Sunday, 4 December 2011

Pemikiran al-Razi Dan Karyanya

Oleh Ahmad Hadidul Fahmi

Fakhr al-Din al-Razi lahir di Kota Ray, Iran pada tahun 544 H. Garis keturunannya bersambung pada Abu Bakar al-Shiddiq, shahabat kepercayaan Nabi Saw. Ayahnya adalah Dliya’ al-Din Umar, pembesar Syafi’iyyah sekaligus Asy’ariyyah pada masa itu. Ia mempunyai kitab terkenal bertajuk Ghayât al-Marâm fî Ilm al-Kalâm. Ayahnyalah yang kemudian membentuk karakter keilmuan al-Razi. Kota Ray memang dikenal mencetak banyak sarjana besar. Kita mengenal sufi,Abu Zakariya Yahya bin Mu’adz al-Razi (w. 258 H), kemudian dokter sekaligus filsuf besar, Abu Bakar Muhammad bin Zakariya al-Razi (w. 311 H), pakar bahasa, Abu al-Husayn Ahmad bin Faris al-Razi (w. 315 H), pakar hadis, Ibnu Abi Hatim al-Razi (w. 327 H), pakar fikih Hanafi, Abu Bakar al-Razi al-Jashshash (w. 370 H), Muhammad bin Abi Bakr al-Razi dan Quthb al-Din al-Razi. Masa al-Razi ini diumpamakan seperti masa al-Makmun dari segi dinamika intelektual—walaupun grafik keemasan Islam pada waktu itu sudah menurun. Oleh karena itu kita mengenal banyak sarjana besar yang semasa dengan al-Razi, seperti Ibnu Rushd (w. 595 H), al-Suhrawardi (w. 587 H), Ibnu Arabi (w. 638 H), dan Abd al-Qadir al-Jilani (w.561 H).

Ia berkeliling ke pelbagai negeri dalam menimba ilmu. Seperti perjalanan pertamanya ke Semnan dan Maragheh, Iran. Selain dikenal pengikutnya banyak, ia juga dikenal banyak musuh. Hal itu karena al-Razi kerap berkeliling dunia untuk menantang musuh-musuhnya berdebat dan berdialog. Seperti perjalanan al-Razi ke Khawarizmi untuk berdebat dengan Muktazilah, sampai akhirnya ia diusir dari sana. Perjalanan intelektual al-Razi untuk berdebat terekam dalam autobiografi yang diberi nama Munadzârât al-Râzi fi Bilâdi Mâ warâ’a al-Nahr, atau perdebatan al-Razi di Transoxania. Menurut Shalih al-Zirkan, perdebatan ini terjadi antara tahun 580 dan 590 H. Ia memasuki Bukhara, Samarqand, Khujand, kemudian menantang para pembesar di daerah tersebut untuk berdiskusi di depan umum. Tema yang didiskusikan berkaitan dengan fikih, ushul fikih, kalam dan filsafat. Ada nuansa keangkuhan tatkala al-Razi mensifati para pembesar di masing-masing daerah. Sebagaimana ketika ia menggambarkan Ridla al-Naysaburi, lawan debatnya di Bukhara, dengan perkataan, "ia terlalu banyak berpikir, tetapi sedikit bicara." Dan menghina al-Nur al-Shabuni di depan umum dengan ungkapan, "saya menganggap Anda bukan bagian orang-orang yang berpikir rasional, lebih-lebih untuk menganggap Anda bagian dari orang-orang hebat dan ulama."

Lepas dari itu, ketinggian intelektualitas al-Razi tak ada yang meragukan. Bagaimana tidak, dalam perkataannya, "demi Tuhan, saya khawatir di waktu makan tidak bisa menyibukkan diri dengan urusan ilmu. Karena sesungguhnya waktu dan zaman berharga", menunjukkan al-Razi merupakan tokoh yang ‘tergila-gila’ dengan ilmu. Karena ini, karangan al-Razi hampir mencapai nominal seratus. Karangan-karangan al-Razi yang sampai pada generasi sekarang, menyiratkan penguasaannya yang mendalam terhadap pelbagai disiplin ilmu. Al-Razi menguasa sejarah, ushul fikih, fikih, filsafat, ilmu kalam, kimia, kedokteran, bahkan ilmu sihir—dalam bukunya al-sirr al-maktûm. Al-Shafadi menuturkan, seperti dilansir Fathullah Khalif dalam bukunya Fakhr al-Din al-Râzi, metodologi al-Razi dalam menulis sebuah karya adalah dengan menyebutkan satu masalah, kemudian memunculkan klasifikasi dari setiap permasalahan, dan bagian-bagian yang merupakan perpanjangan dari klasifikasi tersebut. Al-Razi mempergunakan penyelidikan (al-sabr) dan klasifikasi (al-taqsîm) untuk menguatkan argumentasinya. Akan tetapi, menurut al-Shafadi lagi, metode ini mempunyai cela karena mempergunakan redaksi yang teramat ringkas. Bahkan al-Shafadi mengakui, ia terkadang tak mampu mengikuti alur pikiran al-Razi karena ringkasnya redaksi tulisan. Justru untuk memahami persoalan yang dilontarkan al-Razi, al-Shafadi kerap merujuk al-Ghazali di permasalahan yang sama.

II

Al-Razi belajar fikih pada ayahnya sendiri. Berdasarkan silsilah keilmuan yang ia tulis, berawal dari ayahnya (Dliya’ al-Din Umar), al-Baghawi (w. 516 H), al-Qadli al-Husayn al-Marwazi (w. 462 H), al-Qaffal (w. 417 H), Abi Zayd al-Marwazi (w. 371 H), Abi Ishaq al-Marwazi (w. 340 H), Abi al-Abbas bin Suraij (w. 306 H), Abi al-Qasim al-Anmathy (w. 288 H), Abi Ibrahim al-Muzani (w. 264 H), sampai pada Imam Syafi’i (w. 204 H). Menurut banyak sejarawan, dalam disiplin fikih, al-Razi mengarang sebuah buku yang menjabarkan kandungan (al-syarh) al-Wajîz karangan Abu Hamid al-Ghazali. Akan tetapi karangan ini dipercaya hilang karena tak sampai ke kita. Pandangan-pandangan fikihnya bisa dianalisa mempergunakan tafsirnya ensiklopedisnya, Mafâtih al-Ghaib, tatkala berbicara tentang ayat-ayat hukum yang berhubungan dengan fikih. Atau bisa ditilik juga dari buku perdebatan al-Razi dengan ahli fikih Bukhara—dalam permasalahan jual beli—yang terekam dalam bukunya Munadzarat Fakhr al-Din al-Râzi. Permasalahan fikih yang sebenarnya cukup sederhana, di tangannya dimodifikasi dengan teori-teori filsafat yang cukup pelik dan sulit dicerna. Berdebat dengan Ridla Naysaburi, Ia mengatakan,

"perwakilan dalam jual beli mutlak tidak bisa dikatakan memiliki barang dengan unsur tipuan. Argumentasinya adalah, “mewakilkan untuk menjual sesuatu” tidak bisa mencakup “penjualan dengan tipuan dalam harga” (al-ghabn al-fahisy), tidak dari sudut pandang redaksi (lafadz) ataupun makna. Maka jual beli tidak sah. Saya mengatakan: mewakilkan tidak mencakup jual beli dengan tipuan, karena redaksinya “mewakilkan untuk menjual”. Dan mewakilkan untuk menjual bukanlah mewakilkan untuk penjualan yang dimaksud. Adapun redaksi mewakilkan untuk menjual (al-tawkîl bi al-bai’) sudah sangat jelas. Sedangkan mewakilkan untuk menjual bukanlah mewakilkan untuk penjualan yang dimaksud, alasannya, “menjual” mempunyai makna ganda bahwa yang dimaksud adalah menjual dengan harga sewajarnya, dan menjual dengan melakukan penipuan dalam harga (al-ghabn al-fahisy). Sedangkan Lafadz berhomonim (al-musyârakah), berbeda dengan lafadz yang bermakna beda (al-mubâyanah), serta tidak meniscayakan (al-musyârakah) terhadap al-mubâyanah. Maka jelas, bahwa perwakilan dalam jual beli tidak bisa merangkum jual beli dengan tipuan dalam harga."

Di sini al-Razi jelas memasukkan pembahasan ilmu logika dalam disiplin fikih. Persoalan yang dimunculkan adalah tentang hukum perwakilan dalam jual beli. Jika untuk jual beli mutlak (penjualan barang dengan mata uang), maka penjualan barang dengan tipuan dalam harga (al-ghabn al-fahisy) tidak termasuk di dalamnya. Ia mempergunakan metode perbedaan genus (al-jins) dan pembeda (al-fashl). Aplikasinya, jual beli adalah genus, yang di dalamnya terdapat jual beli dengan harga yang berlaku (bai’ bi al-mitsl), dan jual beli dengan tipuan dalam harga—yang kemudian disebut pembeda (al-fashl). Oleh karena itu, jual beli dengan tipuan dalam harga dengan sendirinya tidak bisa termasuk dalam jual beli mutlak, walaupun jual beli bisa mencakup jual beli yang mempergunakan tipuan dalam harga. Dengan kata lain, tesis tersebut akan meniscayakan setiap keumuman akan selalu didapat dengan kekhususan. Dan yang demikian tidak logis. Sebagaimana perkataan, “jika ini adalah hewan, maka pasti manusia—dalam standar pengertian manusia adalah hewan yang berakal.”

Sedang dari sudut pandang makna, al-Razi melanjutkan,

"Adapun tidak sah dari sudut pandang makna, dasarnya adalah, sebuah lafadz dikatakan bermanfaat jika menunjukkan ‘suatu hal’, oleh karena itu ‘hal tersebut’niscaya keluar dari esensi lafadz. Keniscayaan itu bersifat absolut dan berdasar kebiasaan, sebab, lafadz yang menunjukkan pada sebuah hal tentu saja memberikan faidah dari sudut pandang makna. Maka di sini terdapat dua perkara hilang.Dari sudut pandang makna, jual beli dengan tipuan dalam harga ‘bukan keniscayaan’ jual beli, sudah demikian jelas. Sebab, terminologi jual beli (al-bai’) merupakan lafadz yang mempunyai makna penjualan dengan harga wajar, dan penjualan dengan tipuan dalam harga. Lafadz yang bermakna ganda (homonim) tidak meniscayakan lafadz yang bermakna beda. Jika tidak, maka jika disebutkan lafadz berhomonim, akan selalu meniscayakan lafadz yang maknanya beda."

Dalam al-Mahshûl, al-Razi menjelaskan ketetapan di atas, sebagai berikut,

"permasalahan keenam, perintah untuk mengerjakan sebuah hal secara umum (mâhiyyah), tidak selalu berkonsekuensi menunjukkan perintah untuk hal-hal partikularnya (juz’iyyât). Seperti perkataan, ‘jual baju ini!’, tidak menunjukkan perintah ‘menjual baju dengan tipuan harga’ (al-ghabn al-fâhisy), atau ‘menjual dengan harga normal’ (al-bai’ bi al-mitsli). Sebab, kedua hal partikular (al-bay’ bi al-ghabn al-fâhisy dan baiy’ bi tsaman al-mitsli) ini termasuk dalam keumuman jual beli. Dan antara yang partikular sendiri niscaya berbeda satu sama lain […]. Jika demikian, maka perintah untuk mengerjakan ‘genus’ tidak meniscayakan perintah untuk mengerjakan ‘spesies’nya. Akan tetapi jika ada ‘kerelaan’ untuk melakukan praktek partikular (spesies)—dalam hal ini sebagai qarînah, maka keumuman lafadz bisa saja dibawa ke sana. Oleh karena itu kita mengatakan, ‘perwakilan dalam jual beli mutlak tidak bisa memiliki barang dengan penjualan jual beli tipuan, walaupun dikatakan memiliki barang dengan penjualan harga sewajarnya (al-bai’ bi al-mitsli) karena ada dalil yang menunjukkan kerelaan masyarakat terhadapnya—oleh karena kebiasaan."

Nalar al-Razi sebagai teolog, mendominasi pembahasan-pembahasan fikih dan selalu ditarik dalam pembahasan logika. Walaupun begitu, koridor berpikirnya masih dalam kerangka madzhab Syafi’i. Ia bahkan menulis biografi khusus Imam Syafi’i yang diberi nama Manâqib al-Imâm al-Syâfi’î, serta menjelaskan pelbagai permasalahan antar madzhab, kemudian menguatkan pendapat imamnya. Walaupun pada beberapa permasalahan, al-Razi kerap berbeda dengan Imam Syafi’i, seperti pada masalah ‘pengangkatan tangan’ dalam shalat dianjurkan di empat tempat—sedang Syafi’i di tiga tempat, ia sepakat dengan Abu Hanifah dalam kewajiban zakat buah-buahan dan tanaman, kewajiban witir, orang yang dahaga dan tidak menemukan air wajib minum khamr, dan melemahkan pandangan Imam Syafi’i yang melihat kewajiban penerima zakat terbatas di delapan kelompok yang disebutkan oleh al-Qur’an. Keberanian al-Razi untuk berbeda dengan Imam Syafi’i, tentu bertentangan dengan ungkapan Ibnu Taymiah yang mengatakan bahwa al-Razi termasuk sarjana Islam yang lemah dalam disiplin fikih. Ungkapan Ibnu Taymiah lebih karena fanatik sebab al-Razi mengarang buku tentang sihir. Bagi sebagian sarjana, Ibnu Taymiah tidak membaca lengkap seluruh karya al-Razi, tetapi anehnya, ia mempunyai keberanian menggeneralisasi kapabilitas intelektual al-Razi.

III

Thaha Jabir al-Ulwani menuturkan, bahwa kitab ushul fikih yang paling layak dikaji setelah al-Risalah Imam Syafi’i adalah al-Burhân karangan Imam Haramain, al-Mustashfâ karangan al-Ghazali—ketiganya dari Ahli Sunnah, al-‘Ahd karangan al-Qadli Abd al-Jabbar dan al-Mu’tamad karangan Abu Husayn al-Bashri—keduanya dari Muktazilah. Empat kitab ini mempunyai karakteristik yang berbeda satu sama lain, sehingga bagi pengkaji ushul fikih, kerap merasa kesulitan jika harus mengkaji empat buku ini bersamaan. Fakhr al-Din al-Razi dan al-Amidi--melalui bukunya al-Mahshûl fi ‘Ilm al-Ushul dan al-Ihkam fî Ushûl al-Ahkâm —berusaha merangkum keempat kitab ushul babon tersebut. Karena tak dapat disangkal, bahwa al-Razi telah mendalami ushul fikih semenjak dini. Al-Razi telah hafal al-Mustashfâ karangan Abu Hamid al-Ghazali dan al-Mu’tamad buah tangan Abu Husain al-Bashri di awal karirnya. Karena ini, oleh para ahli tahkik dan sarjana ushul fikih, al-Razi digelari “al-Imam”.

Ia tak seperti al-Amidi, yang hanya merangkum keempat kitab di atas dalam al-Ihkâm. Tetapi meneliti dan mengkaji secara kritis tesis-tesis yang tertuang dalam keempat kitab babon tersebut. Al-Razi kerap melampaui capaian nalar Imam Haramain, al-Ghazali, Abdul Jabbar dan Abu Husain al-Bahsri di pelbagai permasalahan, dan meyakini pendapat yang baginya lebih kuat dan rasional secara independen. Oleh karena itu, hemat penulis, Al-Razi dalam kitabnya sebenarnya tak bisa dikatakan sepenuhnya menggabungkan keempat paradigma penulis kitab ushul fikih sebelumnya. Sebab, pada faktanya ia lebih banyak mengkritik pandangan-pandangan Muktazilah—dalam permasalahan parsial--dan mengunggulkan pandangan Madzhabnya—walaupun pada satu keadaan juga ia berani berbeda dengan al-Ghazali dan pada beberapa kecil permasalahan ia lebih sepakat dengan Muktazilah. Akan tetapi dalam skala mayoritas, al-Razi tak keluar dari metode berpikir madzhab Syafi’ dan Asy’ari.

Untuk mengidentifikasi karangan-karangan al-Razi, saya berhutang budi terhadap Thaha Jabir al-Ulwani. Al-Ulwani mencoba memilah karya-karya al-Razi yang diyakini benar-benar ditulis olehnya, ataupun yang diragukan sebuah karya benar-benar ditulis oleh al-Razi. Bahkan mencoba mengoreksi nama karya al-Razi yang dituliskan oleh sejarawan klasik, akan tetapi terdapat kesalahan penulisan dan penyematan. Hal itu, misalnya, dilakukan oleh Haji Khalifah yang menyebut Durrat al-Tanzîl wa Ghurrat al-Ta’wîl sebagai karangan al-Razi dalam tafsir,padahal kitab tersebut karangan al-Khatib al-Iskafi (w. 421 H).

Selain al-Mahsûl, al-Razi mempunyai beberapa karangan dalam disiplin ushul fikih; pertama,Ibthâl al-Qiyâs.Tetapi buku ini belum selesai. Oleh karena itu, Dr. Mohammad Hassan dalam bukunya Fakhr al-Din al-Râzi memandang, al-Razi termasuk sarjana yang menolak argumentasi analogi (al-qiyâs) karena ia mempunyai buku yang spesifik menolak argumentasi analogi (al-qiyâs); kedua, Ihkâm al-Ahkâm. Ulwani mengatakan, al-Razi dalam karangan-karangannya yang lain tak pernah menyebut secara eksplisit terhadap buku Ihkâm al-Ahkâm ini. Buku ini merupakan buku al-Razi yang dipercaya hilang; ketiga, al-Jadal. Seperti didapatkan dari perpustakaan di Turki, buku ini lengkapnya berjudul al-Jadal wa al-Kâsyif ‘an Ushûl al-Dalâil wa Fushûl al-‘Ilal; keempat, Radd al-Jadal; kelima; al-Tharîqah fi al-Jadal; keenam, al-Tharîqah al-‘Alaiyyah fî al-Khilâf. Akan tetapi al-Ulwani meragukan penisbatan buku ini terhadap al-Razi; ketujuh,‘Asyrat Alâf nuktat fî al-Jadal; kedelapan, al-Ma’alim fî Ushûl Fiqh; kesembilan, al-Muntakhab atau Muntakhab al-Mahsûl. Buku ini merupakan ringkasan dari al-Mahsûl. Akan tetapi al-Ulwani meragukan penisbatan buku ini pada al-Razi; kesepuluh, al-Nihâyah al-Bahâiyyah fî al-Mabâhits al-Qiyâsiyyah.

Al-Mahshûl merupakan karya terpenting al-Razi dalam disiplin ushul fikih. Karya-karya ushul fikih yang ditulis sebelum al-Mahshûl, sudah terangkum dalam al-Mahshûl, sedangkan karya yang ditulis setelah al-Mahshûl, adakalanya ringkasan atau pilihan atas bagian-bagian penting dari al-al-Mahshûl. Kitab ini ditulis pada usia 32 tahun. Al-Razi merupakan sarjana ushul yang bercorak falsafi. Kita bisa melihat satu contoh dari pembahasan definisi “hukum syara’” yang mengindikasikan hal itu. Selesai mendefinisikan hukum Syara’, al-Razi menyebut potensi kritikan untuk definisi yang sudah disebutkan,

"jika dikatakan: definisi ini tidak logis karena empat hal. Pertama, jika demikian, maka hukum Allah adalah firman Allah. Sedang firman Allah—bagi kalian—qadîm (tak berawal). Maka niscaya hukum Allah—halal dan haramnya—pun qadîm.Kritikan ini lemah dari tiga sisi; pertama, bolehnya bersetubuh dengan perempuan yang dinikahi, dan haramnya dengan perempuan lain (ajnabiyyah), merupakan sifat tindakan hamba. Oleh karena itu dikatakan, ‘setubuh ini halal atau haram’. Tindakan hamba sendiri adalah ‘perkara baru’, dan sifat untuk ‘perkara baru’ tidaklah dikatakan ‘tak berawa’l (qadîm); kedua, dikatakan: perempuan ini halal bagi Zaid ‘setelah’ tidak dihalalkan. Hal ini mengindikasikan bahwa hukum tersebut adalah ‘baru’; ketiga, konsekuensi dari dihalalkannya setubuh adalah nikah, atau kepemilikan terhadap seorang hamba. Sehingga segala hal yang digantungkan terhadap perkara baru, maka mustahil ‘tak berawal’. Sehingga tetaplah bahwasanya ‘hukum’ tidak mungkin ‘tak berawal’. ‘Firman’ boleh jadi tak berawal, akan tetapi ‘hukum’ bukanlah ‘khitab’."

Selain dalam al-Mahshûl, dalam kitabnya yang lain yang bertajuk Munadzârât, ia mengkritik al-Ghazali dalam perkara tanah ghashab dan mengaitkannya dengan permasalahan teologis yang cukup rumit.Al-Razi kelihatan gerah dengan pengagungan masyarakat Tus, Iran, terhadap al-Ghazali. Ia mengatakan, “kalian menghabiskan umur untuk membaca kitab al-Musthashfâ. Barang siapa mampu menghadirkan argumen dari kitab al-Musthashfâ dan mempresentasikannya di hadapanku tanpa bisa dimasuki argumen lain, maka aku akan memberinya seratus Dinar.” Kemudian datang—sebagaimana penuturan al-Razi—orang yang tercerdas di antara mereka, dan berbicara mengenai shalat di tanah ghashab (al-shalât fî al-ardl al-maghsûbah), sebab ia mengira bahwa perkataan Ghazali dalam permasalahan tersebut sangat kokoh. Menurut al-Ghazali, ‘arah’ shalat dan ghashab terdapat perbedaan yang tak bisa bertemu. Al-Razi membantah,

"shalat terdiri berdiri, duduk, ruku’, sujud. Semua aktivitas ini adalah gerak dan diam. Gerak merupakan aktivitas yang ‘menempati ruang’ setelah sebelumnya ‘berada di ruang lain’. Sedang diam adalah aktivitas berhenti di satu tempat dalam waktu relatif lama. Menempati ruang adalah bagian dari gerak dan diam. Dan keduanya merupakan bagian dari shalat. Jika Anda mengetahui hal ini, maka saya berkata: jika shalat yang berada di tanah ghasab adalah bagian dari penempatan terhadap tanah yang dighashab, maka penempatan ini jelas tidak dibolehkan. Dan bagian dari aktivitas shalat dalam tanah yang dighashab sama juga tidak dibolehkan. Ghashab dan haram di sini menjadi bagian dari aktivitas shalat. Oleh karena itu tidak diperbolehkan menghubungkan perkara ini dengan shalat. Sebab perintah untuk shalat artinya perintah dengan segala aktivitasnya. Jika aku sudah menunjukkan salah satu aktivitasnya menempati ‘ruang’ tersebut, dan sudah menunjukkan bahwa ‘penempatan’ tersebut tidak diperbolehkan, maka akan ada pertemuan antara perintah dan larangan untuk satu hal dengan satu alasan bersamaan. Dan yang demikian tidak mungkin.
"
Al-Razi juga termasuk sarjana ushul yang menyetujui bahwa rasul bisa berijtihad. Dan ijtihadnya bukan hukum paten yang tidak bisa berubah, seperti dalam strategi perang dan perkara dunia. Lompatan yang cukup signifikan lagi adalah, al-Razi membedakan antara hukum Allah yang paten, dan didasarkan pada teks yang jelas, dengan hukum yang didasarkan pada teks yang masih multi-interpretatif. Untuk yang pertama, tidak bisa dikatakan, “ini adalah Madzhab Fulan”, karena termasuk kategori hukum yang tak bisa ditawar (mâ ulima min al-dîn bi al-dlarûrah). Sedangkan untuk yang kedua (inferensi hukum dari teks yang multi-interpretatif), bisa dikatakan, “ini adalah Madzhab Fulan”. Artinya adalah, fikih dalam perbincangan hukum yang dihasilkan oleh metode yang bermacam dari pelbagai madzhab yang ada sekarang, merupakan “pilihan”.

IV

Teologi Asy’ari sebagai madzhab pemikiran dalam teologi—semenjak kemunculannya pada abad ke 4 H—sangat diperhitungkan dalam dinamika intelektual Arab-Islam. Fakhr al-Din al-Razi adalah salah satu sarjana besar Asy’ari. Ia belajar ilmu kalam pada ayahnya (Dliya' al-Din Umar), kemudian Abi Qasim bin Nashir al-Anshari (w. 511 H), Abu al-Ma'ali al-Juwaini (w. 487 H), Abu Ishaq al-Isfrayini (w. 418 H), Abu al-Huseyn al-Bahili, hingga sampai pada Abu al-Hasan al-Asy'ari (w. 234 H). Seperti diungkapkan Ibnu Subki, al-Razi adalah pembaharu keenam—sebagaimana diambil dari hadis Nabi bahwa akan datang pembaharu di setiap seratus tahun—yang datang setelah kurun Imam Ghazali. Bagaimana tidak, jika Asy’ariyyah meletakkan diri di tengah rasionalitas Muktazilah dan literalisme Hanabilah, al-Razi yang merupakan pembesar sekte Asy’ari di abad ke-6, mengikrarkan bahwa akal didahulukan di atas dalil jika terdapat pertentangan di antara keduanya. Ia mengatakan dalam Asâs al-Taqdîs,

"dalil dalil rasional jika bertentangan dengan teks, bagaimana? Ketahuilah, bahwa jika dalil rasional telah mencapai satu capaian, kemudian argumen teks mengatakan sebaliknya, maka keadaannya tak akan mungkin lepas dari empat hal berikut ini: pertama, rasio akan sesuai dengan teks. Di sini akan ada pembenaran terhadap dua hal yang bertentangan. Dan ini mustahil; kedua, dua-duanya tidak benar. Jelas mustahil pula, karena yang demikian merupakan penolakan terhadap dua hal yang bertentangan; ketiga, yang benar adalah capaian teks, sedangkan capaian rasio tak benar. Ini mustahil juga. Sebab, kita tak mungkin mengetahui kebenaran teks tanpa landasan rasional […..] maka tetaplah (kemungkinan keempat) bahwa tidak menerima rasio untuk membenarkan teks merupakan bentuk penolakan terhadap teks dan rasio bersamaan. Dan ini tak benar. Ketika keempat klasifikasi ini tak bisa diterima, maka yang tersisa tinggal rasio memutuskan bahwa dalil teks adakalanya tidak tepat, atau tepat, akan tetapi yang dimaksud bukan yang tertuang secara tekstual (legitimasi takwil)."

Di sini al-Razi meyakini bahwa dalil rasional independen, sebab mampu membawa teks jauh dari makna literalnya. Artinya, jika terdapat pertentangan, bukan rasio yang kalah. Akan tetapi teks yang kalah. Di titik ini, pengaruh metode Muktazilah terhadap pemikiran al-Razi terlihat lebih kental dari pengaruh sarjana Asy’ariyyah. Akan tetapi jika kita melihat wasiat akhirnya, pada akhirnya al-Razi membuang jauh cara berpikir demikian. Ia mengatakan, "Aku telah menguji beragam metode dalam ilmu kalam, metode-metode filsafat, dan aku tidak melihat manfaat di sana yang bisa menyamai manfaat yang aku temukan di dalam al-Qur’an. Sebab al-Qur’an berusaha untuk menyematkan keagungan dan kebesaran terhadap Allah secara total, dan mencegah untuk tidak terlalu masuk dalam pertentangan dan perdebatan. Hal itu tidak lain karena didasari pengetahuan bahwasanya akal manusia kabur dan terbatas jika dihadapkan pada perkara-perkara sulit nan pelik, dan dihadapkan pada metode yang tidak jelas. Oleh karena itu, aku mengatakan, segala sesuatu yang ditetapkan dengan argumen yang kuat tentang keniscayaan keberadaan-Nya, keesaan-Nya, tidak ada yang serupa dengan eksistensi-Nya yang tak berawal dan tak terikat oleh waktu, pengaturan dan tindakan-Nya—semua ini adalah pendapatku, dan melalui pendapat itu, aku akan (berani) bertemu Allah. Adapun persoalan yang berujung pada kerumitan dan ketidakjelasan, maka semua yang terdapat di dalam al-Qur’an dan hadis shahih yang disepakati oleh para imam yang jadi panutan, untuk menunjuk terhadap makna satu, maka hal tersebut akan tetap sebagaimana adanya (tanpa dirubah)."

Jika dikalkulasi, mayoritas karangan al-Razi memang dalam disiplin ilmu kalam. Karangan al-Razi dalam disiplin ini mencapai 34 lebih. Di antaranya adalah Ajwibat al-Masâil al-Najjâriyyah, Asâs al-Taqdîs, Tahshîl al-Haqq, al-Jabar wa al-Qadar, al-Jawhar al-Fard, Hudûts al-Alâm, al-Khalq wa al-Ba’ts, al-Khamsîn fî Ushûl al-Dîn, al-Zubdah fî Ilm al-Kalâm, 'Ishmat al-Anbiyâ’, Nihâyat al-‘Uqûl fî Dirasât al-Ushûl, al-Arba’în fî Ushûl al-Dîn, al-Bayân wa al-Burhân, Irsyâd al-Nudzdzâr ilâ Lathâif al-Asrâr, Tahshîl al-Haq, al-Risâlah al-Kamâliyyah fi al-Haqâiq al-Ilâhiyyah, al-Mahshûl fî Ilm al-Kalâm, Ma’alim Ushûl al-Din, Syarh Asmâ Allâh al-Husnâ, I’tiqadât Firaq al-Muslimîn wa al-Musyrikîn, al-Isyârah fî Ilm al-Kalâm. Sedang karangan al-Razi yang memuat dua disiplin bersamaan (kalam dan filsafat) adalah: Muhashshal Afkâr al-Mutaqaddimîn wa al-Muta’akhkhirîn min al-Ulâma’ wa al-Hukâma wa al-Mutakallimîn dan al-Mathâlib al-Âliyah.

Dalam disiplin ini, ada dua karya al-Razi yang akan sedikit penulis jabarkan lebih lanjut. Pertama adalah Al-Isyârah fî Ilm al-Kalâm. Kitab ini terkadang ditulis dengan redaksi Tanbîh al-Isyârat, atau al-Isyârât. Seperti ditutukan Abdul Wahhab al-Mushili, al-Razi mengarang al-Isyârah setelah ia mengarang al-Arba’în. Dan al-Isyârâh juga dikarang setelah al-Razi mengarang I’tiqâdât dan Risâlat al-Ma’âd. Al-Isyârah merupakan kitab yang secara spesifik mendeskripsikan pemikiran Asy’ariyyah. Yang menjadikan buku ini menarik adalah, al-Razi di kitabnya ini, tidak mempergunakan redaksi yang susah sebagaimana di kitab lainnya, seperti dalam Nihâyat al-Uqûl, atau al-Mathâlib al-‘âliyah, dan ketika mendiskusikan argumen lawan, al-Razi mencukupkan dengan redaksi yang cukup ringkas. Hal ini yang menjadikan kitab ini diberi judul: al-Isyârah, maksudnya hanya menunjukkan dengan ringkas argumen lawan. Walaupun buku ini dikarang bukan di awal kesibukannya mengarang kitab, akan tetapi substansi kitab ini lebih mirip pengantar memasuki ilmu kalam. Substansi buku ini faktanya hanya mengulang substansi al-Arbaîn.

Seperti dikatakan di atas, mayoritas buku ini merepresentasikan al-Razi sebagai sarjana Asy’ari. Dalam permasalahan yang Asy’ariyyah sendiri terdapat perbedaan, al-Razi dengan tegas mengamini satu tokoh jika sesuai nalar pikirnya. Seperti ia mengamini Asy’ari ketika menjabarkan ilmu ‘tidak niscaya’ terlahir dari penelitian (al-nadzar), akan tetapi tetap melalui ‘campur tangan Tuhan’—sembari mengutarakan penolakan terhadap pandangan yang menyatakan bahwa penelitian menghasilkan pengetahuan, ‘niscaya’ membuahkan pengetahuan, dan selalu melekat dengan penelitian. Sebab, segala sesuatu yang mungkin terjadi (mumkinât) di dunia ini, disandarkan pada kekuasaan Allah. Segala hal yang sama-sama ‘baru-diciptakan’, tidak berelasi dengan hal ‘baru’ lainnya terkecuali hanya pada batas ‘kebiasaan’. Sebagaimana api yang ‘biasa’—bukan niscaya—membakar. Artinya, relasi antara api-membakar atau penelitian-ilmu, bukanlah relasi yang niscaya. Ia menyatakan,

"argumentasinya adalah, jika penelitian menjadi sebab bagi ilmu, atau melekat, niscaya penelitian tak akan mendahului pengetahuan, karena tak mungkin sesuatu dihasilkan, melekat dan disebabkan oleh ketiadaan. Sebagaimana ketika jawhar (substansi), jika melekat dengan ‘ardl (makna yang melekat pada jawhar), maka salah satu dari keduanya tak mungkin mendahului yang lain. Sedang di sini tak mungkin ada penelitian ketika pengetahuan sudah ada. Maka jelaslah bahwa keduanya tak berelasi. Dan pengetahuan dihasilkan berdasarkan kebiasaan."

Sebagai seorang Asy’arian, al-Razi mengkritik Hanabilah yang memandang bahwa ilmu kalam tak boleh dipelajari dan memandang Allah serupa dengan tubuh (corpus/jism). Sebagaimana al-Razi mengkritik para filsuf pada—misalnya—permasalahan jism dan spesifikasi pengetahuan Allah. Baginya, jism mempunyai awal-tercipta (muhdats)—sedang di satu sisi para filsuf berpandangan bahwa jism tak berawal. Ia pun mengkritik pandangan filsuf dan Muktazilah yang menyatakan bahwa Allah tak bisa dilihat. Walaupun Al-Razi menyepakati beberapa tokoh Muktazilah; Abu Hudzail al-Allaf, Abu Qasim al-Bulkhi, Abu Husayn al-Bahsri, dalam permasalahan ‘ketiadaan’ tidaklah menunjukkan apapun. Bahkan dalam beberapa permasalahan, ia mengkritik al-Baqilani karena dianggap tidak berjalan dalam bingkai pemikiran Asy’ariah. Yang menunjukkan bahwa al-Razi mengamini pandangan-pandangan Asy’ari, ia menyebut madzhab ini dengan Madzhab Ahl al-Haqq. Dan al-Razi menyebut Imam Asy'ari dengan Syaikhunâ.

Buku al-Razi lainnya yang menarik dikaji adalah Muhashshal Afkâr al-Mutaqaddimîn wa al-Muta’akhkhirîn. Karya ini tetap dikaji hingga di dua kurun setelah kurun al-Razi. Hal itu disebabkan, Muhashshal merupakan representasi pemikiran sarjana Asy’ari era akhir. Dalam Muhashshal sendiri tidak disebutkan kapan dan di mana al-Razi mengarang kitab ini. Tetapi menurut Uraybi, melihat kitabnya yang lain, Syarh al-Isyârât dan Nihâyat al-Uqûl, kita bisa memperkirakankapan al-Razi mengarang kitabnya tersebut. Dua kitab ini dikarang oleh al-Razi sebelum tahun 582 H, sebelum ia berkelana ke Transoxania. Menurut penuturan al-Razi secara implisit di Muhashshal, ia mengarang buku-buku teologi, logika, dan filsafat sebelum al-Razi mengarang Muhashshal. Sebagaimana disebutkan juga dalam pembukaan bukunya, alasan al-Razi menulis buku ini adalah beberapa orang penting memintanya untuk meringkas pendapat para imam terdahulu, baik itu filsuf maupun teolog, di mana pembahasannya lebih menitikberatkan pada permasalahan fundamental.

Dalam Muhashshal, di satu sisi, al-Razi mengkritik filsafat sebagai sebuah madzhab, pun tokoh-tokohnya, semisal Aristoteles dan Ibnu Sina di sisi yang lain. Begitu pula ia mengkritik Asy’ariyyah sebagai sebuah sekte di satu sisi, pun mengkritik para sarjananya, semisal Asy’ari, al-Baqilani dan al-Juwayni di sisi yang lain. Atau Muktazilah sebagai sebuah sekte, dan tokohnya semisal Abdul Jabbar dan al-Jubbai. Akan tetapi tak jarang al-Razi menyatakan kesepakatannya dengan mereka dalam satu permasalahan. Hal ini menunjukkan, al-Razi tak fanatik terhadap satu madzhab pemikiran. Akan tetapi ia mencoba memilah permasalahan-permasalahan dengan cermat, serta tak terburu-buru menyematkan sebuah pendapat terhadap satu sekte, jika kenyataannya pendapat tersebut hanya diimani oleh satu tokoh dalam sekte tersebut.

Sebagai sampel, kita bisa melihat saat al-Razi mengkritik pemikiran Abu al-Hasan al-Asy’ari, dan pengikutnya dengan penyebutan yang seolah menyiratkan bahwa ia bukan bagian dari kelompok tersebut. Ia mengatakan, "Abu al-Hasan al-Asy’ari dan pengikutnya berpendapat bahwasanya Tuhan kekal melalui sifat di luar Dzat, sedang al-Qadli al-Baqilani dan Imam Haramayn meyakini sebaliknya—dan pendapat inilah yang benar." Al-Razi juga mengatakan, "Abu al-Hasan al-Asy'ari memandang bahwa kuasa hamba tidak bisa mempengaruhi perbuatannya. Akan tetapi yang memberikan pengaruh adalah kuasa Allah."

Muhashshal mengarah pada capaian yang cukup signifikan dalam fase pemikiran al-Razi: al-Razi mengimani bahwa filsafat dan antar madzhab dalam teologi tak mutlak sepenuhnya bertentangan. Akan tetapi di satu permasalahan ada kesesuaian di antara keduanya yang tak harus diperuncing. Tentu saja, sebab Al-Razi dikenal sebagai sosok yang ‘berani’ menggambungkan ilmu kalam dan filsafat. Ilmu yang terlahir dari keduanya—dalam perspektif al-Razi—itu disebut dengan al-Ilm al-Ilâhi (ilmu ketuhanan). Al-Razi termasuk sarjana Asy’ari era akhir yang mengawali memasukkan pembahasan filsafat dalam ilmu kalam. Ignaz Goldziher sebagaimana dikutip Shalih al-Zirkan, pun menyatakan bahwa al-Razi merupakan sarjana yang mengamini kaidah-kaidah ilmu kalam—yang dalam perkembangannya—lebih banyak mengacu pada filsafat Aristoteles sebagai neraca pemikiran. Langkah ini, sebagaimana menimbulkan resistensi—semisal dari al-Sanusi dengan Umm al-Barâhîn, juga memunculkan apresiasi—sebagaimana dari Sa’d al-Din al-Taftazani dengan al-Maqâshid. Bagi yang mengapresiasi ‘harmonisasi’ filsafat dan ilmu kalam, mereka meyakini bahwa metode filsafat akan semakin menguatkan nilai-nilai fundamental akidah dan meluaskan ruang pikir.

Perbedaan mendasar para teolog awal dengan teolog era akhir dalam penggabungan antara filsafat dan kalam adalah, teolog era akhir lebih ‘ndaqiq’ dalam permasalahan filsafat, hingga seakan-akan hendak membuang ilmu kalam. Oleh karena itu, kitab kalam di era belakang, justru lebih mirip dengan buku filsafat, sebagaimana dalam buku al-Mawâqif. Dalam arti, kitab teolog di era akhir memang tidak seperti kitab kalam yang memuat pandangan filsafat—sebagaimana pandangan Ibnu Khaldun, akan tetapi lebih mirip benar-benar buku filsafat. Mungkin hal ini yang menjadikan al-Razi—oleh beberapa ulama—lebih akrab disapa ‘filsuf’ dari pada ‘teolog’. Sebagaimana banyak juga yang tetap kokoh mempertahankan al-Razi sebagai teolog. Pada tahap ini pemikiran al-Razi dalam teologi terkesan bertentangan. Maka, untuk memahami pemikiran al-Razi, kita pun harus memahami fase pemikirannya. Ada baiknya kita simak tesis Mahmud Qasim yang telah berjasa memetakan fase pemikiran sosok besar ini. Menurut Mahmud Qasim, al-Razi di awal ‘karirnya’ adalah seorang teolog, kemudian filsuf, selanjutnya ia lebih memilih 'berdiam' (tawaqquf), kemudian kembali sebagai seorang teolog yang menggambungkan beragam metode filsafat dengan ilmu kalam. Oleh Shalih al-Zirkan, tesis Mahmud Qasim diaplikasikan terhadap pemilahan buku al-Razi; pertama, buku filsafat murni, seperti al-Mabâhits al-Masyriqiyyah, al-Mulakhkhas fi al-Hikmah wa al-Mantiq, Syarh al-Isyârât wa al-Tanbihât, dan Uyûn al-Hikmah; kedua, buku teologi, seperti al-Isyârah, al-Arbaîn, Nihâyat al-Uqûl dan al-Ma’âlim fu Ushûl al-Dîn; ketiga, percampuran antara metode filsafat dan kalam, seperti Muhashshal dan al-Mathâlib al-Âliyah; keempat, buku yang berusaha merasionalkan al-Qur’an, membahas akidah dari sudut pandang ayat al-Qur’an, atau hendak kembali pada metode al-Qur’an, seperti dalam al-Tafsir al-Kabîr.

V

Kepakaran dan kemasyhuran al-Razi dalam ilmu kalam hampir menyamai kepakaran al-Razi dalam tafsir. Dalam disiplin tafsir, al-Razi mempunyai kitab legendaris dan fenomenal yang diberi judul Mafâtih al-Ghayb atau al-Tafsîr al-Kabîr. Buku al-Razi –yang menurut Thasy Kubri Zadah dianggit setelah ia menjadi seorang sufi—telah menyita banyak perhatian dari peneliti, hingga pada satu masa—menurut al-Dzahabi—tidak ada kitab tafsir yang dikaji lagi selain Mafâtîh al-Ghayb ini. Ibnu Taymiah tatkala mengomentari tafsir ini mengatakan, "di dalamnya ada segala hal, terkecuali tafsir." Akan tetapi yang disampaikan Ibnu Taymiah dibantah oleh al-Subky dengan mengatakan, "bukan seperti itu. Akan tetapi, bersama tafsir, terdapat segala hal." Selain itu, al-Razi juga mempunyai kitab lain dalam disiplin tafsir, di antaranya adalah Ahkâm al-Basmallah, Asrâr al-Tanzîl wa Anwâr al-Ta’wîl atau kerap disebut Tafsîr al-Qur’an al-Shaghîr, al-Burhân fî Qira’at al-Qur’an, Mafâtîh al-Ulûm atau Tafsîr Surat al-Fâtihah, Tafsîr Surat al-Baqarah ‘alâ Wajh al-Aqliy lâ al-Naqliy, Tafsîr Surat al-Ikhlâsh, Risâlah fî Ma’ânî al-Mutasyâbihât, dan Rûh al-‘Ajâib.

Terkait al-Tafsîr al-Kabîr, Thaha Jabir al-Ulwani merangkum tiga pandangan sarjana kontemporer dalam menilai kesahehan penisbatan buku ini: Pertama, para sarjana yang menganggap tafsir ini bukan karangan al-Razi. Akan tetapi karangan salah seorang muridnya. Argumennya diambil dalam tafsiran surat al-Wâqi’ah yang berbunyi, "permasalahan ini saya lihat dari perkataan al-Razi setelah saya menyelesaikan tulisan ini." Menanggapi pernyataan itu, komentator dari percetakan al-Bahiyyah al-Mishriyyah itu mengatakan, "pernyataan ini menyiratkan, dan menguatkan bahwa kitab tersebut bukan karangan al-Razi, akan tetapi karangan salah satu muridnya, bahkan mungkin juga dari ulama era akhir." Menurut Thaha Jabir, ungkapan tersebut merupakan ungkapan tergesa-gesa. Karena teks tafsir dari awal hingga surat Wâqi'ah jelas mengindikasikan bahwa tafsir tersebut merupakan karangan al-Razi. Dan semua sejarawan sepakat, al-Razi mengarang kitab tafsir yang diberi nama Mafâtîh al-Ghayb. Kedua, sarjana yang menganggap al-Razi tidak menyelesaikan kitabnya itu. Najmuddin Ahmad bin Muhammad al-Qumuly lah (w. 727 H) yang merampungkan kitab itu, dan Syihab al-Din bin Khalil al-Khuby al-Dimasyqi (w. 639 H) menyempurnakan yang kurang. Di antara yang meyakini pendapat ini adalah Abdurrahman al-Mu’allimi dan Muhammad Husayn al-Dzahabi. Adapun Muhammad Ali al-Immary meyakini bahwa surat al-Wâqi’ah memang tidak dikarang oleh al-Razi. Selain surat Wâqi’ah, ia tetap meyakini bahwa kitab itu merupakan karangan al-Razi.

Adapun pandangan ketiga, para sarjana yang meyakini bahwa al-Razi merampungkan kitabnya itu. Mereka mentakwil pernyataan dalam buku sejarah dan tafsir terkait yang mengindikasikan al-Razi tidak merampungkan Mafâtîh al-Ghayb. Di antaranya adalah Ibnu Asyur, Shalih al-Zirkan, Muhsin Abdul Hamid. Akan tetapi terkadang pentakwilan mereka terkesan berlebihan, walaupun beberapa ada yang masuk akal. Menurut Thaha Jabir al-Ulwani, al-Razi memang menyelesaikan tafsir ini sepenuhnya. Akan tetapi, naskah yang dicetak adakalanya memang diambil dari tulisan al-Razi yang sudah diedit, dan adakalanya diambil dari tulisan yang didiktekan oleh al-Razi, hingga terdapat beberapa editing dan tambahan yang tak dicocokkan dengan naskah aslinya.

Dalam al-Tafsîr al-Kabîr, al-Razi memasukkan permasalahan-permasalahan yang cukup asing jika dikaitkan dengan disiplin tafsir. Ia beralasan, al-Qur’an merupakan kitab suci yang merangkum semua ilmu. Tak heran jika surat al-Fatihah di tangan al-Razi dijabarkan hingga mendekati tiga ratus halaman. Ia mengatakan di awal tafsirnya, "saya sudah mengatakan dalam beberapa kesempatan, bahwa dari surat ini mampu ditafsirkan sepuluh ribu permasalahan. Akan tetapi orang-orang yang bodoh tidak mempercayainya. Dan mereka mengomentari surat al-Qur’an ini dalam buku-bukunya dengan komentar kosong tanpa arti, dan kalimat yang tidak bisa memberikan substansi. Ketika aku menganggit kitab ini, aku mengajukan kata pengantar ini sebagai pengingat bahwa apa yang sudah aku sampaikan sesuatu yang bisa dan dekat kemungkinan terjadi."

Apa yang disampaikan al-Razi ini bisa dilihat saat ia menafsirkan ayat-ayat dalam bukunya itu. Oleh karena itu, saat menafsirkan ayat, ia menjelaskan korelasinya dengan ayat sebelum dan setelahnya, kemudian menjabarkan kandungan ayat, serta disiplin ilmu lain yang berkorelasi dengan ayat, seperti matematika, naturalisme, astronomi, entah itu menyandarkan pada perkataan ulama dalam disiplin ilmu tersebut, atau malah meruntuhkan argumennya. Al-Razi sangat jarang menafsirkan sebuah ayat—tentang Nabi, atau raja dan umat terdahulu—dengan cerita-cerita yang dikutip oleh beberapa penafsir dari para sejarawan, terkecuali jika memang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadis. Ia menganggap, penafsir tidak cukup hanya dengan mengutip sebuah pendapat tentang ayat dari para ulama klasik saja, akan tetapi harus mentarjih dan memilih, serta menjelaskan yang salah dan yang benar dengan argumen yang ditopang dari syariat dan bahasa.

Inklinasi teologis jelas terlihat dalam buku tafsirnya ini. Setiap ada ayat yang berkenaan dengan ilmu kalam, al-Razi sangat terlihat ‘antusias’ untuk membahasnya secara terperinci. Sebagai misal dalam penafsirannya terhadap ayat, “sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa sesuatu yang berguna bagi manusia, dan air yang Allah turunkan dari langit, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi setelah sebelumnya gersang (mati), dan Dia sebarkan di bumi segala jenis hewan, pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh tanda-tanda bagi kaum yang berpikir,” kita bisa melihat al-Razi mengklasifikasi permasalahan yang berkaitan dengan ayat ini. Ia mengatakan,

"permasalahan pertama, ayat ini mengindikasikan bahwa ‘proses mencipta’ (al-khalq/al-takwîn) adalah ‘makhluk’. Karena Allah mengatakan, ‘sesungguhnya penciptaan langit dan bumi[…..]sungguh tanda-tanda bagi kaum yang berpikir’, sangat jelas, bahwa ayat ini berbicara tentang makhluk. Karena makhluk adalah yang menunjukkan terhadap Pencipta. Maka teranglah bahwa ‘proses mencipta’ adalah ‘makhluk’."

Sesungguhnya pada permasalahan ini terdapat perbedaan antara Asy’ariah dengan Maturidiyyah. Asy’ariyyah—termasuk al-Razi—berpendapat bahwa ‘proses mencipta’ adalah ‘makhluk’, sedang Maturidiyyah berpendapat ‘proses mencipta’ bukanlah ‘makhluk’. Maturidiyyah berpendapat bahwa ‘proses mencipta’ termasuk sifat yang ada dengan sendirinya (shifat al-ma’ânî), tak berawal, dan berhubungan dengan proses ‘pengadaan’ makhluk dan mengeluarkannya dari ‘ketiadaan’ hingga terbentuk menjadi ‘ada’. Sedang menurut Asy’ariyyah, sifat yang berhubungan dengan proses ‘pengadaan’ dari ketiadaan bukanlah ‘proses mencipta’ (al-khalq/al-takwîn), akan tetapi kuasa (al-qudrah). Kuasa Allah sendiri dari sudut pandang relasi ada dua: kuasa Allah akan pengadaan makhluk, dan realisasi pengadaan itu sendiri. Jika yang pertama ‘tak berawal’, maka yang kedua ‘berawal’, karena berelasi dengan makhluk. Dengan kata lain, ‘proses mencipta’ adalah berkaitan realisasi ‘pengadaan’ itu sendiri yang berkaitan dengan makhluk. Sebab, jika ‘proses mencipta’ adalah nisbat yang tidak bisa diperkirakan terkecuali melalui wujud objek, maka jika objek ‘berawal’, dengan sendirinya ‘proses’ itupun harus ‘berawal’.Al-Razi melanjutkan,

"permasalahan kedua, berkata Abu Muslim: kata ‘al-khalq’ di dalam lisan orang Arab mempunyai makna ‘memperkirakan’, kemudian menjadi nama bagi perbuatan Allah. Sebab semua perbuataan-Nya pasti benar[…] permasalahan ketiga, kewajiban membuktikan adanya Pencipta dengan dalil rasional, dan buruknya pendasaran pengetahuan itu pada taklid, permasalahan keempat, Ibnu Jarir menuturkan dalam sebab turunnya ayat, dari Atha’, tatkala Nabi sampai di Madinah, turun ayat ‘dan Tuhanmu adalah Tuhan yang satu’, kemudian Kafir Quraisy berkata, ‘bagaimana Tuhan ada satu sedang manusia banyak’. Turunlah ayat ini."

Ia melanjutkan membahas delapan hal yang disebutkan dalam ayat kemudian, memerincinya secara detail dan tak segan ia membahas ilmu astronomi sampai berlembar-lembar untuk sekedar menguatkan tesisnya. Misalnya, dalam membahas ‘langit’, al-Razi membagi empat belas permasalahan untuk membuktikan wujud Pencipta. Al-Razi mengutip pendapat Ptolemy, dan para astronom kuno dari Babilonia, Cina, Mesir, Romawi dan Syam, serta terkadang mengkritiknya. Semuanya kembali pada tesis, bahwa bintang-bintang, yang secara natural mempunyai ukuran tertentu, mempunyai ruang tertentu, dan bergerak ke arah tertentu, semua menunjukkan di luar sana ada Pengatur yang mengatur ini semua.

Bahasa juga salah satu objek yang cukup serius dibahas dalam tafsir ini. Misal, tatkala al-Razi menafsirkan kalimat, “bismil-Lâh al-rahmân al-rahîm”. Ia mengatakan bahwa huruf “ba” dalam kalimat tersebut, berhubungan dengan kata yang tersimpan (mudlmar). Yang tersimpan ini adakalanya kata benda atau kata kerja, baik itu di awal atau di akhir. Jika yang tersimpan adalah kata benda yang di awal, sebagaimana perkataan: ibtidâ’ al-kalâm bi ismil-Lah. Jika yang tersimpan adalah kata kerja di awal, seperti: abda’ bi ismil-Lah. Dan jika yang tersimpan adalah kata benda yang di akhir, misalnya: bi ismil-Lah ibtidâ’î. Sedang jika kata kerja di akhir adalah 'bi ismil-Lah abda’. Al-Razi juga mempertanyakan, manakah yang lebih baik, mendahulukan ataukah mengakhirkan? Menurutnya, keduanya ada di dalam al-Qur’an. Argumen ‘di awal’ seperti dalam Firman Allah, “bismil-Lah majrâhâ wa mursâhâ”, sedang ‘di akhir’, seperti dalam firman, “iqra’ bi ismi rabbik”. Akan tetapi al-Razi kemudian lebih menguatkan pendapat yang di awal dengan argumen dari al-Qur’an dan logika bersamaan. Dari al-Qur’an seperti dalam firman, iyyâka na’bud. Di sini kata kerja benda ada di awal. Maka dalam lafadz “bi ism” juga harus demikian. Sedang secara logika, karena Allah tak berawal, dan ‘ada’ dengan tidak membutuhkan pada siapapun dan apapun. Oleh karean itu wujudnya harus mendahului wujud yang lain. Yang dahulu wujudnya lebih utama untuk disebutkan. Maka, bismil-Lah abtadi’ lebih utama.

Begitu juga permasalahan fikih, seperti penulis sudah singgung di atas. Dan tentu saja ilmu al-qur’an dan ushul fikih. Ushul fikih dan fikih umumnya menempati porsi yang cukup dominan pada saat berkenaan dengan ayat-ayat hukum. Secara garis besar, dalam pembahasan setiap disiplin ilmu dalam kitab ini, rasionalitas al-Razi sangat dominan. Sedang kepakaran al-Razi dalam ilmu hadis, kitab tafsir ini oleh sebagian kalangan dianggap merepresentasikan kepakaran al-Razi dalam ilmu hadis—walaupun ia tak diperhitungkan dalam disiplin ini. Al-Razi, dalam ayat hukum, kerap melegitimasi ‘keputusannya’ dan menguatkannya dengan hadis-hadis Nabi.

VI

Spirit pembaharuan dalam pemikiran al-Razi bisa dilihat dari terobosan-terobosan yang ia lakukan. Dalam disiplin kalam, sebagai misal, bagaimana ia mengharmoniskan filsafat dan ilmu kalam sebagai sebuah metode baru yang dinamakan 'ilmu ketuhanan'. Ia pun dengan tegas mengikrarkan bahwa rasio harus didahulukan jika bertentangan dengan teks. Dalam disiplin tafsir, terlihat dari lompatan al-Razi yang menganggap kreasi-kreasi dalam memahami ayat-ayat Tuhan harus tetap dilakukan. Sedang fikih dimodifikasi di tangannya menjadi ilmu rasional dengan tidak mengabaikan teks sebagai neraca berpikir. Maka tak heran ketika Ibnu al-Subki menyebut al-Razi sebagai pembaharu abad ke-6, setelah Abu Hamid al-Ghazali. Rasionalisme al-Razi tentu saja membuat gerah sarjana yang tak berkutik dengan argumennya, semisal, al-Syahrazuri, al-Dzahabi, Ibnu Taymiah, dan Ibnu Hajar al-Asqalani, al-Khuwansari, Abu Syamah al-Maqdisi, dan lain sebagainya.

Tatkala sakit, ia mendiktekan surat wasiat pada muridnya, Ibnu Abi Bakr al-Asfhihani pada tahun 606 H. Di surat wasiatnya itu, ia meminta perihal kewafatannya tak diberitahukan ke orang lain. Sebab, al-Razi khawatir terhadap musuhnya, Muktazilah, Hasyawiyyah, Syi'ah, Karamiyyah, akan terus mengincar walaupun pada saat ia sudah meninggal. Tak diketahui apakah wasiat al-Razi dilaksanakan oleh para murid dan pengikutnya, ataukah mereka mengabaikannya. Yang jelas, sampai sekarang tak bisa dipastikan—dan terdapat perbedaan di kalangan sejarawan-- di mana al-Razi pada akhirnya dimakamkan. Al-Razi meninggal di tahun ia berwasiat, 606 H. Berikut adalah wasiat lengkap al-Razi, sebagaimana dituliskanThaha Jabir al-Ulwani yang dikutip dari berbagai sumber,

Seseorang yang mengharapkan rahmat Tuhannya, dan mempercayai kemuliaan kekasihnya, Muhammad bin Umar bin al-Husayn al-Razi--pada saat saat terakhirnya di dunia, dan permulaan di akhirat; waktu di mana orang yang keras sekalipun menjadi lunak, dan orang yang hendak lari harus menghadap Tuhannya--mengatakan:

Aku memuji Allah dengan pujian-pujian yang diucapkan oleh pembesar Malaikat-Nya di waktu utama mereka menghadap Tuhan, dan diucapkan oleh pembesar nabi-Nya di pilihan waktu tersingkap tabir mereka, bahkan aku mengucapkannya sebab konsekuensi seorang makhluk. Oleh karena itu aku memujinya dengan pujian-pujian yang sifat ketuhanan-Nya berhak menerimanya, pun kesempurnaan sifat murah-Nya meniscayakan pujian itu, baik yang aku tahu, ataupun aku tak mengetahuinya, sebab tidak bisa disamakan antara debu (manusia), dengan keagungan Tuan segala tuan.

Salam hormatku terhadap Malaikat yang diberi keistimewaan derajat kedekatan dengan Tuhan, beserta nabi-nabi yang diutus, dan seluruh hamba-hamba Allah yang saleh.

Selepas ini, aku berkata: ketahuilah saudaraku seagama, dan saudaraku pencari kebenaran, bahwa orang-orang mengatakan, “jika seseorang meninggal maka relasinya akan terputus dengan hamba,” keumuman kalimat ini mengecualikan dua hal: pertama, bahwasanya masih tersisa perbuatan baik yang menjadi sebab bagi doa. Dan doa mempunyai dampak tersendiri di samping Tuhan; kedua, hal-hal yang berhubungan dengan kemaslahatan anak-anak, cela serta pengembalian hak-hak orang lain dan hak-hak yang dilanggar sebab aniaya (menjadikan orang yang meninggal masih senantiasa berhubungan dengan hamba).

Adapun yang pertama, ketahuilah bahwa aku adalah laki-laki yang mencintai ilmu, oleh karena itu aku menulis tulisan dalam semua disiplin, dengan tidak dibatasi oleh kuantitas dan ideologi tertentu; entah itu dalam perkara benar ataupun tidak benar, buruk ataupun baik. Hanya saja, yang aku lihat dalam buku-buku yang bagiku muktabar: alam yang bisa diindera ini berada dibawah kuasa Penguasa—di mana Penguasa tersebut terbebas dari perumpamaan benda yang menempati ruang dan sifat yang tidak tetap, serta tersifati dengan kesempurnaan kuasa, ilmu dan rahmat.

Aku telah menguji beragam metode dalam ilmu kalam, metode-metode filsafat, dan aku tidak melihat manfaat di sana yang bisa menyamai manfaat yang aku temukan di dalam al-Qur’an. Sebab al-Qur’an berusaha untuk menyematkan keagungan dan kebesaran terhadap Allah secara total, dan mencegah untuk tidak terlalu masuk dalam pertentangan dan perdebatan. Hal itu tidak lain karena didasari pengetahuan bahwasanya akal manusia kabur dan terbatas jika dihadapkan pada perkara-perkara sulit nan pelik, dan dihadapkan pada metode yang tidak jelas.

Oleh karena itu, aku mengatakan, segala sesuatu yang ditetapkan dengan argumen yang kuat tentang keniscayaan keberadaan-Nya, keesaan-Nya, tidak ada yang serupa dengan eksistensi-Nya yang tak berawal dan tak terikat oleh waktu, pengaturan dan tindakan-Nya—semua ini adalah pendapatku, dan melalui pendapat itu, aku akan (berani) bertemu Allah.

Adapun persoalan yang berujung pada kerumitan dan ketidakjelasan, maka semua yang terdapat di dalam al-Qur’an dan hadis shahih yang disepakati oleh para imam yang jadi panutan untuk menunjuk terhadap makna satu, maka hal tersebut akan tetap sebagaimana adanya (tanpa dirubah). Adapun yang tidak seperti itu, aku menyatakan:

Hai Tuhan semesta alam, aku melihat semua makhluk sepakat bahwa Engkau adalah Dzat yang Termulia, Pemurah; apa yang sudah aku tuliskan dengan penaku, atau yang terbesit dalam pikiran, maka aku mempersaksikan pengetahuan-Mu. Dan aku mengatakan: jika Engkau mengetahui bahwasanya aku memenangkan ketidakbenaran, atau merobohkan kebenaran, maka lakukanlah sepantasnya padaku. Adapun jika Engkau mengetahui bahwa aku berusaha menguatkan apa yang aku yakini sebagai sebuah kebenaran, melalui pemahamanku bahwasanya itu benar, maka semoga rahmat-Mu dengan tujuanku, bukan hasilku. Hal itu adalah kesungguhan pencarian. Engkah adalah Dzat paling pemaaf, kalau hanya untuk sekedar mempersulit orang yang bersalah. Maka selamatkanlah aku, kasihanilah aku, tutuplah kesalahanku, hilangkanlah kesukaranku, Hai Dzat yang tidak bertambah kekuasaanMu dengan bertambahnya orang-orang yang bertakwa, dan tidak berkurang dengan kesalahan orang yang bersalah.

Aku mengatakan: agamaku mengikuti Muhammad Saw., dan kitabku adalah al-Qur’an yang agung, dan pada keduanya aku bersandar dalam pencarian agamaku.

Hai Dzat pendengar suara, pengabul doa, pemaaf kesalahan, pengasih kesedihan, pengendali alam, aku benar-benar berbaik sangka pada-Mu; luas harapanku terhadap rahmat-Mu, sedang Engkau pernah mengatakan, “Aku berdasar persangkaan hamba-Ku terhadap-Ku,” dan Engkau mengatakan, “siapa yang memperkenankan orang dalam kesulitan apabila berdoa kepada-Nya?”, dan Engkau mengatakan, “jika hamba-hambaKu bertanya padamu tentang-Ku, maka jawablah bahwasanya Aku dekat”. Taruhlah, aku datang tidak membawa apapun, maka Engkau adalah Dzat Kaya lagi Mulia, dan aku adalah orang yang butuh serta berdosa.

Aku meyakini bahwa tidak ada Tuhan bagiku selain Engkau, tidak ada Dzat yang baik selain Engkau. Aku mengakui bahwa aku tergelincir, kurang, tidak sempurna, lemah, maka jangan sia-siakan harapanku, dan jangan Engkau tolak doaku. Jadikanlah aku terlindungi dari siksa-Mu sebelum meninggal, atau ketika meninggal dan setelah meninggal. Mudahkanlah untukku sakarat al-mawt, ringankanlah kematian untukku, dan jangan persulit aku dengan siksa dan sakit, karena Engkau adalah Dzat yang Maha Pengasih.

Adapun buku-buku ilmiah yang aku tulis, atau ketika aku terlalu banyak melempar persoalan terhadap orang-orang terdahulu, maka untuk yang memperhatikannya, jika melihat ada kebaikan di sana, sertakanlah aku di setiap doa sebagai hadiah dan nikmat. Adapun jika melihat kejelekan di sana, maka hapuslah perkataan yang tidak pantas. Tidak lain aku hanya ingin memperbanyak diskusi dan mengasah pikiran. Dan semuanya tetap bergantung pada Allah.

Hal penting kedua, memperbaiki keadaan anak-anak beserta cela (ku). Aku menggantungkan semua ini pada Allah kemudian pada pengganti-Nya, Muhammad (sulthan Muhammad ‘Ala al-Din)—semoga Allah menjadikannya setingkat derajat kakaknya dalam agama dan keluhuran, Muhammad. Hanya saja sulthan yang agung tidak bisa mengurus perkara anak-anak, maka aku berpandangan, seharusnya menyerahkan urusan anak-anakku pada Fulan. Dan aku meminta agar ia senantiasa bertakwa pada Allah: “bahwasanya Allah berserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat baik”.

Ibnu Abi Ushaybi’ah mengatakan, “ia berwasiat sampai tuntas.” Kemudian berkata, “aku mewasiatkan, aku mewasiatkan, kemudian aku mewasiatkan: untuk benar-benar mendidik anakku, Abu Bakar. Tanda-tanda kecerdasan dan kepintaran tampak jelas di dirinya. Semoga Allah membuatnya sampai pada kebaikan.”

Aku memerintahkan pada Fulan, dan pada semua murid-muridku, dan orang-orang yang aku mempunyai hak terhadapnya: jika aku meninggal, untuk benar-benar menyembunyikan kematianku, dan tidak memberitahu siapapun mengenai hal ini; mengkafaniku dan menguburkanku dengan tata cara islami, kemudian membawaku ke gunung dekat desa Mizdaqan dan menguburkanku di sana. Jika meletakkanku di liang lahat, maka bacakanlah semampunya untukku ayat-ayat al-Qur’an tentang ketuhanan, kemudian tutuplah aku dengan debu. Selepas itu, katakan, “Hai Dzat yang Mulia, orang yang fakir lagi membutuhkan datang pada-Mu, maka berbaik hatilah padanya.”

Ini adalah akhir wasiatku pada tulisan ini. Allah adalah Dzat yang bebas berbuat atas apa yang Dia kehendaki. Dan untuk apa yang dikehendaki, Allah pasti kuasa akan hal itu. Untuk berbuat baik, Allah teramat pantas untuk itu.



Daftar Pustaka

Al-Razi, Muhammad bin Umar bin Huseyn (1986). Asâs al-Taqdîs. Kairo: Maktabah al-Kulliyyah al-Azhariyyah

Al-Razi, Muhammad bin Umar bin Huseyn (tt). Muhashshal Afkâr al-Mutaqaddimîn wa al-Muta'akhkhirîn min al-Ulamâ' wa al-Hukamâ' wa al-Mutakallimîn. Kairo: Maktabah al-Kulliyyah al-Azhariyyah

Al-Razi, Muhammad bin Umar bin Huseyn (2007). Al-Isyârah fî Ilm al-Kalâm. Jordan: Markaz Nur al-Ulum li al-Buhuts wa al-Dirasat

Al-Razi, Muhammad bin Umar bin Huseyn (tt). Manâqib al-Imâm al-Syâfi'i. Kairo: Maktabah al-Kulliyyah al-Azhariyyah

Al-Razi, Muhammad bin Umar bin Huseyn (1988). Al-Mahshûl fî Ilm Ushûl al-Fiqh. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah

Al-Razi, Muhammad bin Umar bin Huseyn (1996). Munadzârât al-Râzi fi Bilâdi Mâ warâ’a al-Nahr. Beirut: Muassasah Izz al-Din

Al-Zirkan, Muhammad Shaleh (tt). Fakhr al-Dîn al-Râzî wa Arâuhu al-Kalâmiyyah wa al-Falsafiyyah. Dar al-Fikr.

Khalif, Fathullah (1976). Fakhr al-Dîn al-Râzi. Kairo: Dar al-Jami'at al-Mishriyyah

Al-Uraybi, Muhammad (1996). Al-Munthalaqat al-Fikriyyah indâ al-Imâm al-Râzi. Beirut: Dar al-Fikr al-Lubnani

Al-Ulwani, Thaha Jabir (2010). Al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi wa Mushannafâtuh. Kairo: Dar al-Salam.
Selengkapnya...

Tuesday, 1 November 2011

Akar Pemikiran Islam (Upaya Meneguhkan Identitas)

Oleh Ahmad Hadidul Fahmi

Deskripsi Era Kebangkitan; Sebuah Pengantar
Jamak diketahui, kreativitas umat Islam terhenti besamaan dengan runtuhnya dinasti-dinasti Islam yang pernah mengukir masa keemasannya; dinasti Umayah hingga hingga Muwahhidin takluk pada Kristen; Abbasiyyah harus takluk pada tentara Mongol yang membakar habis isi perpustakaan Bait al-Hikmah di Baghdad. Sebab ini banyak sejarawan yang mematok kemunduran Islam dengan kehancuran kota Baghdad dan Andalusia. Selain juga kekuasaan Kekaisaran Utsmani di Mesir semenjak 1517 sampai 1798 M, pun menjadi satu faktor yang tidak bisa diabaikan. Kekaisaran Turki Utsmani dikenal sebagai penebar kebencian dengan ambisi besarnya untuk selalu berperang, serta kebutaan mereka terhadap ilmu peradaban, mekanisme hukum dan aturan-aturan politik. Daerah jajahan mereka teramat luas sampai ke Eropa; Costantinople, Baltik, Balkan, Yunani, Hungaria, Austria-Prusia, akan tetapi mereka tidak mempunyai sistem politik yang tangguh. [1]

Pada abad ke-18, Volney, pelancong dari Prancis, mengunjungi Mesir dan Syam. Bermukim di sana selama empat tahun. Ia mengatakan, bahwa kebodohan dalam keilmuan, seni dan sastra memenuhi generasi Negara ini. Pernyataan Volney ini sampai pada kesimpulan, untuk mengentaskan mereka dari keterbelakangan, tidak mungkin dari generasi mereka sendiri. Akan tetapi harus dari orang lain (ajnabi). Sampai pada titik ini, bisa dikatakan bahwa peradaban Islam ‘tidak bisa bertemu’ dengan peradaban Barat dalam hal kebudayaan, keilmuan atau sistem politik. Kemerosotan umat Islam paling tidak meniscayakan kesenjangan dengan the other. Kebodohan ini sampai pada titik nadir karena Barat—semenjak Perang Salib—enggan membuka pintu peradaban terhadap Islam. Umat Islam kemudian mengalami apa yang disebut “stagnasi peradaban” (tawaqquf al-hadlarah). Apa yang disebut pengetahuan bagi umat Islam adalah pengetahuan agama. Adapun ilmu-ilmu dunia tidak ada fungsinya bagi mereka selain ilmu Hisab untuk menghitung warisan, atau falak untuk mengetahui waktu shalat.[2] Tokoh yang paling representatif untuk menggambarkan keterbelakangan Mesir adalah Abdullah Al-Jabarti (w. 1825) dalam Ajâib al-Atsâr.

Jika kebangkitan di Eropa dimulai pada abad ke 15 dan 16, disusul dengan era modern (al-haddatsâh), maka klasifikasi bentangan peradaban ini hendak diaplikasikan pada laku sejarah peradaban Islam. Umat Islam baru menjumpai era kebangkitan pada abad ke 19. Artinya, empat kurun adalah jeda waktu pembeda “kebangkitan Eropa” dan “kebangkitan Islam”; peradaban Islam sekarang ada di abad ke 15 dan 16 peradaban Eropa. Era kebangkitan dunia Arab ditandai dengan munculnya kesadaran nasionalisme yang tinggi, gerakan revitalisasi agama, akulturasi pengetahuan Barat ke dalam peradaban Islam, serta “gerakan pencerahan” (harakah tanwîriyyah). Selanjutnya, sebagaimana pernah terjadi di Barat, kita akan melakukan pembelaan terhadap kehormatan dan peradaban manusia; mendirikan Negara yang demokratis; meragukan segala temuan ilmuwan di masa lalu; serta membangun ilmu pengetahuan. Masa kebangkitan Eropa mencapai temuan-temuan di bidang kemanusiaan, alam dan agama, serta terjemah karya-karya ulama agung Islam ke dalam bahasa Latin[3]. Maka ketika kita membaca karangan sarjana Barat, dengan meminjam bahasa seorang ilmuwan Timur, peristiwa tersebut kita sebut dengan “kekayaan kita yang dikembalikan pada kita”. [4]

Tertinggalnya Timur dari Barat kemudian memunculkan apa yang disebut oleh para pemikir dengan “Kritik Diri” (al-nadq al-dzâti); sebuah upaya untuk mencari apa yang salah dengan Timur, dan kenapa Barat jauh meninggalkan Timur setelah sebelumnya di bawah kekuasaan umat Islam. Fenomena ini yang oleh Syakib Arselan diabadikan dalam judul bukunya dengan ttajuk, Li Madza Ta’akhkhara al-Muslimun wa Taqaddama Ghairuhum. Sebenarnya filosofi kritik diri—sebagaimana disebutkan oleh Allal al-Fasi dalam al-naqd al-dzâtî--berasal dari sifat yang dimiliki oleh semua manusia; egoisme. Kehilangan sifat egois—hemat Allal al-Fasi—berarti kehilangan eksistensi diri. Egoisme yang diarahkan pada tindak positif pada hakikatnya bisa mengangkat derajat dan martabat seseorang. Egoisme yang mengarah pada tindak negatif adalah sikap yang hanya mementingkan diri sendiri tanpa memperdulikan yang lain. Akan tetapi, egoisme bisa dikategorikan dalam tindak positif jika kemaslahatannya kembali pada eksistensi komunitas, atau jama’î.[5] Mungkin teori ini sangat berkait erat dengan apa yang disebutkan oleh Ibnu Khaldun, bahwa kemajuan peradaban atau—dalam lingkup kecil—komunitas, bisa didapatkan melalui “fanatisme kesukuan”. [6]

Mesir adalah Negara pertama yang merasakan “kesadaran” ini—terutama setelah invasi Napoleon Bonaparte tahun 1798. Fahmi Jad’an memandang, ‘proyek kebangkitan’ pada hakikatnya bisa didapat dari sosok Hassan al-Athar (w. 1835 M), tepatnya pada abad ke 19. Sebuah kalimat sangat terkenal yang dikutip dari al-Athar berbunyi, “Negara kita harus berubah keadaannya, dan harus diperbaharui dengan pengetahuan yang tidak ada di dalamnya”. Al-Athar adalah orang yang secara langsung bersinggungan dengan ilmuwan-ilmuwan Prancis yang dibawa oleh Bonaparte. Dengan mengajarkan Bahasa Arab pada mereka, al-Athar juga menyerap pengetahuan-pengetahuan yang sama sekali baru dan tidak dijumpainya sebelumnya. Al-Athar pula yang menyadarkan generasi Mesir tentang pengetahuan-pengetahuan baru yang ia dapatkan dari ilmuwan Prancis. Generasi itu adalah Rifa’ah Rafi’ al-Thathawi, Ibrahim al-Dasuqi, Mohammad Iyyadl Thantawi dan Mohammad Umar al-Tunisi. Bonaparte, bagi al-Athar, membawa dua misi sekaligus; penjajah sekaligus penjelajah. Bonaparte, selain menjajah, ternyata juga membawa ilmuwan-ilmuwan berkompeten untuk meneliti Mesir dan masyarakatnya. Adalah Rifa’ah al-Rafi’ al-Tahthawi (w. 1873 M). Ia diutus oleh Mohammad Ali (w. 1849 M), pemimpin Mesir kala itu, ke Prancis tahun 1826 M. Ia pun diwasiati oleh gurunya, Hassan al-Athar, untuk mengabadikan semua yang didengar dan dilihat, dalam bukunya yang bertajuk Takhlîs al-Ibrîz fi Talkhîs al-Bâriz.[7]

Selepas itu, datang Jamaluddin al-Afghani (w. 1897 M) di masa yang ia sebut sebagai “masa penjajahan” (zaman al-isti’mâr). Ia berkeliling ke pelbagai daerah dan menemukan bahwa umat Islam terpecah menjadi bermacam golongan dengan pendakuan masing-masing sekte terhadap tunggalitas kebenaran. Gagasan besar Jamaluddin al-Afghani adalah pada agama itu sendiri. Ia menganggap bahwa kuatnya agama sebagai tonggak bagi majunya peradaban, dan lemahnya agama berbanding lurus dengan keterbelakangan sebuah peradaban. Gagasan ini kemudian dikerucutkan oleh Mohammad Abduh melalui “rekonstruksi ilmu kalam” yang tertuang dalam bukunya Risalah al-Tawhid. Secara garis besar, gagasan Mohammad Abduh adalah pada optimalisasi nalar dan menghindari cara berpikir yang stagnan. Dalam pandangan Hassan Hanafi, gagasan Jamaluddin al-Afghani yang diteruskan oleh Mohammad Abduh—berserta Rasyid Ridla—inilah yang disebut revitalisasi agama (al-ishlah al-dînî).[8]

Akan tetapi perlu dicermati di sini, diferensiasi perihal kemajuan secara universal atau peradaban (al-taqaddum al-‘umrânî), dan kemacuan yang bersifat pencerahan (al-taqaddum al-tanwîrî) penting untuk diperhatikan.[9] Icon kemajuan universal terwakili oleh Hassan al-‘Athar[10], Rifa’ah al-Thahtawi. Sedang kemajuan yang bersifat pencerahan, bisa ditilik pada sosok Khairuddin al-Tunisi, Abdurrahman al-Kawakibi, Qasim Amin, serta ‘Ali Yusuf. Kemajuan secara universal mencakup segala lini kehidupan, adapun kemajuan yang bersifat pencerahan lebih memperhatikan hubungan tradisi dan tuntutan modernitas. Pandangan generasi al-Tunisi secara garis besar ada pada harmonisasi antara ilmu agama dan ilmu dunia. Ilmu dunia ini pada hakikatnya didedikasikan untuk ‘berkhidmat’ pada ilmu agama. Jika kita runtut ke belakang, gagasan ini sudah muncul semenjak masa al-Kindi yang kemudian menemukan momentumnya di tangan Ibnu Rushd dalam polemiknya dengan al-Ghazali dalam bukunya yang bertajuk Fashl al-Maqâl fî Mâ baina al-Syari’ah wa al-Hikmah min al-Iththishâl. Walhasil, Turats bukanlah tradisi masa lampau yang tidak bermakna. Namun dalam tradisi terdapat energi hidup dan daya dobrak tentang kesadaran berpikir, berperilaku, dsb. Piranti yang dimunculkan untuk menuju kebangkitan teramat beragam, sebagaimana sebab-sebab kemunduran pun dinilai dari pelbagai macam sudut pandang. Ketika pemahaman a-historis (Allâ Târikhî) terhadap “tradisi” dianggap sebagai penyebab kemunduran, maka pembaharuan terhadap tradisi pun menyita perhatian pemikir. Para pemikir kontemporer menawarkan pelbagai alternatif yang dianggap mampu membawa umat Islam menuju kebangkitan.

Dalam perbincangan sejarah peradaban, yang menjadi perbincangan hangat bukanlah pada bagaimana menciptakan inovasi pada hal-hal yang bersifat duniawi. Mengadopsi teknologi, industri dan pengetahuan umum dari Barat, adalah sebuah keniscayaan. Keniscayaan ini mendapat justifikasi dari hadis Nabi, “kalian lebih mengetahui urusan duniawi kalian”. Sedang mengadopsi “pengalaman atau pemahaman keagamaan” dari orang Barat untuk diaplikasikan pada umat Islam, hal inilah yang mendapat perhatian secara luas dari pelbagai pihak.



Kemajuan dan Tradisi; Akar Pemikiran
Melalui pengantar singkat di atas, paling tidak ada tiga kubu yang mendominasi wacana “kebangkitan”; pertama, revitalisasi agama (al-islâh al-dînî) dengan tokohnya Jamaluddin al-Aghani; 2) liberal (al-libraliyyah) dengan tokohnya Rifa’ah al-Thahthawi; 3) sekuler (al-‘ilmâni) dengan tokohnya Syibli Syumail. Ketiganya ini-–hemat Hassan--sejatinya tetap mengambil spirit tokoh pra-masa kebangkitan. Pertama, tokoh-tokoh yang dijadikan rujukan adalah Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab, Ibnu Taymiah, dan selanjutnya Ahmad bin Hanbal. Kedua, tokohnya adalah Hassan al-‘Athar, Ibnu Rusyd, pemikiran Mu’tazilah serta para Juris politik Islam belakangan, seperti al-Tharthusyi, Ibnu al-Azraq. Dan ketiga, tokohnya adalah para sarjana Matematika, Sejarah, Bahasa. Dari setiap kubu ini menghasilkan tiga generasi; 1) Revitalisasi menelorkan Muhammad ‘Abduh, Rasyid Ridla, dan Hassan al-Bana; kedua, Liberal menelorkan Ahmad Luthfi Sayyid, Qasim Amin, dan ‘Ali Abd al-Raziq, Thaha Husein, dan Al-‘Aqqad; ketiga, Sekuler menelorkan Salamah Musa, Niqola Haddad, Ya’qub Maruf, Isma’il Madzhar dan Zaky Najib Mahmud.[11]

Kelompok revitalis melihat, masa lalu adalah kegemilangan. Yang disebut “maju” adalah pandangan yang bisa sampai, atau minimal menyamai kegemilangan masa lalu. Setidaknya paradigma ini ditopang oleh dua argumen; pertama, transferensial (al-naql). Jika Nabi bersabda bahwa generasi beliau adalah sebaik generasi, kemudian dilanjutkan generasi setelahnya (shahabat), dan generasi tabi’in, maka semakin jauh dari generasi Nabi, sebuah generasi akan lebih ‘terbelakang’. Oleh karena itu, yang disebut generasi progresif, atau terma progresivitas (taqaddumi), meniscayakan upaya meniru generasi Nabi dan dua generasi setelah beliau; kedua, esensi teks-teks dari Nabi itu sendiri, atau atas dasar fakta realitas. Adalah al-Jahidz (w. 255 M), sastrawan besar Muktazilah, dalam tulisannya yang bertajuk Risalah fi al-Nabitah, mengatakan bahwa masa di mana ia hidup adalah fase kekufuran (marhalat al-kufr). Fase kekufuran, baginya, datang setelah fase tauhid (marhalat al-tawhid), yang terejawantah pada masa Nabi, dan fase penyimpangan (marlahat al-fujûr), yang terejawantah setelah masa Nabi; terbunuhnya Umar, chaos politik pada masa Utsman yang mengantarkan terbunuhnya khalifah ketiga ini, dan kekacauan besar pada masa Ali. [12] Inklinasi ini kemudian lebih dikenal dengan “salafisme”.

Akan tetapi, sebenarnya kecenderungan salafisme ini banyak terilhami oleh pemikiran Rasyid Ridla, murid Mohammad Abduh. Dalam beberapa hal, pemikiran guru dan murid ini memang banyak berbeda, terutama dalam permasalahan fundamental. Seperti kecenderungan Rasyid Ridla pada Ibnu Taymiah, dan Ahmad bin Hanbal. Ia dengan terbuka memerangi tokoh-tokoh modern-liberal, seperti Luthfi Sayyid, Thaha Husein, Qasim Amin, dll. Radikalisme Rasyid Ridla menguat di tangan Hassan al-Banna dengan Ikhwan al-Muslimin, dan Sayyid Quthb yang mempopulerkan teori “kedaulatan Tuhan”. Quthb juga memandang pemerintahan yang dipegang oleh Jamal Abdal-Nashir pada masa itu adalah pemerintahan jahili. Hal ini tentu saja membuat Sayyid Quthb “berhadapan” dengan pemeritahan Jamal, yang menghantarkan Quthb ke penjara, sekaligus dihukum mati pada tahun 1966. [13] Pada hakikatnya, generasi Hassan al-Banna, Sayyid Quthb dan Ahmad ‘Awdah ini sudah terputus dari pemikiran Rasyid Ridla, walaupun secara teoritis mereka diikutsertakan dalam barisan “revitalisasi agama”. Sebab, mereka memandang bahwa gerakan kebangkitan sudah gagal mengentaskan umat Islam dari keterbelakangan. Sebagai gantinya, perjuangan dalam ranah politik harus digalakkan untuk mendirikan Negara Islam dan masyarakat islami.[14]

Menanggapi “penafsiran radikal” terhadap hadis Nabi ini, para pemikir kerap mempergunakan argumen Imam Ghazali yang datang menghantam “teori kemajuan” di atas dengan argumen transferensial pula. Baginya, memang betul, setiap masa yang jauh dari masa kenabian, maka akan semakin tidak baik. Akan tetapi patut dicermati, bahwa “kejelekan sebuah masa” ini hanya dalam rentan waktu satu abad (100 tahun). Sebab, di setiap seratus tahun, sebagaimana janji Nabi, akan datang pembaharu yang mengentaskan sebuah masyarakat dari keterbelakangan. Pada titik ini bisa kita cermati dua point penting; pertama, Imam Ghazali hendak mengganti keputusasaan umat Islam dengan sebuah harapan di setiap seratus tahun; kedua, kritik tajam atas konsep al-Mahdi al-Muntadzar sekte Syi’ah, di mana sekte Syi’ah menaruh harapan besar terhadap datangnya Imam Mahdi yang akan mengentaskan mereka dari keterbelakangan.

Selain juga, fakta riilnya, setelah dipraktikkan kecenderungan ini—bagi sebagian kalangan—tidak lagi mampu menghadapi keterbelakangan peradaban. Adonis dalam bukunya al-Tsabit wa al-Mutahawwil melihat, yang dimaksud ‘kemajuan’ bukanlah memandang ke belakang, sebagaimana yang diungkapkan oleh kaum fundamentalis. Sebab, yang disebut ‘identitas’ harus selalu bersentuhan dengan realitas. Realitas Mesir pra kebangkitan, sebagaimana digambarkan secara apik oleh Al-Jabarti dalam ‘Ajaib al-Atsar, dengan ulama-ulamanya yang dikelilingi oleh ilmu-ilmu agama, tetap tidak menjadikan Mesir mampu mengejar ketertinggalannya dari Barat. Bahkan masuknya Napoleon Bonaparte ke Mesir sekaligus menjadi permulaan dari apa yang disebut dengan “masa pencerahan” (‘ashr al-tanwîr). Bonaparte mengatakan pada masyarakat Mesir, “sesungguhnya manusia semuanya sama di hadapan Allah. Yang membedakan mereka hanyalah akal, keutamaan-keutamaan, dan ilmu saja”. Yang mensukseskan hal ini sebenarnya ada pada utusan-utusan intelektual yang dimulai semenjak masa Mohammad Ali. Dalam benak mereka, Yunani mengambil dari Mesir kuno, Arab mengambil dari Yunani, Persia dan India. Eropa, dengan pelbagai latarbelakangnya mengambil dari Arab. Oleh karena itu, sangat mungkin sekali, bahkan sebuah keharusan, kita akan memasuki medan baru. Setelah sebelumnya terjebak lebih dari lima kurun dengan khurafat Mamalik dan Utsmani, kita harus mengambil pengetahuan dari Eropa.

Inklinasi yang bertolak belakang dengan revitalisasi agama adalah sekularistik. Bagi kaum sekularis, kemajuan bisa didapat melalui totalitas umat Islam meniru peradaban Barat. Apabila di Barat berkembang teori Darwin, maka pemikir Arab mencoba mengaplikasikan teori ini pada dunia Arab. Yang mula-mula mempraktikkan ini adalah Francis Marrash (w. 1874 M). Kemudian inklinasi sekularistik menjadi madzhab filsafat resmi di tangan Syibli Syumail dalam bukunya falsafat al-nusyu’ wa al-irtiqâ’, Farah Anton, Niqola Haddad dan Salamah Musa. Syibli Syumail mengatakan dalam bukunya tatkala mengkritik Darwin, “yang saya heran dari teori Darwin ini adalah, walaupun Darwin pencetus pertama teori ini, akan tetapi dia tidak menghasilkan temuan produktif apapun dari teorinya itu”.[15] Pandangan sekularis bertitik tolak pada agama merupakan fenomena ilmiah-historis, sosial, politik, ekonomi, undang-undang atau budaya. Syibli Syumail melihat bahwa agama adalah faktor dominan perpecahan umat Islam. Ia dan Salamah Musa pernah menerbitkan majalah mingguan yang diberi nama “al-mustaqbal”. Akan tetapi ditutup setelah terbit 16 kali. Ilmu-ilmu yang mendominasi pandangan sekularistik ini adalah ilmu-ilmu umum, meliputi ilmu alam, matematika, dan sains. Pandangan politiknya adalah pemisahan agama dari Negara secara total. Isma’il Madzhar mencoba mencari justifikasi sekularisme dari peradaban Islam melalui turats Ikhwan al-Shafa dan Ibnu Thufail dengan novelnya yang terkenal, Hayy bin Yaqdlan.[16]

Dus, Madzhab Darwin yang berdiri abad ke-19 menginspirasi Karl Marx (w. 1883 M) dan Friedrich Engels (w. 1895) untuk mendirikan madzhab baru dengan pemikiran dan konstruk yang berbeda yang diberi nama Materialisme-Dialektik. Madzhab ini mempunyai karakteristik dominasi logika dialektik yang dipelajari Marx dari Hegel. Pada praktiknya, pemikiran Materialisme-Dialektik nantinya banyak mengilhami analisa historis pemikir Arab membaca peradaban Islam, semisal Husein Muruwah dalam al-Naz’ah al-Mâdiyyah fi al-Falsafah al-Arabiyyah atau Mahmud Isma’il. Analisa dialektis terhadap sejarah mengandaikan laju sejarah terus menerus berkembang (tathawwur dâim) yang terdapat satu keterpengaruhan logis antara suatu masa dengan masa setelahnya. Pandangan dialektis terhadap sejarah artinya memandang sejarah sejara objektif tanpa tercampur fanatisme sektarianistik. Sebenarnya Ibnu Khaldun telah menciptakan teori ini 5 abad sebelum Darwin, sebagaimana disebutkan Sathi’ al-Hushri dalam bukunya.

Namun inklinasi sekularisme inipun mendapat kritik tajam; meniru Barat secara total artinya menghilangkan identitas sebagai bangsa Timur di satu sisi, dan umat Islam di sisi yang lain. Salah seorang pemikir yang mengkritik kecenderungan “mbebek” ini adalah Thaha Abdurrahman. Bagi Thaha, dua inklinasi, taklid pada tradisi adalah perbuatan yang tidak baik. Lebih tidak baik lagi, jika sudah mendeklarasikan dirinya memerangi taklid dengan melepaskan diri sepenuhnya dari tradisi, akan tetapi justru mengambil semua yang datang dari Barat tanpa ada filterisasi.[17] Hassan Hanafi sendiri menciptakan kajian “ke-baratan” sebagai respon dari orientalisme. Kajian tersebut dinamakan “Oksidentalisme”. Fungsi oksidentalisme sendiri hendak mengembalikan Barat pada batas alamiahnya. [18]

Pukulan telak Israel ke dunia Arab tahun 1967, adalah masa yang sangat menentukan perjalanan pemikiran Arab Islam, sekaligus merubah arus pemikiran. Di era modern, muncul inklinasi yang mengkritik interpretasi yang bersumber dari taklidisme. Fase ini kemudian lebih dikenal dengan “fase kritik”.[19] Dikatakan kritik karena kritikan lebih dominan dari pada menawarkan solusi konstruktif. Fase ini pada hakikatnya baru dimulai pada sepertiga terakhir abad ke-20, dan masih terus berlangsung sampai sekarang.

***

Ada baiknya kita simak terlebih dahulu pemetaan global Ali Harb terhadap perjalanan pemikiran Islam; fase pertama, ditandai oleh Rifa’ah Rafi’ al-Thathawi yang bersentuhan secara langsung dengan peradaban Barat; fase kedua, fase “peneguhan identitas”. Tokohnya adalah Jamaluddin al-Afghani, Mohammad Abduh, Jurji Zaidan, ‘Abdurrahman al-Kawakibi, Khairuddin al-Tunisi, Syibli Syumail. Karakteristik fase kedua ini paling tidak; pertama, tergambarkan dalam gerakan reformasi dan rekonstruksi tradisi, sebagaimana tergambar dari karangan-karangan Mohammad Abduh; kedua, tergambarkan dalam bentuk teorisasi kebangkitan yang mengadopsi dari pemikiran Eropa, sebagaimana tergambar dari karangan Syibli Syumail; fase ketiga, adalah “fase liberalisme dan pencerahan pemikiran”. Tokoh-tokohnya adalah Luthfi Sayyid, Qasim Amin, Ali Abd al-Raziq, Thaha Husein, Salamah Musa, Thahir al-Haddad, yang mempunyai karakter terbuka dengan peradaban luar dan banyak terpengaruh darinya. Hal ini terlihat dari pemikiran Qasim Amin dalam bukunya Tahrîr al-Mar’ah, atau Thaha Husein yang mempergunakan metode skeptisisme Deskartes untuk membaca tradisi dan sejarah, Ali Abd al-Raziq yang melihat keharusan keterpisahan agama dan Negara (khilafah dan syariah). Generasi liberal yang mempunyai pandangan sekularistik ini mempunyai arus lain yang muncul dari generasi Mohammad Abduh ke Rasyid Ridla; salafisme.

Fase keempat, fase revolusi dan gerakan pembebasan yang didasarkan pada asas Islam, sebagaimana tergambar dari pemikiran Hassan al-Banna, Sayyid Quthb, Mohammad Baqir Shadr, Ruh Allah Khumaini, atau didasarkan pada paham nasionalisme, seperti pada Shati’ al-Hushri, Anton Sa’adah, atau didasarkan pada paham sosialis, sebagaimana para penganut Marxis. Selepas masuknya Israel tahun 1967, dimulai babak baru perjalanan pemikir kontemporer, sebagaimana bisa didapat dari Abdullah al-Urwi dalam ideologi Arab kontemporer, Shadiq Jalal Adzim dengan kritik agamanya, atau Adonis melalui kritik tradisi, Abid Jabiri dengan Kritik Nalar Arab, Mohammad Arkoun dengan Kritik Nalar Islam, dll. Era inilah yang disebut dengan era modern, di mana mereka lebih banyak memberikan kritik tajam dari pada menawarkan solusi konstruktif. Fase ini juga dikenal dengan “fase kritik”. Ali Harb menuturkan, setelah fase kritik ini masih ada fase yang disebut “kritik atas kritik”. Jika yang pertama mendaku sebagai modernis, maka yang kedua disebut dengan post-modernis. Post modernis diproyeksikan untuk mendekonstruksi nalar, pencerahan, kemajuan, inklinasi humanis, rasionalitas dan proyek-proyek pembebasan modernitas.[20]

***

Nah, pada era modern, dialektika antara tradisi—meminjam istilah Hassan Hanafi sebagai al-ana, dan realitas atau al-waqi, serta eksistensi peradaban Eropa yang diistilahkan dengan al-akhar, menemukan momentumnya. Para pemikir yang datang pada generasi di atas semakin menunjukkan keintimannya dengan pengetahuan-pengetahuan dari Barat. Sebagaimana umat Islam dari sarana yang diciptakan oleh Barat, kita berpikirpun dengan metode Barat: konsep, metode, pemikiran, dll. Singkatnya, pemikir Islam masih berkutat pada wacana menghadapkan Islam pada kejayaan pihak lain dan berusaha mereformasi kemunduran ini melalui rekonstruksi tradisi. Tradisi “dilibatkan” karena mereka kini dihadapkan pada kompleksitas kekinian di satu sisi, di sisi yang lain, tradisi masih kuat mencengkram umat Islam dalam batas yang tidak disadari. Melalui redaksi Adonis dikatakan, “kita harus mengetahui apa yang dulu merupakan diri kita, dan apa yang akan datang juga merupakan diri kita.” Sebenarnya jika diperhatikan secara seksama, arus pemikiran di era modern merupakan perpanjangan dari konsep yang pernah ditawarkan oleh Khairuddin al-Tunisi, Mohammad Abduh, al-Kawakibi, serta Ali Yusuf—tokoh kemajuan-pencerahan.

Dalam era modern ini, bermacam proyek telah dilontarkan oleh begawan pemikir kontemporer. Secara garis besar, proyek-proyek itu tidak melewati batas tradisi sebagai identitas, dan tidak total dalam mengadopsi madzhab-madzhab pemikiran dari Barat. Pemikiran mereka kemudian disebut dengan filsafat Arab kontemporer (falsafat al-arabiyyah al-mu’âshirah) yang menghasilkan proyek filsafat (al-masyrû’ al-falsafî) tertentu.

Filsafat Islam; Gambaran Kesadaran Umat Islam
Inklinasi pemikir Timut Tengah pada abad 20 adalah hendak mengembalikan otentisitas pemikiran Islam; melalui penghadiran kembali pemikiran Islam yang autentik. Musthafa Abd al-Raziq (w. 1947), murid Muhammad Abduh sekaligus mantan Syaikh al-Azhar bersuara lantang agar filsafat Islam kembali dikaji dan dihadirkan dalam bentuknya yang paripurna. Kajian yang matang terhadap pemikiran al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, al-Ghazali, Ibnu Thufail, Ibnu Rushd dilakukan olehnya. Dari Musthafa Abd al-Raziq lahir generasi-generasi yang meneruskan kecenderungan ini; Musthafa Hilmi. Musthafa Hilmi disebut-sebut penerus Musthafa Abd al-Raziq di Universitas Kairo dengan penguasannya yang mendalam terhadap diskursus tasawuf, khususnya pemikiran Ibnu al-Faridl. Selain Musthafa Hilmi, dikenal juga Muhammad Abdul Hadi Abu Raydah yang mendedikasikan hidupnya belajar filsafat. Ia yang menulis buku bertajuk Ibrahim bin Sayyar al-Nadzam wa Arauhu al-Kalamiyyah (Ibrahim bin Sayyar al-Nadzam dan pandangan-pandangan teologisnya). Dari pemikiran Abu Raydah, ada kecenderungan secara implisit yang mengatakan bahwa pemikiran Mu’tazilah adalah representasi keautentikan filsafat Islam. Ia mempunyai komentar mendalam terhadap kajian sejarah filsafat Islam T. J De Boer, yang diterjemahkan dari bahasa Jerman ke Arab dengan judul Tarikh al-Falsafah al-Arabiyyah.

Dar al-Ulum juga menghasilkan sarjana yang berhaluan sama dengan pemikiran Musthafa Abd al-Raziq. Adalah Mahmud Qasim. Ia mempunya metode baru dalam kajian filsafat Islam; menghidupkan kembali pola pikir rasional dari generasi Arab. Kajian yang mendalam terhadap pemikiran Ibnu Rushd tersebar luas dari sosok ini, entah dalam bahasa Prancis ataupun Arab. Dari pemikiran Mahmud Qasim disebutkan, Ibnu Rushd merepesentasikan keautentikan pemikiran Islam. Dan Ibnu Rushd—dalam komentar-komentarnya terhadap karya Aristoteles—juga melakukan inovasi dan tidak mengikuti pandangan-pandangan Aristoteles secara paripurna. Bahkan Ibnu Rushd, menurut Mahmud Qasim, mempengaruhi pemikiran Thomas Aquinas. Hal itu tertuang dalam bukunya yang bertajuk Atsar Ibn Rushd fi Thomas al-Akwini (pengaruh Ibnu Rushd terhadap pemikiran Thomas Aquinas).

Selain nama-nama itu, Ali Sami Nasyar menyebut dalam bukunya Nasy’at al-Fikr al-Falsafi fi al-Islam (Kemunculan Pemikiran Filsafat dalam Islam), ada nama Ammar al-Thalibi dengan pembahasannya yang mendalam terhadap pemikiran Khawarij, Ibnu al-Arabi dan Ibnu Badis; Dr. Mohammad Rasyad Salim melalui kajiannya terhadap Ibnu Taymiah; Dr. Fawqiyyah Hassan dengan pemikiran Imam Haramayn, pakar teologi Asy’ari; Dr. Fathullah Khalif dengan kajiannya yang mendalam terhadap Imam Fakhr al-Din al-Razi dan Maturidiyah; Dr. Abdul Qadir Mahmud dengan pemikirannya terhadap sekte Imamiyah dan sejarah tasawuf; Dr. Ahmad Subhi melalui kajiannya yang mendalam terhadap ilmu kalam dan tasawuf Islam. Dari Tokoh al-Azhar, dikenal sosok besar Abdul Halim Mahmud, dengan kajiannya yang mendalam terhadap pemikiran Islam, secara spesifik tasawuf. Selain itu, ada Muhammad Abdurrahman Bayshar dengan varian pembahasannya terhadap pemikiran dan filsafat Ibnu Rushd dan Abu Hamid al-Ghazali. Sulaiman Dunya juga tak boleh ditinggalkan; melalui analisa dan pengkajian secara komprehensif terhadap pemikiran Abu Hamid al-Ghazali.[21]

Di sini akan sedikit saya paparkan tentang pendakuan filsafat Islam yang dituliskan oleh Ali Sami Nasyar dalam bukunya Nasy’at al-Fikr al-Falsafi fî al-Islâm. Pertanyaan mendasar yang muncul adalah, apakah ada yang membedakan antara filsafat Islam dengan filsafat Yunani? Beberapa analis Timur Tengah, dan pemikir Eropa mengatakan, tidak ada kreativitas dalam filsafat Islam. Mereka mengatakan, bahwa filsuf Islam adalah al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Bajah, Ibnu Sina, Ibnu Thufail, Ibnu Rushd. Para filsuf ini yang hendak mengharmoniskan filsafat Islam dengan filsafat Yunani, atau hendak menundukan filsafat Islam pada filsafat Yunani. Memang Orientalis mulai memusatkan perhatian mereka terhadap kajian peradaban Islam, spesifiknya, filsafat Islam. Akan tetapi, kajian orientalis pada umumnya hanya membidik permasalahan parsial filsafat Islam. Filsafat Islam--bagi orientalis--hanyalah copy-paste dari peradaban Yunani semata. Ernest Renan (w. 1892 M), filsuf asal Prancis, mengatakan bahwa tokoh paripatetik (al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Bajah, Thufail, Abu al-Barakat al-Baghdadi) tidak bisa membuahkan inovasi apapun dalam filsafat. Dalam bukunya Histoire générale et système comparé des langues sémitiques, dikatakan bahwa kecenderungan nalar kaum semitik hanya pada produksi pemikiran tauhid (penunggalan Tuhan) semata. Paul Lapie (w. 1927), dalam bukunya Les Civilisations Tunisiennes, mengatakan watak orang Arab adalah berpikir ke belakang (regresif), sedang Yahudi, merupakan pemikir visioner yang selalu memandang ke depan (progresif). Salomon Munk, dalam bukunya Mélanges de philosophie juive et arabe, mengatakan bahwa Ibnu Rushd tidak memberikan konstruk episteme filsafat apapun, melainkan hanya komentator terhadap buku Aristoteles semata. Begitupula dari D.Strauss dan Leon Gauthier. Adapun kajian filsafat Islam secara historis (komprehensif), hanya dilakukan oleh tiga tokoh saja; pertama, Salomon Monk, yang bertajuk Melanges de Philosophie Juive et arabe; kedua, T. J De Boer, yang diterjemahkan oleh Abu Raydah dengan judul Tarikh al-Falsafah al-Islamiyyah; ketiga, Carra de Vaux dalam bukunya Les Penseurs de I’Islam.

Kemunculan Musthafa Abdurraziq kemudian membantah asumsi ini. Ia mempergunakan metode pelacakan kemunculan filsafat Islam melalui analisa terhadap karya-karya sarjana besar Islam sebelum bersentuhan dengan peradaban Yunani. Musthafa Abdurraziq kemudian berpandangan bahwa sarjana Islam mempunyai pemikiran cara berpikir independen yang menjadikan karakteristik mereka. Karakteristik ini ada pada dua disiplin ilmu keislaman; ilmu kalam dan ushul fikih. Dengan sendirinya, pandangan ini meniscayakan asumsi bahwa al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Bajah, Ibnu Sina dan Ibnu Thufail hanyalah komentator filsafat Yunani. Penjelasannya adalah, peradaban Islam tersusun dari beberapa diskursus penting; pertama, filsafat Aristoteles yang berkombinasi dengan Neo-Platonis di satu keadaan, dan Platonisme di sisi yang lain; kedua, tasawuf yang terklasifikasi menjadi dua; tasawuf falsafi, di mana konsep-konsepnya sudah tercampur dengan filsafat Yunani, Neo-Platonis, Hermetisme dan Gnostisisme dari India dan Persia; tasawuf sunni, di mana konsep-konsepnya diambil dari al-Qur’an dan al-Sunah; ketiga, ilmu kalam yang bertugas untuk “melindungi” akidah-akidah umat Islam dengan argumentasi-argumentasi rasional; keempat, ushul fikih, untuk menentukan kaidah umum guna menghasilkan hukum cabang dari dalil-dalil terperinci. Dengan kata lain, ushul fikih adalah metode fikih; kelima, ilmu sosiologi, filsafat politik dan filsafat sejarah. Kecenderungan ini dimulai dengan metode historis semenjak sosok al-Mas’udi, Ya’qubi, kemudian al-Thabari, al-Ghazali, al-Mawardi, Ibnu Khaldun, dst; keenam, filsafat Nahwu, yang mana hendak mempraktikkan teori filsafat Yunani dalam ilmu nahwu. Dengan demikian, dua disiplin yang menggambarkan orisinalitas pemikiran Islam adalah ilmu kalam dan ushul fikih.[22]

Penulis akan mencontohkan satu teori yang diciptakan oleh teolog Muktazilah, Abu Hudzail al-Allaf; al-Jawhar al-Fard (atomisme). Aplikasi atomisme adalah; jika Allah mengetahui semua hal, maka yang dinamakan "segala sesuatu" pasti terhitung; ada, wujud, terbatas. Maka bagian-bagian dari alam raya pun harus bisa dihitung (qâbilan li al-'add) atau perwujudan dari sesuatu yang terbatas, karena eksistensi selain Allah adalah bentuk "kumpulan", dan sesuatu yang terkelompok, pasti mempunyai partikel (ajzâ). Sehingga jika Allah mengetahui segala sesuatu, maka partikel yang menjadi bagian dari "segala sesuatu" juga termasuk di dalamnya. Demikian teori keberawalan alam menurut para teolog. Lalu dimanakah peran atomisme dalam teori keberawalan alam ?

Alam adalah eksistensi selain Allah. Berawal (hâdis) atau tidak berawal (qadîm) nya alam, tergantung dari terbatas (mutanâhi) atau tidak terbatas (ghair al-mutanâhi)nya bagian yang melengkapi alam. Jika bagian yang melengkapi alam sampai pada batas tertentu (had mu'ayyan), maka batas paling akhir dari bagian tersebut itulah yang dinamakan al-jawhar al-fard (atom). Dengan kata lain atom adalah batas maksimal suatu pembagian. Di sini para teolog sekaligus merobohkan argumen filsuf yang berasumsi alam itu tak berawal. Mereka, teolog, mengatakan: jism (corpuscle)-–yang dalam hal ini merupakan bagian dari alam--pada prakteknya ada keterpautan antara satu dengan yang lain. Karena secara kasat mata, misalnya, gajah berbeda dengan semut. Jika tidak terbatas (ghair al-mutanâhî)-–sebagaimana asumsi para filsuf-–maka tidak ada bedanya antara gajah dan semut. Padahal komponen yang tersusun dalam tubuh keduanya berbeda.

Jika sudah terbukti bahwa alam (segala sesuatu selain Allah) hâdist (berawal), maka sebuah keniscayaan membutuhkan pada muhdits (pencipta). Karena keberawalan (hâdits) di sini “tarjîh al-wujûd 'ala al-'adam”. Dalam arti, "wujud"nya alam karena mengalahkan kemungkinan "tidak ada" nya alam. Sehingga mengharuskan ada kekuatan dari luar yang menjadikan alam tersebut ada dengan mengalahkan kemungkinan "tidak ada". Sebagaimana seorang penulis yang bisa menjadikan ada dan tidak adanya sebuah tulisan. Adanya keinginan (menjadikan atau tidaknya sesuatu) tersebut itulah--dalam istilah ilmu kalam--dinamakan kehendak (al-irâdah).[23]

Kemudian teori tersebut diadopsi oleh Abu al-Hasan al-Asy'ari sampai terbentuk sekte Asy'ariyah. Diteruskan oleh Ibnu Mujahid, kemudian al-Qadli Abu Bakar al-Baqilani. Dari al-Qadli, dilanjutkan oleh Abu al-Ma'ali al-Juwainy (Imam al-Haramain) dalam al-syâmil fi ushûl al-din-nya. Imam al-Haramain mempunyai murid Abu Hamid al-Ghazali, penghancur filsafat dengan tahâfut al-falâsifahnya. Munculnya al-Baqilani, Imam Haramain dan Imam Ghazali yang mengkritik filsuf Arab itu sejatinya meneguhkan bahwa peradaban Islam mempunyai pemikiran independen.

Penutup
Sebenarnya masih banyak yang perlu dibahas pada makalah ini. Makalah ini jauh untuk disebut komprehensif jika memotret pemikiran paska Kebangkitan. Akan tetapi dengan sedikit ulasan dari penulis bisa—paling tidak—memetakan gagasan pemikiran paska kebangkitan beserta perkembangannya. Dan semoga tulisan ini bermanfaat.



[1] Ahmad Amin, Zu’ama al-Ishlah fi al-‘Ashr al-Hadits, Beirut: Dar al-Kutub Al-Arabi, tt, hlm. 5-7
[2] Mohammad Imarah, Rifa’ah al-Thathawi; Râid al-Tanwîr fî al-Ashr al-Hadîts, Kairo: Dar al-Syouruq, cet. II, 1988, hlm. 8. Bandingkan juga dengan Ahmad Amin, Zu’âma’ al-Ishlâh, Op. Cit.,hlm. 5-7
[3] Untuk meneropong fenomena perpindahan filsafat Islam ke dalam peradaban Eropa secara komprehensif, lihat Muqaddimah fî ‘Ilm al-Istghrâb, Kairo: Dar al-Fanniyah li al-Nasyr wa al-Tawzi’, 1991 hlm. 204.
[4] Hassan Hanafi, Muqaddimah fî Ilm al-Istighrâb, Op.Cit., 1991, hlm. 235.
[5] Allal al-Fasi, al-Naqd al-Dzâtî, Kairo: Al-Mathba’ah al-‘Alamiyyah, cet. I, 1952, hlm. 1-4
[6] Abdurrahman bin Khaldun, Muqaddimah, Beirut: Dar al-Fikr, cet. I, 2001, hlm. 160
[7] Fahmi Jad’an, al-Madli fi al-Hadlir; Dirâsah fî Tasyakkulât wa Masâlik al-Tajarrubah al-Fikriyyah al-‘Arâbiyyah, Beirut: Dar al-Faris li al-Nasyr wa al-Tawzi’, cet. I, 1997, hlm. 472-473
[8] Hassan Hanafi, Humûm al-Fikr wa al-Wathan; al-Fikr al-‘Arabi al-Mu’âshir, Kairo: Dar al-Quba’ Li al-Thiba’ah wa al-Nasyr wa al-Tawzi’, Juz II, 2003, 427-435
[9] Ibid.,hlm. 472
[10]Hassan al-‘Athar memberikan dua agenda yang harus ditempuh menuju kebangkitan: Taghyîr al-Ahwâl dan Tajdîd al-Ma’ârif.
[11] Hassan Hanafi, Humûm al-Fikr wa al-Wathan al-Fikr al-Araby al-Mu’âshir, Op. Cit., hlm. 51
[12] Lihat selengkapnya pada Fahmi Jad’an, Usus al-Taqaddum inda Mufakkirî al-Islâm, Kairo: Dar al-Syouruq, cet. III, 1988, hlm. 28-29
[13] Ibrahim A’rab, Al-Islâm al-Siyâsi wa al-Haddâtsah, Beirut: Ifriqiya al-Syarq, 2000, hlm. 40
[14] Ibid., hlm. 41
[15] Sayyid Husein Thabathaba’i, Usus al-Falsafah, Beirut: Dar al-Ma’arif li al-Mathbu’at, tt, hlm. 33
[16] Hassan Hanafi, Humum al-Fikr, Op. Cit., hlm. 435-439
[17] Thaha Abdurrahman, Rûh al-Haddâtsah, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, cet. I, 2006, hlm.11
[18] Lihat selengkapnya pada kajian Hassan Hanafi dalam Muqaddimah fi Ilm al-Istighrâb, Kairo: Dar al-Fanniyah li al-Nasyr wa al-Tawzi’, 1991.
[19] www.arabphilosophers.com
[20] Ali Harb, Azminat al-Haddatsah al-Fâiqah, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, cet. I, 2005, hlm. 64-67
[21] Lihat Ali Sami Nasyar, Nasy’at al-Fikr al-Falsafi fi al-Islâm, Kairo: Dar al-Ma’arif, cet. VII, hlm. 24-27
[22] Ibid.,hlm. 47-48
[23] Lihat Ibnu Rushd dalam al-Kasyf ‘an Manahij al-Adillah fi ‘Aqâid al-Millah, pada pengantar Mohammad Abed al-Jabiri, Beirut: Markaz al-Dirasat al-Wahdah al-‘Arabiyyah, cet. I, 1998, hlm. 22-24. Penulis juga pernah mendeskripsikan teori atomisme dalam tulisan singkat penulis, “Muktazilah; Implementasi Teori Ilmu Kalam”
Selengkapnya...

Monday, 1 August 2011

Kritik Pemikiran Hizbut Tahrir

Oleh Ahmad Hadidul Fahmi

Baru-baru ini kita melihat semangat keislaman yang menggelora dari generasi muda. Sayangnya, semangat memunculkan Islam sebagai alternatif terbaik itu tidak diimbangi dengan pemahaman yang ‘mumpuni’ dalam ilmu agama. Merasa bangga ketika memperjuangkan ‘simbol’, akan tetapi buta terhadap ‘esensi’. Karakter yang melekat dari inklinasi semacam ini adalah, mudah sekali menuduh kafir kelompok lain yang tidak se-ide dengan pemikiran mereka. Itulah Hizbut Tahrir. Partai yang masuk ke Indonesia sekitar tahun 1980 ini, cukup mendapat respon yang baik dari pemuda-pemuda kampus yang tidak mempunyai background yang mumpuni tentang pengetahuan Islam. Penulis menduga kuat, suksesnya dakwah mereka cukup paralel dengan slogan-slogan islamis yang dielu-elukan oleh simpatisan ‘Partai Pembebasan’ ini.

Pada tulisan ini, penulis hendak membedah inti pemikiran Hizbut Tahrir dari sumber-sumber primer mereka, kemudian penulis akan coba komparasikan dengan pendapat ulama-ulama serta pemikir kontemporer terkait masalah yang dibidik. Permasalahan yang coba penulis tampilkan adalah asumsi keharusan mendirikan Negara Islam sebagai wahana pemersatu umat Islam se-dunia. Permasalahan pertama ini tersusun dari premis-premis; pertama, kedaulatan rakyat adalah sistem kufur yang diciptakan oleh Barat. Karenanya, demokrasi dianggap sistem kufur sebab bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Kedua, praktek politik pada masa Nabi merupakan representasi ideal—sekaligus diasumsikan diambil dari nash qath’iy--bagi kelangsungan politik untuk era sekarang. Khilafah Islamiyyah—bagi mereka--juga alternatif terbaik untuk mengentaskan umat Islam dari hegemoni Barat.

Sejarah Kemunculan dan Falsafah Pemikiran Hizbut Tahrir

Hizbut Tahrir lahir di Palestina tahun 1953, dengan pendirinya Taqiyuddin al-Nabhani, seorang Hakim di Haifa. Berdirinya Partai Kebebasan ini erat kaitannya dengan invasi Israel ke Palestina dan runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani yang tumbang tahun 1924. Awalnya al-Nabhani merupakan pengagum Sayyid Quthb, dan sempat memberikan beberapa kuliah di markas besar Ikhwanul Muslimin di Yerusalem. Lahir di desa Ijzim, Palestina, 1914 M. Nama lengkapnya adalah Taqiy Al-Din bin Ibrahim bin Musthafa bin Isma’il bin Yusuf Nashir Ad Din An Nabhani. Hidupnya berpindah-pindah, dari Jordania, Syiria, dan akhirnya wafat Lebanon. Ia sempat mengenyam pendidikan di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir pada tahun 1928 M. Al-Nabhani terbilang cukup produktif, beberapa buah karyanya adalah; Nidzam al-Islam, al-Takattul al-Hizbi, Mafahim Hizb al-Tahrir, al-Nidzam al-Iqtishadi fi al-Islam, al-Nidzam al-Ijtima’i fi al-Islam, Nidzam al-Hukmi fi al-Islam, al-Dawlah al-Islamiyyah, Mafahim Siyasiyah li Hizb al-Tahrir, dan lain sebagainya. Buku yang dianggit sebelum mendirikan Partai Pembebasan bertajuk Risalat al-Arab.

Sistem kepemimpinan Hizbut Tahrir disebut ‘Imarah’ yang dipegang oleh Amir al-Hizb. Batas kepemimpinan Amir al-Hizb tidak terbatas, atau seumur hidup. Taqiyuddin al-Nabhani sendiri memegang tampuk Amir al-Hizb sampai tahun 1977 (sekaligus tahun wafat beliau). Selepas Al-Nabhani, tampuk Amir digantikan oleh Abdul Qadim Zallum (1977). Sebagaimana al-Nabhani, Abdul Qadim Zallum pernah mengenyam pendidikan di al-Azhar. Perjumpaannya dengan Taqiyuddin al-Nabhani terjadi pada tahun 1952, atau satu tahun sebelum Partai ini berdiri. Di antara karya Zallum adalah; al-Amwal fi Dawlat al-Khilafah, Nidzam al-Hukm fi al-Islam, al-Ta’rif bi Hizb al-Tahrir, al-Dimuqrathiyyah Nidzam Kufr, dan sebagainya.

Wafatnya Abdul Qadim Zallum (2003) ditandai dengan perpecahan di tubuh Partai. Masa vakum ini memunculkan kelompok sempalan Hizbut Tahrir yang menamakan diri mereka kelompok reformis (al-Tayyar al-Ishlahi). Kelompok reformis pada hakikatnya merupakan oposisi dari Amir ketiga, Atha’ Abu Rasytah—yang masih memegang posisi Amir sampai sekarang, Juru Bicara Hizbut Tahrir Yordania sekaligus pengganti Abdul Qadim Zallum. Sebab, ketika Abu Rasytah didaulat menjadi Amir, dari kelompok reformis ini telah mengajukan Amir sendiri, Abu Bakar al-Khuwalidah.

Dalam perjalanan pergerakan Hizbut Tahrir, mereka membagi dalam tiga fase penting; pertama, fase doktrinasi pemikiran-pemikiran Hizbut Tahrir secara personal, agar masyarakat menerima eksistensi mereka. Pada fase yang diawali semenjak 1953 ini, Taqiyuddin al-Nabhani sangat berperan besar. Sebab secara langsung ‘turun lapangan’ memperkenalkan pada masyarakat doktrin-doktrin Hizbut Tahrir. Pada saat respon masyarakat dinilai positif, mereka melanjutkan pada fase kedua; interaksi dengan masyarakat agar mereka ikut merasakan dakwah Islam dan mempunyai kesadaran yang sama tentang realitas Islam. Pada fase ini, Hizbut Tahrir mulai memerangi pemikiran-pemikiran yang tidak sejalan Islam secara massif. Memprogandakan cacatnya kepemimpinan yang tidak sejalan dengan Islam. Setelah masyarakat mulai kehilangan kepercayaan dengan pemimpin mereka, Hizbut Tahrir mulai beralih ke fase ketiga; penerimaan kekuasaan melalui penegakkan Negara Islam guna mengaplikasikan Islam secara komprehensif.

Dalam buku bertajuk Hizb al-Tahrir, keluaran Hizbut Tahrir, definisi Partai Pembebasan ini adalah parta politik yang berideologi Islam, dan lahan dakwahnya dalam ranah politik, serta memimpin umat Islam untuk kembali pada pemerintahan Islam sehingga mampu berhukum dengan sebagaimana yang sudah diturunkan oleh Allah.

Falsafah yang mendasari berdirinya ‘partai pembebasan ini’—sebagaimana terangkum dalam buku terbitan Hizbut Tahrir sendiri yang bertajuk Mafahim Hizb al-Tahrir—berpijak dari kemunduran massif peradaban Islam semenjak abad 12 H yang berbanding lurus dengan lemahnya semangat umat Islam untuk memperdalam Islam itu sendiri. Lemahnya generasi umat Islam untuk memperdalam Islam—bagi mereka—inheren dengan upaya memisahkan Arab dan Islam. Sedang gagalnya proyek kebangkitan—yang bertopang dari Islam—setidaknya kembali pada tiga alasan; pertama, tidak memahami secara komprehensif pemikiran Islam; kedua, hanya memperdalam hukum yang bersifat teoritis, akan tetapi mengabaikan aspek praksis; ketiga, asumsi keterpisahan pemikiran Islam dan aplikasinya.

Keterpisahan mempelajari hukum Islam yang terpisah dari cara implementasinya secara total termanifestasikan tatkala umat Islam berbondong-bondong mempelajari tatacara shalat, puasa, nikah, talak, akan tetapi mengabaikan hukum Jihad, ghanimah, hukum-hukum dalam pemerintahan, dan sebagainya. Sehingga pada abad 19 M, ada pemahaman yang keliru terkait paradigma aplikasi Islam dalam masyarakat; Islam ditafsirkan agar kontekstual dengan masyarakat, bukan masyarakat yang menyesuaikan dengan Islam. Dengan demikian, merupakan keharusan untuk mengaplikan Islam sebagaimana adanya pada masyarakat tanpa terpengaruh waktu, tempat atau masa.

Oleh karena itu, diperlukan adanya gerakan Islam yang mengembalikan Islam pada wacana teori sekaligus memungkinkan mengaplikasikannya secara total, dan memulai hal tersebut dari skala yang paling kecil; dunia Arab. Inilah awal mula muncul ide untuk mendirikan Negara Islam. Dimulai dari sekup yang terkecil untuk bermu’amalat secara Islami, kemudian melebarkan sayapnya ke penjuru Negeri.

Selain itu, kewajiban umat Islam adalah menerapkan hukum Islam secara paripurna di semua sendi kehidupan, melalui Undang-Undang atau peraturan yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadis. Aplikasi secara sempurna tersebut tidak mungkin terwujud terkecuali dengan wujudnya Negara yang bisa mengakomodir semua itu. Itulah Negara Islam, dimana Khalifah atau pemimpinnya menerapkan syariat Islam secara sempurna.

Hizbut Tahrir dalam merealisasikan agendanya melalui penguasaan parlemen sehingga mampu mendirikan Negara Islam. Adapun piranti untuk sampai pada parlemen adalah; pertama, memusatkan perhatian pada upaya doktrinasi terhadap masyarakat tentang Islam (al-ihtimam bi al-‘amal al-tsaqafi/tastqif). Pada aspek ini, seperti pernyataan al-Nabhani sendiri dalamal-Takattul al-Hizby, Hizbut Tahrir jelas mengikrarkan pengabaian terhadap aspek etika dalam Islam, dan mengedepankan pemikiran dan pengetahuan tentang peradaban Islam. Kedua, memusatkan perhatian aktivitasnya dalam ranah politik (al-ihtimam bi al-‘amal al-siyasi). Dalam ranah politik, mereka berusaha sekuat mungkin untuk meruntuhkan aturan-aturan yang dibuat bukan dari asas islami. Dalam buku yang bertajuk Manhaj Hizb al-Tahrir, mayoritas Negara yang dihuni oleh umat Islam sekarang layak disebut Dar al-Kufr, karena mengadopsi hukum-hukum yang berasal bukan dari asas Islami dan tidak dibawah kontrol masyarakat Islam.

Ketika Negara Islam sudah terealisasi, Hizbut Tahrir mengagendakan menyusun Undang-Undang yang diawali dengan telaah problematika masyarakat, kemudian membuat kaidah umum—sebagai referensi Hakim/Qadli ketika memberikan putusan hukum--yang bisa dijadikan neraca mengentaskan varian problem yang berkembang. Mereka mensyaratkan, aturan tersebut merupakan perpanjangan dari fikih Islam. Interpetasi Undang-Undang yang dilakukan oleh Hakim harus melalui penguasaan teks Islam (al-Nushush al-Syar’iyyah), ushul fikih, atau fikih.

Mereka beranggapan, Islam sebagai agama mempunyai aturan. Aturan ini adalah hukum-hukum syariat yang diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci. Aturan-aturan tersebut terklasifikasi pada hukum-hukum yang mempunyai orientasi mengentaskan problem masyarakat (fikrah), dan hukum-hukum yang mencakup tatacara aplikasi hukum, menjaga akidah dan menyebarkan dakwah (thariqah). Islam tersusun dari dua unsur ini, dan tak akan mungkin berislam secara sempurna tanpa upaya menjalankan keduanya. Mereka mencontohkan bahwa shalat adalah fikrah. dan Negara Islam merupakan thariqah, yang bertugas tidak hanya menganjutkan umat Islam untuk melaksanakannya secara teratur saja, akan tetapi juga mengupayakan hukuman bagi yang meninggalkan shalat.

Islam Atawa Nasionalisme?

Hizbut Tahrir secara sosio-historis merupakan aksi yang timbul dari nasionalisme Palestina yang terus menerus ‘dibombardir’ oleh Israel. Inklinasi nasionalisme al-Nabhani terlihat jelas dalam buku pertamanya yang bertajuk Risalat al-Arab. Akan tetapi aksi mereka kemudian beralih ke level yang lebih tinggi; mendirikan Negara Islam. Runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani (1924), juga salah satu faktor yang tidak bisa diabaikan yang mengilhami ambisi HT untuk mempersatukan umat dalam satu kesadaran; kesadaran Islam. Pada hakikatnya, ‘satu kesadaran’ merupakan orientasi semua sekte yang ada dalam Islam sekarang. Akan tetapi piranti yang digunakan berbeda-beda, tergantung dari paradigma apa suatu sekte berpijak. Selain itu, eksistensi adanya ‘negara-negara kecil’ (duwailat) sekarang, tampaknya juga harus dijadikan pertimbangan tersendiri.

Pemerintah Islam pada masa Nabi dan shahabat adalah pemerintahan yang tidak mungkin terulang kembali. Islam adalah agama yang diimani oleh orang Arab dan membawa ajaran-ajaran yang tidak pernah mereka jumpai sebelumnya. Dengan kualitas orang yang juga berbeda dengan masa sekarang, mereka mampu ‘mendongkrak’ ke atas dan melakukan ekspansi ke daerah-daerah lain atas nama Islam. Akan tetapi, kenapa Islam sekarang tidak mampu mempersatukan umat Islam dalam satu kesadaran sebagaimana yang terjadi pada zaman Rasul dan Shahabat? Bahkan antara Negara yang mayoritas umat Islam terjadi peperangan yang tak kunjung reda sampai sekarang.

Hal paling fundamental yang bisa diungkapkan di sini adalah Islam dengan aplikasi yang maksimal pada masa Nabi masih menyisakan celah-celah fanatisme kabilah yang potensial menimbulkan perseteruan dan perpecahan. Padahal fungsi kabilah pada saat itu tidak kompleks sebagaimana fungsi Negara pada saat ini. Bahkan sangat sederhana. Selain itu, ketika menjadikan Islam sebagai pemersatu umat, kecenderungan ikatan atas dasar Islam sendiri bertingkat; kita mengetahui bersama bahwa rasa kebersamaan Muhajirin lebih kuat dibanding Anshar karena Muhajirin secara langsung berhadapan dan bahkan mendapat siksaan bertubi-tubi dari kaum Musyrik Mekah.

Berlanjutnya fanatisme kabilah dalam Islam jelas terlihat ketika Khazraj perannya lebih besar di perang Badar dari pada Aus, sebab Khazraj memandang paman ayah Nabi berasal dari Bani Najjar. Dan Bani Najjar adalah salah satu kelompok Khazraj. Dalam Tarikh Thabari disebutkan, pada saat peristiwa Musailamah yang mendaku Nabi, Thalhah al-Numairi mengatakan pada Musailamah, “saya bersaksi bahwa kamu bohong. Akan tetapi bohongnya Rabi’ah (nama kabilah), lebih saya suka dari pada jujurnya Mudlar”. Artinya, Thalhah mengetahui bahwa Islam adalah agama yang benar, akan tetapi ia merasa tak rela ketika harus bersama Quraisy dan orang Islam yang lain memerangi Musailamah yang berasal kabilahnya.

Fanatisme yang tidak berpayung Islam juga berlanjut ke masa Dinasti Umawiyyah. Sejarah mencatat bahwa pemerintahan Umawi memperlihatkan rasa bangga yang berlebihan dengan ras Arab dan terlalu membedakan Arab dengan yang lain. Fanatisme kabilah juga masih cukup kental di sini. Kita melihat perseteruan antara Mudlar dan Yaman yang mengakibatkan revolusi pada masa al-Walid bin Zaid bin Abd al-Malik.

Arti ini semua adalah, ikatan Islam memperlihatkan hasil maksimal hanya pada masa Nabi. Oleh karena itu, apabila Hizbut Tahrir hendak menyatukan umat Islam dalam satu payung agama, mereka harus mengetengahkan konsep yang matang serta realistis. Kemustahilan tersebut lagi-lagi datang dari sikap aktivis Hizbut Tahrir sendiri yang sangat mudah sekali menyumpah golongan lain dengan kafir. Tentu saja agenda mereka lebih akan jadi ilusi semata. Pluralitas fikih, pendapat, paradigma, sama sekali tak mendapat tempat dalam Partai ini. Selain itu, kita bahkan sampai sekarang tak mendapat informasi lebih perihal kelompok reformis Hizbut Tahrir dari sumber-sumber primer mereka. Ataukah karena Hizbut Tahrir sendiri enggan disebut gagal dengan agendanya tersebut?

Kritik Teori Hakimiyyah

Khalil Abdul Karim menegaskan dalam bukunya li Thatbiq al-Syari’ah, la li al-Hukm, bahwasanya maraknya radikalisme, asumsi kafirnya pemerintah serta tuduhan terhadap umat Islam sebagai masyarakat Jahiliyyah, setidaknya kembali pada dua sebab; teori ‘hakimiyyah’ yang dipopulerkan oleh Sayyid Quthb yang diadopsi dari Abu al-A’la al-Mawdudi, seterusnya menjadi parameter dalam menilai kepemimpinan yang tidak berasal dari Islam; kedua, siksaan yang ditujukan pada kelompok radikalis yang berakhir dengan hukuman mati Sayyid Quthb.

Bertolak dari premis ini, aktivis Hizbut Tahrir menjadikan teori tersebut sebagai legitimasi menuduh praktek kepemimpinan saat ini atau yang tidak bersumber dari Nabi dengan predikat kafir. Predikat tersebut sekaligus dijadikan dalih untuk menggusur mereka dari tampuk kekuasaan karena tidak sesuai dengan Islam. Imbasnya juga, Hizbut Tahrir mengatakan bahwa demokrasi merupakan sistem kufur karena penganut demokrasi mengingkari kedaulatan Tuhan (al-hukm lillah). Demokrasi—sebagaimana dituliskan oleh Abdul Qadim Zallum dalam bukunya al-Dimuqrathiyyah Nidzam Kufr—adalah produk Barat yang sumber hukumnya bersandar pada rakyat dan didasarkan pada suara mayoritas.

Pada hakekatnya, perkataan kedaulatan ada di tangan Tuhan—sebagaimana disebutkan oleh Yusuf Qardlawi dalam bukunya al-Din wa al-Siyasah--tidak bertentangan sama sekali dengan demokrasi. Sebab, adanya ungkapan kedaulatan rakyat bukan hendak menegasi kedaulatan Tuhan. Akan tetapi sebuah sikap oposisi terhadap pemerintahan diktator. Implikasi yang tepat dari teori Hakimiyyah milik Al-Mawdudi ini, hendak menyerabut legalitas ijtihad di semua masa. Penempatan yang tidak tepat dari teori Hakimiyyah sangat mirip dengan sikap Khawarij; kalimat tersebut pada hakikatnya benar, akan tetapi aplikasinya tidak tepat. Untuk melihat pluralitas interpretasi makna ‘Hakimiyyah’ ini, mari kita simak penjelasan Mahmud Karimah, pakar Syariah Mesir, dalam bukunya Hurmat al-Takfir.

Ayat yang biasa dijadikan landasan teori Hakimiyyah adalah ayat “wa man lam yahkum bi ma anzalaLLah, fa ulaika hum al-fasiqun/al-dzalimun/al-kafirun”. Setelah Mahmud Karimah membeberkan varian penafsiran dari ulama klasik terhadap ketiga ayat tersebut, ia pada akhirnya berkesimpulan—dengan mendasarkan pendapatnya dari pendapat yang terkuat dan realistis serta sesuai dengan misi toleransi Islam--bahwa ayat tersebut turun untuk orang-orang yang membuat hukum yang berbeda dari apa yang sudah diturunkan oleh Allah. Sebagai misal, mengatakan bahwa puasa Ramadlan tidak wajib, atau tidak perlu. Oleh karena itu, yang dimaksud berhukum dengan selain hukum Allah dalam ayat adalah; pertama, menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal; kedua, mengingkari disyariatkannya suatu hukum tertentu; ketiga, memperingan hukum, keempat, jika mengaplikasikan ayat ini untuk orang kafir, maka yang dimaksud kafir di sini berfungsi sebagai tawkid (penguat kekafirannya), sedang jika ayat diaplikasikan untuk orang mukmin, maka yang dimaksud adalah tawkid untuk dzalim dan fasik.

Muhammad Imarat menambahkan dalam bukunya yang bertajuk al-Dawlah al-Islamiyyah baina al-Ilmaniyyah wa al-Shulthat al-Diniyyah, bahwasanya makna kata “al-hukm” dalam mayoritas ayat al-Qur’an bukan mengarah pada penetapan aturan-aturan dalam ranah politik. Akan tetapi bermakna putusan (al-Qadla’) dan memutus konflik (fashl al-munaza’at). Tidak ada kaitan sama sekali dengan Khilafah, politik, atau aturan-aturan dalam sistem politik tertentu.

Secara historis, teori kedaulatan rakyat juga tak bisa dipisahkan dari John Locke, filosof Inggris. Ia hendak menjadikan rakyat sebagai sentral; penentu hukum guna melawan pemerintahan diktator. Begitu pula filosof Perancis, Jean Jacques Rousseau, yang berbicara mengenai ‘kedaulatan rakyat’ sebagai kekuatan oposisi penguasa elit despotik. Sejarah jelas berbicara, bahwa teori kedaulatan rakyat berdiri guna menentang despotisme penguasa.

Bahkan, sebagaimana Fahmi Huwaidi utarakan dalam bukunya yang berjudul al-Dimuqrhutiyyah wa al-Islam, pemerintahan dengan praktek Khilafah juga sebenarnya tak lepas dari kerelaan rakyat (ridla al-ummat). Kedaulatan yang ada dalam praktek Khilafah tidak merepresentasikan kedaulatan Tuhan. Ekses dari kedaulatan (dalam ranah politik) di tangan Tuhan sangat berbahaya sekali, karena bisa menjadi legitimasi seorang Khalifah untuk berbicara atas nama Tuhan, dan yang membangkang seolah membangkang pada Tuhan. Tentu saja ini pandangan yang keliru. Dan sangat potensial melahirkan pemimpin despotik. Muhammad Imarah merasionalisasikan gagasan ini pada logika yang paling dekat; jika kedaulatan ada di tangan rakyat, maka Khalifah adalah wakil dari rakyat dan mengatur urusan rakyat. Sedang jika mengatakan kedaulatan Tuhan, maka Khalifah adalah wakil Tuhan dan merepresentasikan maksud Tuhan. Lalu, apa perbedaan pemerintahan Khilafah dengan dominasi Gereja pada masa kegelapan Eropa?

Jika berpijak pada fikih klasik, maka pemerintah yang dipilih oleh rakyat dan terdapat wakil rakyat yang menduduki parlemen sudah sah secara syar’i. Oleh karena itu, ketika melihat konteks Indonesia, pemerintah Indonesia sudah sesuai dengan tata cara pemilihan pemimpin yang disebutkan dalam fikih klasik, karena presiden dilantik oleh MPR. Dan MPR adalah wakil rakyat yang statusnya tak berbeda dengan Ahlu al-Halli wa al-‘Aqdi.

Dalam perkara dunia, umat Islam diberi kebebasan untuk menetapkan aturan yang selaras dengan kemaslahatan mereka. Sebagaimana dianjurkan untuk mengambil manfaat dari peradaban yang bermacam yang dihasilkan dari nalar manusia tanpa melihat bagaimana serta apa ideologi dari peradaban tersebut. Mengutip Muhammad Abduh, jika mengasumsikan bahwa wahyu sudah mengatur semua kehidupan manusia, diakui atau tidak, hal ini akan menghambat optimalisasi nalar dan kreasi umat. Banyak hal-hal yang baru bentukan peradaban modern tidak terdapat di dalam wahyu. Di sinilah peran manusia untuk berijtihad.

Bagi penulis, demokrasi adalah sistem ideal yang bisa diaplikasikan oleh semua Negara. Sistem ini sama sekali tidak bertentangan dengan Islam karena di dalamnya terdapat prinsip-prinsip Islami yang jelas termaktub dalam al-Qur’an dan al-Hadis. Yusuf Qardlawi bahkan menyebut demokrasi dengan Islam itu sendiri (Jawhar al-Islam). Pada demokrasi sudah mencerminkan praktek syura’ (QS. Ali Imran: 159), Ahl Al-Halli wa Aqdi (QS. Al-Nisa’: 59), menolak penguasa despotik (QS. Al-Baqarah: 258, QS. Al-Syu’ara: 150-152), mengikuti suara mayoritas (QS. Al-Tawbah: 105, QS. Al-Ghafir: 35) .

Formalisasi Syariat, Mungkinkah?

Mengenai relevansi hukum Islam, sebagaimana analisis Mahsun Fuad, relasi hukum Islam dan perubahan sosial setidaknya menghasilkan dua teori yang berbeda; pertama, teori keabadian (normativitas). Dalam arti, hukum Islam tetap abadi, konstan serta tidak berubah dari zaman sebagaimana diturunkannya hukum tersebut. Oleh karenanya, ia tidak bisa diadaptasikan dengan perubahan sosial; kedua, teori adaptabilitas (perubahan). Bahwasanya hukum Islam bisa disesuaikan dengan perubahan sosial dan membutuhkan ijtihad-ijtihad baru yang sesuai dengan realitas sosial dan bisa merespon perubahan sosial. Perlu diketahui di sini bahwa yang dimaksud adaptabilitas bisa mengacu pada dua frame; kemungkinan perluasan hukum yang sudah ada dan keterbukaan satu kumpulan hukum bagi perubahan.

Oleh karena itu, jika melihat klasifikasi di atas, Hizbut Tahrir dengan pandangannya hendak membawa umat Islam pada normativitas hukum Islam; hukum Islam yang diasumsikan tidak berubah sampai kapanpun. Pandangan ini tentu saja sangat lemah dari banyak sisi. Padahal tempat dan masa mempunyai andil besar dalam proses inferensi hukum (istinbath al-hukm) bagi para mujtahid. Yusuf Qardlawi dalam kitabnya yang bertajuk al-Fatawa al-Syadzdzah mengkategorikan hukum yang tidak melihat aspek waktu, tempat serta kondisi sebagai hukum yang syadz (lawan hukum yang kuat/shahih). Oleh karena itu kita melihat mujtahid merubah hukum karena pertimbangan tempat dan waktu. Seperti Imam Syafi’I yang mempunyai Qawl Qadim (pendapat lama) yang dikeluarkan sebelum di Mesir, sedang sesudah di Mesir terkenal dengan Qawl Jadid (pendapat baru).

Tak jarang juga dalam literatur fikih, seorang imam bisa menelorkan sampai sepuluh hukum dalam satu permasalahan, sebagaimana yang dilakukan oleh imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab al-Furu’ anggitan Ibnu Muflih. Tak jarang pula terdapat perbedaan antara penganut madzhab dengan imam madzhab, seperti perbedaan Abu Hanifah (Imam Madzhab Hanafi) dan Abu Yusuf dan Muhammad (penganut Madzhab). Oleh ulama, perbedaan mereka disebut perbedaan masa dan waktu (ikhtilaf ‘ashr wa zaman). Ibnu Abidin menganggit kitab berjudul Nasyr al-Arfi fi Bina’ Ba’dl al-Ahkam ‘ala al-Urfi. Dalam kitab tersebut disebutkan banyak sekali perubahan fatwa untuk satu kasus dalam satu madzhab. Ibnu Abidin mengatakan, “kebanyakan hukum bisa berbeda-beda menurut pertimbangan masa karena berubahnya adat suatu masyarakat, atau karena dlarurat, atau semakin rusaknya masyarakat, sehingga jika diberikan hukum sebagaimana adanya, maka akan menimbulkan kesusahan dan membahayakan bagi manusia. Dan hal ini bertentangan dengan kaidah syara’ yang didasarkan pada keringanan dan kemudahan”.

Dengan demikian, mengambil hukum apa adanya pada satu masa tertentu untuk diaplikasikan di masa yang berbeda adalah tindakan yang semena-mena. Walapun hal ini tidak berlaku dalam semua hukum, akan tetapi hukum-hukum yang didasarkan pada teks yang mempunyai cakupan makna yang multi-interpretatif (dzanny al-dalalah).

Bagaimanakah sebenarnya bentuk formalisasi syariat itu? Formalisasi Syariat Islam—sebagaimana didefinisikan oleh Salim al-Awa--adalah mentransfer hukum syariat pada pasal dalam Undang-Undang yang bersifat mengikat. Hal ini berkonsekuensi pada seorang Hakim, ketika memutuskan suatu kasus harus berdasarkan hukum tersebut. Penyeru formalisasi Syariat pertama kali adalah Abdullah Ibnu al-Muqaffa’. Hal tersebut terlihat saat Abdullah Ibnu al-Muqaffa’ membujuk Khalifah Abu Ja’far al-Manshur untuk memformalkan syariat Islam disebuah tulisan yang bertajuk Risalat al-Shahabat. Kemudian Abu Ja’far al-Manshur mengupayakan hal serupa—walau tak disebut taqnin (formalisasi), akan tetapi hendak mengarah ke sana—dengan meminta kitab al-Muwatha’ sebagai acuan hakim ketika memutuskan suatu perkara. Akan tetapi Imam Malik menolaknya. Abu Ja’far membujuk yang kedua kali, imam Malikpun menolak yang kedua kali. Khalifah al-Mahdi melakukan hal serupa, akan tetapi Imam Malik menolak. Begitupula Harun al-Rasyik membujuk imam Malik, beliau tak merubah pendapatnya.

Hal itu dapat dimaklumi, sebab hakim mempunyai pertimbangan dan ijtihad sendiri yang berbeda satu dengan yang lain. Ibnu Abdil Barri dalam kitabnya Jami’ Bayan al-Ilm mengutip tentang riwayat Umar bin Khattab yang bertemu seorang laki-laki. Kemudian ia berkata, “apa yang terjadi?” Laki-laki tersebut berkata, “Ali dan Zaid telah memutuskan seperti ini”. Kemudian Umar berkata, “jika saya yang jadi hakim, niscaya saya akan memutuskan seperti ini (berbeda dengan keputusan yang pertama)”.

Catatan sejarah mengatakan, sebagaimana dilansir Jamal al-Banna dalam tulisannya yang bertajuk Hal Yumkin Tathbiq al-Syari’ah, bahwa hukum pada pemerintahan Khalifah didasarkan pada ijtihad yang variatif serta tidak ditransfer dalam bentuk aturan baku—terkecuali masa di mana Rasul masih hidup. Hal tersebut dimulai oleh Khalifah masa dinasti Umawi, Umar bin Abdul Aziz. Beliau menghendaki agar hadis Nabi dibukukan sebab dikhawatirkan akan lenyap dengan lenyapnya penghafal hadis. Abu Zur’ah menanggapi aktivitas Umar bin Abdul Aziz dengan ungkapan, “Umar bin Abdul Aziz menghendaki bahwa hukum-hukum untuk manusia dan ijtihad sebagai satu kesatuan. Kemudian berkata, “bahwasanya di setiap pelosok daerah ada shahabat Nabi. Dan di antara mereka ada hakim yang memutuskan hukum berdasar persetujuan shahabat Nabi”. Jamal juga mengatakan, sebelum Umar bin Abdul Aziz sudah ada upaya formalisasi syariat di tangan Walid bin Abdul Malik.

Dengan demikian, formalisasi Syariat Islam bukanlah perintah Allah, bukan pula anjuran Nabi.

Terakhir, Abu al-Abbas Ahmad bin Idris al-Qarrafi dalam kitabnya al-Ihkam fi Tamyiz al-Fatawa wa al-Ahkam fi Tasharruffati al-Qadli wa al-Imam mengatakan, sunah Nabi terpetakan pada empat bagian; pertama, aktivitas Rasul yang berkaitan dengan risalah, dengan memperhatikan bahwa beliau adalah seorang rasul yang diutus oleh Allah sebagai penyampai berita gembira dan pemberi peringatan; kedua, aktivitas Rasul dalam berfatwa. Yakni ketika menggambarkan kalimat-kalimat yang tidak dimengerti dari wahyu; ketiga, aktivitas beliau sebagai seorang hakim yang memberi putusan dalam kasus tertentu atau perselisihan antara dua orang; keempat, aktivitas rasul yang berkaitan dengan politik atau imamah. Hal ini mencakup semua perkataan, perbuatan, serta pengakuan yang berkenaan dengan aturan pasukan, alokasi dana tertentu, dll. Imam Qarrafi mengatakan, jika yang pertama dan kedua disebut Sunnah dan masuk dalam perkara agama. Sedang yang ketiga dan keempat bukan dari agama. Dan karenanya, kita tak diwajibkan untuk mengikuti serta mengaplikasikannya.
Selengkapnya...

 

© free template by Blogspot tutorial