi, diganti dengan warga negara yang disatukan oleh nasionalitas (muwâthin) (Fahmi Huwaidi, 1990); Thaha Jabir al-Ulwani—dalam buku isykâliyyat al-riddah wa al-murtaddîn—yang berpendapat hukum murtad bukan hukum bunuh: adanya peristiwa memerangi pelaku murtad murni karena sikap politis. Ia berpendapat bahwa hukum bunuh tidak ada di dalam al-Qur’an, dan satu-satunya argumentasi adalah dari hadis Ahad (Thaha Jabir al-Ulwani, 2006); Abu Zahrah yang berpandangan rajam bagi pelaku zina adalah tradisi Yahudi dan tidak menemukan pembenarannya dari Islam. (Musthafa Zarqa, 2004)
Dengan demikian, tidak ada dualisme “kekuasaan” di satu pemerintahan. Peran “muhtasib” telah dijalankan dengan baik oleh petugas keamanan yang mendapat mandat dari Presiden, sedangkan individu lebih fokus untuk memaksimalkan diri melaksanakan ajaran-ajaran agamanya. Sebab kesadaran komunal berawal dari kesadaran individu. Di sisi lain, munkar itu sendiri harus ditarik dalam ruang lain yang lebih kontekstual: problem kemanusiaan. Maka nahi munkar bukan melulu agar seseorang melaksanakan ajaran agama secara baik, tapi mampu menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk berinteraksi secara baik dengan sesamanya, dan lebih jauh dari itu, umat Islam mampu berkompetisi dengan negara-negara maju.
No comments:
Post a Comment