Thursday 8 March 2012

Penolakan FPI, Toleransi Dan Relevansi Kafir Harbi

Oleh Ahmad Hadidul Fahmi, Lc

Penolakan masyarakat Dayak terhadap FPI yang hendak membuka cabang di Kalimantan Tengah adalah sikap tegas yang patut diapresiasi. Bahwa Indonesia menjamin kebebasan warganya untuk berorganisasi dan membolehkan setiap organisasi untuk membuat cabang, memang betul—tentunya dengan catatan, selama aktivitas sebuah organisasi tidak mengarah pada aksi anarkis. Faktanya jika melihat aksi-aksi anarkis atau kekerasan atas nama agama yang kerap terjadi di Tanah Air, nama FPI selalu ada di balik itu semua.

Penolakan tersebut membuahkan respon balik dari ketua bidang Amar Makruf Nahi Munkar DPP FPI, Munarman, bahwa aksi penghadangan terhadap kelompok Rizieq Syihab yang bermaksud dakwah, pelakunya bisa dikategorikan kafir harbi—non Islam yang bisa diperangi, halal darahnya. Entah atas dasar apa penghukuman tersebut, yang jelas kafir harbi sudah kehilangan relevansi sejak lama.

Organisasi Intoleran
Dalam perbincangan kerukunan antar umat beragama, Mohammad Abed al-Jabiri menyatakan bahwa toleransi mempunyai cakupan ke “dalam” (dalam konteks sepaham) dan ke “luar” (konteks yang tak sepaham) bersamaan. Cakupan yang sifatnya internal wujud dari sikap penerimaan terhadap segala aktivitas keagamaan kelompok yang berbeda interpretasi keagamaannya. Sedang jika ke “luar”, merupakan perwujudan dari penerimaan segala aktivitas pemeluk agama lain dengan perbedaan prinsip-prinsip fundamentalnya. Dengan kata lain, toleransi merupakan penerimaan “the other” dalam batas pengertian toleran itu sendiri.

Oleh sebab itu, toleransi meniscayakan “pemberangusan hegemoni” sampai pada batas yang paling bisa dilakukan oleh madzhab mayoritas dalam internal agama mereka (dalam konteks yang sepaham), atau toleransi agama mayoritas terhadap agama minoritas dalam sebuah kelompok masyarakat (konteks tak sepaham). Dalam tataran aplikatif, Jabiri mencoba membawakan sampel Ibnu Rusyd sebagai representasi tokoh toleran ketika memandag keanekaragaman pendapat dalam bingkai ‘keadilan’: dua kelompok harus sama-sama bisa menerima eksistensi kelompok lain dalam batas yang sama. Karena menurut Jabiri, toleransi bisa benar-benar maksimal dalam batas interaksi yang didasari ‘keadilan’, bukan suara mayoritas yang memberikan “rambu-rambu” tertentu pada kelompok lainnya. Atau hanya sebatas toleransi dalam batas-batas yang diyakini kewajarannya oleh kelompok mayoritas. Dalam tahap ini, al-Jabiri membawa pemaknaan toleransi dalam prinsip filosofis.

Lalu apakah penolakan terhadap FPI oleh masyarakat Dayak merupakan sikap yang intoleran?

Dasar keadilan—dalam toleransi—bukan lantas menerima eksistensi “the other” secara mutlak. Jabiri memberikan garis pembatas mengenai aplikasi toleransi itu sendiri: bahwa ia akan selalu berlawanan dengan “keberlebihan dalam beragama” (al-ghuluww fi al-din). Sebab historisitas toleransi merupakan respon dari keberlebihan dalam agama. Pada akhirnya keberlebihan dalam agama ini menghasilkan sikap yang intoleran: kekerasan. Walaupun al-Jabiri juga memberikan diferensiasi ekstremis (muthatarrif) dan fundamentalis (ushûlî). Keduanya berbeda dari cara mensosialisasikan keyakinan terhadap yang tak sepaham; ekstremis kerap mempergunakan kekerasan agar keyakinannya juga dianut oleh yang tak sepaham. Banyak kelompok disebut fundamentalis akan tetapi mereka bukan ekstremis.

Track-record FPI semenjak tahun 12 tahun terakhir, terutama saat menjelang Bulan Ramadhan, mengukuhkan tesis bahwa organisasi garis keras ini jelas akan menimbulkan kekacauan di belahan bumi Indonesia lainnya. FPI dengan sendirinya adalah ekstremis, atau berusaha memaksakan interpretasi terhadap agama dengan jalur kekerasan. Penolakan terhadap FPI tidak lantas menegasi substansi toleransi, sebab akan ada efek-efek yang tak baik jika FPI sampai “mengukir nama” di Kalimantan Tengah.

Keyakinan yang selama ini dianut oleh kebanyakan, dan bagi penulis kurang tepat, adalah pengakuan eksistensi “yang lain” (the other) merupakan ekses dari pengakuan terhadap lurusnya keyakinan yang bersangkutan. Padahal sejarah berbicara lain. Majusi dianggap sebagai “ahlu dzimmah”—penduduk kafir yang mendapat perlindungan dari orang Islam dengan kriteria tertentu—pada masa Nabi, sedang Zoroaster masuk sebagai “ahlu dzimmah” di masa Abbasiyyah. Akan tetapi perlindungan ini bukan lantas menyepakati keyakinan mereka. Sebab prinsip-prinsip fundamental dalam Islam jelas berbicara sebaliknya. Bahkan dalam al-Durr al-Mukhtar, jika seorang muslim menghilangkan kebebasan non muslim meminum khamr atau makan anjing, maka orang Islam mempunyai tanggung jawab untuk menggantinya. Non muslim juga bebas untuk memproduksi khamr.

Al-Qur’an dan al-Hadis sendiri kerap mengajarkan toleransi, bahkan pada agama lain. Lihatlah ayat yang berisi larangan mencaci agama lain yang sudah terang tidak sesuai dengan prinsip fundamental Islam, “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan” (QS: Al-An’am: 107). Dr. Ali Gomah Mohammad, mufti Mesir, mengatakan, ayat ini berbicara tentang bahaya yang ditimbulkan oleh sebagian umat Islam yang menyangka dirinya sedang melakukan kebaikan, akan tetapi justru menimbulkan efek negatif yang sangat besar bagi diri dan agamanya. Ia mencontohkan bagaimana para shahabat Nabi menguasai Mesir, tetapi tanpa menghancurkan bangunan-bangunan bersejarah warisan Mesir Kuno, seperti patung Sphinx, misalnya.

Meninjau Ulang Istilah “Kafir Harbi”
Fahmi Huwaidi dalam bukunya Muwathinûn lâ Dzimmiyyûn mengatakan, pemberian kebebasan terhadap non muslim sesungguhnya levelnya setingkat dengan pentingnya umat Islam berakidah secara baik. Menurutnya, interaksi toleran tersebut harus lebih dari sekedar berbuat baik atau etika terhadap minoritas, akan tetapi naik pada level ideologi: bahwa interaksi yang demikian memang tertuang secara eksplisit di dalam al-Qur’an. Jika sampai berbuat aniaya terhadap minoritas, maka sama saja melakukan aniaya terhadap al-Qur’an.

Yang paling menarik dari tesis Fahmi Huwaidi ini, ia berusaha merentet historisitas “kafir dzimmi”, pembagian negara yang dikuasai oleh umat Islam (Dar al-Islam) dan negara yang dikuasai non muslim (Dar al-Harb) bersamaan—di mana sampai pada kesimpulan, bahwa “kafir dzimmi” untuk sekarang telah hilang diganti warga negara yang disatukan oleh nasionalisme (muwathin). Tentunya ini akan berakibat hilangnya istilah yang menyertai kafir dzimmi: Dar al-Islam, Dar al-Kufr atau Kafir Harbi. Baginya, awal kemunculan Islam yang mendapat resistensi dari internal Jazirah Arab maupun luar Arab: siksaan Musyrik Mekah terhadap umat Islam, konspirasi Yahudi Khaibar, Bani Nadlir dan Bani Qaynuqa’, dan selainnya—memberikan pengaruh besar terhadap sarjana fikih dalam merumuskan interaksi dengan “the other”. Terminologi Dar al-Islam sendiri muncul semenjak Nabi berhijrah ke Madinah. Dan selain Madinah, seperti disebutkan oleh Ibnu Hazm, dihitung sebagai negara kafir yang bisa diperangi. Kemudian terminologi “Dar al-Harb” dan “Dar al-Islam” menghiasi buku-buku fikih, sejarah, sampai muncul kesan, parameter yang dipergunakan untuk berinteraksi dengan “the other” adalah berdasar keyakinan mereka: Islam atau bukan Islam.

Akan tetapi, neraca “keyakinan” ini bukan satu-satunya parameter yang harus diimani. Beberapa pemuka Hanafiyyah dan Zaydiyyah mempergunakan parameter “aman” untuk sebuah negara disebut “Dar al-Islam” atau bukan: jika aman untuk orang Islam, maka bisa disebut Dar al-Islam, jika tidak aman, maka Dar al-Harb. Beberapa sarjanapun merumuskan ijtihad mutakhir: jika sebuah negara bisa dihuni oleh orang Islam dan mayoritas bisa melakukan aktivitas keagamaan mereka—walaupun nominal umat Islam di negara tersebut termasuk minoritas, status negara tersebut tetap dikatakan “Dar al-Islam”. Di antara yang berpendapat demikian adalah Abdul Wahhab Khalaf, sarjana fikih kontemporer Mesir, kemudian Dr. Subhi Mahmashani. Pandangan ini ditopang dari banyak data sejarah. Di antaranya perjanjian Nabi dengan Yahudi Bani ‘Auf: bahwa Yahudi dan umat Islam merupakan umat yang satu. Pun “Dar al-Islam” setelah masa Nabi mengalami pergeseran istilah: di mana negara-negara jajahan Islam mulai diberlakukan syariat. Atas dasar ini, Imam al-Sarkhasi, sarjana yang dijuluki “bapak Undang-Undang” mengatakan, “negara Islam adalah negara yang menerapkan syariat Islam. Tandanya, di tempat tersebut merupakan tempat yang aman bagi umat Islam.” Ini artinya, ijtihad fikih yang muncul belakangan sangat didominasi oleh konteks masa itu.

Yang kemudian menjadi catatan, bahwa klasifikasi “Dar al-Islam” atau “Dar al-Harb” merupakan produk ijtihad yang tidak didasarkan pada teks yang jelas, akan tetapi didasarkan “realitas”. Dan eksistensi Dar al-Islam yang dibicarakan oleh para sarjana fikih sekarang hanya di buku-buku sejarah. Untuk mengukuhkan tesisnya itu, Fahmi Huwaidi berusaha meruntut redaksi “dzimmi” dalam al-Qur’an dan al-Hadis. Di dalam al-Qur’an, “dzimmah” hanya disebutkan dua kali. Adapun untuk menyebut “the other”, lazimnya dengan redaksi “Ahl al-Kitab” dan “Musyrikin”. Sedang di hadis, redaksi “dzimmi” merupakan redaksi yang dipergunakan oleh Nabi sebatas pada interaksi dengan “the other” yang sudah ada akarnya semenjak masa Jahiliyyah. Dengan kata lain, “dzimmi” sebatas penyebutan “sifat—yang diadopsi dari interaksi Arab pra Islam dengan “the other”, bukan istilah yang lazim dipergunakan oleh sarjana fikih dalam kitab-kitab mereka.

Lalu, apakah “ahli dzimmah” bisa dianggap sebagai warga negara?

Menurut Fahmi Huwaidi, non muslim yang berdomisili di suatu negara yang mayoritas dihuni oleh umat Islam merupakan warga negara resmi, bukan berstatus kelompok minoritas yang “numpang” di daerah orang Islam. Teks sejarah memang berbicara demikian: pernyataan Nabi dan empat khalifah setelahnya. Redaksi “ahlu dzimmah” sendiri dalam Undang-Undang dinasti Utsmani tahun 1876 dihapus, sekaligus menegaskan persamaan hak di antara warga Negara. Jika kemudian ulama Syafi’iyyah memandang Ahlu Dzimmah harus membayar “jizyah” (upeti) sebagai “ganti” untuk tinggal di Negara Islam, utamanya adalah al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Shulthaniyyah, maka hal itu harus dipahami sebagai ijtihad yang disesuaikan dengan konteks. Nyatanya, upeti ini bukan hukum paten, sebab, ia bisa gugur dengan beberapa kriteria: masuk Islam, meninggal, ada alasan rasional, negara tidak bisa melindungi eksistensi “kafir dzimmi”, dan keikusertaan kafir dzimmi untuk melindungi negara Islam. Tesis ini dikukuhkan dengan pandangan Syibli al-Nu’mani dan Rasyid Ridla: upeti sudah ada semenjak pra Islam, dan berasal dari Persia. Al-Thabari dalam Tarikhnya juga berpandangan serupa.

Sedang untuk konteks sekarang, di mana sudah tidak ada yang disebut negara Islam—dalam pengertian mayoritas pakar fikih klasik, menurut Dr. Isma’il al-Faruqi, pakar perbandingan agama Palestina, Undang-Undang sebuah negaralah yang menjadi rujukan bagi umat Islam ataupun non Islam. Artinya, penyematan predikat kafir harbi pada non muslim apabila terjadi konflik antar agama kehilangan konteks, seakan umat Islam masih hidup berpuluh abad silam.

Lantas atas dasar apa kemudian orang Islam boleh untuk berperang dengan orang non muslim, bahkan membunuhnya? Pertanyaan ini menimbulkan perbedaan di kalangan sarjana fikih. Ulama Syafi'iyyah memandang, non muslim wajib diperangi sampai memeluk Islam. Akan tetapi mayoritas pakar fikih, termasuk pakar fikih Maliki, Hanafi dan Hanbali, non muslim bisa diperangi dan dibunuh jika mereka mulai memerangi orang Islam.

Dalam kasus penyematan kafir harbi oleh Munarman, siapa yang diperangi dan siapa yang memerangi? Jawabannya sudah bisa ditebak. FPI tidak mewakili Islam. Penolakan terhadap FPI juga tidak bisa dikategorikan penolakan terhadap umat Islam—apalagi dianggap memerangi umat Islam. Penolakan FPI disebabkan karena aksi-aksi anarkis mereka. Bukan yang lain. Meminjam redaksi Gus Shalah, FPI seharusnya introspeksi.

No comments:

Post a Comment