Tuesday, 1 November 2011

Akar Pemikiran Islam (Upaya Meneguhkan Identitas)

Oleh Ahmad Hadidul Fahmi

Deskripsi Era Kebangkitan; Sebuah Pengantar
Jamak diketahui, kreativitas umat Islam terhenti besamaan dengan runtuhnya dinasti-dinasti Islam yang pernah mengukir masa keemasannya; dinasti Umayah hingga hingga Muwahhidin takluk pada Kristen; Abbasiyyah harus takluk pada tentara Mongol yang membakar habis isi perpustakaan Bait al-Hikmah di Baghdad. Sebab ini banyak sejarawan yang mematok kemunduran Islam dengan kehancuran kota Baghdad dan Andalusia. Selain juga kekuasaan Kekaisaran Utsmani di Mesir semenjak 1517 sampai 1798 M, pun menjadi satu faktor yang tidak bisa diabaikan. Kekaisaran Turki Utsmani dikenal sebagai penebar kebencian dengan ambisi besarnya untuk selalu berperang, serta kebutaan mereka terhadap ilmu peradaban, mekanisme hukum dan aturan-aturan politik. Daerah jajahan mereka teramat luas sampai ke Eropa; Costantinople, Baltik, Balkan, Yunani, Hungaria, Austria-Prusia, akan tetapi mereka tidak mempunyai sistem politik yang tangguh. [1]

Pada abad ke-18, Volney, pelancong dari Prancis, mengunjungi Mesir dan Syam. Bermukim di sana selama empat tahun. Ia mengatakan, bahwa kebodohan dalam keilmuan, seni dan sastra memenuhi generasi Negara ini. Pernyataan Volney ini sampai pada kesimpulan, untuk mengentaskan mereka dari keterbelakangan, tidak mungkin dari generasi mereka sendiri. Akan tetapi harus dari orang lain (ajnabi). Sampai pada titik ini, bisa dikatakan bahwa peradaban Islam ‘tidak bisa bertemu’ dengan peradaban Barat dalam hal kebudayaan, keilmuan atau sistem politik. Kemerosotan umat Islam paling tidak meniscayakan kesenjangan dengan the other. Kebodohan ini sampai pada titik nadir karena Barat—semenjak Perang Salib—enggan membuka pintu peradaban terhadap Islam. Umat Islam kemudian mengalami apa yang disebut “stagnasi peradaban” (tawaqquf al-hadlarah). Apa yang disebut pengetahuan bagi umat Islam adalah pengetahuan agama. Adapun ilmu-ilmu dunia tidak ada fungsinya bagi mereka selain ilmu Hisab untuk menghitung warisan, atau falak untuk mengetahui waktu shalat.[2] Tokoh yang paling representatif untuk menggambarkan keterbelakangan Mesir adalah Abdullah Al-Jabarti (w. 1825) dalam Ajâib al-Atsâr.

Jika kebangkitan di Eropa dimulai pada abad ke 15 dan 16, disusul dengan era modern (al-haddatsâh), maka klasifikasi bentangan peradaban ini hendak diaplikasikan pada laku sejarah peradaban Islam. Umat Islam baru menjumpai era kebangkitan pada abad ke 19. Artinya, empat kurun adalah jeda waktu pembeda “kebangkitan Eropa” dan “kebangkitan Islam”; peradaban Islam sekarang ada di abad ke 15 dan 16 peradaban Eropa. Era kebangkitan dunia Arab ditandai dengan munculnya kesadaran nasionalisme yang tinggi, gerakan revitalisasi agama, akulturasi pengetahuan Barat ke dalam peradaban Islam, serta “gerakan pencerahan” (harakah tanwîriyyah). Selanjutnya, sebagaimana pernah terjadi di Barat, kita akan melakukan pembelaan terhadap kehormatan dan peradaban manusia; mendirikan Negara yang demokratis; meragukan segala temuan ilmuwan di masa lalu; serta membangun ilmu pengetahuan. Masa kebangkitan Eropa mencapai temuan-temuan di bidang kemanusiaan, alam dan agama, serta terjemah karya-karya ulama agung Islam ke dalam bahasa Latin[3]. Maka ketika kita membaca karangan sarjana Barat, dengan meminjam bahasa seorang ilmuwan Timur, peristiwa tersebut kita sebut dengan “kekayaan kita yang dikembalikan pada kita”. [4]

Tertinggalnya Timur dari Barat kemudian memunculkan apa yang disebut oleh para pemikir dengan “Kritik Diri” (al-nadq al-dzâti); sebuah upaya untuk mencari apa yang salah dengan Timur, dan kenapa Barat jauh meninggalkan Timur setelah sebelumnya di bawah kekuasaan umat Islam. Fenomena ini yang oleh Syakib Arselan diabadikan dalam judul bukunya dengan ttajuk, Li Madza Ta’akhkhara al-Muslimun wa Taqaddama Ghairuhum. Sebenarnya filosofi kritik diri—sebagaimana disebutkan oleh Allal al-Fasi dalam al-naqd al-dzâtî--berasal dari sifat yang dimiliki oleh semua manusia; egoisme. Kehilangan sifat egois—hemat Allal al-Fasi—berarti kehilangan eksistensi diri. Egoisme yang diarahkan pada tindak positif pada hakikatnya bisa mengangkat derajat dan martabat seseorang. Egoisme yang mengarah pada tindak negatif adalah sikap yang hanya mementingkan diri sendiri tanpa memperdulikan yang lain. Akan tetapi, egoisme bisa dikategorikan dalam tindak positif jika kemaslahatannya kembali pada eksistensi komunitas, atau jama’î.[5] Mungkin teori ini sangat berkait erat dengan apa yang disebutkan oleh Ibnu Khaldun, bahwa kemajuan peradaban atau—dalam lingkup kecil—komunitas, bisa didapatkan melalui “fanatisme kesukuan”. [6]

Mesir adalah Negara pertama yang merasakan “kesadaran” ini—terutama setelah invasi Napoleon Bonaparte tahun 1798. Fahmi Jad’an memandang, ‘proyek kebangkitan’ pada hakikatnya bisa didapat dari sosok Hassan al-Athar (w. 1835 M), tepatnya pada abad ke 19. Sebuah kalimat sangat terkenal yang dikutip dari al-Athar berbunyi, “Negara kita harus berubah keadaannya, dan harus diperbaharui dengan pengetahuan yang tidak ada di dalamnya”. Al-Athar adalah orang yang secara langsung bersinggungan dengan ilmuwan-ilmuwan Prancis yang dibawa oleh Bonaparte. Dengan mengajarkan Bahasa Arab pada mereka, al-Athar juga menyerap pengetahuan-pengetahuan yang sama sekali baru dan tidak dijumpainya sebelumnya. Al-Athar pula yang menyadarkan generasi Mesir tentang pengetahuan-pengetahuan baru yang ia dapatkan dari ilmuwan Prancis. Generasi itu adalah Rifa’ah Rafi’ al-Thathawi, Ibrahim al-Dasuqi, Mohammad Iyyadl Thantawi dan Mohammad Umar al-Tunisi. Bonaparte, bagi al-Athar, membawa dua misi sekaligus; penjajah sekaligus penjelajah. Bonaparte, selain menjajah, ternyata juga membawa ilmuwan-ilmuwan berkompeten untuk meneliti Mesir dan masyarakatnya. Adalah Rifa’ah al-Rafi’ al-Tahthawi (w. 1873 M). Ia diutus oleh Mohammad Ali (w. 1849 M), pemimpin Mesir kala itu, ke Prancis tahun 1826 M. Ia pun diwasiati oleh gurunya, Hassan al-Athar, untuk mengabadikan semua yang didengar dan dilihat, dalam bukunya yang bertajuk Takhlîs al-Ibrîz fi Talkhîs al-Bâriz.[7]

Selepas itu, datang Jamaluddin al-Afghani (w. 1897 M) di masa yang ia sebut sebagai “masa penjajahan” (zaman al-isti’mâr). Ia berkeliling ke pelbagai daerah dan menemukan bahwa umat Islam terpecah menjadi bermacam golongan dengan pendakuan masing-masing sekte terhadap tunggalitas kebenaran. Gagasan besar Jamaluddin al-Afghani adalah pada agama itu sendiri. Ia menganggap bahwa kuatnya agama sebagai tonggak bagi majunya peradaban, dan lemahnya agama berbanding lurus dengan keterbelakangan sebuah peradaban. Gagasan ini kemudian dikerucutkan oleh Mohammad Abduh melalui “rekonstruksi ilmu kalam” yang tertuang dalam bukunya Risalah al-Tawhid. Secara garis besar, gagasan Mohammad Abduh adalah pada optimalisasi nalar dan menghindari cara berpikir yang stagnan. Dalam pandangan Hassan Hanafi, gagasan Jamaluddin al-Afghani yang diteruskan oleh Mohammad Abduh—berserta Rasyid Ridla—inilah yang disebut revitalisasi agama (al-ishlah al-dînî).[8]

Akan tetapi perlu dicermati di sini, diferensiasi perihal kemajuan secara universal atau peradaban (al-taqaddum al-‘umrânî), dan kemacuan yang bersifat pencerahan (al-taqaddum al-tanwîrî) penting untuk diperhatikan.[9] Icon kemajuan universal terwakili oleh Hassan al-‘Athar[10], Rifa’ah al-Thahtawi. Sedang kemajuan yang bersifat pencerahan, bisa ditilik pada sosok Khairuddin al-Tunisi, Abdurrahman al-Kawakibi, Qasim Amin, serta ‘Ali Yusuf. Kemajuan secara universal mencakup segala lini kehidupan, adapun kemajuan yang bersifat pencerahan lebih memperhatikan hubungan tradisi dan tuntutan modernitas. Pandangan generasi al-Tunisi secara garis besar ada pada harmonisasi antara ilmu agama dan ilmu dunia. Ilmu dunia ini pada hakikatnya didedikasikan untuk ‘berkhidmat’ pada ilmu agama. Jika kita runtut ke belakang, gagasan ini sudah muncul semenjak masa al-Kindi yang kemudian menemukan momentumnya di tangan Ibnu Rushd dalam polemiknya dengan al-Ghazali dalam bukunya yang bertajuk Fashl al-Maqâl fî Mâ baina al-Syari’ah wa al-Hikmah min al-Iththishâl. Walhasil, Turats bukanlah tradisi masa lampau yang tidak bermakna. Namun dalam tradisi terdapat energi hidup dan daya dobrak tentang kesadaran berpikir, berperilaku, dsb. Piranti yang dimunculkan untuk menuju kebangkitan teramat beragam, sebagaimana sebab-sebab kemunduran pun dinilai dari pelbagai macam sudut pandang. Ketika pemahaman a-historis (Allâ Târikhî) terhadap “tradisi” dianggap sebagai penyebab kemunduran, maka pembaharuan terhadap tradisi pun menyita perhatian pemikir. Para pemikir kontemporer menawarkan pelbagai alternatif yang dianggap mampu membawa umat Islam menuju kebangkitan.

Dalam perbincangan sejarah peradaban, yang menjadi perbincangan hangat bukanlah pada bagaimana menciptakan inovasi pada hal-hal yang bersifat duniawi. Mengadopsi teknologi, industri dan pengetahuan umum dari Barat, adalah sebuah keniscayaan. Keniscayaan ini mendapat justifikasi dari hadis Nabi, “kalian lebih mengetahui urusan duniawi kalian”. Sedang mengadopsi “pengalaman atau pemahaman keagamaan” dari orang Barat untuk diaplikasikan pada umat Islam, hal inilah yang mendapat perhatian secara luas dari pelbagai pihak.



Kemajuan dan Tradisi; Akar Pemikiran
Melalui pengantar singkat di atas, paling tidak ada tiga kubu yang mendominasi wacana “kebangkitan”; pertama, revitalisasi agama (al-islâh al-dînî) dengan tokohnya Jamaluddin al-Aghani; 2) liberal (al-libraliyyah) dengan tokohnya Rifa’ah al-Thahthawi; 3) sekuler (al-‘ilmâni) dengan tokohnya Syibli Syumail. Ketiganya ini-–hemat Hassan--sejatinya tetap mengambil spirit tokoh pra-masa kebangkitan. Pertama, tokoh-tokoh yang dijadikan rujukan adalah Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab, Ibnu Taymiah, dan selanjutnya Ahmad bin Hanbal. Kedua, tokohnya adalah Hassan al-‘Athar, Ibnu Rusyd, pemikiran Mu’tazilah serta para Juris politik Islam belakangan, seperti al-Tharthusyi, Ibnu al-Azraq. Dan ketiga, tokohnya adalah para sarjana Matematika, Sejarah, Bahasa. Dari setiap kubu ini menghasilkan tiga generasi; 1) Revitalisasi menelorkan Muhammad ‘Abduh, Rasyid Ridla, dan Hassan al-Bana; kedua, Liberal menelorkan Ahmad Luthfi Sayyid, Qasim Amin, dan ‘Ali Abd al-Raziq, Thaha Husein, dan Al-‘Aqqad; ketiga, Sekuler menelorkan Salamah Musa, Niqola Haddad, Ya’qub Maruf, Isma’il Madzhar dan Zaky Najib Mahmud.[11]

Kelompok revitalis melihat, masa lalu adalah kegemilangan. Yang disebut “maju” adalah pandangan yang bisa sampai, atau minimal menyamai kegemilangan masa lalu. Setidaknya paradigma ini ditopang oleh dua argumen; pertama, transferensial (al-naql). Jika Nabi bersabda bahwa generasi beliau adalah sebaik generasi, kemudian dilanjutkan generasi setelahnya (shahabat), dan generasi tabi’in, maka semakin jauh dari generasi Nabi, sebuah generasi akan lebih ‘terbelakang’. Oleh karena itu, yang disebut generasi progresif, atau terma progresivitas (taqaddumi), meniscayakan upaya meniru generasi Nabi dan dua generasi setelah beliau; kedua, esensi teks-teks dari Nabi itu sendiri, atau atas dasar fakta realitas. Adalah al-Jahidz (w. 255 M), sastrawan besar Muktazilah, dalam tulisannya yang bertajuk Risalah fi al-Nabitah, mengatakan bahwa masa di mana ia hidup adalah fase kekufuran (marhalat al-kufr). Fase kekufuran, baginya, datang setelah fase tauhid (marhalat al-tawhid), yang terejawantah pada masa Nabi, dan fase penyimpangan (marlahat al-fujûr), yang terejawantah setelah masa Nabi; terbunuhnya Umar, chaos politik pada masa Utsman yang mengantarkan terbunuhnya khalifah ketiga ini, dan kekacauan besar pada masa Ali. [12] Inklinasi ini kemudian lebih dikenal dengan “salafisme”.

Akan tetapi, sebenarnya kecenderungan salafisme ini banyak terilhami oleh pemikiran Rasyid Ridla, murid Mohammad Abduh. Dalam beberapa hal, pemikiran guru dan murid ini memang banyak berbeda, terutama dalam permasalahan fundamental. Seperti kecenderungan Rasyid Ridla pada Ibnu Taymiah, dan Ahmad bin Hanbal. Ia dengan terbuka memerangi tokoh-tokoh modern-liberal, seperti Luthfi Sayyid, Thaha Husein, Qasim Amin, dll. Radikalisme Rasyid Ridla menguat di tangan Hassan al-Banna dengan Ikhwan al-Muslimin, dan Sayyid Quthb yang mempopulerkan teori “kedaulatan Tuhan”. Quthb juga memandang pemerintahan yang dipegang oleh Jamal Abdal-Nashir pada masa itu adalah pemerintahan jahili. Hal ini tentu saja membuat Sayyid Quthb “berhadapan” dengan pemeritahan Jamal, yang menghantarkan Quthb ke penjara, sekaligus dihukum mati pada tahun 1966. [13] Pada hakikatnya, generasi Hassan al-Banna, Sayyid Quthb dan Ahmad ‘Awdah ini sudah terputus dari pemikiran Rasyid Ridla, walaupun secara teoritis mereka diikutsertakan dalam barisan “revitalisasi agama”. Sebab, mereka memandang bahwa gerakan kebangkitan sudah gagal mengentaskan umat Islam dari keterbelakangan. Sebagai gantinya, perjuangan dalam ranah politik harus digalakkan untuk mendirikan Negara Islam dan masyarakat islami.[14]

Menanggapi “penafsiran radikal” terhadap hadis Nabi ini, para pemikir kerap mempergunakan argumen Imam Ghazali yang datang menghantam “teori kemajuan” di atas dengan argumen transferensial pula. Baginya, memang betul, setiap masa yang jauh dari masa kenabian, maka akan semakin tidak baik. Akan tetapi patut dicermati, bahwa “kejelekan sebuah masa” ini hanya dalam rentan waktu satu abad (100 tahun). Sebab, di setiap seratus tahun, sebagaimana janji Nabi, akan datang pembaharu yang mengentaskan sebuah masyarakat dari keterbelakangan. Pada titik ini bisa kita cermati dua point penting; pertama, Imam Ghazali hendak mengganti keputusasaan umat Islam dengan sebuah harapan di setiap seratus tahun; kedua, kritik tajam atas konsep al-Mahdi al-Muntadzar sekte Syi’ah, di mana sekte Syi’ah menaruh harapan besar terhadap datangnya Imam Mahdi yang akan mengentaskan mereka dari keterbelakangan.

Selain juga, fakta riilnya, setelah dipraktikkan kecenderungan ini—bagi sebagian kalangan—tidak lagi mampu menghadapi keterbelakangan peradaban. Adonis dalam bukunya al-Tsabit wa al-Mutahawwil melihat, yang dimaksud ‘kemajuan’ bukanlah memandang ke belakang, sebagaimana yang diungkapkan oleh kaum fundamentalis. Sebab, yang disebut ‘identitas’ harus selalu bersentuhan dengan realitas. Realitas Mesir pra kebangkitan, sebagaimana digambarkan secara apik oleh Al-Jabarti dalam ‘Ajaib al-Atsar, dengan ulama-ulamanya yang dikelilingi oleh ilmu-ilmu agama, tetap tidak menjadikan Mesir mampu mengejar ketertinggalannya dari Barat. Bahkan masuknya Napoleon Bonaparte ke Mesir sekaligus menjadi permulaan dari apa yang disebut dengan “masa pencerahan” (‘ashr al-tanwîr). Bonaparte mengatakan pada masyarakat Mesir, “sesungguhnya manusia semuanya sama di hadapan Allah. Yang membedakan mereka hanyalah akal, keutamaan-keutamaan, dan ilmu saja”. Yang mensukseskan hal ini sebenarnya ada pada utusan-utusan intelektual yang dimulai semenjak masa Mohammad Ali. Dalam benak mereka, Yunani mengambil dari Mesir kuno, Arab mengambil dari Yunani, Persia dan India. Eropa, dengan pelbagai latarbelakangnya mengambil dari Arab. Oleh karena itu, sangat mungkin sekali, bahkan sebuah keharusan, kita akan memasuki medan baru. Setelah sebelumnya terjebak lebih dari lima kurun dengan khurafat Mamalik dan Utsmani, kita harus mengambil pengetahuan dari Eropa.

Inklinasi yang bertolak belakang dengan revitalisasi agama adalah sekularistik. Bagi kaum sekularis, kemajuan bisa didapat melalui totalitas umat Islam meniru peradaban Barat. Apabila di Barat berkembang teori Darwin, maka pemikir Arab mencoba mengaplikasikan teori ini pada dunia Arab. Yang mula-mula mempraktikkan ini adalah Francis Marrash (w. 1874 M). Kemudian inklinasi sekularistik menjadi madzhab filsafat resmi di tangan Syibli Syumail dalam bukunya falsafat al-nusyu’ wa al-irtiqâ’, Farah Anton, Niqola Haddad dan Salamah Musa. Syibli Syumail mengatakan dalam bukunya tatkala mengkritik Darwin, “yang saya heran dari teori Darwin ini adalah, walaupun Darwin pencetus pertama teori ini, akan tetapi dia tidak menghasilkan temuan produktif apapun dari teorinya itu”.[15] Pandangan sekularis bertitik tolak pada agama merupakan fenomena ilmiah-historis, sosial, politik, ekonomi, undang-undang atau budaya. Syibli Syumail melihat bahwa agama adalah faktor dominan perpecahan umat Islam. Ia dan Salamah Musa pernah menerbitkan majalah mingguan yang diberi nama “al-mustaqbal”. Akan tetapi ditutup setelah terbit 16 kali. Ilmu-ilmu yang mendominasi pandangan sekularistik ini adalah ilmu-ilmu umum, meliputi ilmu alam, matematika, dan sains. Pandangan politiknya adalah pemisahan agama dari Negara secara total. Isma’il Madzhar mencoba mencari justifikasi sekularisme dari peradaban Islam melalui turats Ikhwan al-Shafa dan Ibnu Thufail dengan novelnya yang terkenal, Hayy bin Yaqdlan.[16]

Dus, Madzhab Darwin yang berdiri abad ke-19 menginspirasi Karl Marx (w. 1883 M) dan Friedrich Engels (w. 1895) untuk mendirikan madzhab baru dengan pemikiran dan konstruk yang berbeda yang diberi nama Materialisme-Dialektik. Madzhab ini mempunyai karakteristik dominasi logika dialektik yang dipelajari Marx dari Hegel. Pada praktiknya, pemikiran Materialisme-Dialektik nantinya banyak mengilhami analisa historis pemikir Arab membaca peradaban Islam, semisal Husein Muruwah dalam al-Naz’ah al-Mâdiyyah fi al-Falsafah al-Arabiyyah atau Mahmud Isma’il. Analisa dialektis terhadap sejarah mengandaikan laju sejarah terus menerus berkembang (tathawwur dâim) yang terdapat satu keterpengaruhan logis antara suatu masa dengan masa setelahnya. Pandangan dialektis terhadap sejarah artinya memandang sejarah sejara objektif tanpa tercampur fanatisme sektarianistik. Sebenarnya Ibnu Khaldun telah menciptakan teori ini 5 abad sebelum Darwin, sebagaimana disebutkan Sathi’ al-Hushri dalam bukunya.

Namun inklinasi sekularisme inipun mendapat kritik tajam; meniru Barat secara total artinya menghilangkan identitas sebagai bangsa Timur di satu sisi, dan umat Islam di sisi yang lain. Salah seorang pemikir yang mengkritik kecenderungan “mbebek” ini adalah Thaha Abdurrahman. Bagi Thaha, dua inklinasi, taklid pada tradisi adalah perbuatan yang tidak baik. Lebih tidak baik lagi, jika sudah mendeklarasikan dirinya memerangi taklid dengan melepaskan diri sepenuhnya dari tradisi, akan tetapi justru mengambil semua yang datang dari Barat tanpa ada filterisasi.[17] Hassan Hanafi sendiri menciptakan kajian “ke-baratan” sebagai respon dari orientalisme. Kajian tersebut dinamakan “Oksidentalisme”. Fungsi oksidentalisme sendiri hendak mengembalikan Barat pada batas alamiahnya. [18]

Pukulan telak Israel ke dunia Arab tahun 1967, adalah masa yang sangat menentukan perjalanan pemikiran Arab Islam, sekaligus merubah arus pemikiran. Di era modern, muncul inklinasi yang mengkritik interpretasi yang bersumber dari taklidisme. Fase ini kemudian lebih dikenal dengan “fase kritik”.[19] Dikatakan kritik karena kritikan lebih dominan dari pada menawarkan solusi konstruktif. Fase ini pada hakikatnya baru dimulai pada sepertiga terakhir abad ke-20, dan masih terus berlangsung sampai sekarang.

***

Ada baiknya kita simak terlebih dahulu pemetaan global Ali Harb terhadap perjalanan pemikiran Islam; fase pertama, ditandai oleh Rifa’ah Rafi’ al-Thathawi yang bersentuhan secara langsung dengan peradaban Barat; fase kedua, fase “peneguhan identitas”. Tokohnya adalah Jamaluddin al-Afghani, Mohammad Abduh, Jurji Zaidan, ‘Abdurrahman al-Kawakibi, Khairuddin al-Tunisi, Syibli Syumail. Karakteristik fase kedua ini paling tidak; pertama, tergambarkan dalam gerakan reformasi dan rekonstruksi tradisi, sebagaimana tergambar dari karangan-karangan Mohammad Abduh; kedua, tergambarkan dalam bentuk teorisasi kebangkitan yang mengadopsi dari pemikiran Eropa, sebagaimana tergambar dari karangan Syibli Syumail; fase ketiga, adalah “fase liberalisme dan pencerahan pemikiran”. Tokoh-tokohnya adalah Luthfi Sayyid, Qasim Amin, Ali Abd al-Raziq, Thaha Husein, Salamah Musa, Thahir al-Haddad, yang mempunyai karakter terbuka dengan peradaban luar dan banyak terpengaruh darinya. Hal ini terlihat dari pemikiran Qasim Amin dalam bukunya Tahrîr al-Mar’ah, atau Thaha Husein yang mempergunakan metode skeptisisme Deskartes untuk membaca tradisi dan sejarah, Ali Abd al-Raziq yang melihat keharusan keterpisahan agama dan Negara (khilafah dan syariah). Generasi liberal yang mempunyai pandangan sekularistik ini mempunyai arus lain yang muncul dari generasi Mohammad Abduh ke Rasyid Ridla; salafisme.

Fase keempat, fase revolusi dan gerakan pembebasan yang didasarkan pada asas Islam, sebagaimana tergambar dari pemikiran Hassan al-Banna, Sayyid Quthb, Mohammad Baqir Shadr, Ruh Allah Khumaini, atau didasarkan pada paham nasionalisme, seperti pada Shati’ al-Hushri, Anton Sa’adah, atau didasarkan pada paham sosialis, sebagaimana para penganut Marxis. Selepas masuknya Israel tahun 1967, dimulai babak baru perjalanan pemikir kontemporer, sebagaimana bisa didapat dari Abdullah al-Urwi dalam ideologi Arab kontemporer, Shadiq Jalal Adzim dengan kritik agamanya, atau Adonis melalui kritik tradisi, Abid Jabiri dengan Kritik Nalar Arab, Mohammad Arkoun dengan Kritik Nalar Islam, dll. Era inilah yang disebut dengan era modern, di mana mereka lebih banyak memberikan kritik tajam dari pada menawarkan solusi konstruktif. Fase ini juga dikenal dengan “fase kritik”. Ali Harb menuturkan, setelah fase kritik ini masih ada fase yang disebut “kritik atas kritik”. Jika yang pertama mendaku sebagai modernis, maka yang kedua disebut dengan post-modernis. Post modernis diproyeksikan untuk mendekonstruksi nalar, pencerahan, kemajuan, inklinasi humanis, rasionalitas dan proyek-proyek pembebasan modernitas.[20]

***

Nah, pada era modern, dialektika antara tradisi—meminjam istilah Hassan Hanafi sebagai al-ana, dan realitas atau al-waqi, serta eksistensi peradaban Eropa yang diistilahkan dengan al-akhar, menemukan momentumnya. Para pemikir yang datang pada generasi di atas semakin menunjukkan keintimannya dengan pengetahuan-pengetahuan dari Barat. Sebagaimana umat Islam dari sarana yang diciptakan oleh Barat, kita berpikirpun dengan metode Barat: konsep, metode, pemikiran, dll. Singkatnya, pemikir Islam masih berkutat pada wacana menghadapkan Islam pada kejayaan pihak lain dan berusaha mereformasi kemunduran ini melalui rekonstruksi tradisi. Tradisi “dilibatkan” karena mereka kini dihadapkan pada kompleksitas kekinian di satu sisi, di sisi yang lain, tradisi masih kuat mencengkram umat Islam dalam batas yang tidak disadari. Melalui redaksi Adonis dikatakan, “kita harus mengetahui apa yang dulu merupakan diri kita, dan apa yang akan datang juga merupakan diri kita.” Sebenarnya jika diperhatikan secara seksama, arus pemikiran di era modern merupakan perpanjangan dari konsep yang pernah ditawarkan oleh Khairuddin al-Tunisi, Mohammad Abduh, al-Kawakibi, serta Ali Yusuf—tokoh kemajuan-pencerahan.

Dalam era modern ini, bermacam proyek telah dilontarkan oleh begawan pemikir kontemporer. Secara garis besar, proyek-proyek itu tidak melewati batas tradisi sebagai identitas, dan tidak total dalam mengadopsi madzhab-madzhab pemikiran dari Barat. Pemikiran mereka kemudian disebut dengan filsafat Arab kontemporer (falsafat al-arabiyyah al-mu’âshirah) yang menghasilkan proyek filsafat (al-masyrû’ al-falsafî) tertentu.

Filsafat Islam; Gambaran Kesadaran Umat Islam
Inklinasi pemikir Timut Tengah pada abad 20 adalah hendak mengembalikan otentisitas pemikiran Islam; melalui penghadiran kembali pemikiran Islam yang autentik. Musthafa Abd al-Raziq (w. 1947), murid Muhammad Abduh sekaligus mantan Syaikh al-Azhar bersuara lantang agar filsafat Islam kembali dikaji dan dihadirkan dalam bentuknya yang paripurna. Kajian yang matang terhadap pemikiran al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, al-Ghazali, Ibnu Thufail, Ibnu Rushd dilakukan olehnya. Dari Musthafa Abd al-Raziq lahir generasi-generasi yang meneruskan kecenderungan ini; Musthafa Hilmi. Musthafa Hilmi disebut-sebut penerus Musthafa Abd al-Raziq di Universitas Kairo dengan penguasannya yang mendalam terhadap diskursus tasawuf, khususnya pemikiran Ibnu al-Faridl. Selain Musthafa Hilmi, dikenal juga Muhammad Abdul Hadi Abu Raydah yang mendedikasikan hidupnya belajar filsafat. Ia yang menulis buku bertajuk Ibrahim bin Sayyar al-Nadzam wa Arauhu al-Kalamiyyah (Ibrahim bin Sayyar al-Nadzam dan pandangan-pandangan teologisnya). Dari pemikiran Abu Raydah, ada kecenderungan secara implisit yang mengatakan bahwa pemikiran Mu’tazilah adalah representasi keautentikan filsafat Islam. Ia mempunyai komentar mendalam terhadap kajian sejarah filsafat Islam T. J De Boer, yang diterjemahkan dari bahasa Jerman ke Arab dengan judul Tarikh al-Falsafah al-Arabiyyah.

Dar al-Ulum juga menghasilkan sarjana yang berhaluan sama dengan pemikiran Musthafa Abd al-Raziq. Adalah Mahmud Qasim. Ia mempunya metode baru dalam kajian filsafat Islam; menghidupkan kembali pola pikir rasional dari generasi Arab. Kajian yang mendalam terhadap pemikiran Ibnu Rushd tersebar luas dari sosok ini, entah dalam bahasa Prancis ataupun Arab. Dari pemikiran Mahmud Qasim disebutkan, Ibnu Rushd merepesentasikan keautentikan pemikiran Islam. Dan Ibnu Rushd—dalam komentar-komentarnya terhadap karya Aristoteles—juga melakukan inovasi dan tidak mengikuti pandangan-pandangan Aristoteles secara paripurna. Bahkan Ibnu Rushd, menurut Mahmud Qasim, mempengaruhi pemikiran Thomas Aquinas. Hal itu tertuang dalam bukunya yang bertajuk Atsar Ibn Rushd fi Thomas al-Akwini (pengaruh Ibnu Rushd terhadap pemikiran Thomas Aquinas).

Selain nama-nama itu, Ali Sami Nasyar menyebut dalam bukunya Nasy’at al-Fikr al-Falsafi fi al-Islam (Kemunculan Pemikiran Filsafat dalam Islam), ada nama Ammar al-Thalibi dengan pembahasannya yang mendalam terhadap pemikiran Khawarij, Ibnu al-Arabi dan Ibnu Badis; Dr. Mohammad Rasyad Salim melalui kajiannya terhadap Ibnu Taymiah; Dr. Fawqiyyah Hassan dengan pemikiran Imam Haramayn, pakar teologi Asy’ari; Dr. Fathullah Khalif dengan kajiannya yang mendalam terhadap Imam Fakhr al-Din al-Razi dan Maturidiyah; Dr. Abdul Qadir Mahmud dengan pemikirannya terhadap sekte Imamiyah dan sejarah tasawuf; Dr. Ahmad Subhi melalui kajiannya yang mendalam terhadap ilmu kalam dan tasawuf Islam. Dari Tokoh al-Azhar, dikenal sosok besar Abdul Halim Mahmud, dengan kajiannya yang mendalam terhadap pemikiran Islam, secara spesifik tasawuf. Selain itu, ada Muhammad Abdurrahman Bayshar dengan varian pembahasannya terhadap pemikiran dan filsafat Ibnu Rushd dan Abu Hamid al-Ghazali. Sulaiman Dunya juga tak boleh ditinggalkan; melalui analisa dan pengkajian secara komprehensif terhadap pemikiran Abu Hamid al-Ghazali.[21]

Di sini akan sedikit saya paparkan tentang pendakuan filsafat Islam yang dituliskan oleh Ali Sami Nasyar dalam bukunya Nasy’at al-Fikr al-Falsafi fî al-Islâm. Pertanyaan mendasar yang muncul adalah, apakah ada yang membedakan antara filsafat Islam dengan filsafat Yunani? Beberapa analis Timur Tengah, dan pemikir Eropa mengatakan, tidak ada kreativitas dalam filsafat Islam. Mereka mengatakan, bahwa filsuf Islam adalah al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Bajah, Ibnu Sina, Ibnu Thufail, Ibnu Rushd. Para filsuf ini yang hendak mengharmoniskan filsafat Islam dengan filsafat Yunani, atau hendak menundukan filsafat Islam pada filsafat Yunani. Memang Orientalis mulai memusatkan perhatian mereka terhadap kajian peradaban Islam, spesifiknya, filsafat Islam. Akan tetapi, kajian orientalis pada umumnya hanya membidik permasalahan parsial filsafat Islam. Filsafat Islam--bagi orientalis--hanyalah copy-paste dari peradaban Yunani semata. Ernest Renan (w. 1892 M), filsuf asal Prancis, mengatakan bahwa tokoh paripatetik (al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Bajah, Thufail, Abu al-Barakat al-Baghdadi) tidak bisa membuahkan inovasi apapun dalam filsafat. Dalam bukunya Histoire générale et système comparé des langues sémitiques, dikatakan bahwa kecenderungan nalar kaum semitik hanya pada produksi pemikiran tauhid (penunggalan Tuhan) semata. Paul Lapie (w. 1927), dalam bukunya Les Civilisations Tunisiennes, mengatakan watak orang Arab adalah berpikir ke belakang (regresif), sedang Yahudi, merupakan pemikir visioner yang selalu memandang ke depan (progresif). Salomon Munk, dalam bukunya Mélanges de philosophie juive et arabe, mengatakan bahwa Ibnu Rushd tidak memberikan konstruk episteme filsafat apapun, melainkan hanya komentator terhadap buku Aristoteles semata. Begitupula dari D.Strauss dan Leon Gauthier. Adapun kajian filsafat Islam secara historis (komprehensif), hanya dilakukan oleh tiga tokoh saja; pertama, Salomon Monk, yang bertajuk Melanges de Philosophie Juive et arabe; kedua, T. J De Boer, yang diterjemahkan oleh Abu Raydah dengan judul Tarikh al-Falsafah al-Islamiyyah; ketiga, Carra de Vaux dalam bukunya Les Penseurs de I’Islam.

Kemunculan Musthafa Abdurraziq kemudian membantah asumsi ini. Ia mempergunakan metode pelacakan kemunculan filsafat Islam melalui analisa terhadap karya-karya sarjana besar Islam sebelum bersentuhan dengan peradaban Yunani. Musthafa Abdurraziq kemudian berpandangan bahwa sarjana Islam mempunyai pemikiran cara berpikir independen yang menjadikan karakteristik mereka. Karakteristik ini ada pada dua disiplin ilmu keislaman; ilmu kalam dan ushul fikih. Dengan sendirinya, pandangan ini meniscayakan asumsi bahwa al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Bajah, Ibnu Sina dan Ibnu Thufail hanyalah komentator filsafat Yunani. Penjelasannya adalah, peradaban Islam tersusun dari beberapa diskursus penting; pertama, filsafat Aristoteles yang berkombinasi dengan Neo-Platonis di satu keadaan, dan Platonisme di sisi yang lain; kedua, tasawuf yang terklasifikasi menjadi dua; tasawuf falsafi, di mana konsep-konsepnya sudah tercampur dengan filsafat Yunani, Neo-Platonis, Hermetisme dan Gnostisisme dari India dan Persia; tasawuf sunni, di mana konsep-konsepnya diambil dari al-Qur’an dan al-Sunah; ketiga, ilmu kalam yang bertugas untuk “melindungi” akidah-akidah umat Islam dengan argumentasi-argumentasi rasional; keempat, ushul fikih, untuk menentukan kaidah umum guna menghasilkan hukum cabang dari dalil-dalil terperinci. Dengan kata lain, ushul fikih adalah metode fikih; kelima, ilmu sosiologi, filsafat politik dan filsafat sejarah. Kecenderungan ini dimulai dengan metode historis semenjak sosok al-Mas’udi, Ya’qubi, kemudian al-Thabari, al-Ghazali, al-Mawardi, Ibnu Khaldun, dst; keenam, filsafat Nahwu, yang mana hendak mempraktikkan teori filsafat Yunani dalam ilmu nahwu. Dengan demikian, dua disiplin yang menggambarkan orisinalitas pemikiran Islam adalah ilmu kalam dan ushul fikih.[22]

Penulis akan mencontohkan satu teori yang diciptakan oleh teolog Muktazilah, Abu Hudzail al-Allaf; al-Jawhar al-Fard (atomisme). Aplikasi atomisme adalah; jika Allah mengetahui semua hal, maka yang dinamakan "segala sesuatu" pasti terhitung; ada, wujud, terbatas. Maka bagian-bagian dari alam raya pun harus bisa dihitung (qâbilan li al-'add) atau perwujudan dari sesuatu yang terbatas, karena eksistensi selain Allah adalah bentuk "kumpulan", dan sesuatu yang terkelompok, pasti mempunyai partikel (ajzâ). Sehingga jika Allah mengetahui segala sesuatu, maka partikel yang menjadi bagian dari "segala sesuatu" juga termasuk di dalamnya. Demikian teori keberawalan alam menurut para teolog. Lalu dimanakah peran atomisme dalam teori keberawalan alam ?

Alam adalah eksistensi selain Allah. Berawal (hâdis) atau tidak berawal (qadîm) nya alam, tergantung dari terbatas (mutanâhi) atau tidak terbatas (ghair al-mutanâhi)nya bagian yang melengkapi alam. Jika bagian yang melengkapi alam sampai pada batas tertentu (had mu'ayyan), maka batas paling akhir dari bagian tersebut itulah yang dinamakan al-jawhar al-fard (atom). Dengan kata lain atom adalah batas maksimal suatu pembagian. Di sini para teolog sekaligus merobohkan argumen filsuf yang berasumsi alam itu tak berawal. Mereka, teolog, mengatakan: jism (corpuscle)-–yang dalam hal ini merupakan bagian dari alam--pada prakteknya ada keterpautan antara satu dengan yang lain. Karena secara kasat mata, misalnya, gajah berbeda dengan semut. Jika tidak terbatas (ghair al-mutanâhî)-–sebagaimana asumsi para filsuf-–maka tidak ada bedanya antara gajah dan semut. Padahal komponen yang tersusun dalam tubuh keduanya berbeda.

Jika sudah terbukti bahwa alam (segala sesuatu selain Allah) hâdist (berawal), maka sebuah keniscayaan membutuhkan pada muhdits (pencipta). Karena keberawalan (hâdits) di sini “tarjîh al-wujûd 'ala al-'adam”. Dalam arti, "wujud"nya alam karena mengalahkan kemungkinan "tidak ada" nya alam. Sehingga mengharuskan ada kekuatan dari luar yang menjadikan alam tersebut ada dengan mengalahkan kemungkinan "tidak ada". Sebagaimana seorang penulis yang bisa menjadikan ada dan tidak adanya sebuah tulisan. Adanya keinginan (menjadikan atau tidaknya sesuatu) tersebut itulah--dalam istilah ilmu kalam--dinamakan kehendak (al-irâdah).[23]

Kemudian teori tersebut diadopsi oleh Abu al-Hasan al-Asy'ari sampai terbentuk sekte Asy'ariyah. Diteruskan oleh Ibnu Mujahid, kemudian al-Qadli Abu Bakar al-Baqilani. Dari al-Qadli, dilanjutkan oleh Abu al-Ma'ali al-Juwainy (Imam al-Haramain) dalam al-syâmil fi ushûl al-din-nya. Imam al-Haramain mempunyai murid Abu Hamid al-Ghazali, penghancur filsafat dengan tahâfut al-falâsifahnya. Munculnya al-Baqilani, Imam Haramain dan Imam Ghazali yang mengkritik filsuf Arab itu sejatinya meneguhkan bahwa peradaban Islam mempunyai pemikiran independen.

Penutup
Sebenarnya masih banyak yang perlu dibahas pada makalah ini. Makalah ini jauh untuk disebut komprehensif jika memotret pemikiran paska Kebangkitan. Akan tetapi dengan sedikit ulasan dari penulis bisa—paling tidak—memetakan gagasan pemikiran paska kebangkitan beserta perkembangannya. Dan semoga tulisan ini bermanfaat.



[1] Ahmad Amin, Zu’ama al-Ishlah fi al-‘Ashr al-Hadits, Beirut: Dar al-Kutub Al-Arabi, tt, hlm. 5-7
[2] Mohammad Imarah, Rifa’ah al-Thathawi; Râid al-Tanwîr fî al-Ashr al-Hadîts, Kairo: Dar al-Syouruq, cet. II, 1988, hlm. 8. Bandingkan juga dengan Ahmad Amin, Zu’âma’ al-Ishlâh, Op. Cit.,hlm. 5-7
[3] Untuk meneropong fenomena perpindahan filsafat Islam ke dalam peradaban Eropa secara komprehensif, lihat Muqaddimah fî ‘Ilm al-Istghrâb, Kairo: Dar al-Fanniyah li al-Nasyr wa al-Tawzi’, 1991 hlm. 204.
[4] Hassan Hanafi, Muqaddimah fî Ilm al-Istighrâb, Op.Cit., 1991, hlm. 235.
[5] Allal al-Fasi, al-Naqd al-Dzâtî, Kairo: Al-Mathba’ah al-‘Alamiyyah, cet. I, 1952, hlm. 1-4
[6] Abdurrahman bin Khaldun, Muqaddimah, Beirut: Dar al-Fikr, cet. I, 2001, hlm. 160
[7] Fahmi Jad’an, al-Madli fi al-Hadlir; Dirâsah fî Tasyakkulât wa Masâlik al-Tajarrubah al-Fikriyyah al-‘Arâbiyyah, Beirut: Dar al-Faris li al-Nasyr wa al-Tawzi’, cet. I, 1997, hlm. 472-473
[8] Hassan Hanafi, Humûm al-Fikr wa al-Wathan; al-Fikr al-‘Arabi al-Mu’âshir, Kairo: Dar al-Quba’ Li al-Thiba’ah wa al-Nasyr wa al-Tawzi’, Juz II, 2003, 427-435
[9] Ibid.,hlm. 472
[10]Hassan al-‘Athar memberikan dua agenda yang harus ditempuh menuju kebangkitan: Taghyîr al-Ahwâl dan Tajdîd al-Ma’ârif.
[11] Hassan Hanafi, Humûm al-Fikr wa al-Wathan al-Fikr al-Araby al-Mu’âshir, Op. Cit., hlm. 51
[12] Lihat selengkapnya pada Fahmi Jad’an, Usus al-Taqaddum inda Mufakkirî al-Islâm, Kairo: Dar al-Syouruq, cet. III, 1988, hlm. 28-29
[13] Ibrahim A’rab, Al-Islâm al-Siyâsi wa al-Haddâtsah, Beirut: Ifriqiya al-Syarq, 2000, hlm. 40
[14] Ibid., hlm. 41
[15] Sayyid Husein Thabathaba’i, Usus al-Falsafah, Beirut: Dar al-Ma’arif li al-Mathbu’at, tt, hlm. 33
[16] Hassan Hanafi, Humum al-Fikr, Op. Cit., hlm. 435-439
[17] Thaha Abdurrahman, Rûh al-Haddâtsah, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, cet. I, 2006, hlm.11
[18] Lihat selengkapnya pada kajian Hassan Hanafi dalam Muqaddimah fi Ilm al-Istighrâb, Kairo: Dar al-Fanniyah li al-Nasyr wa al-Tawzi’, 1991.
[19] www.arabphilosophers.com
[20] Ali Harb, Azminat al-Haddatsah al-Fâiqah, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, cet. I, 2005, hlm. 64-67
[21] Lihat Ali Sami Nasyar, Nasy’at al-Fikr al-Falsafi fi al-Islâm, Kairo: Dar al-Ma’arif, cet. VII, hlm. 24-27
[22] Ibid.,hlm. 47-48
[23] Lihat Ibnu Rushd dalam al-Kasyf ‘an Manahij al-Adillah fi ‘Aqâid al-Millah, pada pengantar Mohammad Abed al-Jabiri, Beirut: Markaz al-Dirasat al-Wahdah al-‘Arabiyyah, cet. I, 1998, hlm. 22-24. Penulis juga pernah mendeskripsikan teori atomisme dalam tulisan singkat penulis, “Muktazilah; Implementasi Teori Ilmu Kalam”
Selengkapnya...

Monday, 1 August 2011

Kritik Pemikiran Hizbut Tahrir

Oleh Ahmad Hadidul Fahmi

Baru-baru ini kita melihat semangat keislaman yang menggelora dari generasi muda. Sayangnya, semangat memunculkan Islam sebagai alternatif terbaik itu tidak diimbangi dengan pemahaman yang ‘mumpuni’ dalam ilmu agama. Merasa bangga ketika memperjuangkan ‘simbol’, akan tetapi buta terhadap ‘esensi’. Karakter yang melekat dari inklinasi semacam ini adalah, mudah sekali menuduh kafir kelompok lain yang tidak se-ide dengan pemikiran mereka. Itulah Hizbut Tahrir. Partai yang masuk ke Indonesia sekitar tahun 1980 ini, cukup mendapat respon yang baik dari pemuda-pemuda kampus yang tidak mempunyai background yang mumpuni tentang pengetahuan Islam. Penulis menduga kuat, suksesnya dakwah mereka cukup paralel dengan slogan-slogan islamis yang dielu-elukan oleh simpatisan ‘Partai Pembebasan’ ini.

Pada tulisan ini, penulis hendak membedah inti pemikiran Hizbut Tahrir dari sumber-sumber primer mereka, kemudian penulis akan coba komparasikan dengan pendapat ulama-ulama serta pemikir kontemporer terkait masalah yang dibidik. Permasalahan yang coba penulis tampilkan adalah asumsi keharusan mendirikan Negara Islam sebagai wahana pemersatu umat Islam se-dunia. Permasalahan pertama ini tersusun dari premis-premis; pertama, kedaulatan rakyat adalah sistem kufur yang diciptakan oleh Barat. Karenanya, demokrasi dianggap sistem kufur sebab bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Kedua, praktek politik pada masa Nabi merupakan representasi ideal—sekaligus diasumsikan diambil dari nash qath’iy--bagi kelangsungan politik untuk era sekarang. Khilafah Islamiyyah—bagi mereka--juga alternatif terbaik untuk mengentaskan umat Islam dari hegemoni Barat.

Sejarah Kemunculan dan Falsafah Pemikiran Hizbut Tahrir

Hizbut Tahrir lahir di Palestina tahun 1953, dengan pendirinya Taqiyuddin al-Nabhani, seorang Hakim di Haifa. Berdirinya Partai Kebebasan ini erat kaitannya dengan invasi Israel ke Palestina dan runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani yang tumbang tahun 1924. Awalnya al-Nabhani merupakan pengagum Sayyid Quthb, dan sempat memberikan beberapa kuliah di markas besar Ikhwanul Muslimin di Yerusalem. Lahir di desa Ijzim, Palestina, 1914 M. Nama lengkapnya adalah Taqiy Al-Din bin Ibrahim bin Musthafa bin Isma’il bin Yusuf Nashir Ad Din An Nabhani. Hidupnya berpindah-pindah, dari Jordania, Syiria, dan akhirnya wafat Lebanon. Ia sempat mengenyam pendidikan di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir pada tahun 1928 M. Al-Nabhani terbilang cukup produktif, beberapa buah karyanya adalah; Nidzam al-Islam, al-Takattul al-Hizbi, Mafahim Hizb al-Tahrir, al-Nidzam al-Iqtishadi fi al-Islam, al-Nidzam al-Ijtima’i fi al-Islam, Nidzam al-Hukmi fi al-Islam, al-Dawlah al-Islamiyyah, Mafahim Siyasiyah li Hizb al-Tahrir, dan lain sebagainya. Buku yang dianggit sebelum mendirikan Partai Pembebasan bertajuk Risalat al-Arab.

Sistem kepemimpinan Hizbut Tahrir disebut ‘Imarah’ yang dipegang oleh Amir al-Hizb. Batas kepemimpinan Amir al-Hizb tidak terbatas, atau seumur hidup. Taqiyuddin al-Nabhani sendiri memegang tampuk Amir al-Hizb sampai tahun 1977 (sekaligus tahun wafat beliau). Selepas Al-Nabhani, tampuk Amir digantikan oleh Abdul Qadim Zallum (1977). Sebagaimana al-Nabhani, Abdul Qadim Zallum pernah mengenyam pendidikan di al-Azhar. Perjumpaannya dengan Taqiyuddin al-Nabhani terjadi pada tahun 1952, atau satu tahun sebelum Partai ini berdiri. Di antara karya Zallum adalah; al-Amwal fi Dawlat al-Khilafah, Nidzam al-Hukm fi al-Islam, al-Ta’rif bi Hizb al-Tahrir, al-Dimuqrathiyyah Nidzam Kufr, dan sebagainya.

Wafatnya Abdul Qadim Zallum (2003) ditandai dengan perpecahan di tubuh Partai. Masa vakum ini memunculkan kelompok sempalan Hizbut Tahrir yang menamakan diri mereka kelompok reformis (al-Tayyar al-Ishlahi). Kelompok reformis pada hakikatnya merupakan oposisi dari Amir ketiga, Atha’ Abu Rasytah—yang masih memegang posisi Amir sampai sekarang, Juru Bicara Hizbut Tahrir Yordania sekaligus pengganti Abdul Qadim Zallum. Sebab, ketika Abu Rasytah didaulat menjadi Amir, dari kelompok reformis ini telah mengajukan Amir sendiri, Abu Bakar al-Khuwalidah.

Dalam perjalanan pergerakan Hizbut Tahrir, mereka membagi dalam tiga fase penting; pertama, fase doktrinasi pemikiran-pemikiran Hizbut Tahrir secara personal, agar masyarakat menerima eksistensi mereka. Pada fase yang diawali semenjak 1953 ini, Taqiyuddin al-Nabhani sangat berperan besar. Sebab secara langsung ‘turun lapangan’ memperkenalkan pada masyarakat doktrin-doktrin Hizbut Tahrir. Pada saat respon masyarakat dinilai positif, mereka melanjutkan pada fase kedua; interaksi dengan masyarakat agar mereka ikut merasakan dakwah Islam dan mempunyai kesadaran yang sama tentang realitas Islam. Pada fase ini, Hizbut Tahrir mulai memerangi pemikiran-pemikiran yang tidak sejalan Islam secara massif. Memprogandakan cacatnya kepemimpinan yang tidak sejalan dengan Islam. Setelah masyarakat mulai kehilangan kepercayaan dengan pemimpin mereka, Hizbut Tahrir mulai beralih ke fase ketiga; penerimaan kekuasaan melalui penegakkan Negara Islam guna mengaplikasikan Islam secara komprehensif.

Dalam buku bertajuk Hizb al-Tahrir, keluaran Hizbut Tahrir, definisi Partai Pembebasan ini adalah parta politik yang berideologi Islam, dan lahan dakwahnya dalam ranah politik, serta memimpin umat Islam untuk kembali pada pemerintahan Islam sehingga mampu berhukum dengan sebagaimana yang sudah diturunkan oleh Allah.

Falsafah yang mendasari berdirinya ‘partai pembebasan ini’—sebagaimana terangkum dalam buku terbitan Hizbut Tahrir sendiri yang bertajuk Mafahim Hizb al-Tahrir—berpijak dari kemunduran massif peradaban Islam semenjak abad 12 H yang berbanding lurus dengan lemahnya semangat umat Islam untuk memperdalam Islam itu sendiri. Lemahnya generasi umat Islam untuk memperdalam Islam—bagi mereka—inheren dengan upaya memisahkan Arab dan Islam. Sedang gagalnya proyek kebangkitan—yang bertopang dari Islam—setidaknya kembali pada tiga alasan; pertama, tidak memahami secara komprehensif pemikiran Islam; kedua, hanya memperdalam hukum yang bersifat teoritis, akan tetapi mengabaikan aspek praksis; ketiga, asumsi keterpisahan pemikiran Islam dan aplikasinya.

Keterpisahan mempelajari hukum Islam yang terpisah dari cara implementasinya secara total termanifestasikan tatkala umat Islam berbondong-bondong mempelajari tatacara shalat, puasa, nikah, talak, akan tetapi mengabaikan hukum Jihad, ghanimah, hukum-hukum dalam pemerintahan, dan sebagainya. Sehingga pada abad 19 M, ada pemahaman yang keliru terkait paradigma aplikasi Islam dalam masyarakat; Islam ditafsirkan agar kontekstual dengan masyarakat, bukan masyarakat yang menyesuaikan dengan Islam. Dengan demikian, merupakan keharusan untuk mengaplikan Islam sebagaimana adanya pada masyarakat tanpa terpengaruh waktu, tempat atau masa.

Oleh karena itu, diperlukan adanya gerakan Islam yang mengembalikan Islam pada wacana teori sekaligus memungkinkan mengaplikasikannya secara total, dan memulai hal tersebut dari skala yang paling kecil; dunia Arab. Inilah awal mula muncul ide untuk mendirikan Negara Islam. Dimulai dari sekup yang terkecil untuk bermu’amalat secara Islami, kemudian melebarkan sayapnya ke penjuru Negeri.

Selain itu, kewajiban umat Islam adalah menerapkan hukum Islam secara paripurna di semua sendi kehidupan, melalui Undang-Undang atau peraturan yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadis. Aplikasi secara sempurna tersebut tidak mungkin terwujud terkecuali dengan wujudnya Negara yang bisa mengakomodir semua itu. Itulah Negara Islam, dimana Khalifah atau pemimpinnya menerapkan syariat Islam secara sempurna.

Hizbut Tahrir dalam merealisasikan agendanya melalui penguasaan parlemen sehingga mampu mendirikan Negara Islam. Adapun piranti untuk sampai pada parlemen adalah; pertama, memusatkan perhatian pada upaya doktrinasi terhadap masyarakat tentang Islam (al-ihtimam bi al-‘amal al-tsaqafi/tastqif). Pada aspek ini, seperti pernyataan al-Nabhani sendiri dalamal-Takattul al-Hizby, Hizbut Tahrir jelas mengikrarkan pengabaian terhadap aspek etika dalam Islam, dan mengedepankan pemikiran dan pengetahuan tentang peradaban Islam. Kedua, memusatkan perhatian aktivitasnya dalam ranah politik (al-ihtimam bi al-‘amal al-siyasi). Dalam ranah politik, mereka berusaha sekuat mungkin untuk meruntuhkan aturan-aturan yang dibuat bukan dari asas islami. Dalam buku yang bertajuk Manhaj Hizb al-Tahrir, mayoritas Negara yang dihuni oleh umat Islam sekarang layak disebut Dar al-Kufr, karena mengadopsi hukum-hukum yang berasal bukan dari asas Islami dan tidak dibawah kontrol masyarakat Islam.

Ketika Negara Islam sudah terealisasi, Hizbut Tahrir mengagendakan menyusun Undang-Undang yang diawali dengan telaah problematika masyarakat, kemudian membuat kaidah umum—sebagai referensi Hakim/Qadli ketika memberikan putusan hukum--yang bisa dijadikan neraca mengentaskan varian problem yang berkembang. Mereka mensyaratkan, aturan tersebut merupakan perpanjangan dari fikih Islam. Interpetasi Undang-Undang yang dilakukan oleh Hakim harus melalui penguasaan teks Islam (al-Nushush al-Syar’iyyah), ushul fikih, atau fikih.

Mereka beranggapan, Islam sebagai agama mempunyai aturan. Aturan ini adalah hukum-hukum syariat yang diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci. Aturan-aturan tersebut terklasifikasi pada hukum-hukum yang mempunyai orientasi mengentaskan problem masyarakat (fikrah), dan hukum-hukum yang mencakup tatacara aplikasi hukum, menjaga akidah dan menyebarkan dakwah (thariqah). Islam tersusun dari dua unsur ini, dan tak akan mungkin berislam secara sempurna tanpa upaya menjalankan keduanya. Mereka mencontohkan bahwa shalat adalah fikrah. dan Negara Islam merupakan thariqah, yang bertugas tidak hanya menganjutkan umat Islam untuk melaksanakannya secara teratur saja, akan tetapi juga mengupayakan hukuman bagi yang meninggalkan shalat.

Islam Atawa Nasionalisme?

Hizbut Tahrir secara sosio-historis merupakan aksi yang timbul dari nasionalisme Palestina yang terus menerus ‘dibombardir’ oleh Israel. Inklinasi nasionalisme al-Nabhani terlihat jelas dalam buku pertamanya yang bertajuk Risalat al-Arab. Akan tetapi aksi mereka kemudian beralih ke level yang lebih tinggi; mendirikan Negara Islam. Runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani (1924), juga salah satu faktor yang tidak bisa diabaikan yang mengilhami ambisi HT untuk mempersatukan umat dalam satu kesadaran; kesadaran Islam. Pada hakikatnya, ‘satu kesadaran’ merupakan orientasi semua sekte yang ada dalam Islam sekarang. Akan tetapi piranti yang digunakan berbeda-beda, tergantung dari paradigma apa suatu sekte berpijak. Selain itu, eksistensi adanya ‘negara-negara kecil’ (duwailat) sekarang, tampaknya juga harus dijadikan pertimbangan tersendiri.

Pemerintah Islam pada masa Nabi dan shahabat adalah pemerintahan yang tidak mungkin terulang kembali. Islam adalah agama yang diimani oleh orang Arab dan membawa ajaran-ajaran yang tidak pernah mereka jumpai sebelumnya. Dengan kualitas orang yang juga berbeda dengan masa sekarang, mereka mampu ‘mendongkrak’ ke atas dan melakukan ekspansi ke daerah-daerah lain atas nama Islam. Akan tetapi, kenapa Islam sekarang tidak mampu mempersatukan umat Islam dalam satu kesadaran sebagaimana yang terjadi pada zaman Rasul dan Shahabat? Bahkan antara Negara yang mayoritas umat Islam terjadi peperangan yang tak kunjung reda sampai sekarang.

Hal paling fundamental yang bisa diungkapkan di sini adalah Islam dengan aplikasi yang maksimal pada masa Nabi masih menyisakan celah-celah fanatisme kabilah yang potensial menimbulkan perseteruan dan perpecahan. Padahal fungsi kabilah pada saat itu tidak kompleks sebagaimana fungsi Negara pada saat ini. Bahkan sangat sederhana. Selain itu, ketika menjadikan Islam sebagai pemersatu umat, kecenderungan ikatan atas dasar Islam sendiri bertingkat; kita mengetahui bersama bahwa rasa kebersamaan Muhajirin lebih kuat dibanding Anshar karena Muhajirin secara langsung berhadapan dan bahkan mendapat siksaan bertubi-tubi dari kaum Musyrik Mekah.

Berlanjutnya fanatisme kabilah dalam Islam jelas terlihat ketika Khazraj perannya lebih besar di perang Badar dari pada Aus, sebab Khazraj memandang paman ayah Nabi berasal dari Bani Najjar. Dan Bani Najjar adalah salah satu kelompok Khazraj. Dalam Tarikh Thabari disebutkan, pada saat peristiwa Musailamah yang mendaku Nabi, Thalhah al-Numairi mengatakan pada Musailamah, “saya bersaksi bahwa kamu bohong. Akan tetapi bohongnya Rabi’ah (nama kabilah), lebih saya suka dari pada jujurnya Mudlar”. Artinya, Thalhah mengetahui bahwa Islam adalah agama yang benar, akan tetapi ia merasa tak rela ketika harus bersama Quraisy dan orang Islam yang lain memerangi Musailamah yang berasal kabilahnya.

Fanatisme yang tidak berpayung Islam juga berlanjut ke masa Dinasti Umawiyyah. Sejarah mencatat bahwa pemerintahan Umawi memperlihatkan rasa bangga yang berlebihan dengan ras Arab dan terlalu membedakan Arab dengan yang lain. Fanatisme kabilah juga masih cukup kental di sini. Kita melihat perseteruan antara Mudlar dan Yaman yang mengakibatkan revolusi pada masa al-Walid bin Zaid bin Abd al-Malik.

Arti ini semua adalah, ikatan Islam memperlihatkan hasil maksimal hanya pada masa Nabi. Oleh karena itu, apabila Hizbut Tahrir hendak menyatukan umat Islam dalam satu payung agama, mereka harus mengetengahkan konsep yang matang serta realistis. Kemustahilan tersebut lagi-lagi datang dari sikap aktivis Hizbut Tahrir sendiri yang sangat mudah sekali menyumpah golongan lain dengan kafir. Tentu saja agenda mereka lebih akan jadi ilusi semata. Pluralitas fikih, pendapat, paradigma, sama sekali tak mendapat tempat dalam Partai ini. Selain itu, kita bahkan sampai sekarang tak mendapat informasi lebih perihal kelompok reformis Hizbut Tahrir dari sumber-sumber primer mereka. Ataukah karena Hizbut Tahrir sendiri enggan disebut gagal dengan agendanya tersebut?

Kritik Teori Hakimiyyah

Khalil Abdul Karim menegaskan dalam bukunya li Thatbiq al-Syari’ah, la li al-Hukm, bahwasanya maraknya radikalisme, asumsi kafirnya pemerintah serta tuduhan terhadap umat Islam sebagai masyarakat Jahiliyyah, setidaknya kembali pada dua sebab; teori ‘hakimiyyah’ yang dipopulerkan oleh Sayyid Quthb yang diadopsi dari Abu al-A’la al-Mawdudi, seterusnya menjadi parameter dalam menilai kepemimpinan yang tidak berasal dari Islam; kedua, siksaan yang ditujukan pada kelompok radikalis yang berakhir dengan hukuman mati Sayyid Quthb.

Bertolak dari premis ini, aktivis Hizbut Tahrir menjadikan teori tersebut sebagai legitimasi menuduh praktek kepemimpinan saat ini atau yang tidak bersumber dari Nabi dengan predikat kafir. Predikat tersebut sekaligus dijadikan dalih untuk menggusur mereka dari tampuk kekuasaan karena tidak sesuai dengan Islam. Imbasnya juga, Hizbut Tahrir mengatakan bahwa demokrasi merupakan sistem kufur karena penganut demokrasi mengingkari kedaulatan Tuhan (al-hukm lillah). Demokrasi—sebagaimana dituliskan oleh Abdul Qadim Zallum dalam bukunya al-Dimuqrathiyyah Nidzam Kufr—adalah produk Barat yang sumber hukumnya bersandar pada rakyat dan didasarkan pada suara mayoritas.

Pada hakekatnya, perkataan kedaulatan ada di tangan Tuhan—sebagaimana disebutkan oleh Yusuf Qardlawi dalam bukunya al-Din wa al-Siyasah--tidak bertentangan sama sekali dengan demokrasi. Sebab, adanya ungkapan kedaulatan rakyat bukan hendak menegasi kedaulatan Tuhan. Akan tetapi sebuah sikap oposisi terhadap pemerintahan diktator. Implikasi yang tepat dari teori Hakimiyyah milik Al-Mawdudi ini, hendak menyerabut legalitas ijtihad di semua masa. Penempatan yang tidak tepat dari teori Hakimiyyah sangat mirip dengan sikap Khawarij; kalimat tersebut pada hakikatnya benar, akan tetapi aplikasinya tidak tepat. Untuk melihat pluralitas interpretasi makna ‘Hakimiyyah’ ini, mari kita simak penjelasan Mahmud Karimah, pakar Syariah Mesir, dalam bukunya Hurmat al-Takfir.

Ayat yang biasa dijadikan landasan teori Hakimiyyah adalah ayat “wa man lam yahkum bi ma anzalaLLah, fa ulaika hum al-fasiqun/al-dzalimun/al-kafirun”. Setelah Mahmud Karimah membeberkan varian penafsiran dari ulama klasik terhadap ketiga ayat tersebut, ia pada akhirnya berkesimpulan—dengan mendasarkan pendapatnya dari pendapat yang terkuat dan realistis serta sesuai dengan misi toleransi Islam--bahwa ayat tersebut turun untuk orang-orang yang membuat hukum yang berbeda dari apa yang sudah diturunkan oleh Allah. Sebagai misal, mengatakan bahwa puasa Ramadlan tidak wajib, atau tidak perlu. Oleh karena itu, yang dimaksud berhukum dengan selain hukum Allah dalam ayat adalah; pertama, menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal; kedua, mengingkari disyariatkannya suatu hukum tertentu; ketiga, memperingan hukum, keempat, jika mengaplikasikan ayat ini untuk orang kafir, maka yang dimaksud kafir di sini berfungsi sebagai tawkid (penguat kekafirannya), sedang jika ayat diaplikasikan untuk orang mukmin, maka yang dimaksud adalah tawkid untuk dzalim dan fasik.

Muhammad Imarat menambahkan dalam bukunya yang bertajuk al-Dawlah al-Islamiyyah baina al-Ilmaniyyah wa al-Shulthat al-Diniyyah, bahwasanya makna kata “al-hukm” dalam mayoritas ayat al-Qur’an bukan mengarah pada penetapan aturan-aturan dalam ranah politik. Akan tetapi bermakna putusan (al-Qadla’) dan memutus konflik (fashl al-munaza’at). Tidak ada kaitan sama sekali dengan Khilafah, politik, atau aturan-aturan dalam sistem politik tertentu.

Secara historis, teori kedaulatan rakyat juga tak bisa dipisahkan dari John Locke, filosof Inggris. Ia hendak menjadikan rakyat sebagai sentral; penentu hukum guna melawan pemerintahan diktator. Begitu pula filosof Perancis, Jean Jacques Rousseau, yang berbicara mengenai ‘kedaulatan rakyat’ sebagai kekuatan oposisi penguasa elit despotik. Sejarah jelas berbicara, bahwa teori kedaulatan rakyat berdiri guna menentang despotisme penguasa.

Bahkan, sebagaimana Fahmi Huwaidi utarakan dalam bukunya yang berjudul al-Dimuqrhutiyyah wa al-Islam, pemerintahan dengan praktek Khilafah juga sebenarnya tak lepas dari kerelaan rakyat (ridla al-ummat). Kedaulatan yang ada dalam praktek Khilafah tidak merepresentasikan kedaulatan Tuhan. Ekses dari kedaulatan (dalam ranah politik) di tangan Tuhan sangat berbahaya sekali, karena bisa menjadi legitimasi seorang Khalifah untuk berbicara atas nama Tuhan, dan yang membangkang seolah membangkang pada Tuhan. Tentu saja ini pandangan yang keliru. Dan sangat potensial melahirkan pemimpin despotik. Muhammad Imarah merasionalisasikan gagasan ini pada logika yang paling dekat; jika kedaulatan ada di tangan rakyat, maka Khalifah adalah wakil dari rakyat dan mengatur urusan rakyat. Sedang jika mengatakan kedaulatan Tuhan, maka Khalifah adalah wakil Tuhan dan merepresentasikan maksud Tuhan. Lalu, apa perbedaan pemerintahan Khilafah dengan dominasi Gereja pada masa kegelapan Eropa?

Jika berpijak pada fikih klasik, maka pemerintah yang dipilih oleh rakyat dan terdapat wakil rakyat yang menduduki parlemen sudah sah secara syar’i. Oleh karena itu, ketika melihat konteks Indonesia, pemerintah Indonesia sudah sesuai dengan tata cara pemilihan pemimpin yang disebutkan dalam fikih klasik, karena presiden dilantik oleh MPR. Dan MPR adalah wakil rakyat yang statusnya tak berbeda dengan Ahlu al-Halli wa al-‘Aqdi.

Dalam perkara dunia, umat Islam diberi kebebasan untuk menetapkan aturan yang selaras dengan kemaslahatan mereka. Sebagaimana dianjurkan untuk mengambil manfaat dari peradaban yang bermacam yang dihasilkan dari nalar manusia tanpa melihat bagaimana serta apa ideologi dari peradaban tersebut. Mengutip Muhammad Abduh, jika mengasumsikan bahwa wahyu sudah mengatur semua kehidupan manusia, diakui atau tidak, hal ini akan menghambat optimalisasi nalar dan kreasi umat. Banyak hal-hal yang baru bentukan peradaban modern tidak terdapat di dalam wahyu. Di sinilah peran manusia untuk berijtihad.

Bagi penulis, demokrasi adalah sistem ideal yang bisa diaplikasikan oleh semua Negara. Sistem ini sama sekali tidak bertentangan dengan Islam karena di dalamnya terdapat prinsip-prinsip Islami yang jelas termaktub dalam al-Qur’an dan al-Hadis. Yusuf Qardlawi bahkan menyebut demokrasi dengan Islam itu sendiri (Jawhar al-Islam). Pada demokrasi sudah mencerminkan praktek syura’ (QS. Ali Imran: 159), Ahl Al-Halli wa Aqdi (QS. Al-Nisa’: 59), menolak penguasa despotik (QS. Al-Baqarah: 258, QS. Al-Syu’ara: 150-152), mengikuti suara mayoritas (QS. Al-Tawbah: 105, QS. Al-Ghafir: 35) .

Formalisasi Syariat, Mungkinkah?

Mengenai relevansi hukum Islam, sebagaimana analisis Mahsun Fuad, relasi hukum Islam dan perubahan sosial setidaknya menghasilkan dua teori yang berbeda; pertama, teori keabadian (normativitas). Dalam arti, hukum Islam tetap abadi, konstan serta tidak berubah dari zaman sebagaimana diturunkannya hukum tersebut. Oleh karenanya, ia tidak bisa diadaptasikan dengan perubahan sosial; kedua, teori adaptabilitas (perubahan). Bahwasanya hukum Islam bisa disesuaikan dengan perubahan sosial dan membutuhkan ijtihad-ijtihad baru yang sesuai dengan realitas sosial dan bisa merespon perubahan sosial. Perlu diketahui di sini bahwa yang dimaksud adaptabilitas bisa mengacu pada dua frame; kemungkinan perluasan hukum yang sudah ada dan keterbukaan satu kumpulan hukum bagi perubahan.

Oleh karena itu, jika melihat klasifikasi di atas, Hizbut Tahrir dengan pandangannya hendak membawa umat Islam pada normativitas hukum Islam; hukum Islam yang diasumsikan tidak berubah sampai kapanpun. Pandangan ini tentu saja sangat lemah dari banyak sisi. Padahal tempat dan masa mempunyai andil besar dalam proses inferensi hukum (istinbath al-hukm) bagi para mujtahid. Yusuf Qardlawi dalam kitabnya yang bertajuk al-Fatawa al-Syadzdzah mengkategorikan hukum yang tidak melihat aspek waktu, tempat serta kondisi sebagai hukum yang syadz (lawan hukum yang kuat/shahih). Oleh karena itu kita melihat mujtahid merubah hukum karena pertimbangan tempat dan waktu. Seperti Imam Syafi’I yang mempunyai Qawl Qadim (pendapat lama) yang dikeluarkan sebelum di Mesir, sedang sesudah di Mesir terkenal dengan Qawl Jadid (pendapat baru).

Tak jarang juga dalam literatur fikih, seorang imam bisa menelorkan sampai sepuluh hukum dalam satu permasalahan, sebagaimana yang dilakukan oleh imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab al-Furu’ anggitan Ibnu Muflih. Tak jarang pula terdapat perbedaan antara penganut madzhab dengan imam madzhab, seperti perbedaan Abu Hanifah (Imam Madzhab Hanafi) dan Abu Yusuf dan Muhammad (penganut Madzhab). Oleh ulama, perbedaan mereka disebut perbedaan masa dan waktu (ikhtilaf ‘ashr wa zaman). Ibnu Abidin menganggit kitab berjudul Nasyr al-Arfi fi Bina’ Ba’dl al-Ahkam ‘ala al-Urfi. Dalam kitab tersebut disebutkan banyak sekali perubahan fatwa untuk satu kasus dalam satu madzhab. Ibnu Abidin mengatakan, “kebanyakan hukum bisa berbeda-beda menurut pertimbangan masa karena berubahnya adat suatu masyarakat, atau karena dlarurat, atau semakin rusaknya masyarakat, sehingga jika diberikan hukum sebagaimana adanya, maka akan menimbulkan kesusahan dan membahayakan bagi manusia. Dan hal ini bertentangan dengan kaidah syara’ yang didasarkan pada keringanan dan kemudahan”.

Dengan demikian, mengambil hukum apa adanya pada satu masa tertentu untuk diaplikasikan di masa yang berbeda adalah tindakan yang semena-mena. Walapun hal ini tidak berlaku dalam semua hukum, akan tetapi hukum-hukum yang didasarkan pada teks yang mempunyai cakupan makna yang multi-interpretatif (dzanny al-dalalah).

Bagaimanakah sebenarnya bentuk formalisasi syariat itu? Formalisasi Syariat Islam—sebagaimana didefinisikan oleh Salim al-Awa--adalah mentransfer hukum syariat pada pasal dalam Undang-Undang yang bersifat mengikat. Hal ini berkonsekuensi pada seorang Hakim, ketika memutuskan suatu kasus harus berdasarkan hukum tersebut. Penyeru formalisasi Syariat pertama kali adalah Abdullah Ibnu al-Muqaffa’. Hal tersebut terlihat saat Abdullah Ibnu al-Muqaffa’ membujuk Khalifah Abu Ja’far al-Manshur untuk memformalkan syariat Islam disebuah tulisan yang bertajuk Risalat al-Shahabat. Kemudian Abu Ja’far al-Manshur mengupayakan hal serupa—walau tak disebut taqnin (formalisasi), akan tetapi hendak mengarah ke sana—dengan meminta kitab al-Muwatha’ sebagai acuan hakim ketika memutuskan suatu perkara. Akan tetapi Imam Malik menolaknya. Abu Ja’far membujuk yang kedua kali, imam Malikpun menolak yang kedua kali. Khalifah al-Mahdi melakukan hal serupa, akan tetapi Imam Malik menolak. Begitupula Harun al-Rasyik membujuk imam Malik, beliau tak merubah pendapatnya.

Hal itu dapat dimaklumi, sebab hakim mempunyai pertimbangan dan ijtihad sendiri yang berbeda satu dengan yang lain. Ibnu Abdil Barri dalam kitabnya Jami’ Bayan al-Ilm mengutip tentang riwayat Umar bin Khattab yang bertemu seorang laki-laki. Kemudian ia berkata, “apa yang terjadi?” Laki-laki tersebut berkata, “Ali dan Zaid telah memutuskan seperti ini”. Kemudian Umar berkata, “jika saya yang jadi hakim, niscaya saya akan memutuskan seperti ini (berbeda dengan keputusan yang pertama)”.

Catatan sejarah mengatakan, sebagaimana dilansir Jamal al-Banna dalam tulisannya yang bertajuk Hal Yumkin Tathbiq al-Syari’ah, bahwa hukum pada pemerintahan Khalifah didasarkan pada ijtihad yang variatif serta tidak ditransfer dalam bentuk aturan baku—terkecuali masa di mana Rasul masih hidup. Hal tersebut dimulai oleh Khalifah masa dinasti Umawi, Umar bin Abdul Aziz. Beliau menghendaki agar hadis Nabi dibukukan sebab dikhawatirkan akan lenyap dengan lenyapnya penghafal hadis. Abu Zur’ah menanggapi aktivitas Umar bin Abdul Aziz dengan ungkapan, “Umar bin Abdul Aziz menghendaki bahwa hukum-hukum untuk manusia dan ijtihad sebagai satu kesatuan. Kemudian berkata, “bahwasanya di setiap pelosok daerah ada shahabat Nabi. Dan di antara mereka ada hakim yang memutuskan hukum berdasar persetujuan shahabat Nabi”. Jamal juga mengatakan, sebelum Umar bin Abdul Aziz sudah ada upaya formalisasi syariat di tangan Walid bin Abdul Malik.

Dengan demikian, formalisasi Syariat Islam bukanlah perintah Allah, bukan pula anjuran Nabi.

Terakhir, Abu al-Abbas Ahmad bin Idris al-Qarrafi dalam kitabnya al-Ihkam fi Tamyiz al-Fatawa wa al-Ahkam fi Tasharruffati al-Qadli wa al-Imam mengatakan, sunah Nabi terpetakan pada empat bagian; pertama, aktivitas Rasul yang berkaitan dengan risalah, dengan memperhatikan bahwa beliau adalah seorang rasul yang diutus oleh Allah sebagai penyampai berita gembira dan pemberi peringatan; kedua, aktivitas Rasul dalam berfatwa. Yakni ketika menggambarkan kalimat-kalimat yang tidak dimengerti dari wahyu; ketiga, aktivitas beliau sebagai seorang hakim yang memberi putusan dalam kasus tertentu atau perselisihan antara dua orang; keempat, aktivitas rasul yang berkaitan dengan politik atau imamah. Hal ini mencakup semua perkataan, perbuatan, serta pengakuan yang berkenaan dengan aturan pasukan, alokasi dana tertentu, dll. Imam Qarrafi mengatakan, jika yang pertama dan kedua disebut Sunnah dan masuk dalam perkara agama. Sedang yang ketiga dan keempat bukan dari agama. Dan karenanya, kita tak diwajibkan untuk mengikuti serta mengaplikasikannya.
Selengkapnya...

Saturday, 11 December 2010

Fenomenologi Pemikiran Arab-Islam

Semakin merasa “lemah” seorang hamba, semakin kuat pula keinginan untuk “memuji”. Akhirnya bentuk penghambaan terhadap Tuhan bermetamorfosa menjadi penghambaan terhadap penguasa. Kekuasaan agama teralih –secara tak sadar—pada kekuasaan politik. [Hassan Hanafi]

Prolog

Wacana keislaman yang berkembang sekarang masih saja berkutat pada bagaimana menghadapkan Islam pada kejayaan the other, sebuah rivalitas dari pengadopsian secara mutlak keberislaman pada tiga generasi 'terbaik' umat Islam. Yang pertama meniscayakan keterbukaan terhadap the other . Akibatnya, di satu pihak ada imitasi secara massif kebudayaan Barat oleh Timur, dan di pihak lain, filterisasi the other pun digalakkan untuk menemukan identitas ke'diri'an umat Islam. Gejala pertama kemudian disebut westernisasi; sikap pembebekan terhadap Barat secara total. Memang benar tutur Ibnu Khaldun bahwa peradaban yang 'dikuasai' –secara hukum alam—akan selalu mengikuti peradaban yang 'menguasai'. Di satu kondisi, filter terhadap gegap gempita modernitas menumbuhkan ‘sikap apresiatif’ terhadap metode yang sedang lead di Barat untuk menganalisa sebab kemunduran umat Islam dalam segala lini. Seketika itu, peradaban Islam yang konvensional dan dipenuhi mistisisme kian menampakkan taringnya tatkala dibenturkan dengan progresivitas akal Eropa yang sarat rasionalitas. Kondisi demikian ini yang menjadikan fundamentalisme Islam semakin teguh dalam pencarian identitasnya; bahwa semakin ‘dalam’ peradaban Eropa ‘menjajah’ Islam, semakin menjadi pula ‘pencarian jati diri’ umat Islam.

Menguaknya rasionalitas melalui persinggungan intim dengan peradaban Barat semakin meneguhkan persepsi, bahwa ‘salafisme’ dirasa tak lagi mampu menghadapi problematika kemunduran peradaban. Ketika itu muncul sebuah ‘pendekatan baru‘ yang digelindingkan oleh Begawan pemikir kontemporer; Muhammad Abid al-Jabiri dengan pisau strukturalis mengklasifikasi nalar Arab pada bayâni, burhâni dan ‘irfâni. Sebab kejumudan peradaban Islam –bagi Jabiri sendiri—karena peng-anak tirian burhâni. Padahal, burhâni menyatukan watak bayâni dan ‘irfâni. Alternatif yang diajukan adalah Ibnu Hazm dengan kritiknya, Ibnu Rusyd dengan rasionalismenya, Syathibi dengan Ushulnya, dan Ibnu Khaldun dengan historiografinya. Dari perspektif lain, Muhammad Arkoun melalui arkeologi pengetahuan membuat terma ‘peradaban ideal’ disandingkan dengan ‘interpretasi’ terhadapnya. Di sini Arkoun memperlakukan ‘materi dasar’ atau teks keagamaan sebagai tindak kebahasaan yang harus dipahami dalam suatu momen dan sikap tertentu. Nasr Hamid Abu Zaid dengan perangkat hermeneutika; bahwa interpretasi terhadap ‘teks utama’ tidak akan terlepas dari konteks sosio-historis pembaca. Sementara perangkat materialisme-historis didengungkan oleh Khalil Abdul Karim, Sa’id al-Asymawi serta Sayyid al-Qumni dalam menganalisa masyarakat Arab-Islam semenjak masa kenabian, bahkan proses pembentukannya pada masa Pra Islam. Sedang Hassan Hanafi sendiri mendaku mempergunakan perangkat fenomenologi. Ia mengkritik perangkat materialisme dan idealisme karena tidak sesuai dengan karakter hukum Islam.

Dalam hal ini, pemikir Arab kontemporer -- berdasarkan “rujukan” pemikiran--dapat diklasifikan pada dua kelompok besar; pertama, kelompok yang memusatkan studinya pada masa kenabian karena pertimbangan ‘moral’. Dalam kelompok ini kita mendapati nama Sayyid al-Qumni, Sa’id al-Asymawi, Adonis, Khalil Abdul Karim, serta Husein Muruwah; kedua, kelompok yang memusatkan studinya pada era kodifikasi sebagai rujukan ‘pemikiran’. Kelompok kedua disuarakan oleh Muhammad Arkoun, Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Hassan Hanafi, serta Nashr Hamid Abu Zaid. Namun begitu, dari varian metode yang dipergunakan oleh para pemikir tersebut, sejatinya dapat ditarik beberapa konklusi penting; pertama, baik era kenabian ataupun kodifikasi tidak dipahami dengan mata telanjang tanpa mempertimbangkan proses pembentuknya; kedua, semuanya bertitik tolak pada kemampuan nalar untuk menjembatani dialektika antara teks utama dan realitas yang senantiasa mengalami perubahan dan perkembangan. Dengan demikian, meminjam istilah Muhammad Arkoun, ‘interpretasi’ terhadap “tradisi ideal” harus selalu diperbaharui agar selaras dengan tuntutan modernitas. Pada tulisan kali ini, penulis hendak mendedah perangkat fenomenologi serta aplikasinya dalam menganalisa tradisi keisalaman.

Fenomenologi; Akar Dan Perkembangan Pemikiran

Salah satu perubahan terbesar dalam perspektif manusia tentang dirinya sendiri berlangsung di Eropa, pada abad 13 dan 17 M. Sebab, di abad pertengahan, manusia memandang segala hal dari sudut pandang ‘ketuhanan’; kaitannya dengan Tuhan yang menciptakan, mengarahkan, mempertahankan, serta penyelamat manusia dan seluruh alam raya. Munculnya modernitas mengubah paradigma berpikir ini, bahkan peralihan tersebut –pada satu keadaan-- bersifat dekonstruktif; reformasi abad-16 yang menolak banyak klaim Gereja, serta dasar-dasar atheism yang dirumuskan oleh filsuf era itu. Hal ini yang mengantarkan peradaban Eropa menuju masa pencerahan. Titik poin yang hendak disinggung adalah, di dalam era kebangkitan terdapat satu kunci pokok modernitas: kesadaran akan ‘subyektivitas’. Subyektif di sini bukan sebagai lawan dari obyektif, melainkan dari kata subyek (aku) sebagai yang menghendaki, bertindak serta mengerti. Kiranya dapat dimaklumi tatkala Hegel berujar, manusia adalah kesadaran diri; manusia tak hanya hadir di dunia sebagai benda, melainkan sebagai subyek yang berpikir, berefleksi, serta bertindak secara kritis dan bebas. Subyektivitas adalah unsur hakiki dalam paradigma antroposentris. Dengan demikian, pada abad 15 dan 16 M, selain masa revitalisasi agama (al-Ishlâh al-Dînî) dan masa kebangkitan Eropa (‘ashr al-Nahdlah), pada saat itu pula muncul penekanan segala hal pada sudut pandang manusia; antroposentris (al-Ittijâh al-Insânî).

Titik sentral dalam peradaban Eropa—sebagaimana dikatakan Husserl—adalah ego Cogito Cartesian. Dari ego Cartesian muncul dua aliran yang bertentangan, pertama, rasionalisme (al-Tayyâr al-‘Aqlî). Tokohnya adalah Cartesian pertama, Spinoza; kedua, empirisme (al-Tayyâr al-Tajrîbî), dengan tokohnya David Hume (w. 1776), John Stewart, serta John Locke (w. 1704). Pertentangan ini berlanjut pada perseteruan dua aliran besar filsafat Eropa; idealis (al-Mitsâlî) dan realis (al-Wâqi’î). Immanuel Kant (w. 1804) pernah berupaya menyatukan dua kecenderungan ini, namun yang terjadi justru pengunggulan idealistik atas realistik. Begitu pula Hegel. Selanjutnya ia-pun terjebak pada prioritas ide dan konsep atas materi. Imbasnya, tesisnya lebih mirip ke mitos, serta konsepsi dari pada ke realitas. Edmund Husserl (w. 1938) hadir 4 kurun setelah muculnya kesadaran Eropa pada abad ke 19, dan disebut-sebut sukses menyatukan kecenderungan idealis dan realis. Husserl berupaya membongkar filsafat Barat, dengan menghancurkan ketertutupan kesadaran. Karena “kesadaran” sesuai kodratnya mengarah ke realitas. Kemudian Husserl menciptakan pendekatan filsafat yang menganalisa “kesadaran” dan obyek-obyeknya secara sistemik dan berdasarkan pengalaman. Pendekatan ini yang kemudian dinamakan “fenomenologi”. Istilah ini terus mengalami perkembangan. Tahap-tahap perkembangan istilah fenomenologi dimulai dari Lambert (w. 1777), Hegel (w. 1831), Hamilton, Eduard von Hartmann, dan sampai pada Husserl, Max Scheler, Heidegger (w. 1976), Sartre, dan Merlau-Ponty. Secara genealogis, fenomenologi juga merupakan respon terhadap dominasi ‘rasio’ –abad 17 dan 18. Dominasi rasio terejawantahkan dalam pertimbangan segala hal, termasuk alam raya, pada sikap matematis (hisâb ‘aqlî). Sehingga pada tahap ini rasio telah menjadi “kesadaran” serta “penggerak kehidupan”.

Fenomenologi sendiri merupakan ilmu tentang “gejala” yang menampakkan diri (phainomenon) pada “kesadaran” kita. Istilah ini diperkenalkan pertama kali oleh J.H. Lambert tahun 1764 yang mengarah pada “teori penampakan”. Namun secara garis besar, terdapat tiga pandangan yang dominan dalam fenomenologi; pertama, fenomenologi kritik (al-Finûminûlujiyâ al-Naqdiyyah) atas absolutisme. Pandangan ini dinahkodai oleh Immanuel Kant. Kant menjelaskan, bahwa fenomenologi kritik mengungkap syarat yang harus dilalui guna mendapatkan obyektivitas “subyek” demi terwujudnya rivalitas terhadap persepsi absolutisme; kedua, fenomenologi penampakan (fînûminûlujiyya al-Madzâhir) yang dinahkodai Hegel. Hegel merinci tahap-tahap yang harus dilalui –secara ontologis-- agar sampai pada pengetahuan mutlak; ketiga, fenomenologi sistematis/pendasaran (finûminûlujiyâ al-Ta’sîs), dengan tokohnya Edmund Husserl. Huseerl pada hakekatnya hanya berkosentrasi terhadap pendasaran disiplin filsafat agar menjelma menjadi ilmu yang rigorus. Dengan demikian, fenomenologi berasal dari pembedaan yang dilakukan oleh Immanuel Kant terhadap noumenal (alam sesungguhnya) dan phenomenal (alam yang terlihat), serta pengembangan dari phenomenology of spirit-nya Hegel.

Husserl pada prakteknya hanya meninggalkan dua kaidah penting dalam fenomenologi: reduksi fenomenologis (al-Tawaqquf ‘an al-Hukm) serta konstitusi (al-Takwîn). Reduksi fenomenologis merupakan upaya peralihan pandangan dari alam real menuju “kesadaran”. Dalam arti, jika sikap natural terhadap fenomena alam “menerima apa adanya”, maka reduksi fenomenologis berarti penangguhan “kepercayaan” terhadap dunia riil. Namun sikap tersebut tidak berarti menafikan realitas, sebab reduksi fenomenologis hanya semacam upaya “netralisasi”—dalam istilah Husserl diberi tanda kurung (eingeklammert). Di sini Husserl membedakan antara reduksi fenomenologis (al-Tawaqquf ‘an al-Hukm al-Fînûminûlujî) dan reduksi eidetik (al-Tawaqquf ‘an al-Hukm al-Transindintâlî). Perbedaannya adalah, reduksi fenomenologis mengindahkan alam riil untuk sementara, guna menyibak ‘esensi’ (mâhiyyah). Sedang reduksi eidetik mementingkan esensi (eidos) tetapi dalam bentuknya yang paripurna. Reduksi fenomenologis ini yang kemudian dinamakan “sikap fenomenologis”. Adapun konstitusi (al-Takwîn) merupakan proses tampaknya fenomena terhadap “kesadaran”. Konstitusi merupakan fase kedua setelah reduksi fenomenologi; tampaknya fenomena dalam “kesadaran”, selanjutnya akan bersatu dengan “kesadaran”, dan subyeknya kemudian disebut “pelaku kesadaran”. Dengan demikian, fenomenologi berarti mengurai relasi antara subyek (al-Dzât) dan kesadaran (al-Syu’ûr).

Fenomenologi Husserl demikian terlihat dalam buku Martin Heidegger, Being and Time, sebuah karya yang ia tulis pada tahun 1927, serta didedikasikan secara khusus pada Edmund Husserl. Heidegger menuturkan, bahwa manusia tak mungkin memiliki “kesadaran” jika tidak ada “lahan kesadaran”, suatu tempat, panorama, dunia, agar “kesadaran” dapat terjadi di dalamnya; sehingga suatu eksistensi bersifat duniawi. Atau “ada” dan dunia tak dapat dipisahkan. Eksesnya, suatu eksistensi bersifat temporal karena ia selalu terkungkung dimensi waktu. Dan “kesadaran” sendiri tak pernah berinteraksi langsung dengan realitas jika eksistensi tidak menyeruak menembus “kesadaran”. Titik akhirnya, ke-ada-an mempunyai struktur tiga lapis yang berhubungan dengan masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Jelas bahwa Heidegger hendak menyatukan antara fenomenologi dan ontologi (makna “ada”); mempertanyakan fenomena “ada”. Dalam arti, bagaimana “ada” menjadi “ada”, dan kenapa tidak menjadi “tidak ada”? Satu poin penting, pendekatan Heidegger berbeda dengan Husserl. Di sini Heidegger “meluaskan sekup” konsep Husserl terkait “keterarahan kesadaran”. Pada kenyataannya Husserl sendiri memang menyangkal bahwa Heidegger merupakan pewaris sah pemikirannya.

Kritik yang kemudian menggema adalah dari Emmanuel Lêvinas (w. 1995), bahwa perangkat fenomenologi Husserl berhenti terlalu cepat sehingga tidak mampu menyingkap struktur realitas yang sebenarnya. Ia justru terperangkap pada kerangka obyek-subyek; obyek hanya sebagaimana digambarkan subyek. Dalam arti, obyek tidak mampu menampakkan kediriannya karena terperangkap dalam “kesadaran”. Alih-alih menemukan solusi, Husserl justru mengulangi kecacatan seluruh filsafat yang berupaya meleburkan pluralitas kedalam satu kesatuan. Alasan yang diangkat oleh Lêvinas adalah data paling dasar dari “kesadaran” kita sebenarnya tampaknya obyek dalam ke-”diri”-annya yang seolah hendak mendobrak masuk ke dunia “subyek” yang tertutup. Dari kritik terhadap Husserl, sebenarnya Lêvinas hendak mengembangkan fenomenologi Husserl melalui pijakan yang sama. Fenomenologi –ditangan Lêvinas-- bermetamorfosa menjadi seni untuk mengamati fenomena yang sejatinya “ada”, namun jarang atau bahkan tidak menjadi perhatian manusia.

Husserl dalam perjalanannya sepakat dengan Descartes, bahwa eksistensi yang selalu hidup dalam diri manusia adalah “kesadarannya” sendiri. Sehingga, pemahaman yang kokoh atas suatu realitas adalah pemahaman yang didasarkan pada “kesadaran”. Dus, fenomenologi merupakan metode yang ditempuh guna sampai pada fenomena hakiki; tanpa tercampur pra-sangka, pra-teori, ataupun pengetahuan-pengetahuan tradisional dan bahkan agamis sekalipun. Penolakan pengalaman inderawi disisihkan terlebih dahulu sehingga sebuah fenomena akan mengungkapkan dirinya sendiri melalui “kesadaran”. Teori ini didendangkan oleh penganut fenomenologi dengan sebuah ungkapan: zu den sachen selbst (terarah kepada benda itu sendiri).

Problematika Orisinalitas dan Modernitas; Hassan Hanafi Sebagai Sample

Hassan Hanafi, pemikir yang terkenal dengan proyek Islam Kirinya, disebut-sebut sebagai pengusung fenomenologi Edmund Husserl. Fenomenologi Husserl dengan jelas terbaca pada Essai sur la method d’exeges; disertasi Hassan yang menghadapkan disiplin Ushul Fikih pada fenomenologi. Walaupun ada testimoni bahwa Hassan juga mempergunakan dialektika-materialisme, namun arah pemikiran Hassan lebih dominan pada fenomenologi. George Tharabisyi berujar bahwa Hassan Hanafi memang mendaku mempergunakan perangkat fenomenologi, sebagaimana penuturan Hassan dalam artikelnya yang bertajuk al-Tafkîr al-Dînî wa Izdiwâjiyyah al-Syakhsiyyah. Begitu pula dalam kedua bukunya fî fikrinâ al-Mu’âshir serta fi al-Fikr al-Gharbî al-Mu’âshir Hassan menegaskan statement serupa. Selain itu, proyek Hassan Tradisi dan Pembaharuan (al-Turâts wa al-Tajdîd), dalam penjelasan teoritis rekonstruksi teologi (Min al-‘Aqîdah ilâ al-Tsawrah) serta rekonstruksi Ushul Fikih (Min al-Nash ilâ al-Waqi)’ pun cukup representatif untuk mengatakan bahwa Hassan ‘tergila-gila’ dengan perangkat fenomenologi . Terkait tradisi (turâts) Islam, ia mengatakan, umat Islam tak akan menemukan solusi apapun –dalam tradisi Islam-- terhadap realitas yang sedang dihadapi. Hilangnya aspek kemanusiaan dalam turâts umat Islam berkonsekuensi hilangnya “kesadaran” akan realitas yang sedang dihadapi untuk konteks kekinian. Dengan begitu, krisis umat Islam sekarang adalah krisis menghadapi realitas, dan ironisnya, hal itu justru diimbangi dengan pembacaan terhadap tradisi secara skriptural dan imitatif. Kesamaan mencolok antara Hassan dan Husserl saat keduanya mengaplikasikan fenomenologi pada tradisi masing-masing; Husserl pada tradisi Barat dan sampai pada konklusi “rekonstruksi tradisi Barat”, sedang Hassan pada tradisi Islam untuk menyibak krisis peradaban umat Islam.

Yang demikian itu, karena problematika yang mencuat sekarang adalah harmonisasi orisinalitas dan modernitas (al-Ashâlah wa al-Mu’âshirah). Revitalisasi agama (al-Ishlâh al-Dînî) yang berkembang –pada kenyataannya—lebih dekat ke ‘orisinalitas’, sedang era kebangkitan (‘Ashr al-Nahdlah) lebih mengarah ke modernitas. Perbincangan orisinalitas tanpa modernitas maka akan terjatuh pada “pembebekan”. Imbasnya, kecenderungan semacam ini akan mengabaikan “realitas” serta bangga dengan kegemilangan masa lampau (Fakhr bi al-Târikh al-Qadîm). Sebaliknya, modernitas yang mengabaikan orisinalitas seolah ingin membuat babakan sejarah baru (al-Judzuriyah al-Mubkirah) yang terputus dengan masa lampau. Padahal, ‘kekinian’ merupakan bentukan dari masa lampau. Dengan demikian, membincang relasi modernitas dan orisinalitas merupakan perbincangan antara relasi pemikiran dan realitas. Orisinalitas –dalam istilah Hassan Hanafi—merupakan pemikiran pada level historis (al-Fikr ‘alâ Mustawâ al-Târikh), sedang modernitas merupakan realitas pada level praksis (al-Wâqi’ ‘alâ Mustawâ al-Sulûk). Pada tataran praksis, ada asumsi memahami ‘yang orisinil’ sebagai ‘yang tak berubah’, dan tak menghalangi –secara interaktif—dengan modernitas. Bagi kalangan ini, ‘yang orisinil’ akan terus sebagaimana bentuk asal, bahkan ‘esensi’nya pun tak bisa elastis. Konsekuensinya, respon terhadap modernitas sarat dengan nuansa politis, fanatik, serta apologetik. Sebabnya adalah, seorang pemikir atau budayawan, disamping ‘mengimani’yang orisinil serta respek terhadap ‘wewangian’ modernitas, namun tidak berupaya mengharmoniskan keduanya. Dalam artian, mereka terlebih dahulu ‘beragama’ sebelum menjadi seorang budayawan atau pemikir. Kita bisa dengan mudah mencium semerbak aroma fenomenologi Husserl di sini. Hassan menolak pra-asumsi memahami ‘yang orisinil’; bahwa ‘topeng ideologi’, untuk memahami ‘yang orisinil’ harus lah dilepaskan. Dari fenomenologi Husserl kita mendapati reduksi fenomenologis; penangguhan ‘kepercayaan’ terhadap alam riil, atau semacam upaya ‘netralisasi’.

Untuk memahami teori ini lebih mendalam mengharuskan merentet fenomena tradisi dan kondisi sosio-historis yang melingkupinya. Ia lahir pada saat peradaban Arab-Islam masih sangat kuat. Sebagai misal, dalam perkara teologis, isu“superioritas” Tuhan yang digambarkan dengan teori-teori ketuhanan, atribut (al-Shifât), dan perbuatan sangat kentara. Hal tersebut wajar saja, karena ketika itu Islam dihadapkan pada tantangan ‘dekonstruktif’ dari luar. Atau dalam disiplin ushul fiqh, universalitas teks juga masih sangat mendominasi; dalam disiplin filsafat nalar masih menjadi tonggak berpikir; dalam disiplin Tashawuf, muncul asumsi, kesementaraan (al-Fanâ’) sebagai “kunci” untuk memperoleh semua hal. Namun “laju gerbong” kereta keilmuan ini terhenti tatkala Barat mengalami puncak superioritasnya dan menjajah Arab-Islam. Dan keadaan berubah total, sejarah kini memasuki babakan baru, yaitu kemunduran dan stagnasi disiplin keilmuan Islam. Tatkala pembentukan keilmuan Islam disesuaikan dengan superioritas Islam, isu-isu yang berkembang adalah isu “kemenangan”. Kemenangan tersebut –ketika itu-- adalah “realitas”. Dan kini realitas tersebut telah tergantikan melalui pergeseran “kedudukan”; inferioritas Islam. Dengan demikian, warisan klasik jika ditransformasikan –secara paripurna-- untuk konteks sekarang merupakan tindakan semena-mena. Dan apabila dipaksakan, relasi realitas sekarang dan warisan masa lampau ibarat jiwa yang berada di suatu tempat, dan badan di tempat yang lain. Hal itu menimbang, tradisi merupakan satu dari tiga unsur yang melingkupi peradaban Arab-Islam; pertama, warisan masa lampau (al-Mawrûts al-Qadîm); kedua, ‘pihak lain’ yang selaras modernitas (al-Wâfid al-Hadîs); ketiga, realitas (al-Wâqi’). Menghendaki kemajuan Arab-Islam, maka harus memperhatikan pula ketiga aspek ini

Sebagai misal, background sekte Mu’tazilah dengan lima prinsip pokoknya (al-Ushûl al-Khamsah) perlu dipandang secara kontekstual. Keadilan (al-‘Adl) sebagai kritik atas Jabariah; ke-esa-an (Tawhîd) merupakan kritikan atas filsafat Yahudi dan Nashrani; janji dan ancaman (al-Wa’d wa al-Waîd) sebagai kritik atas pandangan sekte Murjiah; perintah melakukan kebaikan dan larangan melaksanakan keburukan (al-Amr bi al-Ma’rûf wa al-Nahy ‘an al-Munkar) sebagai kritik atas Syi’ah Imamiah di satu sisi, serta Murjiah di sisi yang lain; kedudukan di antara dua tempat (al-Manzilah baina al-Manzilatain) sebagai kritik atas Murjiah di satu sisi, serta Khawarij di sisi yang lain. Artinya adalah, gagasan yang berkembang ketika itu –dalam konteks ini Mu’tazilah, misalnya, tidak terlepas dari background historisnya. “Realitas” pada masa itu mengharuskan diimbangi dengan gagasan teosentris, berpusat pada Tuhan. Melalui perspektif fenomenologis, tradisi Islam muncul ‘untuk mengawal’ realitas historisnya. Kungkungan realitas tersebut dengan sendirinya akan membatasi esensi, konstruksi, metodologi, serta bahasanya. Dalam arti, realitas historis dari tradisi itulah yang menjadikannya relatif. Karena tradisi sendiri merupakan “pengolahan” terhadap teks yang didasarkan pada realitas; interpretasi yang bersifat temporal. Yang demikian itu karena relasi teks dan realitas merupakan relasi ‘yang tunggal’ terhadap plural (‘alâqâh al-Wahdah bi al-Ta’addud)

Fenomena-fenomena pemikiran masa lampau yang muncul dari interpretasi terhadap teks dianalisa ulang melalui dua langkah; pertama, meruntut kembali munculnya fenomena interpretatif –antitesa ‘peradaban ideal’ Muhammad Arkoun-- sebagai konstitusi (al-Takwîn) yang menjelaskan kemunculan suatu gagasan dan perkembangannya; kedua, merujuk --untuk yang kedua kali-- sebuah fenomena terhadap teks dasar sebagai ‘pemudaran’ keterpengaruhan lingkungan atau peradaban lain agar sesuai dengan konteks kekinian. Dalam istilah Hassan Hanafi, langkah ini dinamakan Tahlîl al-Khubrât. Karena bagaimanapun, tradisi adalah sesuatu yang ditransformasikan kepada kita, kemudian ia dipahamkan, sekaligus menjadi tuntutan kehidupan kita. Pada tahap transformasi, tradisi memberikan “kesadaran historis”; pada tingkat pemahaman, tradisi bermetamorfosa menjadi “kesadaran eidetis”; sedang pada tataran tuntutan kehidupan, tradisi menjadi “kesadaran praksis”. Meruntut fenomena masa lampau sebagai sebuah interpretasi terhadap ‘teks’ mengharuskan pula merombak tatanan disiplin keilmuan Islam. Dengan demikian, ashâlah di sini berperan menyibak realitas sesungguhnya, karena pada dasarnya ashâlah bukanlah tujuan utama, melainkan hanya perantara.

Dalam tataran aplikatif, disiplin keilmuan Islam yang berdimensi teosentris diarahkan menuju antroposentrisme pemaknaan. Ia dicari akar “kesadarannya” melalui perbandingan dengan aspek kemanusiaan. Misalnya saja, pembahasan tentang entitas (dzât), atribut (al-Shifât) serta perbuatan (af’âl) diarahkan menuju pemaknaan manusia sempurna (al-Insân al-Kâmil). Oleh karena itu, dalam buku Min al-‘Aqîdah ilâ al-Tsawrah, Hassan memfokuskan pada pembahasan; dzât al-Insân, shifât al-Insân, fi’l al-Insân, ‘aql al-Insân, dan seterusnya; serta pada pemaknaan manusia sempurna (al-insân al-kâmil); mendedah aspek keadilan (al-‘Adl) yang merombak ideologi keberagamaan kaum Sunni dan menjadikan nalar Mu’tazilah sebagai alternatif karena mengarah pada kebebasan berkehendak, dan seterusnya. Dalam filsafat, mantiq ditransformasikan menjadi logika kesadaran (al-Mantiq al-Syu’ûrî), berdasar premis, dalam filsafat, ada tiga wacana yang menggema; logika (al-Mantiq), ketuhanan (al-Ilâhiyyât), alam (al-Thabî’iyyat). Sedang naturalisme –dalam perspektif sarjana klasik—adalah naturalisme rasional, dan sekarang bermetamorfosa menjadi naturalisme matematis. Adapun ketuhanan harus dipahami secara integral dengan alam, guna melekatkan kesadaran integralitas alam dengan Tuhan dalam benak manusia. Sehingga akan muncul wacana, melestarikan alam atas nama Tuhan. Jika pada kalam dan filsafat, “nash” menghasilkan makna dan teori serta konseptualisasi universal, maka dalam disiplin ushul fiqh, “nash”ditelorkan menjadi metode-rasional-realistis (Manhaj ‘Aqliy Wâqi’î). Problem yang mencuat dalam rekonstruksi Ushul adalah pada bagaimana mentransformasikan ushul fiqh yang istidlâlî-istinbâthî-mantiqî menuju falsafî-insânî-sulûkî. Atau transformasi kesadaran teoritis (al-Wa’y al-Nadzarî) menuju kesadaran praksis (al-Wa’y al-‘Amalî). Hal ini akan menjadikan pelaksanaan tendensi wahyu tertransformasikan menuju hamba; tindakan Tuhan akan terwujud dalam tindakan manusia. Sejalan dengan hal ini, maka Ushul Fiqh merupakan ilmu tanzîl: ilmu pengetahuan yang menginferensikan ketentuan-ketentuan yuridis yang berorientasi pada Allah (teosentris), menuju manusia (antroposentris).

Dus, garis akhir dari proyek Hassan Hanafi ini adalah pada unifikasi ilmu yang berpusat pada wahyu untuk menghadapi realitas kekinian. Karena, pada akhirnya, wahyu ditransformasikan pada satu teori, atau metodologi. Hassan Hanafi mendasarkan alasannya pada proses dialektis antar disiplin ilmu; teologi mengkritik filsafat, begitu pula ia ‘mengganyang’ tasawuf dalam teori pantheistik serta zuhud. Relasinya dengan ushul fikih dan fikih, terkadang teologi mencakup beberapa pembahasan fikih serta ushulnya, ataupun permasalahan bahasa, analogi dan ijtihad. Dalam ranah filsafat yang berelasi dengan teologi, kritik untuk ilmu kalam digalakkan karena di dalamnya masih saja sarat nuansa taklid. Berdiri di atas teks, bukan rasio. Bahkan pada satu keadaan filsafat mengarah ke tasawuf, yang terejawantahkan dalam filsafat iluminasi al-Farabi serta Ibnu Sina. Hal serupa terjadi dalam ranah tasawuf terkait kritiknya terhadap filsafat dan teologi. Bahwa Tuhan bukan lah sebagaimana dikonsep oleh teolog dan filsuf, namun harus melalui kontemplasi. Kita pun bisa menjumpai relasi ushul fikih dan tasawuf dalam perumusan ‘tindakan’ yang mampu menjadi acuan secara universal, serta dengan filsafat dalam beberapa pembahasan logika. Semuanya ini berpusat pada, jika relasi antar disiplin ilmu ditemukan, maka unifikasi disiplin keilmuan akan sangat memungkinkan. Kongkretnya, seringkali dijumpai seorang filsuf sekaligus teolog, bahkan sekaligus Juris atau sufi. Seperti dalam sosok Abu Hamid al-Ghazali, Ibnu Taimiah, dsb.

Dalam kacamata fenomenologi, realitas tersebut terejawantahkan dalam dimensi kemanusiaan (antroposentris). Jika semua disiplin keilmuan berpusat pada wahyu, serta diunifikasi ke arah antroposentrisme pemaknaan, seterusnya hal itu akan menjadi “kesadaran” –dalam istilah Hassan Hanafi, antroposentrisme pemaknaan itu akan menjadi ideologi dalam “kesadaran” manusia. Sadar bahwa yang sedang dihadapi sekarang adalah kemunduran peradaban; kesadaran sebagai sebuah ideologi yang berelasi secara langsung dengan realitas. Karena “kesadaran individual” itu akan menjelma menjadi “kesadaran sosial” (min al-Wa’y al-Fardî ila wa’y al-Ijtimâ’i). Dan dari dunia “kesadaran” akan menjelma menjadi “dunia realitas”. Realitas yang sedang dihadapi sekarang adalah problematika tanah Palestina, krisis demokrasi dalam setiap Negara karena dominasi penguasa, keadilan sosial, serta problem persatuan umat, dan seterusnya.

Epilog

Tentunya tulisan ini hanya usaha kecil penulis untuk menyibak aplikasi fenomenologi dalam menyorot peradaban Arab-Islam. Tapi itu tak penting. Yang terpenting adalah bagaimana umat Islam memahami realitas yang melingkupinya sekarang; inferioritas serta dominasi Barat dalam segala lini. Kapankah “kesadaran individual” menjelma menjadi “kesadaran sosial”?


Footnote:
1. Istilah ego (al-Anâ) merujuk pada umat Islam, dan the other (al-Akhâr) pada Barat. Penamaan tersebut karena terdapat dialektika akut antara Barat dan Islam; yang pertama menghendaki peradabannya menahkodai peradaban seluruhnya, dan kedua terus menerus berupaya menemukan identitas ke’diri’annya. Transliterasi al-Anâ dengan “ego” dan al-akhâr dengan “the other” penulis ambil dari terjemahan Muqaddimah fî ‘Ilm al-Istighrâb yang bertajuk; Oksidentalisme; Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat, Jakarta: Penerbit Paramadina, Cet. I, 2000.
2. Adonis, misalnya, mengatakan bahwa identitas seharusnya tidak merujuk ke belakang (al-mâdli), sebagaimana dakwaan kaum fundamental selama ini; sebuah persepsi bahwa identitas Islam adalah sebagaimana keberagamaan tiga generasi pertama Islam. Namun ‘identitas’ meniscayakan memandang ‘ke depan’. Lihat Adonis, al-Tsâbit wa al-Mutahawwil; Bahts fi al-Ibdâ' wa al-Ittibâ' indâ al-'Arab, Beirut: Dar al-Saqi, Vol. I, Cet II, 2002.
3. Lihat selengkapnya dalam Adonis, Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam, Jogjakarta: LKiS, Vol. II, 2007, pada pengantar penerjemah.
4. Hassan Hanafi, al-Turâts wa al-Tajdîd; Mawqifunâ min al-Turâts al-Qadîm, Beirut: al-Muassasah al-Jami’iyyah li al-Dirasat wa al-Nasyr wa al-Tawzi’, cet. V, 2002, hlm. 13-21
5. Adonis, Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam, Op. Cit., pada pengantar penerjemah.
6. Franz Magnis Suseno, Menalar Tuhan, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006, hlm. 50
7. Ibid.,
8. Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyyah, Kairo: Maktabah al-Anglo al-Mishriyyah, tt, hlm. 275
9. Bryan Magee, The Story of Philosophy, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2008, hlm. 210
10. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005, hlm. 234 dan 235
11. Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyyah, Op.Cit.,hlm. 277
12. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Op.Cit., hlm. 234 dan 235.
13. Dikutip dari makalah Muhammad Syauqi Zain yang bertajuk; al-Finûminûlujiyâ wa Fann al-Ta’wîl.
14. Lihat Lorens Bagus dalam Kamus Filsafat, Op.Cit., hlm. 236, dan keterangan lebih mendalam dapat dibaca pada Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyyah, Op.Cit., hlm. 307
15. Bryan Magee, The Story of Philosophy, Op.Cit., hlm. 209 dan 212
16. F. Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian: Suatu Pengantar Menuju Sein und Zeit, peny. Christina M. Udiani, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, Cet. I, 2003, hlm. 28
17. Franz Magnis Suseno, 12 Tokoh Etika Abad 20, hlm. 89-90
18. Bryan Magee, The Story of Philosophy, Op.Cit.,hlm. 210
19. George Tharabisyi, al-Mutsaqqafûn al-‘Arab wa al-Turâts; al-Tahlîl al-Nafsî li ‘Ashâbin Jama’î, London: , Riyad ar Risy li al Kutub wa an Nasr, Cet. I, 1991, hlm.106.
20. Yang dimaksud dengan tradisi menurut Hassan adalah pembahasan tentang dimensi kemanusiaan (antroposentris) dalam tradisi Sunni. Karena dalam tumpukan turâts Mu’tazilah, misalnya, ada pembahasan tentang kebebasan manusia atas dirinya sendiri (hurriyah), baik dan buruk, serta ideologi serta perbuatan. Dengan demikian, umat Islam di sini dipandang sebagai “manusia” (al-Insân min haistu huwa al-insân), bukan sebagai “umat” atau “imam”.
21. Lihat pada Hassan Hanafi, Li Madzâ Ghâba Mabhats al-Insân fî Turâtsinâ al-Qadîm, pada Dirâsât Islâmiyyah, Op.Cit., hlm. 394
22. Yang perlu menjadi catatan penting, yang dimaksud peradaban dalam istilah Hassan Hanafi adalah segala hal yang bersumber pada agama. Begitu pula jika ada terma tradisi, maka pemaknaannya akan berkisar pada segala hal yang bermuara pada agama/wahyu. Lihat Rifa’at Salam, Bahtsan ‘an al-Turâts al-‘Arâbi; Nadzrah Naqdiyah Manhajiyyah, Kairo: al-Haiah al-‘Amah al-Mishriyah, 2006, hlm. 79-81.
23. Hassan Hanafi, Fî Fikrinâ al-Mu’âshir, Beirut: Dar al-Tanwir, 1981, hlm. 49 dan 50
24. Ibid., hlm. 51.
25. Hassan Hanafi, Humûm al-Fikr wa al-Wathan; al-Fikr al-‘Arabi al-Mu’âshir, Kairo: Dar al-Quba’ Li al-Thiba’ah wa al-Nasyr wa al-Tawzi’, Juz II, 2003, hlm. 126
26. Hassan Hanafi, Humûm al-Fikr, Op.Cit, hlm. 91
27. Lihat Ibnu al-Murtadla, Thabaqat al-Mu'tazilah, Beirut : Lebanon, cet II, 1987. Bandingkan dengan Ahmad Syauqi Ibrahim, al-Mu'tazilah fi Baghdad wa Atsaruhum fi al-Hayât al-Fikriyah wa al-Siyâsah, Kairo: Madbouli, Cet I, 2000, hlm. 18. Bandingkan juga dengan pengantar M. Imarah pada Rasâil al-'adl wa al-tawhîd oleh Hasan Bashri al-Qadli Abduljabbar al-Qasim al-Rassy al-Syarif al-Murtadla dan al-Imam Yahya bin Husein, Tahqiq; M. 'Imarah, Kairo: Dar al-Syourouq, cet II, 1988, hlm. 16
28. Hassan Hanafi, al-Turâts wa al-Tajdîd, Mawqifunâ min al-Turâts al-Qadîm, Op. Cit., hlm. 139
29. Ibid.
30. Hassan Hanafi, Fî Fikrinâ al-Mu’âshir, Op. Cit., hlm. 180
31. Oleh karena itu Hassan Hanafi dalam proyek besarnya al-Turâts wa al-Tajdîd merekonstruksi disiplin keilmuan Islam, yang ia bahasakan “penjelasan teoritis”. Al-Turats wa al-Tajdîd merupakan proyek besar Hassan yang memuat tiga agenda yang masing-masing mempunyai penjelasan teoritis; Mawqifunâ min al-Turâts al-Qadîm (sikap kita terhadap tradisi lama), Mawqifunâ min al-Turats al-Gharbî (sikap kita terhadap tradisi Barat), dan Mawqifunâ min al-Wâqi’(sikap kita terhadap realita), atau yang lebih dikenal teori interpretasi (Nadzariyyah al-Tafsîr). Agenda pertama memuat tujuh penjelasan teoritis; 1). Min al-‘Aqîdah ilâ al-Tsawrah; Muhâwalah lî I’âdah binâ’ ‘Ilm Uû al-Din (Dari Teologi ke Revolusi; Upaya Rekonstruksi Ilmu Ushul al-Din); 2) Min al-Naql ilâ al-Ibdâ’; Muhâwalah lî ‘I’âdah binâ’ Ulûm al-Hikmah (Dari Transferensi ke Inovasi; Upaya Rekonstruksi Ilmu Hikmah); 3) Min al-Fanâ’ ilâ al-Baqâ’; Muhâwalah lî I’âdah binâ ‘Ulûm al-Tashawwuf (Dari Kesementaraan Menuju Keabadian; Upaya Rekonstruksi Tashawuf); 4) Min al-Nash ilâ al-Wâqi’; Muhâwalah lî I’âdah binâ Ushûl al-Fiqh (Dari Teks Menuju Realita; Upaya Rekonstruksi Ushul Fiqh); 5) Min al-Naql ilâ al-‘Aql; Muhâwalah lî I’âdah binâ’ al-‘Ulûm al-‘Aqliyyah (Dari Teks ke Akal; Upaya Rekonstruksi Ilmu Tekstual); 6) al-‘Aql wa al-Thabî’ah; Muhâwalah lî I’âdah binâ’ al-‘Ulûm al-‘Aqliyyah (Akal dan Alam; Upaya Rekonstruksi Ilmu Rasional); 7) al-Insân wa al-Târikh; Muhâwalah lî I’âdah binâ al-‘Ulûm al-Insâniyyah (Manusia dan Sejarah; Upaya Rekonstruksi Ilmu Kemanusiaan). Lihat pada Hassan Hanafi, Muqaddimah fi ‘Ilm al-Istighrâb, Kairo: Dar al-Fanniyah li al-Nasyr wa al-Tawzi’, 1991, hlm. 9-11. Atau lihat pada Hassan Hanafi, Oksidentalisme; Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat, Jakarta: Penerbit Paramadina, cet. I, 2000, hlm. 1-4. Untuk penjelasan masing-masing dapat ditilik pada Hassan Hanafi, al-Turâts wa al-Tajdîd; Mawqifunâ min al-Turâts al-Qadîm, Op.Cit., hlm. 176-186
32. Lihat Hassan Hanafi, Min al-Aqîdah ilâ al-Tsawrah, Beirut: Dar al-Tanwir li al-Thiba’ah wa al-Nasyr, cet. I, 1988. Bandingkan dengan al-Turâts wa al-Tajdîd; Mawqifunâ min al-Turâts al-Qadîm, Op. Cit., hlm. 134
33. Hassan Hanafi, Humûm al-Fikr wa al-Wathan; al-Turâts wa al-‘Ashr wa al-Haddâtsah, Kairo: Dar al-Quba’ li al-Nasyr wa al-Tawzi’, Juz I, 2003, hlm. 104
34. Hassan Hanafi, Min al-Nash ilâ al-Wâqi’, Kairo: Markaz al-Kitab li al-Nasyr, cet. I, 2005, juz II, hlm. 585
35. Hassan Hanafi, al-Turâts wa al-Tajdîd; Mawqifunâ min al-Turâts al-Qadîm, Op. Cit., hlm. 173
36. Hassan Hanafi, Humûm al-Fikr wa al-Wathan; Al-Fikr al-‘Arâbi al-Mu’âshir, Op. Cit. hlm. 63-66
Selengkapnya...

Filsafat Sejarah Menurut Ibnu Khaldun

Oleh Ahmad Hadidul Fahmi

Nama Ibnu Khaldun tak akan terlewatkan jika membincang filsafat sejarah. Terucap dari satu lisan pemikir kontemporer, tiada seorang pemikir atau sejarawan Arab, yang lebih banyak dibincang dari Ibnu Khaldun. Statement tersebut mungkin tak berlebihan, jika melihat murid al-Ghazali ini –oleh kebanyakan pemikir-- didaku peletak pertama teori filsafat sejarah. Terbukti, istilah ini baru muncul di Eropa pada abad ke-18. Namun begitu, menurut Robert Flint --dosen Universitas Edinburgh-- dalam philosophy of history in France and Germany, embrio filsafat sejarah telah terlihat pada tiga buku penting filsafat Yunani; pertama, republic (al-jumhuriyyah) karangan Plato; kedua, politics (al-siyâsah) buah karya Aristoteles; ketiga, city of god (madînatullah) karya St Augustin. Thaha Husein mengungkapkan, Ibnu Khaldun –sebagaimana banyak disebut kebanyakan pemikir, seperti Ferroro dan Gamplowiez-- bukanlah peletak ilmu sosiologi. Namun hanya pengusung rasionalitas untuk menganalisa fenomena sosial. Sikap tersebut selanjutnya diaplikasikan dalam menginterpretasi sejarah.

Lazim dalam menyibak pemikiran tokoh, hal yang dituliskan awal mula dalam falsafah al-târîkh ‘indâ Ibn Khaldun buah karya Zainab Mahmud al-Khudlairi adalah biografi Ibnu Khaldun sendiri. Keturunan Wail bin Hujr ini –shahabat masyhur yang pernah secara langsung didoakan oleh Nabi-- hidup pada saat babakan sejarah hendak memasuki masa kebangkitan (‘ahsr al-nahdlah), tepatnya abad ke-4 H. Ia dilahirkan di Tunisia, tahun 732 H, dan wafat tahun 808 H. Muqaddimah merupakatan magnum opuse Ibnu Khaldun. Dari kajian terhadap buku ini, muncul pandangan, bahwa Ibnu Khaldun merupakan penggagas filsafat sejarah. Belakangan ini Ibnu Khaldun dikatakan inkonsisten, sebab, bukunya bertajuk al-‘ibar fî dîwân al-mubtada’ al-khabar ternyata tidak mempergunakan metode yang ia tuliskan dalam muqaddimahnya.

Selanjutnya Zainab mendeskripsikan gagasan Ibnu Khaldun seputar filsafat sejarah. Menurut pembacaannya, filsafat sejarah merupakan pandangan rasional terhadap peristiwa-peristiwa masa lampau, atau sebuah upaya untuk mengetahui ‘faktor penentu’ yang berperan dalam menganalisa sejarah. Selanjutnya, faktor tersebut dijadikan ‘neraca umum’ dalam membaca sejarah. Para pemikir sendiri berbeda mengenai ‘penggerak’ perjalanan sejarah. Sebagian menyebut, bahwa Tuhan adalah pengatur laju sejarah. Sebagian lagi melihat bahwa manusia dan segala hal yang melingkupinya yang berperan dalam membentuk sejarah. Filsafat sejarah mengarah pada pandangan bahwa peristiwa sejarah “ada” didasarkan pada sebab-sebab, atau aturan-aturan tertentu. Oleh karena itu, Ibnu Khaldun membedakan antara “sejarah” dan “analisa sejarah”. Sejarah hanya rentetan dari kejadian masa lampau. Sedang analisa sejarah berperan menganalisa sebab kejadian tersebut. Analisa sejarah ini yang kemudian disebut sebagai “filsafat sejarah”.

Pandangan terhadap fenomena alam terklasifikasi menjadi dua; pertama, asumsi bahwa fenomena alam dalam laju sejarah tidak mengalami perkembangan; stagnan. Pandangan ini diimani oleh penganut filsafat metafisik. Bahwa fenomena-fenomena alam tidak terkait satu dengan yang lain; kedua, asumsi yang mengatakan bahwa laju sejarah terus berkembang (tathawwur dâim). Pandangan ini merupakan pandangan dialektis terhadap sejarah. Kemajuan peradaban yang akhirnya memfalsifikasi pandangan metafisik terhadap fenomena alam, terjadi tepatnya abad ke-19, tatkala Darwin muncul dengan teori evolusinya. Namun begitu, Sathi’ al-Hashri melihat, Ibnu Khaldun telah memaparkan fakta tersebut 5 abad sebelum Darwin. Tesis Sathi’ al-Hashri ini didasarkan pada kesalahan cetak (atau penghapusan?) yang dilakukan oleh penerbit-penerbit Timur Tengah. Mereka mengganti kata “qirdah” menjadi “qudrah”, sehingga secara tidak langsung mempengaruhi perspektif masyarakat tentang Ibn Khaldun. Jelas, dalam konteks perbincangan Ibnu Khaldun tentang “qirdah” (kera), pandangannya telah terlebih dahulu mendahului teori Darwin. Baginya, kera adalah spesies yang menghubungkan antara hewan dan manusia. Statement ini tertulis jelas dalam Muqaddimah Ibn Khaldun cetakan ‘Ali Abdul Wahid Wafi, volume II. Namun, Mahmud Isma’il dalam kajiannya terhadap Ibn Khaldun berpendapat, semua tesis Ibnu Khaldun tentang filsafat sejarah sejatinya dikutip dari Rasâil Ikhwân al-Shafâ.

Teori evolusi ini selanjutnya diaplikasikan oleh Ibnu Khaldun dalam menganalisa fenomena sosial dalam laju sejarah. Karena, menurutnya, evolusi dalam fenomena sosial lebih kentara dari aplikasi teori ini dalam fenomena alam. Pandangan evolutif kemudian berkembang menjadi analisa dialektis terhadap sejarah; bahwa terdapat keterpengaruhan antara peradaban baru dan peradaban lama, atau terdapat keterpengaruhan satu peradaban dengan yang lain. Bukti konkretnya adalah, satu peradaban baru tak akan terlepas dari peninggalan dan unsur peradaban sebelumnya, serta membentuknya menjadi sebuah peradaban baru. Di sisi lain, proses evolusi tersebut membutuhkan ‘faktor penunjang’ yang menjadikan berpindah dari satu keadaan/peradaban pada keadaan/peradaban lain. Ekonomi merupakan faktor yang paling banyak dituliskan Ibnu Khaldun. Ia membedakan antara perabadan kota dan desa yang didasarkan pada mata pencaharian masyaraktnya. Tesis ini, sekaligus mengisyaratkan bahwa Ibnu Khaldun telah mendahului Karl Marx menyangkut doktrin ‘materialisme-historis’. Nampaknya asumsi ini tak berlebihan, jika kita menilik ungkapan senada dari Muhammad Abid al-Jabiri, pemikir Islam garda depan, tatkala ia berkutat dengan karya Yves Lacoste terkait kajiannya terhadap Ibnu Khaldun.

Satu poin penting yang nampaknya tak boleh tertinggal dari buku ini adalah sebab-sebab kesilapan dalam penulisan sejarah. Diantara sebab tersebut, tutur Zainab Mahmud al-Khudlairi, meyakini doktrin sekte tertentu sebagai kebenaran sejati, atau karena faktor psikologis. Konsekuensinya, analisa obyektif terhadap suatu data telah dikalahkan oleh data-data kontras yang telah terlebih dahulu ‘bertengger’ dan diimani dalam benak sejarawan. Sebab yang lain, label baik atau buruk terhadap pembawa data (al-râwi) didasarkan pada perspektif sejarawan pribadi (subyektif). Dalam ilmu hadis, metode ini dinamakan al-jarh wa al-ta’dîl. Dengan demikian, jelas, bahwa Ibnu Khaldun hendak mengaplikasikan metode dalam musthalah hadis pada data-data sejarah. Namun satu hal yang tampaknya perlu digaris bawahi, aplikasi metode ini setelah terlebih dahulu menguji suatu data mustahil atau tidak.

Penulisan sejarah mempergunakan metode ini akan memandang sejarah secara obyektif, tanpa tercampur fanatisme sektarianistik, atau tendensi tertentu. Zainab mengajari kita, bahwa kita perlu melihat sejarah dengan menempatkan diri bukan bagian dari ‘pelaku sejarah’. Kekhawatiran tersebut muncul tatkala kita mengamati fenomena penulisan sejarah Arab-Islam yang sarat dengan tendensi politik; dipergunakan untuk mengukuhkan posisi golongannya. Perpecahan antar sekte yang timbul sekarang salah satunya karena ‘korban sejarah’.

Judul: Falsafah al-Târîkh ‘indâ Ibn khaldûn
Pengarang: Zainab Mahmud al-Khudlairi
Penerbit: Dar al-Farabi
Kota Terbit: Beirut
Tahun Terbit: 2006
Tebal Buku: 215 Halaman
Resentator: Ahmad Hadidul Fahmi
Selengkapnya...

 

© free template by Blogspot tutorial