Thursday, 8 March 2012

Ulama Nusantara Dan Problem Pengakuan Dunia Islam

Oleh Ahmad Hadidul Fahmi

Tradisi penulisan naskah pada masa lalu di Nusantara pernah terjadi dalam waktu yang relatif panjang. Menurut Oman Fathurrahman, diantara sekian banyak naskah yang dihasilkan, naskah keagamaan merupakan naskah yang jumlahnya relatif banyak dibanding yang lain. Hal ini merupakan konsekuensi dari fenomena akulturasi masyarakat Indonesia dengan peradaban Islam—yang oleh Edi Setyawati—disebut sebagai salah satu dari pengalaman terbesar dalam sejarah akulturasi di Indonesia. Dalam konteks naskah keagamaan ini, proses transmisi keilmuan pada gilirannya membentuk dua kelompok bahasa naskah: pertama, naskah yang ditulis dalam bahasa Arab; kedua, naskah yang ditulis dalam bahasa daerah.

Naskah yang ditulis dalam bahasa Arab dengan kerangkanya yang universal, dalam arti yang lebih mengikuti arus utama intelektual di Arab Islam, lazimnya muncul dari sarjana Nusantara yang pernah bermukim di tanah Arab. Walaupun ada beberapa sarjana Nusantara yang pernah bermukim di Arab, pulang ke Tanah Air, kemudian ikut berdinamika dengan mengarang pelbagai karya yang merupakan respon atas konteks lokal. Tentu saja kita mendapat pengecualian dari kelaziman ini, sebagai misal dari sosok syaikh Ihsan Jampes. Tokoh yang tidak pernah menimba ilmu di Timur Tengah ini, namanya tetap menjulang tinggi sampai ke tanah Arab. Beberapa biografi ulama besar Nusantara, dimuat dalam buku-buku biografi penting: semisal Siyar wa al-Tarâjim Afâdlil Makkah karangan Umar Abd al-Jabbar, Nasyr al-Nawr wa al-Zahr karangan Mirdad Abu al-Kayr, dan al-A’lâm karangan al-Zirkili.

Universalitas Ulama Nusantara
Generasi Nusantara pernah menuai ‘masa keemasannya’ pada abad ke XVIIII, dengan terbentuknya komunitas yang diberi nama Jamâ’at al-Jawiyyin (komunitas Jawa) pada abad ke XVII. Komunitas ini sekaligus sebagai mediator dalam sosialisasi keilmuan Islam hingga sampai ke Nusantara. Secara sosio-politik, terdapat tiga kekuatan raksasa yang bertarung pada masa itu: kesultanan Turki Utsmani, Imprealisme Inggris dan Prancis, ekspansi dinasti Saud dengan kelompok Wahabinya—sampai akhirnya Mekah jatuh ke tangan Saudi pada tahun 1925. Kita bisa merujuknya pada buku Ahmad Zaini Dahlan, Mufti Mekah kala itu, dalam bukunya yang bertajuk Khulashat al-Kalâm fi Bayâni Ulâma Balad al-Haram. Tokoh ini sezaman dengan Syaikh Nawawi al-Bantani—tokoh penyambung keilmuan Islam hingga sampai ke Nusantara.

Semenjak abad XVII, menurut Martin Van Bruinessen, ada semacam ‘purifikasi’ disiplin keilmuan Islam yang terbatas pada fikih saja. Upaya tersebut berkonsekuensi, beberapa sarjana Nusantara dengan pelbagai karyanya, lebih dikenal sebagai seorang fakih dari predikat kebesaran lainnya, walaupun pada faktanya mereka menguasai pelbagai disiplin keilmuan Islam lainnya. Tak terkecuali sosok Nawawi al-Bantani. Di kalangan pesantren, karya-karya fikih beliau cukup populer. Akan tetapi dalam bidang tasawuf, teologi, bahkan tafsir, kalangan pesantren kurang mengapresiasi karangan tokoh besar ini. Padahal, jika dikalkulasi, karangan Imam Nawawi mencapai nominal seratus lebih.

Satu contoh, kita bisa melihat karangan Nawawi al-Bantani dalam teologi, semisal Nur al-Dzalam, penjabaran atas Nadzam Aqidat al-‘Awam karangan Ahmad al-Marzuqi, dan naskahnya ada di King Saud University, Arab Saudi. Kemudian Bahjat al-Wasail, merupakan penjabaran dari kompilasi karangan Zainuddin al-Habsyi dalam bidang Tawhid, Tasawuf, dan Fikih; Tijan al-Durari adalah syarh/penjabaran beliau terhadap Risalat al-Bayjuri fi al-Tawhid; Qathr al-Ghaits merupakan penjabaran beliau terhadap kumpulan permasalahan yang diajukan pada Abi Layts; Fathul Majid penjabaran beliau terhadap al-Dur al-Majîd karangan Ahmad Nahrawi; dan Mirqât Shu’ûd al-Tashdîq syarh Sullam al-Tawfîq. Nur al-Dzallam dan Mirqât al-Shu’ûd lebih argumentatif dan corak rasionalnya lebih kentara dari kitab-kitab teologi yang lain. Dan yang menarik adalah, beberapa kali Imam Nawawi mengutip Zamakhsyari, penafsir otoritatif Muktazilah dalam beberapa persoalan, seperti jumlah para Nabi dalam kitabnya Bahjat al-Wasâil. Syaikh Nawawi al-Bantani adalah tokoh pertama yang mengarang tafsir berbahasa Arab, bertajuk Marâh Labîd fî Tafsîr al-Qur’an al-Majîd dan dicetak pertama kali tahun 1305 H.

Di daerah Kairo, karya Imam Nawawi al-Bantani sendiri cukup banyak yang diapresiasi dengan terus dicetak ulang. Semisal, di Dar al-Bashair, kawasan Darb al-Atrak belakang Azhar, dan Mushtafa el-Babi el-Halaby, kita bisa mendapati kitab Nihâyat al-Zein dan Qût al-Habîb al-Gharîb yang merupakan catatan pinggir atas Fath al-Qarîb al-Mujîb karangan Abu Syuja’.

Dari Tremas, kita mengenal Syaikh Mahfud al-Turmusi. Biografi beliau, sebagaimana Nawawi al-Bantani, termaktub bersama pembesar Mekah dalam kitab Siyar wa al-Tarajim Afâdlil al-Makkah dan karangannya mencapai angka 14. Karangan beliau antara lain, Manhaj Dzawi al-Nadzar Syarh Alfiyyat al-Atsar, Nayl al-Ma’mûl Hasyiah Ghayât al-Wushûl ‘alâ Lubb al-Ushûl sebanyak 3 jilid, kemudian Is’âf al-Mathâli’ bi Syarh al-Badr al-Lâmi’ Nadzm al-Jam’ al-Jawâmi’ sebanyak 2 jilid, kemudian Takmilat al-Minhaj al-Qawîm, Ghaniyyat al-Thalabah bi Syarh al-Thayyibah fi al-Qirâ’ât al-‘Asyr, Kifâyat al-Mustafîd li Mâ ‘Alâ min al-Asânîd yang dikomentari oleh Syaikh Yasin Padang, dan lain sebagainya. Hasyiyah al-Turmusi sendiri dicetak beberapa waktu lalu oleh Dar al-Minhaj sebanyak 7 jilid, dan dijual di Pameran buku Intenasional Kairo awal tahun kemarin di Haul Saudi.

Seperti dituliskan biografinya oleh Syaikh Yasin padang dalam buku Kifâyat al-Mustafîd, murid Syaikh Mahfudz Tremas dari Nusantara cukup banyak. Antara lain, Kyai Raden Dahlan Semarang, Kyai Muhammad Dimyathi Tremas, Mbah Kholil Lasem, yang merupakan sekretaris pribadi Syaikh Mahfud Tremas, Mbah Dalhar, Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, Kyai Faqih Abdul Jabbar Maskumambang, Kakak beradik Mbah Baidlawi Lasem dan Abdul Muhaymin, keduanya putra Kyai Abdul Aziz Lasem, Kyai Nawawi Pasuruan, Kyai Abbas Buntet Cirebon, Abdul Muhith bin Ya’qub Sidareja.

Ulama Nusantara yang menulis karangan dalam kerangka universal lainnya adalah Syaikh Muhammad bin Isa Yasin al-Fadani. Syaikh Sa’id Mamduh pernah menulis biografi cukup detail mengenai Syaikh Yasin al-Fadani dalam buku yang bertajuk Sadd al-Urab, di mana syaikh Yasin juga menulis catatan pinggir dalam kitab itu. Saya berhutang budi terhadap Sa’id Mamduh dalam menghidangkan karangan Yasin al-Fadani, baik yang hilang ataupun yang tak sempat dicetak, entah itu yang berbentuk catatan pinggir, atau tentang sanad. Mengingat selama ini, kita kesulitan mendapatkan data mengenai karya lengkap tokoh besar ini. Karya syaikh Yasin Padang murni di antaranya, al-Fawâid al-Janniyyah, Tasynîf al-Sam'i fi Ilm al-Wadl'i, Manhal al-Ifâdah yang merupakan catatan pinggir atas kitab Thasy Kubri (Adab al-Bahts wa al-Munâdzarah), Husnu al-Shiyâghah Syarh Kitab Durûs al-Balaghah, Syarh Risâlah Sayyid Ahmad al-Dardiri fi Ilm al-Bayân, Risalah fi al-Mantiq 'an Tharîq al-Su'âl wa al-Jawâb, Risâlah fi Ilm al-Farâidl, Bulghat al-Musytâq fi Ilm al-Isytiqâq, Syarh Mandzûmat Manâzil al-Qamar.

Diantara karya yang dicetak dalam ilmu riwayat: Ithâf al-Ikhwân bi Ikhtishâr Mathmah al-Wujdân min Asânid al-Syaikh Umar Hamdan, Tanwîr al-Bashîrah bi Thuruq al-Isnâd al-Masyhûrah, al-Qawl al-Jamîl bi Ijâzat Samahat al-Sayyid Ibrahim bin Aqil, Asânid al-Faqîh Ahmad bin Hajar al-Haytami, al-Ujâlah fi al-Ahâdits al-Musalsalah, Asânid al-Kutub al-Hadîtsiyyah al-Sab'ah, Al-Aqd al-Farîd min Jawâhir al-Asânid, Ithâf al-Bararah bi Asânid al-Kutub al-Hadîtsiyyah al-Asyrah, Ithâf al-Mustafîd bi Gurar al-Asânid, Qurrat al-Ain fi Asânid A'lâm al-Haramain, Warâqat fi Majmûat al-Musalsalât wa al-Awâil wa al-Asânid al-Âliyah, al-Muqthataf min Ithâf al-Akâbir bi Marwiyyât Abdil Qadir al-Shiddiqi, Ikhtishâr Riyâdl Ahl al-Jannah min Atsâr Ahli Sunnah, Arbaûna Haditsân min Arbaîna Kitâban an Arbaîna Syaikhân, Al Arbaûna al-Buldâniyyah; Arbaûna Haditsân 'an Arbaîna Syaikhân min Arbaîna Baladan,Tidzkâr al-Mashafi bi Ijâzat al-Fakhr Abdillah bin Abd al-Karimal-Jarrafi, Faydl al-Mabdi, Nahj al-Salamah, al-Musalsalât al-Hadîtsiyyah, al-Raudl al-Faih bi Ijâzat Muhammad Riyadl al-Malih.

Komentar-komentar beliau: komentar atas Sadd al-Urab, Komentar atas Awâil al-Sunbuliyyah (al-Ujâlah al-Makkiyyah dan al-Nufkhah al-Miskiyyah), Waraqât ala al-Jawhar al-Tsamîn, Ithâf al-Bahits al-Sariy ala Tsabti Abdirrahman al-Kazbari, komentar atas Kifâyat al-Mustafîd karangan Mahfud Termas, Tahqîq al-Jâmi' al-Hâwi fi Marwiyyât Abdillah al-Syarqawi.

Adapun kitab-kitab beliau yang tdk sampai ke kita: Syarh Sunan Abi Dawud, Syarh Luma' karangan Abi Ishaq al-Syairazi (dua jilid) yang dinamai Bughyât al-Musytâq bi Syarh Luma' Abi Ishaq, catatan pinggirnya atas kitab Nahj al-Taysîr syarh Mandzûmat al-Zamzami fi Ushûl al-Tafsîr. Sedang yang masih berbentuk Makhtutath: Thabaqât al-Syâfi'iyyah, Kanz al-Tsiqqat fî Ulamâ al-Falak wa al-Mîqat, catatan pinggir atas kitab Lubb al-Ushûl karangan Zakariya al-Anshari (3 jilid), melanjutkan karangan Mahfud Termas ketika mensyarahi kitab al-Muqaddimah al-Hadramiyyah.

Nama lain yang bisa direpresentasikan sebagai ulama kaliber dunia adalah Syaikh Ihsan Jampes. Karangannya yang masih spektakuler sampai sekarang adalah Sirâj al-Thâlibin, penjelasan atas Minhâj al-‘Âbidin karya Imam al-Ghazali, terbit pertama kali pada 1932 setebal sekitar 800 halaman. Syekh Ihsan mendapatkan penghargaan dan legitimasi ilmiahnya di mata dunia Islam, ketika kitab tersebut diterbitkan oleh sebuah penerbit besar di Mesir, Musthafa al-Bab al-Halaby, sebuah penerbit yang berorientasi menerbitkan kitab-kitab kuning (turats), yang sampai saat ini masih eksis. Kemudian Manâhij al-Imdâd , sebuah penjelasan atas kitab Irsyâd al-‘Ibâd karya Syaikh Zainudin al-Malibari, terbit pertama kalinya pada tahun 1940 setebal 1088 halaman.

Universalisasi Ulama Nusantara
Jika mencermati perjalanan beberapa tokoh Nusantara, kita bisa mendapati salah satu faktor determinan kenapa karangan mereka bisa mendunia. Satu faktor dominan bagi penulis adalah, tokoh-tokoh di atas, dalam menganggit sebuah buku, mempergunakan bahasa Arab—yang sebenarnya syarat tak tertulis, agar karangan mereka bisa diakui oleh dunia. Hal ini dapat penulis lihat, dari kitab-kitab ulama Nusantara—yang mempergunakan bahasa daerah—yang tertumpuk kumuh di Musthafa el-Baby el-Halaby, sedang konsumennya hampir punah. Secara kuantitas, karangan mereka dapat dengan mudah diapresiasi oleh anak Negeri, akan tetapi secara kualitas, karangan mereka sama sekali tak dilirik oleh ulama dunia, selain beberapa kalangan untuk motif penelitian. Hal itu disebabkan, karya-karya dengan bahasa daerah tak mendapat tempat, karena tentu saja selain anak Negeri tak mempunyai kemampuan untuk membacanya. Dengan kata lain, bahasa Arab merupakan pintu masuk bagi pengakuan ulama dunia terhadap mereka.

Penulis mempunyai data kitab-kitab Nusantara yang pernah dicetak oleh Musthafa el-Baby el-Halaby, dan tak dicetak lagi karena tidak ada konsumen. Pada saat menelusuri kekumuhan el-Halaby bersama Pak Oman Fathurrahman dan Yumi Sugahara, ada sekitar 40 kitab yang tak ditemukan. Sedang yang berhasil kita temukan ada sekitar 81 judul buku. Beberapa buku yang mempergunakan bahasa Arab, dicetak ulang oleh Dar al-Bashair, dan disebarkan oleh Dar al-Salam. Akan tetapi, buku-buku yang dikarang mempergunakan bahasa Melayu, Sunda, atau Jawa, tetap menumpuk kumuh di Musthafa el-Baby el-Halaby.

Padahal, gagasan sarjana Nusantara jelas tak kalah dengan ulama dunia. Walaupun secara garis besar karya yang ditulis mempergunakan bahasa daerah merupakan respon atas konteks lokal, bukan berarti tak boleh diterjemahkan dan disosialisasikan untuk skala Internasional. Bagi penulis hal itu merupakan keharusan. Sebab, karangan-karangan ulama Arab secara garis besarpun merupakan respon untuk konteks lokal. Sebut saja Zaini Dahlan yang mengarang bantahan terhadap ulama Wahabi karena ketika itu doktrin-doktrin Wahabi teramat gencar disosialisasikan dalam konteks Mekah. Atau beberapa pakar hadis dari Maroko yang secara langsung berpolemik dengan pakar hadis Wahabi. Tetapi toh, karangan mereka tetap menjadi rujukan oleh dunia Islam secara umum walaupun muncul sebagai respon atas konteks lokal.

Untuk menyejajarkan ulama Nusantara dengan ulama dunia Islam, harus ada penerjemahan masif dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Arab. Empat contoh ulama Nusantara yang sudah penulis tuliskan di atas, merupakan sampel penting, bahwa kapabilitas ulama Nusantara, layak disejajarkan dengan ulama di dunia Islam secara umum. Seperti Mbah Sahal Mahfudz, dengan pelbagai karyanya dalam ushul fikih (mempergunakan bahasa Arab), berdasar informasi dari kolega penulis di Yaman, karyanya kerap dijadikan rujukan ulama di sana. Penerjemahan itu menjadi penting, jika kita menghargai kepakaran mereka dalam satu disiplin tertentu, kemudian mendialogkan gagasan mereka dengan gagasan ulama dunia. Bahkan Hassan Hanafi pernah mengutarakan satu hal penting pada saat penulis ‘sowan’ ke kediamannya. Pada saat kami mengabarkan bahwa Gus Dur telah meninggal, ia mengungkapkan, “saya tidak tahu Gus Dur sudah meninggal. Karena tidak ada yang memuat berita meninggalnya Gus Dur di koran-koran Timur Tengah. Kenapa kalian tidak menerjemahkan koran-koran di Indonesia itu, ke dalam bahasa Arab, atau minimal, tulislah info aktual mengenai negara kalian, agar kami yang di sini bisa terus mengetahui perkembangannya.” Tentu saja, kita, Mahasiswa Timur Tengah, yang harus memulainya.
Selengkapnya...

Tuesday, 31 January 2012

Menara Keilmuan Masjid al-Azhar

Ahmad Hadidul Fahmi

Masjid di awal perkembangan Islam diperuntukkan sebagai tempat ibadah. Pembangunan masjid sendiri dimulai pada masa Nabi, hingga kemudian disusul oleh beberapa kelompok shahabat yang menyebarkan Islam ke pelbagai negeri. Di Bashrah dibangun masjid pada tahun 14 H, di Kufah tahun 17 H, sedang di Mesir, Amru bin al-Ash mengikuti tradisi ini dengan membangun sebuah masjid di Fustat, Kairo, pada tahun 21 H. Menurut al-Maqrizi seperti dikutip Su’ad Mahir, bersamaan dengan meluasnya daerah kekuasaan Islam, pembangunan masjid di satu daerah tidak hanya satu. Hal ini membuat khalifah Umar bin al-Khattab meminta Abu Musa al-Asy’ari untuk membuat sebuah masjid yang dipergunakan untuk berkumpul semua masyarakat di satu momen perayaan tertentu. Tempat ini kemudian populer dengan istilah jâmi’. Jâmi’ diperuntukkan bagi “masjid besar”, atau tempat berkumpulnya masyarakat (jama’âh)—di samping ada istilah “masjid” (kecil) sebagai tempat shalat kabilah. Pada masa Umawiyyah, jâmi’ mempunyai makna politis: sebuah masjid besar yang diimami oleh khalifah atau orang yang menggantikannya di shalat Jum’at. Atau ia digunakan sebagai masjid resmi suatu negara.

Dalam perkembangannya, masjid tidak hanya sebagai tempat ibadah semata: di antaranya, masjid mempunyai peranan yang cukup signifikan dalam pembentukan keilmuan umat Islam. Di ruwaq-ruwaq dan tiang-tiangnya digelar berbagai macam aktivitas keilmuan dan diskusi-diskusi ilmiah. Ahmad Fikri dalam Masâjid al-Qahirah menegaskan bahwa aktivitas keilmuan di masjid bahkan sudah ada semenjak abad ke 2 H. Sebelum al-Azhar berdiri, aktivitas keilmuan di Masjid Kairo terkenal di dua tempat: masjid Amru bin al-Ash, dan masjid Ibnu Thulun—sebuah masjid yang didirikan oleh Ahmad bin Thulun tahun 263 H. Di Masjid Amru bin al-Ash digelar majlis Sulayman bin Itr al-Tujaybi tahun 38 H dan berkembang sampai empat puluh majlis. Termasuk Imam Syafi’i juga mempunyai majlis di sini, serta menghasilkan sosok seperti Rabi’ bin Sulaiman al-Muradi, al-Buwaithi, al-Azdi. Ruwaq Imam Syafi’i masih terjaga beberapa abad, dan dipergunakan untuk kegiatan belajar mengajar sampai ada perombakan masjid. Termasuk yang mengajar di sini adalah Muhammad bin Jarir al-Thabari, yang diminta oleh Abu al-Hasan bin Siraj untuk membacakan syair al-Thurmah. Adapun Masjid Ibnu Thulun, di antara yang mengajar di sana Rabi’ bin Sulayman al-Muradi, murid Imam Syafi’i. Ia membacakan hadis. Ibnu Thulun memberikan perhatian besar terhadap masjid, dan menggalakkan pengajaran fikih madzhab empat, hadis, tafsir dan disiplin keilmuan yang lain.

Aktivitas Keilmuan di Masjid Al-Azhar

Semenjak masjid al-Azhar selesai dibangun oleh Jawhar al-Shiqilli—panglima dinasti Fathimiyyah— tahun 361 H, empat tahun kemudian, atau tahun 365 H, mulai digalakkan aktivitas belajar mengajar di sana. Kehormatan mengajar di al-Azhar diberikan pada keluarga al-Nu’man: Abu al-Hasan Ali bin al-Nu’man (w. 373 H), seta saudaranya Muhammad bin al-Nu'man (w. 389 H), dan anaknya Hasan bin al-Nu'man (w. 389 H). Namun yang pertama kali mengajar adalah Abu al-Hasan Ali bin al-Nu'man. Beliau adalah putra Abu Hanifah al-Nu’man, atau Al-Qadli al-Nu'man yang diberi predikat “Sayyiduna al-Qadli al-Nu'man”, untuk membedakan dengan Abu Hanifah, penggagas Madzhab Hanafi. Sebagaimana kaum Syiah juga menyebutnya dengan “Sayyiduna al-Awhad”, atau “Abu Hanifah al-Syiah”. Karangannya mencampai 40 kitab, dan yang masih tersisa sekarang berkisar antara 20. Menurut Su’ad Mahir, aktivitas keilmuan yang dilakukan pertama kali di masjid al-Azhar adalah pengajian fikih Syi’ah—dengan kitabnya al-Iqtishâr--oleh Qadli al-Qudlat Abu al-Hasan Ali bin al-Nu’man, tahun 365 H, di akhir pemerintahan Mu’iz li Dini-llah. Abu al-Hasan bin al-Nu’man ini sekaligus orang pertama yang diberi predikat Qadli al-Qudlat di Mesir. Ia masih tetap menggelar halaqah keilmuan di masjid al-Azhar sampai tahun 369 H: tahun di mana al-Azhar menjelma menjadi universitas dengan sistem pendidikan yang tertata. Ya’qub bin Killis merupakan orang pertama yang disebut mempunyai gagasan al-Azhar digunakan untuk aktivitas pendidikan.

Ya’qub bin Killis mempunyai kitab al-Risalah al-Waziriyyah fi al-Fiqh al-Syi’i. Al-Risalah al-Waziriyyah adalah ajaran-ajaran Syi’ah Ismailiyyah yang dicatat dari al-Muiz dan putranya, al-Aziz. Ia membacakan kitab tersebut di masjid dengan orientasi keilmuan murni, tanpa batasan-batasan guru-murid—yang lazim dilakukan sebelumnya. Oleh karena itu, halaqah Ibnu Killis terhitung sebagai kuliah pertama yang digelar di masjid al-Azhar. Ia meminta izin pada khalifah al-Aziz bi-llah, putra al-Muiz li Dinil-llah untuk menjadikan al-Azhar sebagai pusat pendidikan, dan mengundang para fakih untuk menggelar aktivitas keilmuan selepas shalat Jum’at sampai Ashar. Jumlahnya mencapai 37 ahli fikih, masing-masing mereka diberi subsidi setiap bulan, serta fasilitas tempat tinggal di samping masjid al-Azhar. Pada tahap ini al-Azhar benar-benar menjelma sebagai lembaga pendidikan.

Satu tahun kemudian, yakni 370 H, guru-guru dan pelajaran di al-Azhar mengalami sistematisasi. Pada tahap ini Masjid al-Azhar bukan hanya mempelajari fikih semata, akan tetapi juga digelar halaqah untuk pelajaran filsafat dan ilmu rasional. Selain untuk lelaki, halaqah ini juga digelar untuk perempuan. Halaqah filsafat digelar untuk awam hanya dengan penjelasan kaidah-kaidah umum. Sedangkan untuk para pengkaji atau orang-orang tertentu, halaqah ini masuk ke pembahasan yang lebih dalam. Perkembangan mata pelajaran yang diajarkan selanjutnya di masjid meliputi; bahasa, matematika, filsafat, kedokteran, logika, di samping ilmu-ilmu Islam lainnya. Sarjana yang turut berperan mengajar pada masa Dinasti Fathimiyyah adalah Ibnu Zaulaq (w. 387 H), Ibnu Yunus ahli falak (w. 399 H), al-Musabbahi (w. 420 H), al-Hufi al-Nahwi (w. 430 H), Ibnu Haytsam (w. 430 H), al-Qadla’i (454 H). Majlis di al-Azhar terus berkembang pada masa Fathimiyyah sampai meliputi majlis untuk perempuan, majlis untuk penguasa, majlis untuk para syaikh, majlis untuk para awam, dan untuk pendatang.

Dalam bukunya al-Azhar fi Dhill al-Fathimiyyin, Dr. Rumziyyah al-Athr mengatakan, Qadli al-Qudlat menyelenggarakan halaqahnya setiap hari Senin dan Selasa. Sedangkan halaqah Jum'at di Masjid al-Azhar diselenggarakan secara berjamaah. Di sana ada para fakih, teolog, penyair, dan halaqah bersifat interaktif. Di antara nama perempuan yang tecatat hadir di majlis ini adalah Ummu Zaynab Fathima binti Abbas. Sedang kitab yang dikaji sampai abad ke 4 antara lain Da'aim al-Islam, Ikhtilaf Ushul al-Madzahib, dan al-Akhbar.

Selepas Dinasti Ayyubiyyah menguasai Mesir (567-648 H), Shalahuddin al-Ayyubi memberhentikan Qadli al-Nu'man dan menggantinya dengan Shadr al-Din Abd al-Malik bin Dirbas, pembesar madzhab Syafi'I masa itu. Ayyubiyyah juga mendirikan madrasah-madrasah yang menggelar halaqah madzhab Syafi’i untuk mengungguli popularitas Syiah. Tidak ada kesulitan signifikan untuk mengendorkan popularitas Syiah, sebab Madzhab Syafii sudah terlebih dahulu mendapat tempat di hati masyarakat Mesir sebelumnya setelah Madzhab Maliki. Madzhab Imam Malik —sebelum Madzhab Syafii—adalah madzhab resmi di Mesir: Abdullah bin Wahb—murid Imam Malik yang bergelar Syaikh Ahl Mishr—merupakan pembawa Madzhab Maliki ke Mesir. Di antara pembesar Malikiyah pada masa itu adalah Ishaq bin al-Farrat (w. 204 H), murid Imam Malik sekaligus Qadli di Mesir, dan al-Harits bin Miskin (w. 250 H). Ketika Imam Syafi’i memasuki Mesir tahun 199 H, madzhab ini kemudian menyebar dan menandingi popularitas madzhab Maliki. Sedang Madzhab Abu Hanifah sampai ke Mesir melalui Isma’il al-Kindi, Qadli Bikar bin Qutaybah—yang diutus oleh Khalifah al-Mutawakkil, dan Abu Ja’far al-Thahawi. Adapun Madzhab Imam Ahmad berkembang di Mesir di masa-masa akhir. Serta tidak begitu populer sebagaimana tiga madzhab sebelumnya.

Selain itu, Ayyubiyyah juga merombak buku-buku diktat yang dipergunakan di al-Azhar, walaupun pada masa itu, kedokteran, mantik, filsafat, tetap dikaji. Khalifah bahkan meniadakan khubtah Jum’at—atas fatwa dari sang Qadli—di masjid al-Azhar karena mengamalkan pendapat dalam madzhab Syafii yang mengatakan bahwa shalat Jum’at tidak boleh dilaksanakan di dua masjid dalam satu daerah. Pengajaran di al-Azhar mengalami reformasi pada saat Shalahuddin al-Ayyubi mendirikan berbagai macam sekolah (madrasah) di Mesir. Hal itu tidak lain dimaksudkan untuk mengungguli popularitas al-Azhar yang condong ke madzhab Syi’ah. Sebagaimana jamak diketahui, bahwa Ayyubiyah sangat fanatik terhadap madzhab Syafi’i dan Asy’ari. Walapun begitu, peniadaan shalat Jum’at di masjid al-Azhar tidak menghapus aktivitas keilmuan di sana.

Pada masa Ayyubiyyah, ada Musa bin Maymun yang menyampaikan pelajaran matematika, falak dan kedokteran, kemudian Abd al-Lathif al-Baghdadi yang memberi materi ilmu kalam, mantik, dan kedokteran sampai wafatnya al-Malik al-Aziz, putra Shalahuddin al-Ayyubi. Ibnu Iyyas dalam Badâi’ al-Zuhûr mengatakan, di masa akhir Ayyubiyyah, terdapat beberapa nama yang tercatat sempat mengajar di masjid al-Azhar, seperti Ibnu al-Faridl (w. 632 H) yang mempunyai halaqah sufiyyah, kemudian Abu al-Qasim al-Manfaluthi, dan Ibnu Khillikan sebagaimana ia sebutkan sendiri dalam Wafiyat al-A’yan. Secara global, nama yang muncul pada masa Ayyubiyyah adalah Hasan al-Farisi (w. 598 H), Ibn al-Hajib al-Nahwi (w. 646), al-Syathibi (w. 590 H), Ibnu al-Faridl (w. 632), Izz al-Din bin Abd al-Salam (w. 660 M), al-Hafidz al-Mundziri (w. 660 H), al-Sakhawi (w. 643 H), Ibnu Bari (w. 582 H), Ibnu Mu’thi (w. 628 H), Ibnu Malik (w. 672 H), dan Ibnu Shalah (w. 643 H). Pada masa ini pula madzhab empat sudah masuk ke al-Azhar. Dan di ruwaq-ruwaq dipilih setiap syaikh yang jadi pengampu di setiap madzhab.

Memasuki kekuasaan Mamalik (648-922 H), sultan Dzahir Baibars kembali memfungsikan masjid al-Azhar untuk shalat Jum’at tahun 665 H. Dzahir Baibars merupakan sultan yang sangat menaruh perhatian terhadap aktivitas keilmuan di al-Azhar. Oleh karena itu, pada masa ini, al-Azhar menuai masa keemasannya. Muhammad al-Baha menyebutkan, ulama-ulama besar atau sarjana Islam yang muncul pada masa Mamalik seperti al-Bushiri (w. 696 H), Ibnu Daqiq al-Id (w, 702 H), Ibnu Hisyam (749 H),Taqiy al-Din al-Subki (756 H), Ibnu Aqil (769 H), Syaikh al-Islam al-Bulqini (805 H), Fayruzabadi (817 H), al-Maqrizi (845 H), al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani (852 H), al-Sakhawi (902 H), al-Suyuthi (911 H), Ibnu Iyyas (930 H), Zakariya al-Anshari (w. 926 H). Menurut Muhammad Baha lagi, di antara ulama yang mendatangi Mesir adalah Ibnu Khaldun, Ibnu Bathutah, Taqiy al-Din al-Fasi, Syams al-Din al-Asfhihani, Ibnu Hayyan al-Gharnathi.

Di dekat al-Azhar dibangun madrasah Dzahiriyyah yang didirikan oleh Baibars pada tahun 661 H. Di sana digelar pengajian madzhab Syafii oleh Taqiyy al-Din bin Razin, Hanafiyyah oleh Muhyiddin Abd al-Rahman al-Kahhal, Hadis oleh al-Hafidz Syaraf al-Din al-Dimyati, dan Qira’at Kamal al-Din al-Qurasyi. Selain itu, dibangun madrasah Thibrisiyyah tahun 709 H (ke arah kanan dari pintu masuk Muzayinin)—yang di dalamnya di gelar pengajian fikih Syafi’i--dan madrasah Aqbaghawiyyah tahun 740 (ke arah kiri dari pintu masuk Muzayinin). Dua madrasah ini kemudian dijadikan satu dengan masjid al-Azhar ketika pintu Muzayinin dibangun. Ibnu Khaldun tercatat pernah mengunjungi al-Azhar dan menyampaikan pelajaran di sana. Masa Mamalik merupakan masa keemasan al-Azhar. Hal itu disebabkan, ketika Mamalik berkuasa di Mesir disusul dengan runtuhnya Baghdad dan Andalus di tangan Mongol. Faktor ini yang menjadikan al-Azhar menjadi tujuan semua pelajar setelah keruntuhan Baghdad dan Mongol.

Ustmani menguasai Mesir pada tahun 922 H. Bersamaan dengan masuknya Mesir di tangan Utsmani, semangat keilmuan di Mesir melemah, dan sama sekali mengabaikan pembelajaran ilmu-ilmu rasional. Pengharaman filsafat, mantik, matematika semakin hari semakin menguat. Oleh karena itu banyak sejarawan memandang, bahwa berkuasanya Turki Utsmani di Mesir sekaligus memutus hubungan Mesir dengan pengetahuan. Muhammad al-Baha menggambarkan ekspansi Ustmani ke Mesir mirip dengan ekspansi Mongol ke Baghdad; penghancuran bangunan-bangunan bersejarah dan membakar kitab-kitab ulama. Sultan Salim bahkan mengirim para pembesar di Masjid al-Azhar secara umum, atau Mesir, ke Qasthantiniyyah. Kemudian taklid berkembang, serta pintu ijtihad dianggap tertutup. Para ulama pada masa itu mengeluarkan fatwa untuk tidak mempelajari ilmu-ilmu rasional. Pemerintah Mesir bahkan tidak bisa memasukkan matematika dan ilmu umum ke kurikulum al-Azhar, sampai setelah Syaikh al-Muhammad Anbabi memfatwakan bolehnya mempelajari ilmu ini. Al-Azhar masih sampai di keadaan yang memprihatinkan sampai Jamal al-Din al-Afghani menyuarakan pembaharuan. Kita mengenal ulama-ulama yang mengajar di al-Azhar pada masa ini tidak se populer ulama-ulama Azhar sebelumnya. Di antaranya adalah: Nur al-Din Ali al-Buhayri (w. 944 H), Syihab al-Din al-Sanbathi (w. 950 H), Abd al-Rahman al-Munadi (w. 950 H), Syams al-Din al-Alqami (w. 962 H).

Sedang para pengajar di pertengahan Turki Utsmani, al-Jabarti menyebut nama-nama yang muncul dari al-Azhar seperti al-Zurqani al-Maliki (w. 1099 H), Syahin bin Mansur bin Amir (w. 1101 H), Syams al-Din al-‘Annai, Ibrahim bin Muhammad al-Barmawi (w. 1106 H). Sedang ulama yang datang dari luar seperti Hasan bin Ali al-Jabarti (w. 1188 H), ayah dari sejarawan besar Abdurrahman al-Jabarti. Kemudian Syihab al-Din al-Maqarri (w. 1631 H), Murtadla al-Husayni, Abd al-Ghani al-Nabulisi (w. 1143 H). Sebagaimana direkam al-Jabarti lagi, kitab-kitab yang dikaji oleh al-Azhar pada masa ini adalah tentang Nahwu dan Sharaf: al-Asymuni, Ibnu Aqil, Syudzur al-Dzahab, serta Tawhid: syarah Jawharah dan Syarah Sanusiyyah Kubra, dan beberapa kitab fikih, hadis dan balaghah.

Dari Ruwaq al-Azhar ke Sistem Pendidikan Modern

Ahmad Fikri dalam bukunya Masâjid al-Qahirah wa Madârisuhâ menuturkan, aktivitas keilmuan dengan berbagai latarbelakang madzhab yang digelar di masjid, lazimnya dibacakan oleh seorang Syaikh di satu tiang masjid, kemudian dikelilingi oleh muridnya. Jika untuk Qadli, biasanya diberi kehormatan di sekitar Mihrab agar bisa dihadiri orang banyak. Ruwaq—atau riwaq—secara etimologis diperuntukkan untuk pemaknaan satu tiang yang memanjang. Secara istilah, maknanya kemudian dipergunakan untuk sebuah tempat yang dipergunakan belajar di suatu masjid atau tempat ibadah tertentu. Ruwaq lazimnya berada di sisi-sisi masjid, di bawah tiang yang menjulang atau tembok yang memanjang, di mana letaknya mengelilingi bagian tengah masjid. Sebagaimana masjid itu sendiri, ruwaq merupakan bagian sejarah yang tak bisa ditinggalkan. Bahkan jika berbincang masjid sebagai pusat keilmuan, sejarah ruwaq tentunya tak boleh untuk terlewat.

Dalam buku al-Azhar; Târikhuh wa Thathawwuruh, Muhammad al-Baha mengatakan bahwa Al-Maqrizi merupakan orang pertama yang menyinggung ruwaq di masjid al-Azhar; ketika menyebutkan jumlah fakir miskin di Masjid ini abad ke 9 H mencapai nominal 750. Masing-masing fakir itu mempunyai sudut sebagai tempat ‘berteduh’. Mereka berasal dari bermacam latarbelakang dan bermacam daerah. Di masa ini, para bangsawan berlomba memberi tunjangan pada mereka. Abad inilah, para siswa dari Zayla’, Maghrib, dan bermacam daerah di Mesir menempati tempat tertentu untuk tempat mereka tinggal, yang kemudian terkenal dengan istilah "Ruwaq". Nama-nama ruwaq ini disesuaikan dengan latarbelakang penghuni yang menempati, semisal Atrak dari Turki, Baghdadiyyin dari Baghdad, Jawi dari Jawa, Magharibah dari Maghrib, dan selainnya. Jika melihat keterangan al-Maqrizi bahwa peraturan ruwaq (nidzam al-arwiqah) sudah dimulai semenjak masa Fathimiyyah, itu artinya ruwaq sudah ada semenjak masa Fathimiyyah—walaupun mungkin belum berkembang istilah ruwaq.

Di abad ke 14 H, ruwaq di al-Azhar dikalkulasi mencapai nominal dua puluh sembilan. Yang pertama, ruwaq untuk penghuni dari Mesir sendiri. Jumlahnya ada enam. Yang paling terkenal adalah “Ruwaq Sha’ayidah” yang menampung seribu penghuni (sudah dengan jumlah guru dan murid). Ruwaq ini setiap hari menghabiskan seribu roti karena banyaknya penghuni. Kemudian “Ruwaq Syarqawiyyah” yang didirikan oleh syaikh Abdullah al-Syarqawi, kemudian “Ruwaq Buhairah”, “Ruwaq Fayyumiyyah” yang ditempati seratus siswa, “Ruwaq Syinwaniyyah” (penghuninya kurang dari 30) dan “Ruwaq Fasyaniyyah” (penghuninya lebih dari 200). Kedua, ruwaq yang disediakan bagi pelajar dari luar Mesir. Jumlahnya ada 17, yang meliputi Turki, Syam, Baghdad, Maghrib, dan selainnya. Ruwaq al-Azhar mempunyai peraturan, bahwa murid-murid yang hendak belajar di sana harus menetap di tempat yang telah disediakan bagi masing-masing daerah. Di samping itu, terdapat ruwaq yang dihuni bukan dari latarbelakang daerah, akan tetapi dari latarbelakang madzhab. Ada ruwaq Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah.

Ruwaq yang diketahui didirikan oleh Mamalik adalah ruwaq Atrak, Syam, dan Magharibah. Ruwaq al-Azhar mulai ramai justru ketika masa Turki Utsmani. Beberapa pelajar dari luar Mesir berbondong-bondong ke al-Azhar; Turki, India, Syam, Maghrib, al-Ajm, Zayla’, Yaman. Di awal abad ke 9, atau tahun 818 H, pelajar di al-Azhar mencapai angka 750 orang dari berbagai latarbelakang. Beberapa nama Ruwaq yang tercatat didirikan pada masa Turki Utsmani di antaranya ruwaq Hanabilah, Haramayn, Sulaimaniyyah (Afghanistan). Sedangkan ruwaq Abbasi, ruwaq terbesar di masjid itu, didirikan baru pada kepemimpinan Syaikh Hasunah Nawawi di Syaikh al-Azhar. Adapun ruwaq-ruwaq yang sudah ada sebelumnya dan penghuninya dipindah ke ruwaq Abbasi adalah, ruwaq Akrad, ruwaq Hunud, ruwaq Baghdad, ruwaq Yaman, ruwaq Thibrisiyyah dan Aqbaghawiyyah—diambil dari Madrasah Thibrisiyya dan Aqbaghawiyyah, ruwaq Fayyumiyyah, dan ruwaq Buhayrah. Selain yang sudah disebutkan, tidak ada keterangan terperinci kapan dan bagaimana dibangun.

Pada masa awal terbentuknya halaqah, sebagaimana dikatakan Ahmad Syalabi, tradisi yang berkembang adalah seorang syaikh berada di satu tiang Masjid membacakan sebuah buku. Lazimnya ia duduk di kursi—walaupun pada awal mula, kursi hanya diperuntukkan bagi syaikh al-Jami (syaikh masjid). Sedang para murid melingkar di sekitar syaikh. Biasanya, para murid duduk sangat berdekatan dengan syaikh, dengan catatan tidak melebihi tempat syaikh. Ketika selesai membacakan hadis atau sebuah kitab, dilanjutkan penjelasan dari syaikh terkait makna hadis atau makna kitab. Kemudian para murid mencatat keterangan yang disampaikan oleh syaikh. Jika sudah selesai pengajian terhadap kitab tertentu, biasanya syaikh menguji catatan para muridnya, untuk meluruskan jika ada kesalahan catatan. Jika catatannya selesai dibacakan di depan syaikh, kemudian syaikh memberi tanda di kertas murid yang sudah selesai diuji. Di antara catatan-catatan para siswa ini, beberapa ada yang masih tersimpan berupa Makhtutah. Seperti catatan al-Murtadla, Ibnu al-Hajib, al-Zajjaj, dan lain sebagainya.

Menurut Su’ad Mahir, peraturan-peraturan sistem pembelajaran di al-Azhar adalah; pertama, seorang murid selalu mengiringi syaikhnya sampai meninggal. Sikap itu merupakan perwujudan harapan dari seorang murid agar bisa sampai di derajat gurunya. Misalnya, imam Suyuthi ketika berhaji ia berharap agar kemampuan fikihnya bisa sederajat dengan al-Bulqini dan hadis setara dengan Ibnu Hajar; kedua, seorang guru bisa memberikan ijazah di satu pelajaran, akan tetapi di pelajaran lain ia dibolehkan untuk meminta ijazah. Atau ia bisa menjadi murid dan guru sekaligus; ketiga, kesaksian kapabilitas murid dari seorang guru adalah Ijazah. Jika seorang murid sudah merasa mampu untuk mengajar dan memberi fatwa, ia boleh untuk meminta ijazah pada gurunya; keempat, seorang murid dibebaskan untuk memilih pelajaran yang ia sukai. Dan guru boleh memilih antara hadir dan tidak; kelima, di setiap kitab yang dipelajari, biasanya ada seorang murid yang bertugas sebagai pembaca di hadapan gurunya.

Ilmu yang marak dipelajari di al-Azhar sampai pertengahan abad ke 9 H adalah sastra, fikih dan tawhid. Sedangkan waktu penyelenggaraan belajar adalah tafsir dan hadis selepas shalat Fajar, kemudian fikih pagi hari, nahwu, sharaf dan balaghah selepas shalat Dzuhur, matematika, sejarah, geografi, dan ilmu-ilmu modern, selepas Ashar. Untuk mantik dan etika berdebat dilaksanakan selepas Maghrib. Lazimnya, pembelajaran menghabiskan waktu satu atau dua jam.

Tidak ada keterangan pasti seorang syaikh yang mengajar atau pernah menjadi murid di ruwaq-ruwaq tertentu. Hanya saja, ketika penyebutan biografi seorang syaikh, disebutkan bahwa syaikh ini pernah mengajar di ruwaq tertentu. Semisal, al-Imam al-Bushiri adalah siswa di ruwaq Sha’idi. Syaikh Abdullah Syarqawi pernah menjadi syaikh di ruwaq Syarqawi (abad ke 13 H); syaikh Shalih Ja’fari pernah menyepi di ruwaq Magharibah, dan sebelumnya Ibnu Khaldun juga pernah mengunjungi ruwaq Magharibah. Selain itu, Muhammad bin Ali al-Sanusi juga pernah menjadi siswa di Ruwaq Maghariba di abad ke 12 H. Magharibah setelah generasi al-Sanusi berjumlah seratus orang, dan kebanyakan dari Tunisia. Selain itu, Syaikh Ahmad al-Dardiri, pembesar Madzhab Maliki di zamannya juga pernah menjadi pengajar fikih Maliki di ruwaq Sha’idi selepas wafatnya Syaikh Ali bin Ali al-Sha’idi pada abad ke 11 H. Begitu pula syaikh Ali al-Sha’idi. Syaikh al-Sayyid Muhammad Amin al-Suhaymi pernah menjadi syaikh di ruwaq Atrak. Jumlah siswa di ruwaq Atrak mencapai 50 orang. Beberapa ulama yang menempati ruwaq juga bisa dilacak juga dari biografi ringkas Abdurrahman al-Khafaji dalam al-Azhar fi Alf ‘Am: misal, al-Syaikh Muhammad al-Bannani adalah ulama Azhar yang menghadiri pelajaran syaikh al-Dardiri dan Ali al-Sha’idi. Artinya syaikh al-Bannani juga merupakan salah satu murid di ruwaq Sha’idi.

Karena semakin bertambahnya siswa di al-Azhar, pada kepemimpinan Muhammad Musthafa al-Maraghi di Syaikh al-Azhar, para pelajar yang menetap di ruwaq-ruwaq dipindahkan ke sebuah asrama yang disebut “Madinat al-Bu’uts al-Islamiyyah”. Buu’ts merupakan asrama bagi siswa-siswa dari luar untuk menetap, dan masih ada sampai sekarang. Pada tahap ini ruwaq-ruwaq di al-Azhar tidak lagi difungsikan sebagai asrama. Beberapa ada yang dijadikan perpustakaan, dan beberapa tetap difungsikan untuk tempat belajar-mengajar.

Tradisi belajar mengajar di al-Azhar masih terus dengan model klasik sampai muncul berbagai kebijakan-kebijakan baru: seperti kebijakan tahun 1288 H atau 1872 M. Syaikh al-Azhar pada masa itu adalah Syaikh Muhammad Mahdi al-Abbasi di pemerintahan Khediv Isma’il. Peraturan ini dibuat untuk memperoleh ijazah resmi yang bisa dipergunakan di institusi pendidikan lain. Kebijakan tersebut adalah, para siswa diberi ijazah resmi yang bertingkat; tingkat satu sampai tiga. Sedangkan materi-materi yang diujikan meliputi hadis, tafsir, fikih, nahwu, sharaf, balaghah, mantik, dan tawhid. Kritikan sistem pembelajaran klasik keluar dari sosok Muhammad Abduh. Ia mengatakan, misalnya, tidak ada peraturan yang jelas untuk para siswa untuk datang dan tidak datang, serta murid tidak bertanya pada guru tentang sebab absen mereka dan tidak ditanya tentang kadar pemahaman mereka, serta ijazah pada masa itu tidak mempunyai batasan jelas. Perlahan-lahan, reformasi Muhammad Abduh mendapat sambutan; mulai diberlakukan pembatasan absensi siswa, pemahaman bagi siswa lebih penting dari sekedar melihat kitab, membatasi waktu ujian, menetapkan gaji tetap bagi para pengajar. Hal itu terjadi pada tahun 1895, setelah Syaikh Hasunah Nawawi ditunjuk sebagai Syaikh al-Azhar. Hasunah Nawawi dan Muhammad Abduh mengeluarkan kebijakan baru pada tahun 1314 H atau 1896 M, tentang penambahan materi pelajaran di al-Azhar. Materi tersebut meliputi etika (akhlak), musthalah al-hadis, balaghah, matematika, aljabar, arudl. Serta menjadikan sejarah Islam, pelajaran Insya’, Fiqh al-Lughah, Handasah, sebagai opsi bagi siswa. Muncul kebijakan juga larangan membaca catatan pinggir dan taqrir (syarah atas catatan pinggir). Pada masa ini ruwaq-ruwaq di al-Azhar diperbaharui; dialiri air bersih, dan lampu minyak diganti dengan listrik.

Di tahun 1329 H atau 1911 M, ada sistematisasi lebih rapi di al-Azhar. Seperti absensi siswa, gaji pengajar, dan menentukan pengajar untuk mata pelajaran non agama. Pada tahun 1348 H, atau 1930 M, ketika syaikh Ahmadi al-Dzawahiri memegang jabatan Syaikh al-Azhar, ada kebijakan pembagian kuliah ke Lughah, Ushul al-Din, dan Syariah. Serta ada spesifikasi materi tergantung dari spesifikasi bidang yang diambil. Pada tahun 1936, dibentuk peraturan untuk menjadikan al-Azhar berjenjang; Ibtida’i, Tsanawi, Aliyyah, dan Takhassus. Di setiap tingkat mereka diberi ijazah. Sedangkan gedung kuliah sendiri selesai dibangun pada tahun 1351 H atau 1933 M. Cabang-cabang kuliah ini seterusnya berkembang dari waktu ke waktu. Bahkan, sekarang di al-Azhar sendiri sudah dibuka kuliah-kuliah untuk umum.

Di fase ini, menurut Muhammad al-Baha, pembelajaran model halaqah di Masjid sudah hilang diganti dengan sistem pembelajaran modern di kuliah—ketika kuliah resmi dibagi dalam tiga cabang: Ushul al-Din, Syariah dan Lughah. Pemberhentian itu, menurut Muhammad al-Baha lagi, respon dari agresi-agresi barbarian Turki Utsmani terhadap pengetahuan. Selain mengembalikan ulama ke Negara-negara mereka, Ustmani juga mewajibkan bahasa Turki bagi penduduk Mesir. Efeknya adalah berkembang dialek-dialek Ammiyyah.

Dengan demikian, proyek pembaharuan ini dimulai di tangan Muhammad Abduh, kemudian mendapat sambutan dari Syaikh Hasunah Nawawi. Dilanjutkan perjuangannya oleh Syaikh Ahmadi al-Dzawahiri dan Syaikh Musthafa al-Maraghi. Musthafa al-Maraghi mengatakan, beragama tidak menafikan untuk mempelajari bermacam budaya. Pembaharuan ini diawali di permulaan abad ke 19, atau 13 H. Para pembaharu mencoba mengadopsi sistem pendidikan di Barat untuk diaplikasikan di al-Azhar. Pada tahap pembaharuan ini, kita juga tidak bisa melupakan sosok Rifa’ah Rafi’ al-Thathawi; tokoh yang disebut-sebut sebagai orang pertama yang mengingatkan pentingnya ilmu-ilmu modern di kurikulum al-Azhar.

Di masa Utsmani, kitab-kitab yang diajarkan di antaranya, al-Kawkab al-Munir fi Syarh Jami’ Shaghir, Multaqa al-Bahrayn bain al-Jam’ min Kalam Syaikhain, al-Faraid al-Sunniyah fi Syarh Muqaddimah al-Sanusiyyah, al-Durar al-Sunniyyah li Halli Alfadz al-Jurumiyyah, Aqrab al-masalik li Madzhab Imam Malik dan selainnya.

Sedang di masa modern, kitab-kitab yg dikaji adalah, Umm al-Barahin karangan Muhammad Yusuf Sanusi dengan Syarahnya dari Sanusi, Syaikh Hudhudi, dan Syaikh al-Bajuri, Jawharat al-Tawhid, al-Maqasid, Taflis al-Iblis, al-Ihya, al-Kasysyaf, al-Jalalayn, Tuhfat al-Athfal, shahih Bukhari, Muslim, Muwatha syarah Zurqani, al-Jami al-Shaghir karangan Suyuthi, al-Syamail al-Muhammadiyyah karangan al-Hafidz al-Turmudzi, alfiyyat al-Hadis karangan al-Hafidz al-Iraqi, al-Nukhbah karangan Ibnu Hajar, al-Bayquniyyah, al-Bidayah karangan al-Marghinani, Fath al-Qadir, Asybah wa al-Nadzair karangan Ibnu Najim, al-Kharraj Abu Yusuf, al-Asymawiyyah, Aqrab al-Masalik karangan al-Dardiri, al-Majmu syaikh al-Amir, Asybah wa al-Nadzair, Taqrib, al-Wajiz, al-Muqni Ibnu Qudamah, Inshaf Mardawi, Jam’ al-Jawami’, Waraqat, Mukhtashar Ibnu al-Hajib, Fiqh al-Lughah karangan al-Tsa’labi, Alfiyyah, Jurumiyyah, Mughn al-Labib, al-Syafiyyah karangan Ibnu al-Hajib, al-Talkhis li al-Quzwaini bisyarh al-Sa’d, al-Jawhar al-Maknun karangan Akhdlari dengan syarah Damanhuri, serta al-Kafi, al-Khazrajiyyah (Arudl), al-Sullam li al-Akhdlari, al-Tahdzib karangan Sa’d al-Din al-Taftazani (Mantik), dan seterusnya.

Pada tahun 1911 dikeluarkan keputusan untuk membentuk sekumpulan Dewan Tinggi Ulama al-Azhar (Hay’ah Kibar al-Ulama) di kepemimpinan syaikh Salim Bisyri. Setiap dari mereka diberi waktu khusus di al-Azhar untuk mengajarkan ilmu-ilmu tradisional dengan cara tradisional, serta tidak terikat peraturan sebagaimana peraturan-peraturan di universitas modern. Hal ini sebagai benteng agar pengajaran tradisional tidak dilupakan, setelah sebelumnya al-Azhar berkutat dengan sistem pendidikan modern. Di antara peraturan-peraturan yang diberlakukan di kelompok ulama ini: umurnya tak boleh kurang dari 45 tahun, sudah pernah mengajar di Masjid al-Azhar atau tempat lain minimal 10 tahun, harus sudah mempunyai buku di disiplin keislaman, bertakwa. Kemudian nama “Ha’yah Kibar al-Ulama” dirubah pada tahun 1936 menjadi “Jama’ah Kibar al-Ulama”. Di tahun ini pula ditambahkan beberapa syarat bagi yang hendak mengajar di al-Azhar; harus terdaftar di keanggotaan ulama yang memberikan peran di bidang agama, dan harus menyerahkan hasil karya sebagai syarat masuk. Sebagian dari mereka mengajar di sekolah kejuruan, dan sebagian lagi tak mengajar. Lazimnya, para anggota ini terus mengajarkan ilmu di al-Azhar sampai meninggal. Akan tetapi pada tahun 1961, Jama’ah Kibar al-Ulama diberhentikan. Dan diganti dengan Majma’ al-Buhus al-Islamiyyah. Lembaga ini dianggotai oleh 50 ulama kapabel dari setiap madzhab. Lembaga ini terus mengalami perkembangan di tahun-tahun setelahnya.

Di abad ke 21 ini, menurut Ridwan Sayyid, al-Azhar telah terang-terangan menunjukkan moderatismenya terhadap berbagai persoalan. Jika pra revolusi, Islam garis keras tak bisa bersuara, maka paska revolusi di Mesir, gerakan Islam garis keras seakan mempunyai lahan luas untuk menyebarkan pemahaman mereka. Ikon moderatisme al-Azhar sendiri—menurut Ridwan Sayyid—telah terwakili di dua sosok Syaikh al-Azhar: Sayyid Thantawi dan Syaikh Ahmad Thayyib. Dua tokoh ini merupakan representasi yang cukup baik bagi gerakan reformasi al-Azhar setelah Muhammad Abduh. Paska revolusi, di kepemimpinan syaikh Ahmad Thayyib, al-Azhar kemudian kembali memfungsikan ruwaq-ruwaqnya secara lebih tertata untuk memberikan konsep moderatisme Islam pada siswanya, serta membentengi mereka dari pemahaman radikalisme yang berkembang. Di antara yang mengajar di sana adalah Syaikh al-Azhar sendiri, Ahmad Thayyib, kemudian mufti Mesir, syaikh Ali Jum’ah Muhammad yang kita kenal dengan fatwa-fatwanya yang toleran terhadap berbagai perbedaan di tubuh umat Islam, syaikh Hasan Syafi’i, syaikh Usamah Sayyid al-Azhari, syaikh Jamal al-Faruq, dan selainnya. Kitab-kitab yang dikaji meliputi fikih madzhab empat, tafsir, bahasa, ilmu kalam, serta mantik. Di antaranya adalah al-Kasysyaf, Mughni al-Labib, al-Asybah wa al-Nadzair , Hasyiah al-Amir, Minhaj al-Thalibin, Syarh Ibnu Aqil, Bahjat al-Nufus, al-Fawakih al-Dawani, al-Rawdl al-Murabba’, dan selainnya. Sedang tempat yang dipergunakan untuk halaqah ini adalah ruwaq al-Atrak, Magharibah, Fasyaniyyah, Abbasi, dan Sha’ayidah.
Selengkapnya...

Sunday, 4 December 2011

Pemikiran al-Razi Dan Karyanya

Oleh Ahmad Hadidul Fahmi

Fakhr al-Din al-Razi lahir di Kota Ray, Iran pada tahun 544 H. Garis keturunannya bersambung pada Abu Bakar al-Shiddiq, shahabat kepercayaan Nabi Saw. Ayahnya adalah Dliya’ al-Din Umar, pembesar Syafi’iyyah sekaligus Asy’ariyyah pada masa itu. Ia mempunyai kitab terkenal bertajuk Ghayât al-Marâm fî Ilm al-Kalâm. Ayahnyalah yang kemudian membentuk karakter keilmuan al-Razi. Kota Ray memang dikenal mencetak banyak sarjana besar. Kita mengenal sufi,Abu Zakariya Yahya bin Mu’adz al-Razi (w. 258 H), kemudian dokter sekaligus filsuf besar, Abu Bakar Muhammad bin Zakariya al-Razi (w. 311 H), pakar bahasa, Abu al-Husayn Ahmad bin Faris al-Razi (w. 315 H), pakar hadis, Ibnu Abi Hatim al-Razi (w. 327 H), pakar fikih Hanafi, Abu Bakar al-Razi al-Jashshash (w. 370 H), Muhammad bin Abi Bakr al-Razi dan Quthb al-Din al-Razi. Masa al-Razi ini diumpamakan seperti masa al-Makmun dari segi dinamika intelektual—walaupun grafik keemasan Islam pada waktu itu sudah menurun. Oleh karena itu kita mengenal banyak sarjana besar yang semasa dengan al-Razi, seperti Ibnu Rushd (w. 595 H), al-Suhrawardi (w. 587 H), Ibnu Arabi (w. 638 H), dan Abd al-Qadir al-Jilani (w.561 H).

Ia berkeliling ke pelbagai negeri dalam menimba ilmu. Seperti perjalanan pertamanya ke Semnan dan Maragheh, Iran. Selain dikenal pengikutnya banyak, ia juga dikenal banyak musuh. Hal itu karena al-Razi kerap berkeliling dunia untuk menantang musuh-musuhnya berdebat dan berdialog. Seperti perjalanan al-Razi ke Khawarizmi untuk berdebat dengan Muktazilah, sampai akhirnya ia diusir dari sana. Perjalanan intelektual al-Razi untuk berdebat terekam dalam autobiografi yang diberi nama Munadzârât al-Râzi fi Bilâdi Mâ warâ’a al-Nahr, atau perdebatan al-Razi di Transoxania. Menurut Shalih al-Zirkan, perdebatan ini terjadi antara tahun 580 dan 590 H. Ia memasuki Bukhara, Samarqand, Khujand, kemudian menantang para pembesar di daerah tersebut untuk berdiskusi di depan umum. Tema yang didiskusikan berkaitan dengan fikih, ushul fikih, kalam dan filsafat. Ada nuansa keangkuhan tatkala al-Razi mensifati para pembesar di masing-masing daerah. Sebagaimana ketika ia menggambarkan Ridla al-Naysaburi, lawan debatnya di Bukhara, dengan perkataan, "ia terlalu banyak berpikir, tetapi sedikit bicara." Dan menghina al-Nur al-Shabuni di depan umum dengan ungkapan, "saya menganggap Anda bukan bagian orang-orang yang berpikir rasional, lebih-lebih untuk menganggap Anda bagian dari orang-orang hebat dan ulama."

Lepas dari itu, ketinggian intelektualitas al-Razi tak ada yang meragukan. Bagaimana tidak, dalam perkataannya, "demi Tuhan, saya khawatir di waktu makan tidak bisa menyibukkan diri dengan urusan ilmu. Karena sesungguhnya waktu dan zaman berharga", menunjukkan al-Razi merupakan tokoh yang ‘tergila-gila’ dengan ilmu. Karena ini, karangan al-Razi hampir mencapai nominal seratus. Karangan-karangan al-Razi yang sampai pada generasi sekarang, menyiratkan penguasaannya yang mendalam terhadap pelbagai disiplin ilmu. Al-Razi menguasa sejarah, ushul fikih, fikih, filsafat, ilmu kalam, kimia, kedokteran, bahkan ilmu sihir—dalam bukunya al-sirr al-maktûm. Al-Shafadi menuturkan, seperti dilansir Fathullah Khalif dalam bukunya Fakhr al-Din al-Râzi, metodologi al-Razi dalam menulis sebuah karya adalah dengan menyebutkan satu masalah, kemudian memunculkan klasifikasi dari setiap permasalahan, dan bagian-bagian yang merupakan perpanjangan dari klasifikasi tersebut. Al-Razi mempergunakan penyelidikan (al-sabr) dan klasifikasi (al-taqsîm) untuk menguatkan argumentasinya. Akan tetapi, menurut al-Shafadi lagi, metode ini mempunyai cela karena mempergunakan redaksi yang teramat ringkas. Bahkan al-Shafadi mengakui, ia terkadang tak mampu mengikuti alur pikiran al-Razi karena ringkasnya redaksi tulisan. Justru untuk memahami persoalan yang dilontarkan al-Razi, al-Shafadi kerap merujuk al-Ghazali di permasalahan yang sama.

II

Al-Razi belajar fikih pada ayahnya sendiri. Berdasarkan silsilah keilmuan yang ia tulis, berawal dari ayahnya (Dliya’ al-Din Umar), al-Baghawi (w. 516 H), al-Qadli al-Husayn al-Marwazi (w. 462 H), al-Qaffal (w. 417 H), Abi Zayd al-Marwazi (w. 371 H), Abi Ishaq al-Marwazi (w. 340 H), Abi al-Abbas bin Suraij (w. 306 H), Abi al-Qasim al-Anmathy (w. 288 H), Abi Ibrahim al-Muzani (w. 264 H), sampai pada Imam Syafi’i (w. 204 H). Menurut banyak sejarawan, dalam disiplin fikih, al-Razi mengarang sebuah buku yang menjabarkan kandungan (al-syarh) al-Wajîz karangan Abu Hamid al-Ghazali. Akan tetapi karangan ini dipercaya hilang karena tak sampai ke kita. Pandangan-pandangan fikihnya bisa dianalisa mempergunakan tafsirnya ensiklopedisnya, Mafâtih al-Ghaib, tatkala berbicara tentang ayat-ayat hukum yang berhubungan dengan fikih. Atau bisa ditilik juga dari buku perdebatan al-Razi dengan ahli fikih Bukhara—dalam permasalahan jual beli—yang terekam dalam bukunya Munadzarat Fakhr al-Din al-Râzi. Permasalahan fikih yang sebenarnya cukup sederhana, di tangannya dimodifikasi dengan teori-teori filsafat yang cukup pelik dan sulit dicerna. Berdebat dengan Ridla Naysaburi, Ia mengatakan,

"perwakilan dalam jual beli mutlak tidak bisa dikatakan memiliki barang dengan unsur tipuan. Argumentasinya adalah, “mewakilkan untuk menjual sesuatu” tidak bisa mencakup “penjualan dengan tipuan dalam harga” (al-ghabn al-fahisy), tidak dari sudut pandang redaksi (lafadz) ataupun makna. Maka jual beli tidak sah. Saya mengatakan: mewakilkan tidak mencakup jual beli dengan tipuan, karena redaksinya “mewakilkan untuk menjual”. Dan mewakilkan untuk menjual bukanlah mewakilkan untuk penjualan yang dimaksud. Adapun redaksi mewakilkan untuk menjual (al-tawkîl bi al-bai’) sudah sangat jelas. Sedangkan mewakilkan untuk menjual bukanlah mewakilkan untuk penjualan yang dimaksud, alasannya, “menjual” mempunyai makna ganda bahwa yang dimaksud adalah menjual dengan harga sewajarnya, dan menjual dengan melakukan penipuan dalam harga (al-ghabn al-fahisy). Sedangkan Lafadz berhomonim (al-musyârakah), berbeda dengan lafadz yang bermakna beda (al-mubâyanah), serta tidak meniscayakan (al-musyârakah) terhadap al-mubâyanah. Maka jelas, bahwa perwakilan dalam jual beli tidak bisa merangkum jual beli dengan tipuan dalam harga."

Di sini al-Razi jelas memasukkan pembahasan ilmu logika dalam disiplin fikih. Persoalan yang dimunculkan adalah tentang hukum perwakilan dalam jual beli. Jika untuk jual beli mutlak (penjualan barang dengan mata uang), maka penjualan barang dengan tipuan dalam harga (al-ghabn al-fahisy) tidak termasuk di dalamnya. Ia mempergunakan metode perbedaan genus (al-jins) dan pembeda (al-fashl). Aplikasinya, jual beli adalah genus, yang di dalamnya terdapat jual beli dengan harga yang berlaku (bai’ bi al-mitsl), dan jual beli dengan tipuan dalam harga—yang kemudian disebut pembeda (al-fashl). Oleh karena itu, jual beli dengan tipuan dalam harga dengan sendirinya tidak bisa termasuk dalam jual beli mutlak, walaupun jual beli bisa mencakup jual beli yang mempergunakan tipuan dalam harga. Dengan kata lain, tesis tersebut akan meniscayakan setiap keumuman akan selalu didapat dengan kekhususan. Dan yang demikian tidak logis. Sebagaimana perkataan, “jika ini adalah hewan, maka pasti manusia—dalam standar pengertian manusia adalah hewan yang berakal.”

Sedang dari sudut pandang makna, al-Razi melanjutkan,

"Adapun tidak sah dari sudut pandang makna, dasarnya adalah, sebuah lafadz dikatakan bermanfaat jika menunjukkan ‘suatu hal’, oleh karena itu ‘hal tersebut’niscaya keluar dari esensi lafadz. Keniscayaan itu bersifat absolut dan berdasar kebiasaan, sebab, lafadz yang menunjukkan pada sebuah hal tentu saja memberikan faidah dari sudut pandang makna. Maka di sini terdapat dua perkara hilang.Dari sudut pandang makna, jual beli dengan tipuan dalam harga ‘bukan keniscayaan’ jual beli, sudah demikian jelas. Sebab, terminologi jual beli (al-bai’) merupakan lafadz yang mempunyai makna penjualan dengan harga wajar, dan penjualan dengan tipuan dalam harga. Lafadz yang bermakna ganda (homonim) tidak meniscayakan lafadz yang bermakna beda. Jika tidak, maka jika disebutkan lafadz berhomonim, akan selalu meniscayakan lafadz yang maknanya beda."

Dalam al-Mahshûl, al-Razi menjelaskan ketetapan di atas, sebagai berikut,

"permasalahan keenam, perintah untuk mengerjakan sebuah hal secara umum (mâhiyyah), tidak selalu berkonsekuensi menunjukkan perintah untuk hal-hal partikularnya (juz’iyyât). Seperti perkataan, ‘jual baju ini!’, tidak menunjukkan perintah ‘menjual baju dengan tipuan harga’ (al-ghabn al-fâhisy), atau ‘menjual dengan harga normal’ (al-bai’ bi al-mitsli). Sebab, kedua hal partikular (al-bay’ bi al-ghabn al-fâhisy dan baiy’ bi tsaman al-mitsli) ini termasuk dalam keumuman jual beli. Dan antara yang partikular sendiri niscaya berbeda satu sama lain […]. Jika demikian, maka perintah untuk mengerjakan ‘genus’ tidak meniscayakan perintah untuk mengerjakan ‘spesies’nya. Akan tetapi jika ada ‘kerelaan’ untuk melakukan praktek partikular (spesies)—dalam hal ini sebagai qarînah, maka keumuman lafadz bisa saja dibawa ke sana. Oleh karena itu kita mengatakan, ‘perwakilan dalam jual beli mutlak tidak bisa memiliki barang dengan penjualan jual beli tipuan, walaupun dikatakan memiliki barang dengan penjualan harga sewajarnya (al-bai’ bi al-mitsli) karena ada dalil yang menunjukkan kerelaan masyarakat terhadapnya—oleh karena kebiasaan."

Nalar al-Razi sebagai teolog, mendominasi pembahasan-pembahasan fikih dan selalu ditarik dalam pembahasan logika. Walaupun begitu, koridor berpikirnya masih dalam kerangka madzhab Syafi’i. Ia bahkan menulis biografi khusus Imam Syafi’i yang diberi nama Manâqib al-Imâm al-Syâfi’î, serta menjelaskan pelbagai permasalahan antar madzhab, kemudian menguatkan pendapat imamnya. Walaupun pada beberapa permasalahan, al-Razi kerap berbeda dengan Imam Syafi’i, seperti pada masalah ‘pengangkatan tangan’ dalam shalat dianjurkan di empat tempat—sedang Syafi’i di tiga tempat, ia sepakat dengan Abu Hanifah dalam kewajiban zakat buah-buahan dan tanaman, kewajiban witir, orang yang dahaga dan tidak menemukan air wajib minum khamr, dan melemahkan pandangan Imam Syafi’i yang melihat kewajiban penerima zakat terbatas di delapan kelompok yang disebutkan oleh al-Qur’an. Keberanian al-Razi untuk berbeda dengan Imam Syafi’i, tentu bertentangan dengan ungkapan Ibnu Taymiah yang mengatakan bahwa al-Razi termasuk sarjana Islam yang lemah dalam disiplin fikih. Ungkapan Ibnu Taymiah lebih karena fanatik sebab al-Razi mengarang buku tentang sihir. Bagi sebagian sarjana, Ibnu Taymiah tidak membaca lengkap seluruh karya al-Razi, tetapi anehnya, ia mempunyai keberanian menggeneralisasi kapabilitas intelektual al-Razi.

III

Thaha Jabir al-Ulwani menuturkan, bahwa kitab ushul fikih yang paling layak dikaji setelah al-Risalah Imam Syafi’i adalah al-Burhân karangan Imam Haramain, al-Mustashfâ karangan al-Ghazali—ketiganya dari Ahli Sunnah, al-‘Ahd karangan al-Qadli Abd al-Jabbar dan al-Mu’tamad karangan Abu Husayn al-Bashri—keduanya dari Muktazilah. Empat kitab ini mempunyai karakteristik yang berbeda satu sama lain, sehingga bagi pengkaji ushul fikih, kerap merasa kesulitan jika harus mengkaji empat buku ini bersamaan. Fakhr al-Din al-Razi dan al-Amidi--melalui bukunya al-Mahshûl fi ‘Ilm al-Ushul dan al-Ihkam fî Ushûl al-Ahkâm —berusaha merangkum keempat kitab ushul babon tersebut. Karena tak dapat disangkal, bahwa al-Razi telah mendalami ushul fikih semenjak dini. Al-Razi telah hafal al-Mustashfâ karangan Abu Hamid al-Ghazali dan al-Mu’tamad buah tangan Abu Husain al-Bashri di awal karirnya. Karena ini, oleh para ahli tahkik dan sarjana ushul fikih, al-Razi digelari “al-Imam”.

Ia tak seperti al-Amidi, yang hanya merangkum keempat kitab di atas dalam al-Ihkâm. Tetapi meneliti dan mengkaji secara kritis tesis-tesis yang tertuang dalam keempat kitab babon tersebut. Al-Razi kerap melampaui capaian nalar Imam Haramain, al-Ghazali, Abdul Jabbar dan Abu Husain al-Bahsri di pelbagai permasalahan, dan meyakini pendapat yang baginya lebih kuat dan rasional secara independen. Oleh karena itu, hemat penulis, Al-Razi dalam kitabnya sebenarnya tak bisa dikatakan sepenuhnya menggabungkan keempat paradigma penulis kitab ushul fikih sebelumnya. Sebab, pada faktanya ia lebih banyak mengkritik pandangan-pandangan Muktazilah—dalam permasalahan parsial--dan mengunggulkan pandangan Madzhabnya—walaupun pada satu keadaan juga ia berani berbeda dengan al-Ghazali dan pada beberapa kecil permasalahan ia lebih sepakat dengan Muktazilah. Akan tetapi dalam skala mayoritas, al-Razi tak keluar dari metode berpikir madzhab Syafi’ dan Asy’ari.

Untuk mengidentifikasi karangan-karangan al-Razi, saya berhutang budi terhadap Thaha Jabir al-Ulwani. Al-Ulwani mencoba memilah karya-karya al-Razi yang diyakini benar-benar ditulis olehnya, ataupun yang diragukan sebuah karya benar-benar ditulis oleh al-Razi. Bahkan mencoba mengoreksi nama karya al-Razi yang dituliskan oleh sejarawan klasik, akan tetapi terdapat kesalahan penulisan dan penyematan. Hal itu, misalnya, dilakukan oleh Haji Khalifah yang menyebut Durrat al-Tanzîl wa Ghurrat al-Ta’wîl sebagai karangan al-Razi dalam tafsir,padahal kitab tersebut karangan al-Khatib al-Iskafi (w. 421 H).

Selain al-Mahsûl, al-Razi mempunyai beberapa karangan dalam disiplin ushul fikih; pertama,Ibthâl al-Qiyâs.Tetapi buku ini belum selesai. Oleh karena itu, Dr. Mohammad Hassan dalam bukunya Fakhr al-Din al-Râzi memandang, al-Razi termasuk sarjana yang menolak argumentasi analogi (al-qiyâs) karena ia mempunyai buku yang spesifik menolak argumentasi analogi (al-qiyâs); kedua, Ihkâm al-Ahkâm. Ulwani mengatakan, al-Razi dalam karangan-karangannya yang lain tak pernah menyebut secara eksplisit terhadap buku Ihkâm al-Ahkâm ini. Buku ini merupakan buku al-Razi yang dipercaya hilang; ketiga, al-Jadal. Seperti didapatkan dari perpustakaan di Turki, buku ini lengkapnya berjudul al-Jadal wa al-Kâsyif ‘an Ushûl al-Dalâil wa Fushûl al-‘Ilal; keempat, Radd al-Jadal; kelima; al-Tharîqah fi al-Jadal; keenam, al-Tharîqah al-‘Alaiyyah fî al-Khilâf. Akan tetapi al-Ulwani meragukan penisbatan buku ini terhadap al-Razi; ketujuh,‘Asyrat Alâf nuktat fî al-Jadal; kedelapan, al-Ma’alim fî Ushûl Fiqh; kesembilan, al-Muntakhab atau Muntakhab al-Mahsûl. Buku ini merupakan ringkasan dari al-Mahsûl. Akan tetapi al-Ulwani meragukan penisbatan buku ini pada al-Razi; kesepuluh, al-Nihâyah al-Bahâiyyah fî al-Mabâhits al-Qiyâsiyyah.

Al-Mahshûl merupakan karya terpenting al-Razi dalam disiplin ushul fikih. Karya-karya ushul fikih yang ditulis sebelum al-Mahshûl, sudah terangkum dalam al-Mahshûl, sedangkan karya yang ditulis setelah al-Mahshûl, adakalanya ringkasan atau pilihan atas bagian-bagian penting dari al-al-Mahshûl. Kitab ini ditulis pada usia 32 tahun. Al-Razi merupakan sarjana ushul yang bercorak falsafi. Kita bisa melihat satu contoh dari pembahasan definisi “hukum syara’” yang mengindikasikan hal itu. Selesai mendefinisikan hukum Syara’, al-Razi menyebut potensi kritikan untuk definisi yang sudah disebutkan,

"jika dikatakan: definisi ini tidak logis karena empat hal. Pertama, jika demikian, maka hukum Allah adalah firman Allah. Sedang firman Allah—bagi kalian—qadîm (tak berawal). Maka niscaya hukum Allah—halal dan haramnya—pun qadîm.Kritikan ini lemah dari tiga sisi; pertama, bolehnya bersetubuh dengan perempuan yang dinikahi, dan haramnya dengan perempuan lain (ajnabiyyah), merupakan sifat tindakan hamba. Oleh karena itu dikatakan, ‘setubuh ini halal atau haram’. Tindakan hamba sendiri adalah ‘perkara baru’, dan sifat untuk ‘perkara baru’ tidaklah dikatakan ‘tak berawa’l (qadîm); kedua, dikatakan: perempuan ini halal bagi Zaid ‘setelah’ tidak dihalalkan. Hal ini mengindikasikan bahwa hukum tersebut adalah ‘baru’; ketiga, konsekuensi dari dihalalkannya setubuh adalah nikah, atau kepemilikan terhadap seorang hamba. Sehingga segala hal yang digantungkan terhadap perkara baru, maka mustahil ‘tak berawal’. Sehingga tetaplah bahwasanya ‘hukum’ tidak mungkin ‘tak berawal’. ‘Firman’ boleh jadi tak berawal, akan tetapi ‘hukum’ bukanlah ‘khitab’."

Selain dalam al-Mahshûl, dalam kitabnya yang lain yang bertajuk Munadzârât, ia mengkritik al-Ghazali dalam perkara tanah ghashab dan mengaitkannya dengan permasalahan teologis yang cukup rumit.Al-Razi kelihatan gerah dengan pengagungan masyarakat Tus, Iran, terhadap al-Ghazali. Ia mengatakan, “kalian menghabiskan umur untuk membaca kitab al-Musthashfâ. Barang siapa mampu menghadirkan argumen dari kitab al-Musthashfâ dan mempresentasikannya di hadapanku tanpa bisa dimasuki argumen lain, maka aku akan memberinya seratus Dinar.” Kemudian datang—sebagaimana penuturan al-Razi—orang yang tercerdas di antara mereka, dan berbicara mengenai shalat di tanah ghashab (al-shalât fî al-ardl al-maghsûbah), sebab ia mengira bahwa perkataan Ghazali dalam permasalahan tersebut sangat kokoh. Menurut al-Ghazali, ‘arah’ shalat dan ghashab terdapat perbedaan yang tak bisa bertemu. Al-Razi membantah,

"shalat terdiri berdiri, duduk, ruku’, sujud. Semua aktivitas ini adalah gerak dan diam. Gerak merupakan aktivitas yang ‘menempati ruang’ setelah sebelumnya ‘berada di ruang lain’. Sedang diam adalah aktivitas berhenti di satu tempat dalam waktu relatif lama. Menempati ruang adalah bagian dari gerak dan diam. Dan keduanya merupakan bagian dari shalat. Jika Anda mengetahui hal ini, maka saya berkata: jika shalat yang berada di tanah ghasab adalah bagian dari penempatan terhadap tanah yang dighashab, maka penempatan ini jelas tidak dibolehkan. Dan bagian dari aktivitas shalat dalam tanah yang dighashab sama juga tidak dibolehkan. Ghashab dan haram di sini menjadi bagian dari aktivitas shalat. Oleh karena itu tidak diperbolehkan menghubungkan perkara ini dengan shalat. Sebab perintah untuk shalat artinya perintah dengan segala aktivitasnya. Jika aku sudah menunjukkan salah satu aktivitasnya menempati ‘ruang’ tersebut, dan sudah menunjukkan bahwa ‘penempatan’ tersebut tidak diperbolehkan, maka akan ada pertemuan antara perintah dan larangan untuk satu hal dengan satu alasan bersamaan. Dan yang demikian tidak mungkin.
"
Al-Razi juga termasuk sarjana ushul yang menyetujui bahwa rasul bisa berijtihad. Dan ijtihadnya bukan hukum paten yang tidak bisa berubah, seperti dalam strategi perang dan perkara dunia. Lompatan yang cukup signifikan lagi adalah, al-Razi membedakan antara hukum Allah yang paten, dan didasarkan pada teks yang jelas, dengan hukum yang didasarkan pada teks yang masih multi-interpretatif. Untuk yang pertama, tidak bisa dikatakan, “ini adalah Madzhab Fulan”, karena termasuk kategori hukum yang tak bisa ditawar (mâ ulima min al-dîn bi al-dlarûrah). Sedangkan untuk yang kedua (inferensi hukum dari teks yang multi-interpretatif), bisa dikatakan, “ini adalah Madzhab Fulan”. Artinya adalah, fikih dalam perbincangan hukum yang dihasilkan oleh metode yang bermacam dari pelbagai madzhab yang ada sekarang, merupakan “pilihan”.

IV

Teologi Asy’ari sebagai madzhab pemikiran dalam teologi—semenjak kemunculannya pada abad ke 4 H—sangat diperhitungkan dalam dinamika intelektual Arab-Islam. Fakhr al-Din al-Razi adalah salah satu sarjana besar Asy’ari. Ia belajar ilmu kalam pada ayahnya (Dliya' al-Din Umar), kemudian Abi Qasim bin Nashir al-Anshari (w. 511 H), Abu al-Ma'ali al-Juwaini (w. 487 H), Abu Ishaq al-Isfrayini (w. 418 H), Abu al-Huseyn al-Bahili, hingga sampai pada Abu al-Hasan al-Asy'ari (w. 234 H). Seperti diungkapkan Ibnu Subki, al-Razi adalah pembaharu keenam—sebagaimana diambil dari hadis Nabi bahwa akan datang pembaharu di setiap seratus tahun—yang datang setelah kurun Imam Ghazali. Bagaimana tidak, jika Asy’ariyyah meletakkan diri di tengah rasionalitas Muktazilah dan literalisme Hanabilah, al-Razi yang merupakan pembesar sekte Asy’ari di abad ke-6, mengikrarkan bahwa akal didahulukan di atas dalil jika terdapat pertentangan di antara keduanya. Ia mengatakan dalam Asâs al-Taqdîs,

"dalil dalil rasional jika bertentangan dengan teks, bagaimana? Ketahuilah, bahwa jika dalil rasional telah mencapai satu capaian, kemudian argumen teks mengatakan sebaliknya, maka keadaannya tak akan mungkin lepas dari empat hal berikut ini: pertama, rasio akan sesuai dengan teks. Di sini akan ada pembenaran terhadap dua hal yang bertentangan. Dan ini mustahil; kedua, dua-duanya tidak benar. Jelas mustahil pula, karena yang demikian merupakan penolakan terhadap dua hal yang bertentangan; ketiga, yang benar adalah capaian teks, sedangkan capaian rasio tak benar. Ini mustahil juga. Sebab, kita tak mungkin mengetahui kebenaran teks tanpa landasan rasional […..] maka tetaplah (kemungkinan keempat) bahwa tidak menerima rasio untuk membenarkan teks merupakan bentuk penolakan terhadap teks dan rasio bersamaan. Dan ini tak benar. Ketika keempat klasifikasi ini tak bisa diterima, maka yang tersisa tinggal rasio memutuskan bahwa dalil teks adakalanya tidak tepat, atau tepat, akan tetapi yang dimaksud bukan yang tertuang secara tekstual (legitimasi takwil)."

Di sini al-Razi meyakini bahwa dalil rasional independen, sebab mampu membawa teks jauh dari makna literalnya. Artinya, jika terdapat pertentangan, bukan rasio yang kalah. Akan tetapi teks yang kalah. Di titik ini, pengaruh metode Muktazilah terhadap pemikiran al-Razi terlihat lebih kental dari pengaruh sarjana Asy’ariyyah. Akan tetapi jika kita melihat wasiat akhirnya, pada akhirnya al-Razi membuang jauh cara berpikir demikian. Ia mengatakan, "Aku telah menguji beragam metode dalam ilmu kalam, metode-metode filsafat, dan aku tidak melihat manfaat di sana yang bisa menyamai manfaat yang aku temukan di dalam al-Qur’an. Sebab al-Qur’an berusaha untuk menyematkan keagungan dan kebesaran terhadap Allah secara total, dan mencegah untuk tidak terlalu masuk dalam pertentangan dan perdebatan. Hal itu tidak lain karena didasari pengetahuan bahwasanya akal manusia kabur dan terbatas jika dihadapkan pada perkara-perkara sulit nan pelik, dan dihadapkan pada metode yang tidak jelas. Oleh karena itu, aku mengatakan, segala sesuatu yang ditetapkan dengan argumen yang kuat tentang keniscayaan keberadaan-Nya, keesaan-Nya, tidak ada yang serupa dengan eksistensi-Nya yang tak berawal dan tak terikat oleh waktu, pengaturan dan tindakan-Nya—semua ini adalah pendapatku, dan melalui pendapat itu, aku akan (berani) bertemu Allah. Adapun persoalan yang berujung pada kerumitan dan ketidakjelasan, maka semua yang terdapat di dalam al-Qur’an dan hadis shahih yang disepakati oleh para imam yang jadi panutan, untuk menunjuk terhadap makna satu, maka hal tersebut akan tetap sebagaimana adanya (tanpa dirubah)."

Jika dikalkulasi, mayoritas karangan al-Razi memang dalam disiplin ilmu kalam. Karangan al-Razi dalam disiplin ini mencapai 34 lebih. Di antaranya adalah Ajwibat al-Masâil al-Najjâriyyah, Asâs al-Taqdîs, Tahshîl al-Haqq, al-Jabar wa al-Qadar, al-Jawhar al-Fard, Hudûts al-Alâm, al-Khalq wa al-Ba’ts, al-Khamsîn fî Ushûl al-Dîn, al-Zubdah fî Ilm al-Kalâm, 'Ishmat al-Anbiyâ’, Nihâyat al-‘Uqûl fî Dirasât al-Ushûl, al-Arba’în fî Ushûl al-Dîn, al-Bayân wa al-Burhân, Irsyâd al-Nudzdzâr ilâ Lathâif al-Asrâr, Tahshîl al-Haq, al-Risâlah al-Kamâliyyah fi al-Haqâiq al-Ilâhiyyah, al-Mahshûl fî Ilm al-Kalâm, Ma’alim Ushûl al-Din, Syarh Asmâ Allâh al-Husnâ, I’tiqadât Firaq al-Muslimîn wa al-Musyrikîn, al-Isyârah fî Ilm al-Kalâm. Sedang karangan al-Razi yang memuat dua disiplin bersamaan (kalam dan filsafat) adalah: Muhashshal Afkâr al-Mutaqaddimîn wa al-Muta’akhkhirîn min al-Ulâma’ wa al-Hukâma wa al-Mutakallimîn dan al-Mathâlib al-Âliyah.

Dalam disiplin ini, ada dua karya al-Razi yang akan sedikit penulis jabarkan lebih lanjut. Pertama adalah Al-Isyârah fî Ilm al-Kalâm. Kitab ini terkadang ditulis dengan redaksi Tanbîh al-Isyârat, atau al-Isyârât. Seperti ditutukan Abdul Wahhab al-Mushili, al-Razi mengarang al-Isyârah setelah ia mengarang al-Arba’în. Dan al-Isyârâh juga dikarang setelah al-Razi mengarang I’tiqâdât dan Risâlat al-Ma’âd. Al-Isyârah merupakan kitab yang secara spesifik mendeskripsikan pemikiran Asy’ariyyah. Yang menjadikan buku ini menarik adalah, al-Razi di kitabnya ini, tidak mempergunakan redaksi yang susah sebagaimana di kitab lainnya, seperti dalam Nihâyat al-Uqûl, atau al-Mathâlib al-‘âliyah, dan ketika mendiskusikan argumen lawan, al-Razi mencukupkan dengan redaksi yang cukup ringkas. Hal ini yang menjadikan kitab ini diberi judul: al-Isyârah, maksudnya hanya menunjukkan dengan ringkas argumen lawan. Walaupun buku ini dikarang bukan di awal kesibukannya mengarang kitab, akan tetapi substansi kitab ini lebih mirip pengantar memasuki ilmu kalam. Substansi buku ini faktanya hanya mengulang substansi al-Arbaîn.

Seperti dikatakan di atas, mayoritas buku ini merepresentasikan al-Razi sebagai sarjana Asy’ari. Dalam permasalahan yang Asy’ariyyah sendiri terdapat perbedaan, al-Razi dengan tegas mengamini satu tokoh jika sesuai nalar pikirnya. Seperti ia mengamini Asy’ari ketika menjabarkan ilmu ‘tidak niscaya’ terlahir dari penelitian (al-nadzar), akan tetapi tetap melalui ‘campur tangan Tuhan’—sembari mengutarakan penolakan terhadap pandangan yang menyatakan bahwa penelitian menghasilkan pengetahuan, ‘niscaya’ membuahkan pengetahuan, dan selalu melekat dengan penelitian. Sebab, segala sesuatu yang mungkin terjadi (mumkinât) di dunia ini, disandarkan pada kekuasaan Allah. Segala hal yang sama-sama ‘baru-diciptakan’, tidak berelasi dengan hal ‘baru’ lainnya terkecuali hanya pada batas ‘kebiasaan’. Sebagaimana api yang ‘biasa’—bukan niscaya—membakar. Artinya, relasi antara api-membakar atau penelitian-ilmu, bukanlah relasi yang niscaya. Ia menyatakan,

"argumentasinya adalah, jika penelitian menjadi sebab bagi ilmu, atau melekat, niscaya penelitian tak akan mendahului pengetahuan, karena tak mungkin sesuatu dihasilkan, melekat dan disebabkan oleh ketiadaan. Sebagaimana ketika jawhar (substansi), jika melekat dengan ‘ardl (makna yang melekat pada jawhar), maka salah satu dari keduanya tak mungkin mendahului yang lain. Sedang di sini tak mungkin ada penelitian ketika pengetahuan sudah ada. Maka jelaslah bahwa keduanya tak berelasi. Dan pengetahuan dihasilkan berdasarkan kebiasaan."

Sebagai seorang Asy’arian, al-Razi mengkritik Hanabilah yang memandang bahwa ilmu kalam tak boleh dipelajari dan memandang Allah serupa dengan tubuh (corpus/jism). Sebagaimana al-Razi mengkritik para filsuf pada—misalnya—permasalahan jism dan spesifikasi pengetahuan Allah. Baginya, jism mempunyai awal-tercipta (muhdats)—sedang di satu sisi para filsuf berpandangan bahwa jism tak berawal. Ia pun mengkritik pandangan filsuf dan Muktazilah yang menyatakan bahwa Allah tak bisa dilihat. Walaupun Al-Razi menyepakati beberapa tokoh Muktazilah; Abu Hudzail al-Allaf, Abu Qasim al-Bulkhi, Abu Husayn al-Bahsri, dalam permasalahan ‘ketiadaan’ tidaklah menunjukkan apapun. Bahkan dalam beberapa permasalahan, ia mengkritik al-Baqilani karena dianggap tidak berjalan dalam bingkai pemikiran Asy’ariah. Yang menunjukkan bahwa al-Razi mengamini pandangan-pandangan Asy’ari, ia menyebut madzhab ini dengan Madzhab Ahl al-Haqq. Dan al-Razi menyebut Imam Asy'ari dengan Syaikhunâ.

Buku al-Razi lainnya yang menarik dikaji adalah Muhashshal Afkâr al-Mutaqaddimîn wa al-Muta’akhkhirîn. Karya ini tetap dikaji hingga di dua kurun setelah kurun al-Razi. Hal itu disebabkan, Muhashshal merupakan representasi pemikiran sarjana Asy’ari era akhir. Dalam Muhashshal sendiri tidak disebutkan kapan dan di mana al-Razi mengarang kitab ini. Tetapi menurut Uraybi, melihat kitabnya yang lain, Syarh al-Isyârât dan Nihâyat al-Uqûl, kita bisa memperkirakankapan al-Razi mengarang kitabnya tersebut. Dua kitab ini dikarang oleh al-Razi sebelum tahun 582 H, sebelum ia berkelana ke Transoxania. Menurut penuturan al-Razi secara implisit di Muhashshal, ia mengarang buku-buku teologi, logika, dan filsafat sebelum al-Razi mengarang Muhashshal. Sebagaimana disebutkan juga dalam pembukaan bukunya, alasan al-Razi menulis buku ini adalah beberapa orang penting memintanya untuk meringkas pendapat para imam terdahulu, baik itu filsuf maupun teolog, di mana pembahasannya lebih menitikberatkan pada permasalahan fundamental.

Dalam Muhashshal, di satu sisi, al-Razi mengkritik filsafat sebagai sebuah madzhab, pun tokoh-tokohnya, semisal Aristoteles dan Ibnu Sina di sisi yang lain. Begitu pula ia mengkritik Asy’ariyyah sebagai sebuah sekte di satu sisi, pun mengkritik para sarjananya, semisal Asy’ari, al-Baqilani dan al-Juwayni di sisi yang lain. Atau Muktazilah sebagai sebuah sekte, dan tokohnya semisal Abdul Jabbar dan al-Jubbai. Akan tetapi tak jarang al-Razi menyatakan kesepakatannya dengan mereka dalam satu permasalahan. Hal ini menunjukkan, al-Razi tak fanatik terhadap satu madzhab pemikiran. Akan tetapi ia mencoba memilah permasalahan-permasalahan dengan cermat, serta tak terburu-buru menyematkan sebuah pendapat terhadap satu sekte, jika kenyataannya pendapat tersebut hanya diimani oleh satu tokoh dalam sekte tersebut.

Sebagai sampel, kita bisa melihat saat al-Razi mengkritik pemikiran Abu al-Hasan al-Asy’ari, dan pengikutnya dengan penyebutan yang seolah menyiratkan bahwa ia bukan bagian dari kelompok tersebut. Ia mengatakan, "Abu al-Hasan al-Asy’ari dan pengikutnya berpendapat bahwasanya Tuhan kekal melalui sifat di luar Dzat, sedang al-Qadli al-Baqilani dan Imam Haramayn meyakini sebaliknya—dan pendapat inilah yang benar." Al-Razi juga mengatakan, "Abu al-Hasan al-Asy'ari memandang bahwa kuasa hamba tidak bisa mempengaruhi perbuatannya. Akan tetapi yang memberikan pengaruh adalah kuasa Allah."

Muhashshal mengarah pada capaian yang cukup signifikan dalam fase pemikiran al-Razi: al-Razi mengimani bahwa filsafat dan antar madzhab dalam teologi tak mutlak sepenuhnya bertentangan. Akan tetapi di satu permasalahan ada kesesuaian di antara keduanya yang tak harus diperuncing. Tentu saja, sebab Al-Razi dikenal sebagai sosok yang ‘berani’ menggambungkan ilmu kalam dan filsafat. Ilmu yang terlahir dari keduanya—dalam perspektif al-Razi—itu disebut dengan al-Ilm al-Ilâhi (ilmu ketuhanan). Al-Razi termasuk sarjana Asy’ari era akhir yang mengawali memasukkan pembahasan filsafat dalam ilmu kalam. Ignaz Goldziher sebagaimana dikutip Shalih al-Zirkan, pun menyatakan bahwa al-Razi merupakan sarjana yang mengamini kaidah-kaidah ilmu kalam—yang dalam perkembangannya—lebih banyak mengacu pada filsafat Aristoteles sebagai neraca pemikiran. Langkah ini, sebagaimana menimbulkan resistensi—semisal dari al-Sanusi dengan Umm al-Barâhîn, juga memunculkan apresiasi—sebagaimana dari Sa’d al-Din al-Taftazani dengan al-Maqâshid. Bagi yang mengapresiasi ‘harmonisasi’ filsafat dan ilmu kalam, mereka meyakini bahwa metode filsafat akan semakin menguatkan nilai-nilai fundamental akidah dan meluaskan ruang pikir.

Perbedaan mendasar para teolog awal dengan teolog era akhir dalam penggabungan antara filsafat dan kalam adalah, teolog era akhir lebih ‘ndaqiq’ dalam permasalahan filsafat, hingga seakan-akan hendak membuang ilmu kalam. Oleh karena itu, kitab kalam di era belakang, justru lebih mirip dengan buku filsafat, sebagaimana dalam buku al-Mawâqif. Dalam arti, kitab teolog di era akhir memang tidak seperti kitab kalam yang memuat pandangan filsafat—sebagaimana pandangan Ibnu Khaldun, akan tetapi lebih mirip benar-benar buku filsafat. Mungkin hal ini yang menjadikan al-Razi—oleh beberapa ulama—lebih akrab disapa ‘filsuf’ dari pada ‘teolog’. Sebagaimana banyak juga yang tetap kokoh mempertahankan al-Razi sebagai teolog. Pada tahap ini pemikiran al-Razi dalam teologi terkesan bertentangan. Maka, untuk memahami pemikiran al-Razi, kita pun harus memahami fase pemikirannya. Ada baiknya kita simak tesis Mahmud Qasim yang telah berjasa memetakan fase pemikiran sosok besar ini. Menurut Mahmud Qasim, al-Razi di awal ‘karirnya’ adalah seorang teolog, kemudian filsuf, selanjutnya ia lebih memilih 'berdiam' (tawaqquf), kemudian kembali sebagai seorang teolog yang menggambungkan beragam metode filsafat dengan ilmu kalam. Oleh Shalih al-Zirkan, tesis Mahmud Qasim diaplikasikan terhadap pemilahan buku al-Razi; pertama, buku filsafat murni, seperti al-Mabâhits al-Masyriqiyyah, al-Mulakhkhas fi al-Hikmah wa al-Mantiq, Syarh al-Isyârât wa al-Tanbihât, dan Uyûn al-Hikmah; kedua, buku teologi, seperti al-Isyârah, al-Arbaîn, Nihâyat al-Uqûl dan al-Ma’âlim fu Ushûl al-Dîn; ketiga, percampuran antara metode filsafat dan kalam, seperti Muhashshal dan al-Mathâlib al-Âliyah; keempat, buku yang berusaha merasionalkan al-Qur’an, membahas akidah dari sudut pandang ayat al-Qur’an, atau hendak kembali pada metode al-Qur’an, seperti dalam al-Tafsir al-Kabîr.

V

Kepakaran dan kemasyhuran al-Razi dalam ilmu kalam hampir menyamai kepakaran al-Razi dalam tafsir. Dalam disiplin tafsir, al-Razi mempunyai kitab legendaris dan fenomenal yang diberi judul Mafâtih al-Ghayb atau al-Tafsîr al-Kabîr. Buku al-Razi –yang menurut Thasy Kubri Zadah dianggit setelah ia menjadi seorang sufi—telah menyita banyak perhatian dari peneliti, hingga pada satu masa—menurut al-Dzahabi—tidak ada kitab tafsir yang dikaji lagi selain Mafâtîh al-Ghayb ini. Ibnu Taymiah tatkala mengomentari tafsir ini mengatakan, "di dalamnya ada segala hal, terkecuali tafsir." Akan tetapi yang disampaikan Ibnu Taymiah dibantah oleh al-Subky dengan mengatakan, "bukan seperti itu. Akan tetapi, bersama tafsir, terdapat segala hal." Selain itu, al-Razi juga mempunyai kitab lain dalam disiplin tafsir, di antaranya adalah Ahkâm al-Basmallah, Asrâr al-Tanzîl wa Anwâr al-Ta’wîl atau kerap disebut Tafsîr al-Qur’an al-Shaghîr, al-Burhân fî Qira’at al-Qur’an, Mafâtîh al-Ulûm atau Tafsîr Surat al-Fâtihah, Tafsîr Surat al-Baqarah ‘alâ Wajh al-Aqliy lâ al-Naqliy, Tafsîr Surat al-Ikhlâsh, Risâlah fî Ma’ânî al-Mutasyâbihât, dan Rûh al-‘Ajâib.

Terkait al-Tafsîr al-Kabîr, Thaha Jabir al-Ulwani merangkum tiga pandangan sarjana kontemporer dalam menilai kesahehan penisbatan buku ini: Pertama, para sarjana yang menganggap tafsir ini bukan karangan al-Razi. Akan tetapi karangan salah seorang muridnya. Argumennya diambil dalam tafsiran surat al-Wâqi’ah yang berbunyi, "permasalahan ini saya lihat dari perkataan al-Razi setelah saya menyelesaikan tulisan ini." Menanggapi pernyataan itu, komentator dari percetakan al-Bahiyyah al-Mishriyyah itu mengatakan, "pernyataan ini menyiratkan, dan menguatkan bahwa kitab tersebut bukan karangan al-Razi, akan tetapi karangan salah satu muridnya, bahkan mungkin juga dari ulama era akhir." Menurut Thaha Jabir, ungkapan tersebut merupakan ungkapan tergesa-gesa. Karena teks tafsir dari awal hingga surat Wâqi'ah jelas mengindikasikan bahwa tafsir tersebut merupakan karangan al-Razi. Dan semua sejarawan sepakat, al-Razi mengarang kitab tafsir yang diberi nama Mafâtîh al-Ghayb. Kedua, sarjana yang menganggap al-Razi tidak menyelesaikan kitabnya itu. Najmuddin Ahmad bin Muhammad al-Qumuly lah (w. 727 H) yang merampungkan kitab itu, dan Syihab al-Din bin Khalil al-Khuby al-Dimasyqi (w. 639 H) menyempurnakan yang kurang. Di antara yang meyakini pendapat ini adalah Abdurrahman al-Mu’allimi dan Muhammad Husayn al-Dzahabi. Adapun Muhammad Ali al-Immary meyakini bahwa surat al-Wâqi’ah memang tidak dikarang oleh al-Razi. Selain surat Wâqi’ah, ia tetap meyakini bahwa kitab itu merupakan karangan al-Razi.

Adapun pandangan ketiga, para sarjana yang meyakini bahwa al-Razi merampungkan kitabnya itu. Mereka mentakwil pernyataan dalam buku sejarah dan tafsir terkait yang mengindikasikan al-Razi tidak merampungkan Mafâtîh al-Ghayb. Di antaranya adalah Ibnu Asyur, Shalih al-Zirkan, Muhsin Abdul Hamid. Akan tetapi terkadang pentakwilan mereka terkesan berlebihan, walaupun beberapa ada yang masuk akal. Menurut Thaha Jabir al-Ulwani, al-Razi memang menyelesaikan tafsir ini sepenuhnya. Akan tetapi, naskah yang dicetak adakalanya memang diambil dari tulisan al-Razi yang sudah diedit, dan adakalanya diambil dari tulisan yang didiktekan oleh al-Razi, hingga terdapat beberapa editing dan tambahan yang tak dicocokkan dengan naskah aslinya.

Dalam al-Tafsîr al-Kabîr, al-Razi memasukkan permasalahan-permasalahan yang cukup asing jika dikaitkan dengan disiplin tafsir. Ia beralasan, al-Qur’an merupakan kitab suci yang merangkum semua ilmu. Tak heran jika surat al-Fatihah di tangan al-Razi dijabarkan hingga mendekati tiga ratus halaman. Ia mengatakan di awal tafsirnya, "saya sudah mengatakan dalam beberapa kesempatan, bahwa dari surat ini mampu ditafsirkan sepuluh ribu permasalahan. Akan tetapi orang-orang yang bodoh tidak mempercayainya. Dan mereka mengomentari surat al-Qur’an ini dalam buku-bukunya dengan komentar kosong tanpa arti, dan kalimat yang tidak bisa memberikan substansi. Ketika aku menganggit kitab ini, aku mengajukan kata pengantar ini sebagai pengingat bahwa apa yang sudah aku sampaikan sesuatu yang bisa dan dekat kemungkinan terjadi."

Apa yang disampaikan al-Razi ini bisa dilihat saat ia menafsirkan ayat-ayat dalam bukunya itu. Oleh karena itu, saat menafsirkan ayat, ia menjelaskan korelasinya dengan ayat sebelum dan setelahnya, kemudian menjabarkan kandungan ayat, serta disiplin ilmu lain yang berkorelasi dengan ayat, seperti matematika, naturalisme, astronomi, entah itu menyandarkan pada perkataan ulama dalam disiplin ilmu tersebut, atau malah meruntuhkan argumennya. Al-Razi sangat jarang menafsirkan sebuah ayat—tentang Nabi, atau raja dan umat terdahulu—dengan cerita-cerita yang dikutip oleh beberapa penafsir dari para sejarawan, terkecuali jika memang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadis. Ia menganggap, penafsir tidak cukup hanya dengan mengutip sebuah pendapat tentang ayat dari para ulama klasik saja, akan tetapi harus mentarjih dan memilih, serta menjelaskan yang salah dan yang benar dengan argumen yang ditopang dari syariat dan bahasa.

Inklinasi teologis jelas terlihat dalam buku tafsirnya ini. Setiap ada ayat yang berkenaan dengan ilmu kalam, al-Razi sangat terlihat ‘antusias’ untuk membahasnya secara terperinci. Sebagai misal dalam penafsirannya terhadap ayat, “sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa sesuatu yang berguna bagi manusia, dan air yang Allah turunkan dari langit, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi setelah sebelumnya gersang (mati), dan Dia sebarkan di bumi segala jenis hewan, pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh tanda-tanda bagi kaum yang berpikir,” kita bisa melihat al-Razi mengklasifikasi permasalahan yang berkaitan dengan ayat ini. Ia mengatakan,

"permasalahan pertama, ayat ini mengindikasikan bahwa ‘proses mencipta’ (al-khalq/al-takwîn) adalah ‘makhluk’. Karena Allah mengatakan, ‘sesungguhnya penciptaan langit dan bumi[…..]sungguh tanda-tanda bagi kaum yang berpikir’, sangat jelas, bahwa ayat ini berbicara tentang makhluk. Karena makhluk adalah yang menunjukkan terhadap Pencipta. Maka teranglah bahwa ‘proses mencipta’ adalah ‘makhluk’."

Sesungguhnya pada permasalahan ini terdapat perbedaan antara Asy’ariah dengan Maturidiyyah. Asy’ariyyah—termasuk al-Razi—berpendapat bahwa ‘proses mencipta’ adalah ‘makhluk’, sedang Maturidiyyah berpendapat ‘proses mencipta’ bukanlah ‘makhluk’. Maturidiyyah berpendapat bahwa ‘proses mencipta’ termasuk sifat yang ada dengan sendirinya (shifat al-ma’ânî), tak berawal, dan berhubungan dengan proses ‘pengadaan’ makhluk dan mengeluarkannya dari ‘ketiadaan’ hingga terbentuk menjadi ‘ada’. Sedang menurut Asy’ariyyah, sifat yang berhubungan dengan proses ‘pengadaan’ dari ketiadaan bukanlah ‘proses mencipta’ (al-khalq/al-takwîn), akan tetapi kuasa (al-qudrah). Kuasa Allah sendiri dari sudut pandang relasi ada dua: kuasa Allah akan pengadaan makhluk, dan realisasi pengadaan itu sendiri. Jika yang pertama ‘tak berawal’, maka yang kedua ‘berawal’, karena berelasi dengan makhluk. Dengan kata lain, ‘proses mencipta’ adalah berkaitan realisasi ‘pengadaan’ itu sendiri yang berkaitan dengan makhluk. Sebab, jika ‘proses mencipta’ adalah nisbat yang tidak bisa diperkirakan terkecuali melalui wujud objek, maka jika objek ‘berawal’, dengan sendirinya ‘proses’ itupun harus ‘berawal’.Al-Razi melanjutkan,

"permasalahan kedua, berkata Abu Muslim: kata ‘al-khalq’ di dalam lisan orang Arab mempunyai makna ‘memperkirakan’, kemudian menjadi nama bagi perbuatan Allah. Sebab semua perbuataan-Nya pasti benar[…] permasalahan ketiga, kewajiban membuktikan adanya Pencipta dengan dalil rasional, dan buruknya pendasaran pengetahuan itu pada taklid, permasalahan keempat, Ibnu Jarir menuturkan dalam sebab turunnya ayat, dari Atha’, tatkala Nabi sampai di Madinah, turun ayat ‘dan Tuhanmu adalah Tuhan yang satu’, kemudian Kafir Quraisy berkata, ‘bagaimana Tuhan ada satu sedang manusia banyak’. Turunlah ayat ini."

Ia melanjutkan membahas delapan hal yang disebutkan dalam ayat kemudian, memerincinya secara detail dan tak segan ia membahas ilmu astronomi sampai berlembar-lembar untuk sekedar menguatkan tesisnya. Misalnya, dalam membahas ‘langit’, al-Razi membagi empat belas permasalahan untuk membuktikan wujud Pencipta. Al-Razi mengutip pendapat Ptolemy, dan para astronom kuno dari Babilonia, Cina, Mesir, Romawi dan Syam, serta terkadang mengkritiknya. Semuanya kembali pada tesis, bahwa bintang-bintang, yang secara natural mempunyai ukuran tertentu, mempunyai ruang tertentu, dan bergerak ke arah tertentu, semua menunjukkan di luar sana ada Pengatur yang mengatur ini semua.

Bahasa juga salah satu objek yang cukup serius dibahas dalam tafsir ini. Misal, tatkala al-Razi menafsirkan kalimat, “bismil-Lâh al-rahmân al-rahîm”. Ia mengatakan bahwa huruf “ba” dalam kalimat tersebut, berhubungan dengan kata yang tersimpan (mudlmar). Yang tersimpan ini adakalanya kata benda atau kata kerja, baik itu di awal atau di akhir. Jika yang tersimpan adalah kata benda yang di awal, sebagaimana perkataan: ibtidâ’ al-kalâm bi ismil-Lah. Jika yang tersimpan adalah kata kerja di awal, seperti: abda’ bi ismil-Lah. Dan jika yang tersimpan adalah kata benda yang di akhir, misalnya: bi ismil-Lah ibtidâ’î. Sedang jika kata kerja di akhir adalah 'bi ismil-Lah abda’. Al-Razi juga mempertanyakan, manakah yang lebih baik, mendahulukan ataukah mengakhirkan? Menurutnya, keduanya ada di dalam al-Qur’an. Argumen ‘di awal’ seperti dalam Firman Allah, “bismil-Lah majrâhâ wa mursâhâ”, sedang ‘di akhir’, seperti dalam firman, “iqra’ bi ismi rabbik”. Akan tetapi al-Razi kemudian lebih menguatkan pendapat yang di awal dengan argumen dari al-Qur’an dan logika bersamaan. Dari al-Qur’an seperti dalam firman, iyyâka na’bud. Di sini kata kerja benda ada di awal. Maka dalam lafadz “bi ism” juga harus demikian. Sedang secara logika, karena Allah tak berawal, dan ‘ada’ dengan tidak membutuhkan pada siapapun dan apapun. Oleh karean itu wujudnya harus mendahului wujud yang lain. Yang dahulu wujudnya lebih utama untuk disebutkan. Maka, bismil-Lah abtadi’ lebih utama.

Begitu juga permasalahan fikih, seperti penulis sudah singgung di atas. Dan tentu saja ilmu al-qur’an dan ushul fikih. Ushul fikih dan fikih umumnya menempati porsi yang cukup dominan pada saat berkenaan dengan ayat-ayat hukum. Secara garis besar, dalam pembahasan setiap disiplin ilmu dalam kitab ini, rasionalitas al-Razi sangat dominan. Sedang kepakaran al-Razi dalam ilmu hadis, kitab tafsir ini oleh sebagian kalangan dianggap merepresentasikan kepakaran al-Razi dalam ilmu hadis—walaupun ia tak diperhitungkan dalam disiplin ini. Al-Razi, dalam ayat hukum, kerap melegitimasi ‘keputusannya’ dan menguatkannya dengan hadis-hadis Nabi.

VI

Spirit pembaharuan dalam pemikiran al-Razi bisa dilihat dari terobosan-terobosan yang ia lakukan. Dalam disiplin kalam, sebagai misal, bagaimana ia mengharmoniskan filsafat dan ilmu kalam sebagai sebuah metode baru yang dinamakan 'ilmu ketuhanan'. Ia pun dengan tegas mengikrarkan bahwa rasio harus didahulukan jika bertentangan dengan teks. Dalam disiplin tafsir, terlihat dari lompatan al-Razi yang menganggap kreasi-kreasi dalam memahami ayat-ayat Tuhan harus tetap dilakukan. Sedang fikih dimodifikasi di tangannya menjadi ilmu rasional dengan tidak mengabaikan teks sebagai neraca berpikir. Maka tak heran ketika Ibnu al-Subki menyebut al-Razi sebagai pembaharu abad ke-6, setelah Abu Hamid al-Ghazali. Rasionalisme al-Razi tentu saja membuat gerah sarjana yang tak berkutik dengan argumennya, semisal, al-Syahrazuri, al-Dzahabi, Ibnu Taymiah, dan Ibnu Hajar al-Asqalani, al-Khuwansari, Abu Syamah al-Maqdisi, dan lain sebagainya.

Tatkala sakit, ia mendiktekan surat wasiat pada muridnya, Ibnu Abi Bakr al-Asfhihani pada tahun 606 H. Di surat wasiatnya itu, ia meminta perihal kewafatannya tak diberitahukan ke orang lain. Sebab, al-Razi khawatir terhadap musuhnya, Muktazilah, Hasyawiyyah, Syi'ah, Karamiyyah, akan terus mengincar walaupun pada saat ia sudah meninggal. Tak diketahui apakah wasiat al-Razi dilaksanakan oleh para murid dan pengikutnya, ataukah mereka mengabaikannya. Yang jelas, sampai sekarang tak bisa dipastikan—dan terdapat perbedaan di kalangan sejarawan-- di mana al-Razi pada akhirnya dimakamkan. Al-Razi meninggal di tahun ia berwasiat, 606 H. Berikut adalah wasiat lengkap al-Razi, sebagaimana dituliskanThaha Jabir al-Ulwani yang dikutip dari berbagai sumber,

Seseorang yang mengharapkan rahmat Tuhannya, dan mempercayai kemuliaan kekasihnya, Muhammad bin Umar bin al-Husayn al-Razi--pada saat saat terakhirnya di dunia, dan permulaan di akhirat; waktu di mana orang yang keras sekalipun menjadi lunak, dan orang yang hendak lari harus menghadap Tuhannya--mengatakan:

Aku memuji Allah dengan pujian-pujian yang diucapkan oleh pembesar Malaikat-Nya di waktu utama mereka menghadap Tuhan, dan diucapkan oleh pembesar nabi-Nya di pilihan waktu tersingkap tabir mereka, bahkan aku mengucapkannya sebab konsekuensi seorang makhluk. Oleh karena itu aku memujinya dengan pujian-pujian yang sifat ketuhanan-Nya berhak menerimanya, pun kesempurnaan sifat murah-Nya meniscayakan pujian itu, baik yang aku tahu, ataupun aku tak mengetahuinya, sebab tidak bisa disamakan antara debu (manusia), dengan keagungan Tuan segala tuan.

Salam hormatku terhadap Malaikat yang diberi keistimewaan derajat kedekatan dengan Tuhan, beserta nabi-nabi yang diutus, dan seluruh hamba-hamba Allah yang saleh.

Selepas ini, aku berkata: ketahuilah saudaraku seagama, dan saudaraku pencari kebenaran, bahwa orang-orang mengatakan, “jika seseorang meninggal maka relasinya akan terputus dengan hamba,” keumuman kalimat ini mengecualikan dua hal: pertama, bahwasanya masih tersisa perbuatan baik yang menjadi sebab bagi doa. Dan doa mempunyai dampak tersendiri di samping Tuhan; kedua, hal-hal yang berhubungan dengan kemaslahatan anak-anak, cela serta pengembalian hak-hak orang lain dan hak-hak yang dilanggar sebab aniaya (menjadikan orang yang meninggal masih senantiasa berhubungan dengan hamba).

Adapun yang pertama, ketahuilah bahwa aku adalah laki-laki yang mencintai ilmu, oleh karena itu aku menulis tulisan dalam semua disiplin, dengan tidak dibatasi oleh kuantitas dan ideologi tertentu; entah itu dalam perkara benar ataupun tidak benar, buruk ataupun baik. Hanya saja, yang aku lihat dalam buku-buku yang bagiku muktabar: alam yang bisa diindera ini berada dibawah kuasa Penguasa—di mana Penguasa tersebut terbebas dari perumpamaan benda yang menempati ruang dan sifat yang tidak tetap, serta tersifati dengan kesempurnaan kuasa, ilmu dan rahmat.

Aku telah menguji beragam metode dalam ilmu kalam, metode-metode filsafat, dan aku tidak melihat manfaat di sana yang bisa menyamai manfaat yang aku temukan di dalam al-Qur’an. Sebab al-Qur’an berusaha untuk menyematkan keagungan dan kebesaran terhadap Allah secara total, dan mencegah untuk tidak terlalu masuk dalam pertentangan dan perdebatan. Hal itu tidak lain karena didasari pengetahuan bahwasanya akal manusia kabur dan terbatas jika dihadapkan pada perkara-perkara sulit nan pelik, dan dihadapkan pada metode yang tidak jelas.

Oleh karena itu, aku mengatakan, segala sesuatu yang ditetapkan dengan argumen yang kuat tentang keniscayaan keberadaan-Nya, keesaan-Nya, tidak ada yang serupa dengan eksistensi-Nya yang tak berawal dan tak terikat oleh waktu, pengaturan dan tindakan-Nya—semua ini adalah pendapatku, dan melalui pendapat itu, aku akan (berani) bertemu Allah.

Adapun persoalan yang berujung pada kerumitan dan ketidakjelasan, maka semua yang terdapat di dalam al-Qur’an dan hadis shahih yang disepakati oleh para imam yang jadi panutan untuk menunjuk terhadap makna satu, maka hal tersebut akan tetap sebagaimana adanya (tanpa dirubah). Adapun yang tidak seperti itu, aku menyatakan:

Hai Tuhan semesta alam, aku melihat semua makhluk sepakat bahwa Engkau adalah Dzat yang Termulia, Pemurah; apa yang sudah aku tuliskan dengan penaku, atau yang terbesit dalam pikiran, maka aku mempersaksikan pengetahuan-Mu. Dan aku mengatakan: jika Engkau mengetahui bahwasanya aku memenangkan ketidakbenaran, atau merobohkan kebenaran, maka lakukanlah sepantasnya padaku. Adapun jika Engkau mengetahui bahwa aku berusaha menguatkan apa yang aku yakini sebagai sebuah kebenaran, melalui pemahamanku bahwasanya itu benar, maka semoga rahmat-Mu dengan tujuanku, bukan hasilku. Hal itu adalah kesungguhan pencarian. Engkah adalah Dzat paling pemaaf, kalau hanya untuk sekedar mempersulit orang yang bersalah. Maka selamatkanlah aku, kasihanilah aku, tutuplah kesalahanku, hilangkanlah kesukaranku, Hai Dzat yang tidak bertambah kekuasaanMu dengan bertambahnya orang-orang yang bertakwa, dan tidak berkurang dengan kesalahan orang yang bersalah.

Aku mengatakan: agamaku mengikuti Muhammad Saw., dan kitabku adalah al-Qur’an yang agung, dan pada keduanya aku bersandar dalam pencarian agamaku.

Hai Dzat pendengar suara, pengabul doa, pemaaf kesalahan, pengasih kesedihan, pengendali alam, aku benar-benar berbaik sangka pada-Mu; luas harapanku terhadap rahmat-Mu, sedang Engkau pernah mengatakan, “Aku berdasar persangkaan hamba-Ku terhadap-Ku,” dan Engkau mengatakan, “siapa yang memperkenankan orang dalam kesulitan apabila berdoa kepada-Nya?”, dan Engkau mengatakan, “jika hamba-hambaKu bertanya padamu tentang-Ku, maka jawablah bahwasanya Aku dekat”. Taruhlah, aku datang tidak membawa apapun, maka Engkau adalah Dzat Kaya lagi Mulia, dan aku adalah orang yang butuh serta berdosa.

Aku meyakini bahwa tidak ada Tuhan bagiku selain Engkau, tidak ada Dzat yang baik selain Engkau. Aku mengakui bahwa aku tergelincir, kurang, tidak sempurna, lemah, maka jangan sia-siakan harapanku, dan jangan Engkau tolak doaku. Jadikanlah aku terlindungi dari siksa-Mu sebelum meninggal, atau ketika meninggal dan setelah meninggal. Mudahkanlah untukku sakarat al-mawt, ringankanlah kematian untukku, dan jangan persulit aku dengan siksa dan sakit, karena Engkau adalah Dzat yang Maha Pengasih.

Adapun buku-buku ilmiah yang aku tulis, atau ketika aku terlalu banyak melempar persoalan terhadap orang-orang terdahulu, maka untuk yang memperhatikannya, jika melihat ada kebaikan di sana, sertakanlah aku di setiap doa sebagai hadiah dan nikmat. Adapun jika melihat kejelekan di sana, maka hapuslah perkataan yang tidak pantas. Tidak lain aku hanya ingin memperbanyak diskusi dan mengasah pikiran. Dan semuanya tetap bergantung pada Allah.

Hal penting kedua, memperbaiki keadaan anak-anak beserta cela (ku). Aku menggantungkan semua ini pada Allah kemudian pada pengganti-Nya, Muhammad (sulthan Muhammad ‘Ala al-Din)—semoga Allah menjadikannya setingkat derajat kakaknya dalam agama dan keluhuran, Muhammad. Hanya saja sulthan yang agung tidak bisa mengurus perkara anak-anak, maka aku berpandangan, seharusnya menyerahkan urusan anak-anakku pada Fulan. Dan aku meminta agar ia senantiasa bertakwa pada Allah: “bahwasanya Allah berserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat baik”.

Ibnu Abi Ushaybi’ah mengatakan, “ia berwasiat sampai tuntas.” Kemudian berkata, “aku mewasiatkan, aku mewasiatkan, kemudian aku mewasiatkan: untuk benar-benar mendidik anakku, Abu Bakar. Tanda-tanda kecerdasan dan kepintaran tampak jelas di dirinya. Semoga Allah membuatnya sampai pada kebaikan.”

Aku memerintahkan pada Fulan, dan pada semua murid-muridku, dan orang-orang yang aku mempunyai hak terhadapnya: jika aku meninggal, untuk benar-benar menyembunyikan kematianku, dan tidak memberitahu siapapun mengenai hal ini; mengkafaniku dan menguburkanku dengan tata cara islami, kemudian membawaku ke gunung dekat desa Mizdaqan dan menguburkanku di sana. Jika meletakkanku di liang lahat, maka bacakanlah semampunya untukku ayat-ayat al-Qur’an tentang ketuhanan, kemudian tutuplah aku dengan debu. Selepas itu, katakan, “Hai Dzat yang Mulia, orang yang fakir lagi membutuhkan datang pada-Mu, maka berbaik hatilah padanya.”

Ini adalah akhir wasiatku pada tulisan ini. Allah adalah Dzat yang bebas berbuat atas apa yang Dia kehendaki. Dan untuk apa yang dikehendaki, Allah pasti kuasa akan hal itu. Untuk berbuat baik, Allah teramat pantas untuk itu.



Daftar Pustaka

Al-Razi, Muhammad bin Umar bin Huseyn (1986). Asâs al-Taqdîs. Kairo: Maktabah al-Kulliyyah al-Azhariyyah

Al-Razi, Muhammad bin Umar bin Huseyn (tt). Muhashshal Afkâr al-Mutaqaddimîn wa al-Muta'akhkhirîn min al-Ulamâ' wa al-Hukamâ' wa al-Mutakallimîn. Kairo: Maktabah al-Kulliyyah al-Azhariyyah

Al-Razi, Muhammad bin Umar bin Huseyn (2007). Al-Isyârah fî Ilm al-Kalâm. Jordan: Markaz Nur al-Ulum li al-Buhuts wa al-Dirasat

Al-Razi, Muhammad bin Umar bin Huseyn (tt). Manâqib al-Imâm al-Syâfi'i. Kairo: Maktabah al-Kulliyyah al-Azhariyyah

Al-Razi, Muhammad bin Umar bin Huseyn (1988). Al-Mahshûl fî Ilm Ushûl al-Fiqh. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah

Al-Razi, Muhammad bin Umar bin Huseyn (1996). Munadzârât al-Râzi fi Bilâdi Mâ warâ’a al-Nahr. Beirut: Muassasah Izz al-Din

Al-Zirkan, Muhammad Shaleh (tt). Fakhr al-Dîn al-Râzî wa Arâuhu al-Kalâmiyyah wa al-Falsafiyyah. Dar al-Fikr.

Khalif, Fathullah (1976). Fakhr al-Dîn al-Râzi. Kairo: Dar al-Jami'at al-Mishriyyah

Al-Uraybi, Muhammad (1996). Al-Munthalaqat al-Fikriyyah indâ al-Imâm al-Râzi. Beirut: Dar al-Fikr al-Lubnani

Al-Ulwani, Thaha Jabir (2010). Al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi wa Mushannafâtuh. Kairo: Dar al-Salam.
Selengkapnya...

 

© free template by Blogspot tutorial