Friday, 19 October 2012

Reinterpretasi Nahi Munkar

Oleh Ahmad Hadidul Fahmi

Partai Jihad di Mesir meminta presiden terpilih, Mohammad Mursi untuk mengambil sikap tegas serta mengawasi kelompok yang mengatasnamakan dirinya lembaga “al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar”. Pasalnya, kelompok ini telah meresahkan ketentraman masyarakat melalui tindakan-tindakan anarkis dengan mengatasnamakan agama. Insiden yang baru-baru saja terjadi adalah terbunuhnya satu orang di Suez dan kekacauan di Thanta, Mesir (tahrîrnews.com). Dalam konteks Indonesia, kasus paling dekat yang sempat marak menghiasi media adalah sweeping diskusi Irshad Manji oleh Front Pembela Islam (FPI) di Salihara, dan Majlis Mujahidin Indonesia (MMI) di Lkis, Jogja (detik.com), ancaman pembubaran konser Lady Gaga, dan penyerangan ibadah non Muslim di Makassar (tribunnews.com).

Doktrin al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar merupakan doktrin luhur, sebab umat Islam mampu berpartisipasi dalam memformulasi tatanan masyarakat yang lebih baik. Akan tetapi pada praktiknya, konsep ini mengalami pendangkalan makna dan aplikasi. Itulah kenapa, di tengah aksi anarkis yang kerap dilakukan oleh lembaga Amar Makruf Nahi Munkar di Mesir, al-Azhar menerbitkan sub al-Amr bi al-Ma’rûf wa al-Nahy an al-Munkar—yang merupakan bagian dari buku Ihyâ Ulûm al-Dîn karangan Abu Hamid al-Ghazali—dengan judul, “fikih melawan despotisme” (fî fiqh muqâwamat al-istibdâd). Buku ini diberi pra-kata oleh Dr. Mohammad Imarah, pimpinan redaksi Majalah al-Azhar.

Nahi Munkar Dalam Perspektif Sarjana Klasik: Tinjuan Kritis

Abu Hamid al-Ghazali dalam Ihyâ Ulûm al-Dîn memberikan syarat tertentu bagi Polisi Syariat (al-muhtasib). Di antaranya adalah, tertaklif, Islam, dan mempunyai kekuatan. Walaupun al-Ghazali menuliskan keharusan mendapat izin dari pemimpin sebagai syarat, al-Ghazali menolak profesi muhtasib harus mendapat mandat dari pemimpin atau imam: bagi al-Ghazali, muhtasib merupakan profesi yang seharusnya dilakukan oleh setiap orang Islam, sebab anjuran tersebut terlahir langsung dari rahim teks-teks Islam. Walaupun begitu, menurut al-Ghazali, nahi munkar mempunyai fase-fase untuk bisa sampai pada tahapan tindakan tegas (al-‘unf): pertama, memberikan pemahaman (al-ta’rîf); kedua, menasehati dengan bahasa lemah lembut (bi al-kalâm al-lathîf); ketiga, menghujat (al-sabb wa al-ta’nîf) dengan menghardik, “hai, bodoh!”; keempat, menghindarkan hal-hal yang dilarang dari jangkauan pelaku maksiat secara paksa; kelima, memukul sebagai ancaman. Yang terakhir ini, bagi al-Ghazali, harus mendapat izin dari imam (Abu Hamid al-Ghazali, 2004).

Apa yang dituliskan al-Ghazali sedikit berbeda dengan salah satu tokoh besar madzhab Hanbali, Abu Bakr bin al-Khallal (w. 311 H), dalam buku al-Amr bi al-Ma’rûf wa al-Nahy an al-Munkar; min Masâil al-Imâm al-Mubajjal Abi Abdillah Ahmad bin Hanbal, sebuah buku yang memuat pandangan-pandangan Ahmad bin Hanbal mengenai terma nahi munkar. Dalam buku tersebut terdapat sub judul “perintah untuk berlemah-lembut dalam nahi munkar” (ma yu’mar bih min al-rifq fi al-inkâr). Al-Khallal menyebut tiga sifat yang harus dimiliki oleh seorang muhtasib: pertama, lemah lembut dalam memerintah dan lemah lembut dalam melarang; kedua, adil dalam memerintah dan adil dalam melarang; ketiga, mengetahui apa yang ia perintahkan dan mengetahui apa yang ia larang. Bahkan, menurut Ahmad bin Hanbal, apabila pelaku munkar telah diperingatkan dan mengindahkan, tidak ada kewajiban untuk melaporkan ke pemimpin (Abu Bakr al-Khallal, 2003)

Tugas muhtasib yang diasumsikan harus bagi semua umat Islam dikritik dengan baik oleh Ibnu Taymiah yang menganggap nahi munkar harus mendapat izin dari pemimpin. Stabilitas negara adalah pertimbangan penting dari pemikiran Ibnu Taymiah. Bagi Ibnu Taymiah, penyampaian lemah-lembut (al-rifq) merupakan piranti yang paling tepat untuk melaksanakan praktik amar makruf nahi munkar. Pasalnya, Ibnu Taymiah masih mengimani terma “amar makruf dengan cara makruf, dan nahi munkar bukan dengan cara munkar: li yakun amruka bi al-ma’rûf bi al-ma’rûf, wa nahyuk ‘an munkar ghairu munkar. Maka Ibnu Taymiah memandang—melalui praktik amar makruf nahi munkar—efek positif yang ditimbulkan harus lebih besar porsinya dari efek negatif (mafsadah). Sebab Islam meniscyakan maslahat. Oleh sebab itu, menurut Ibnu Taymiah, jika dalam praktik nahi munkar ternyata malah banyak memunculkan efek negatif, maka sejatinya ia “bukan termasuk perintah” dalam Islam (Ibnu Taymiah, 2005).

Murid Ibnu Taymiah, Ibnu Qayyim al-Jawziah, mengamini apa yang telah dinyatakan oleh gurunya: bahwa mencegah kemunkaran merupakan kewajiban seorang Muslim. Akan tetapi jika upaya pencegahan meniscayakan kemunkaran lain, maka nahi munkar tak lagi menjadi praktik yang legitimate dalam Islam. Bagi Ibnu Qayyim, salah satu kekeliruan umat Islam adalah, tak sabar melihat praktik munkar kemudian “menghardiknya”, hingga memunculkan kemunkaran lain yang lebih besar. Efek yang ditimbulkan aksi nahi munkar, dalam pandangan Ibnu Qayyim, ada empat; pertama, kemunkaran hilang dan memunculkan maslahat; kedua, mampu meminimalisir praktik munkar walaupun tak hilang secara total; ketiga, memunculkan kemunkaran lain yang sepadan; keempat, memunculkan kemunkaran lain yang lebih besar. Jika yang pertama dan kedua dianjurkan, ketiga digantungkan pada kondisi tertentu (ijtihâd), maka yang keempat dilarang sama sekali (muharramah). (Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, 2004)

Berpijak dari pandangan al-Ghazali, bisa ditarik konklusi bahwa siapapun bisa untuk memposisikan diri sebagai “Polisi Syariat” dalam ruangnya yang tidak terbatas. Bahkan jika harus menghadapi resiko terbunuh sekalipun di hadapan pemimpin: al-Ghazali mencontohkan dengan memberi nasehat pada pemimpin dzalim, kemudian dibunuh, maka syahidnya adalah syahid yang ter-mulia. Tentu saja pandangan al-Ghazali ini sangat berbahaya jika diaplikasikan dalam konteks masyarakat plural, di mana sudah tidak lagi mempraktikkan Islam sebagai landasan negara: Indonesia misalnya, yang mengakui lima agama sebagai bukti pluralitas masyarakatnya. Ambil contoh sweeping FPI terhadap warung makan yang buka siang hari di bulan puasa dalam konteks Indonesia: mereka tentu harus mempertimbangkan tidak semua masyarakat Indonesia beragama Islam. Jikapun Islam, ada beberapa keadaan dalam Islam yang dibolehkan bahkan diharuskan tidak berpuasa: perempuan yang menghadapi tamu bulanan, seorang yang dalam perjalanan, sakit, lemah karena pertimbangan usia, dan lain sebagainya.

Jika ditarik dalam ruang perbedaan fikih, salah satu disiplin Islam yang dijadikan parameter untuk mengukur “benar dan salah” satu tindakan, maka eksistensi Polisi Syariat dengan sendirinya telah mengeliminir perbedaan dalam fikih: benar dan salah diukur berdasar “ruang sempit” perbedaan fikih. Sebab, penulis berpijak dari pernyataan al-Mawardi dalam al-ahkâm al-shulthâniyyah, jika amar makruf dan nahi munkar dalam “koridor perbedaan fikih”, maka pemaksaan untuk mengikuti satu madzhab tertentu mendapat legitimasinya jika muhtasib adalah seorang yang alim fikih (al-Mawardi, 1989). Indonesia tentu saja bukan negara Islam yang menganut satu madzhab tertentu sebagai pijakan berfikih. Perbedaan latarbelakang pendidikan dan masyarakat telah membentuk pola fikih masyarakat Indonesia: baik pola fikih klasik yang diadopsi dari varian madzhab—yang pada akhirnya membentuk paradigma yang plural, maupun pengetahuan sebagian masyarakat terkait perkembangan mutakhir hukum fikih yang diformulasi dari perubahan jaman. Dalam konteks Mesir, larangan perempuan keluar tanpa mahram, telah menganulir ijtihad mutakhir dari sebagian ulama yang memperbolehkan perempuan keluar tanpa mahram karena kebutuhan jaman.

Sedangkan pandangan Ahmad bin Hanbal, Ibnu Taymiah maupun Ibnu Qayyim, meskipun toleran dan cukup kompromis, bagi penulis, tidak bisa lagi ditarik dalam konteks sekarang, konteks yang sama sekali berbeda. Hal itu karena beberapa alasan: pertama, mereka hidup di masa kepemimpinan Islam di mana interaksi yang intervensif dalam ruang agama masih bisa dibenarkan; kedua, pola berfikih umat Islam telah mengalami perkembangan yang dinamis. Gagasan-gagasan rekonstruktif dan kontekstual dalam fikih telah terlahir dari tangan pembaharu-pembaharu Islam. Sedangkan praktik kemunkaran dalam buku ketiga sarjana ini masih berkisar pada rebana, gitar kecapi, nyanyian, topeng monyet, dll; ketiga, hisbah masih diasumsikan sebagai wadzîfah dîniyyah (misi agama) dengan formatnya yang tak bisa berubah. Pembacaan penulis sendiri terhadap ketiga buku ini, mereka memberikan jenjang—walaupun tidak dituliskan secara sistematis—praktik nahi munkar yang diperbolehkan dilakukan melalui tindakan keras atau tegas. Satu praktik nahi munkar—dan disebutkan dalam buku Abu Bakr bin al-Khallal—yang barangkali bisa mengisyaratkan berjenjangnya pandangan Ahmad bin Hanbal dalam nahi munkar adalah legitimasi aksi anarkis (memukul) jika sebuah maksiat sudah menjadi kebiasaan, dan sudah melalui beberapa peringatan.

Menafsiri Ulang Nahi Munkar: Tawaran Alternatif praktik “hisbah”

Secara teoritis, hisbah merupakan aplikasi dari prinsip dasar amar makruf nahi munkar dalam Islam. Oleh sebab itu, al-Mawardi membedakan al-muhtasib dan al-muthatawwi’: jika yang pertama mendapat mandat dari pemimpin, maka yang kedua merupakan peran individu atau kelompok dalam aplikasi teks amar makruf nahi munkar. Hanya saja, bagi Ibnu Taymiah, individu seyogyanya konsentrasi terhadap diri sendiri sebelum ke orang lain. Artinya, peran hisbah yang telah diambil alih oleh negara, hendaknya membuat individu untuk semakin fokus terhadap pengembangan diri sendiri ke arah yang lebih baik. Walaupun begitu, bagi penulis, pembacaan objektif terhadap teks sarjana-sarjana di atas tidak bisa hanya menitik pada satu pembahasan kemudian mengenyampingkan pandangannya yang lain. Integralitas sebuah gagasan penting untuk diperhatikan dalam membaca ide-ide klasik, kemudian merekonstruksinya dengan pembacaan baru yang toleran, kontekstual dan humanis. Harus ada ketegasan bahwa ide tersebut sudah tidak lagi relevan dipraktikkan dalam konteks negara demokratis.

Terma muhtasib dalam pandangan sarjana klasik merupakan "ijtihad", dan ijtihad ini masih perlu diteruskan secara serius. Sebab, bagaimanapun aplikasi teks klasik nahi munkar dalam wadah muhtasib terlahir dari konteks yang sama sekali berbeda. Hilmy Namnam telah memulai langkah progresif dalam bukunya yang bertajuk "al-hisbah wa huriyyat al-ta'bîr": "al-hisbah" di awal kemunculannya hanya ditujukan untuk menopang kekacauan ekonomi (al-fasâd al-iqtishâdi) dan managemen kota untuk maslahat bersama. Oleh sebab itu praktiknya di pasar-pasar, meneliti timbangan dan mengoreksi muamalah. Ibnu Abd al-Barr dalam al-Istî’âb mengatakan, shahabat pertama yang ditunjuk oleh Nabi menjadi muhtasib adalah Sa’id bin Sa’id bin al-Ash: ia ditugaskan mengawasi pasar Mekah setelah ditaklukkan (fath makkah). Di masa Umar bin al-Khattab juga juga diberlakukan kontrol pasar. Umar meminta Syifa binti Abdillah mengawasi praktik jual beli di pasar. Penguat lain adalah, banyak sarjana Islam yang memandang praktik ini diadopsi dari Byzantium, pasalnya, umat Islam menemukan negara yang dikuasai oleh Byzantium mempraktikkan kontrol pasar—terlepas dari kuat atau tidaknya asumsi keterpengaruhan ini, tapi kemudian bisa ditarik pada kesepaktan “format awal” praktik hisbah hanya pada “kontrol ekonomi” semata.

Hisbah dalam praktiknya yang “historis” pada akhirnya memunculkan pelbagai karangan sarjana Islam sebagai pengukuh, sebut saja ahkâm al-sûq (hukum-hukum pasar) buah tangan Yahya bin Umar (w. 289 H). Atau pernyataan dari Nidzam al-Mulk al-Hasan bin Ali dalam bukunya siyâsah nâmah terkait peran muhtasib untuk mengontrol harga di pasar agar tidak terjadi penipuan dan kekacauan ekonomi. Buku yang secara independen dikarang tentang hisbah —dalam arti tidak menjadi bagian dari tema umum, seperti dalam al-ahkâm al-shulthâniyyah al-Mawardi—adalah nihâyat al-rutbah fî thalab al-hisbah karya Abd al-Rahman bin Nashr al-Syairazi (w. 589 H). Buku ini pertama kali dicetak di Kairo tahun 1945 dan menjadi rujukan primer bagi anggitan tema hisbah. Peran muhtasib disebutkan di sini, sebagai kontrol pasar, jalan, timbangan, serta pelbagai profesi pekerjaan.

Predikat “muhtasib” baru diresmikan pada pemerintahan Abbasiyyah, di masa khalifah Abu Jakfar al-Mansur (w. 158 H). Menurut Ibnu Abi Ushaibi’ah, al-Mansur memindahkan pasar Madinah dan Baghdad ke daerah tertentu yang jauh dari kota, kemudian menentukan pengawas untuk mengontrol praktik jual-beli di sana. Hisbah secara pesat berkembang menjadi bukan hanya kontrol jual beli, akan tetapi kebersihan masjid, kontrol terhadap muadzin untuk mengumandangkan adzan tepat waktu. Bahkan lebih jauh dari itu, muhtasib secara langsung turun menguji kelayakan seseorang dalam satu pekerjaan tertentu: sebagaimana permintaan khalifah al-Mu’tadlil pada Sannan bin Tsabit untuk menguji calon dokter yang hendak membuka praktik kedokteran di Baghdad.

Konklusi yang bisa ditarik di sini adalah, hisbah secara historis diperuntukkan mengontrol stabilitas harga di pasar, bukan “kontrol moralitas agama”. Terminologi “muhtasib” juga ternyata tidak dikenal di masa kenabian dan empat khalifah setelahnya. Walaupun begitu, praktik tersebut bukan tidak ditemukan di awal Islam, hanya saja praktiknya tidak dilakukan oleh sembarang orang: dilakukan oleh seorang yang kapabilitas intelektualnya telah diakui oleh pemimpin (faqîh). Hilmy Namnam dengan baik telah menghidangkan metamorfosa “hisbah”, dari kontrol pasar dan managemen kota menjadi “kontrol moralitas agama”, kebebasan berpendapat dan berpikir, bahkan sampai pada tindakan-tindakan anarkis.

Menurut Hilmy Namnam, jika bukan negara Islam, maka "muhtasib " seharusnya tidak ada lagi. Kalaupun ada, muhtasib (Polisi Syariat) dahulu tidak pernah mencampuri "ruang pemikiran": tidak mempraktikkan aksinya pada para penyair, penulis, atau pemikir. Adanya praktik "penganiayaan" dalam ruang pemikiran (terhadap ulama yang mempunyai ideologi tertentu) murni karena tendensi politik. Oleh sebab itu, adanya lembaga-lembaga yang berafiliasi amar makruf nahi munkar telah mereduksi peran nahi munkar itu sendiri: sebab praktiknya beralih ke “penghakiman” terhadap ideologi kelompok yang bersebrangan, aktivitas yang dianggap munkar atau maksiat.

Oleh karena itu, untuk menemukan bentuknya yang lebih relevan, pembedaan muhtasib dan mutathawwi’ dalam pandangan al-Mawardi kembali menemukan momentumnya. Muhtasib merupakan tugas yang diberikan oleh pemimpin untuk mengatur tatanan masyarakat sesuai dengan hukum yang berlaku dalam suatu negara. Oleh sebab itu, mereka digaji secara khusus oleh negara. Jika dalam negara Islam, maka peran muhtasib mengarahkan masyarakat agar bisa mengaplikasikan aturan-aturan Islam secara benar, baik melalui pemaksaan atau secara persuasif—di luar lingkup hudûd dan jinâyat. Akan tetapi lain cerita ketika sebuah negara tidak lagi menjadikan Islam sebagai dasar negara. Karena, sebagaimana ditegaskan oleh al-Mawadi dalam bukunya yang lain, adâb al-dunyâ wa al-dîn, eksistensi negara Islam sendiri sebagai piranti agar aplikasi Syariat bisa sempurna (al-Mawardi, 2002). Maka, jika bukan negara Islam, seperti penuturan Dr. Ismail al-Faruqi, pakar perbandingan agama Palestina, parameter yang diambil adalah parameter hukum yang dipraktikkan oleh satu negara tertentu (Undang-Undang), bukan “benar dan salah” dalam pandangan Islam. Atas dasar ini, bagi penulis, petugas hukum yang ada sekarang telah memenuhi syarat muhtasib dalam konteks negara modern.

Memang, pandangan sarjana Islam terkait hisbah sendiri sangat variatif. Ada yang menganggap bahwa hisbah sebagai kewajiban seorang muslim yang didasarkan pada prinsip-prinsip amar makruf nahi munkar, seperti al-Ghazali, tapi ada pula yang memandang bahwa hisbah merupakan ketrampilan yang harus dipelajari dan praktiknya murni kebijakan negara, seperti definisi yang dituliskan oleh Haji Khalifah (w. 1068 H) dalam kasyf al-dzunûn, maupun al-Tahanuwi (w. 1158 H) dalam kasysyâf ishtilâhât al-funûn. Berikut bisa kita simak definisi dari Haji Khalifah,

“ilmu yang membahas interaksi antara masyarakat di suatu negara; sebuah interaksi yang mampu menciptakan iklim kondusif, dengan menjadikan parameter adil sebagai rujukan hingga memunculkan sikap saling rela di antara dua pihak, atau mengatur masyarakat untuk tidak mempraktikkan kemunkaran dan menganjurkan kebaikan, sehingga tidak ada pertikaian di antara mereka. Prinsip yang dipakai adalah kebijakan khalifah, baik yang diambil dari fikih, atau hal-hal yang dianggap baik (istihsân) oleh khalifah.” (Haji Khalifah, 2001)

Merujuk pada definisi Haji Khalifah di atas, hukum yang dirujuk dalam praktik hisbah yang sesungguhnya tidak melulu harus fikih. Akan tetapi kebijakan pemimpin dalam suatu negara bisa menjadi rujukan melalui pertimbangan maslahat. Definisi ini bisa menjadi pintu masuk dalam membaca “munkar” itu sendiri: munkar dari yang tadinya berkisar pada kecapi, minuman keras, rebana, perzinaan, ditransformasikan menjadi kemunkaran yang lebih besar dan berhubungan langsung dengan problem kemanusiaan di era moden: seperti korupsi, problem HAM; diskriminasi, ketidakadilan, dan lain sebagainya.

Namun bukan berarti konsep amar makruf nahi munkar sama sekali kehilangan relevansi. Aplikasi teks amar makruf nahi munkar bisa dilaksanakan melalui inisiatif pribadi—meminjam redaksi al-Mawardi: al-mutathawwi’—itupun dalam tataran “anjuran”, bukan keharusan. Hanya saja, seperti penulis sudah sebutkan di muka, karena ruang yang sama sekali berbeda, “interaksi intervensif” sama sekali tidak diperkenankan di sini, apalagi sampai pada tindakan anarkis. Interaksi internvensif sama saja hendak meletakkan dikotomi agama dan negara yang dibangun dari nasionalisme. Tentu saja anggapan dikotomis semacam ini keliru. Banyaknya ijtihad-ijtihad mutakhir dari pakar fikih, baik klasik maupun kontemporer, bertujuan untuk meletakkan fikih bukan dalam ruangnya yang sempit, bukan semata-mata dalam negara Islam an sich, akan tetapi agar fikih mampu fleksibel dalam konteks negara yang mempraktekkan sistem demokrasi. Ambil contoh ijtihad mutakhir Fahmi Huwaidi, dalam bukunya muwathinûn lâ dzimmiyyûn, yang telah berani pada kesimpulan, kafir dzimmi untuk sekarang tidak ada lagi, diganti dengan warga negara yang disatukan oleh nasionalitas (muwâthin) (Fahmi Huwaidi, 1990); Thaha Jabir al-Ulwani—dalam buku isykâliyyat al-riddah wa al-murtaddîn—yang berpendapat hukum murtad bukan hukum bunuh: adanya peristiwa memerangi pelaku murtad murni karena sikap politis. Ia berpendapat bahwa hukum bunuh tidak ada di dalam al-Qur’an, dan satu-satunya argumentasi adalah dari hadis Ahad (Thaha Jabir al-Ulwani, 2006); Abu Zahrah yang berpandangan rajam bagi pelaku zina adalah tradisi Yahudi dan tidak menemukan pembenarannya dari Islam. (Musthafa Zarqa, 2004)

Dengan demikian, tidak ada dualisme “kekuasaan” di satu pemerintahan. Peran “muhtasib” telah dijalankan dengan baik oleh petugas keamanan yang mendapat mandat dari Presiden, sedangkan individu lebih fokus untuk memaksimalkan diri melaksanakan ajaran-ajaran agamanya. Sebab kesadaran komunal berawal dari kesadaran individu. Di sisi lain, munkar itu sendiri harus ditarik dalam ruang lain yang lebih kontekstual: problem kemanusiaan. Maka nahi munkar bukan melulu agar seseorang melaksanakan ajaran agama secara baik, tapi mampu menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk berinteraksi secara baik dengan sesamanya, dan lebih jauh dari itu, umat Islam mampu berkompetisi dengan negara-negara maju.
Selengkapnya...

Tuesday, 5 June 2012

Memandang Muktazilah Secara Objektif (Analisa Sejarah Efek Muktazilah Terhadap Kemajuan Syi'ah)

Oleh Ahmad Hadidul Fahmi, Lc

Muktazilah dianggap sebagai penggagas awal gerakan rasional dalam tubuh Islam. Bagi Ali Sami Nasyar, tesis ini merupakan asumsi keliru. Sejatinya Muktazilah merupakan perpanjangan dari dua sekte bertentangan: al-Qadariyyah dan al-Jahmiyyah.[1] Tesis ini juga diimani oleh Dr. Rasyid al-Khayyûn dalam bukunya Mu’tazilah Bashrah wa Baghdad. Muktazilah dan keduanya berbeda di beberapa permasalahan, akan tetapi juga berjalan satu jalur di sebagian permasalahan lainnya. Secara genealogis, berdasarkan pendapat yang diikuti oleh mayoritas, Muktazilah muncul pada abad ke II H, dari majlis al-Hasan al-Bashrî (w. 110 H) di Bashrah bersamaan dengan isu predestinasi kekuasaan dinasti Umawiyah di Syam.[2] Berbicara Muktazilah tentu saja akan melewati babakan sejarah yang cukup panjang.

Muktazilah kemudian lebih dikenal dengan sekte yang menyimpang karena bertentangan dengan doktrin mainstream. Faktornya beragam. Satu faktor determinan adalah, referensi primer Muktazilah banyak yang raib entah kemana.[3] Hal ini berakibat wacana yang bergulir tentang sekte rasionalis ini lebih didominasi oleh asumsi penentangnya: Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah, misalnya. Muktazilah pernah benar-benar berjaya di masa al-Makmûn (w. 218 H), khalifah Abbasiyyah, dan kemudian terpasung perlahan sampai tak berbekas di kekuasaan-kekuasaan paska al-Mutawakkil. Zuhdi Jarullah dalam bukunya Al-Mu’tazilah mengutarakan, kebangkitan dunia Arab sekarang bisa disamakan dengan kebangkitan Arab dahulu yang dipimpin oleh sarjana-sarjana Muktazilah. Oleh karena itu, proyek kebangkitan akan lebih sempurna apabila mampu mengadopsi spririt rasional Muktazilah di era sekarang ini.[4] Apalagi, jika benar Syi’ah dan Muktazilah kemudian melebur, serta kebanyakan Syi’ah sekarang juga bisa disebut Muktazilah, ini artinya, kemajuan Syi’ah—terutama dalam ilmu-ilmu rasional—tak bisa dilepaskan dari keterpengaruhan Muktazilah di dalamnya.[5]

Ibnu Murtadlâ dalam Thabâqat al-Mu’tazilah mengklasifikasi babakan periode sarjana Muktazilah dalam dua belas periode.[6] Periode pertama sampai keempat dari generasi shahabat, tabi’in dan generasi selepas tabi’in. Setelah periode keempat, hemat Abdurrahman Badawi, dimulai periode Muktazilah dalam pemakanaan terminologis.[7] Periode keenam merupakan masa keemasan Muktazilah, terdiri dari nama-nama Abû Hudzail, Ibrahim bin Sayyâr al-Nadzdzâm, Mu’ammar bin Ubbâd al-Sullami, dan lain sebagainya. Qadli Abd al-Jabbâr hanya mencukupkan periode Muktazilah sampai sepuluh, kemudian datang al-Hâkim al-Muktazilî yang menambah dua periode lagi, menjadi dua belas. Menurut Abdurrahman Badawi, relasi masing-masing periode lazimnya adalah relasi guru dan murid. [8]

Dimulai dari periode keenam, Muktazilah terpecah pada dua kubu besar, Muktazilah Bashrah dan Baghdad. Jika Muktazilah Bashrah dimulai dari Wâshil bin Athâ’ (w. 131 H) dan Amr bin Ubaid (w. 143 H), maka penggagas Muktazilah Baghdad adalah Bisyr bin al-Muktamir (w. 210 H) di akhir abad ke II H.[9] Akan tetapi secara umum, mereka bersepakat dalam gagasan lima pilar pokok Muktazilah (al-ushûl al-khamsah): tauhid (al-tawhîd), keadilan (al-‘adl), janji dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’îd), kedudukan di antara dua tempat (al-manzilah bayn al-manzilatain), perintah berbuat baik dan larangan berbuat tak baik (al-amr bi al-ma’rûf wa al-nahy ‘an al-munkar).[10] Jikapun kemudian para sarjana Muktazilah mempunyai perbedaan, letaknya hanya pada permasalahan-permasalahan partikular saja. Muktazilah terhitung sebagai kelompok Islam pertama yang menghargai perbedaan.[11]

Pembelaan Muktazilah Terhadap Islam

Tak bisa disangkal bahwa berdiam di antara dua tempat (al-manzilah bayn al-manzilatain) merupakan konsep pertama Muktazilah. Akan tetapi konsep ini pada awal mula masih sebatas “etika fikih” semata. Di saat yang sama, kekuasaan Islam meluas ke pelbagai negeri dengan kompleksitas masyarakatnya yang terdiri dari pemeluk agama non Islam. Di Suriah dan Mesir didominasi oleh Yahudi. Di Irak dan Persia doktrin Majusi. Sebab relasi umat Islam dengan agama-agama ini, akhirnya perlahan menimbulkan keterpengaruhan signifikan terhadap konsep teologi umat Islam.[12] Keterpengaruhan tersebut karena beberapa faktor: pertama, pemeluk agama-agama tersebut meninggalkan agama pertama mereka dan masuk Islam. Akan tetapi mereka tidak bisa lepas sepenuhnya dari teologi agama pertama. Eksesnya, mereka mencampur—secara tak sengaja—pelbagai konsep teologi non Islam terhadap doktrin teologi Islam: kedua, fenomena yang terjadi di Persia, bahwa mereka masuk Islam bukan lantaran iman, akan tetapi menghendaki kedudukan tertentu. Merekapun memasukkan konsep non Islam pada teologi Islam. [13]

Munculnya Muktazilah merupakan konsekuensi dari percampuran ini. Zuhdî Jârullah menyatakan, bahwa Yahudi mempunyai beberapa pengaruh secara tidak langsung dalam doktrin Muktazilah. Di antaranya adalah perihal ‘kemakhlukan al-Qur’an’ yang masuk melalui Ja’d bin Dirham.[14] Agama Kristen mempunyai pengaruh yang lebih besar, terutama dari tokohnya yang juga seorang teolog besar Kristen, Yahya al-Dimasyqi.[15] Keterpengaruhan itu dalam beberapa hal, di antaranya; pertama, keterpengaruhan dari Yahya al-Dimasyqi, bahwa Tuhan adalah sumber segala kebaikan. Kemudian pendapat bahwa Tuhan hanya menghendaki yang terbaik; kedua, Yahya menafikan sifat azali, yang kemudian berpengaruh terhadap Muktazilah dalam penafian sifat al-ma’âni—atribut Tuhan yang sebanding dalam ketidakberawalannya. Argumennya, sebab esensi Tuhan tidak mungkin bisa dicapai oleh nalar. Dan penyemataan atribut (al-shifât) Tuhan yang tak berawal merupakan penyusunan (al-tarkîb) terhadap hakekat Tuhan itu sendiri; ketiga, pentakwilan terhadap ayat-ayat yang potensial bermakna penyerupaan Tuhan dengan makhlukNya; keempat, kebebasan berkehendak hamba (hurriyat al-irâdah).[16]

Walaupun begitu, kitab-kitab Muktazilah pada awal mula diproyeksikan untuk meruntuhkan argumen destruktif Râfidlah, Jahmiyyah, Jabariyyah, Samniyyah, dan Majusiyyah. Menurut Zuhdî Jârullah, perdebatan intelektual Muktazilah yang dilakukan dengan non Muslim kebanyakan di Persia. Sarjana besar Muktazilah yang pertama kali melakukan perdebatan adalah Wâshil bin Atha’. Ia mengarang buku al-Alf Mas’alat fi al-Radd ala al-Mânûwiyyah. Washil bin Atha’ tak hanya melakukan “ekspansi intelektual” di kawasan sekitar, akan tetapi mengirim beberapa shahabatnya ke pelbagai tempat yang disinyalir banyak pemeluk Majusi, seperti Hafsh bin Sâlim yang dikirim ke Khurâsân. Di sana digelar perdebatan dengan Jahm bin Shafwan—dari Jahmiyyah. Wâshil juga mengirim Abdullâh bin al-Hârist ke Maghrib. Begitu pula al-Qâsim bin al-Sa’dî ke Yaman, dan Ayyub ke Jazirah. Serta mengutus al-Hasan bin Dzakwan ke Kufah. Washil juga mengutus Utsmân al-Thawîl, guru Abu Hudzail al-Allâf, ke Armenia.[17]

Hal serupa bisa dijumpai dari Amr bin Ubaid (w. 144 H), sahabat Washil bin Atha’, yang kerap mengajak berdebat orang-orang yang ia temui: seperti Jarîr bin al-Azdî al-Samnî di Bashrah dan mengalahkannya. Ia bersama dengan Wâshil bin Atha’ berdebat dengan Basysyâr bin Burd dan Shâlih bin Abdul Qadûs dan mengalahkan keduanya. Amr bin Ubaid juga berdebat di atas kapal dengan Majusi dan mengalahkan musuhnya.

Abû Hudzail al-Allâf (w. 260 H) merupakan intelektual Muktazilah paska Wâshil yang cukup intens berdebat dengan non Muslim.[18] Nalar debatnya muncul tatkala ia melihat seorang Yahudi memasuki Bashrah, dan mengalahkan semua teolog di sana.[19] Ia sangat produktif dalam menganggit kitab yang meruntuhkan argumen penentangnya. Ia mempunyai enampuluh kitab yang diproyeksikan untuk meruntuhkan argumen non Muslim. Abu Hudzail pernah berdebat dengan Shâlih bin Abd al-Qadûs dan Hisyâm bin al-Hakam dari Rafidlah di Mekah yang dihadiri oleh masyarakat umum dan mengalahkan keduanya. Ibrahim bin Sayyâr al-Nadzdzâm (w. 221 H) juga tak boleh terlewat diperbincangkan apabila membahas perdebatan dengan non Muslim. Ia pernah berdebat dengan Hisyâm bin al-Hakam dan para shahabatnya, serta masuk dalam permasalahan-permasalahan yang teramat pelik.

Apa yang dilakukan oleh empat generasi Muktazilah pertama juga kemudian dilakukan oleh generasi paska mereka. Bisyr bin al-Muktamir mengarang sebuah syair (urjûzah/syair dengan lagu rajaz) sebanyak empat puluh ribu bait yang berisi argumen bagi penentang Islam. Ja’far bin Harb berdebat dengan al-Sakkâk, salah seorang shahabat Hisyâm bin al-Hakam dalam permasalahan ‘alam berawal’. Al-Sakkâk juga pernah didebat oleh Abû Ja’far al-Iskâfi sampai ia tak punya daya lagi untuk menanggapi al-Iskâfi. Ali al-Aswâri berdebat dengan Alî bin al-Maytsam dari Râfidlah terkait permasalahan Imamah. Menurut al-Khayyâth, Ali bin Maytsam kerap didebat oleh sarjana Muktazilah di Bashrah, dan Muktazilah selalu mengalahkannya. Begitu pula Khalifah al-Makmûn, yang kerap mengislamkan banyak orang Majusi dan mengislamkan kembali orang murtad. Kita juga bisa melihat kisah serupa dari al-Jâhidz, sarjana besar Muktazilah, salah seorang murid al-Nadzdzâm, menganggit delapan kitabnya untuk meruntuhkan argumen non Muslim, dan enam kitab lainnya diproyeksikan untuk mengukuhkan konsep Muktazilah.

Setidaknya hal ini bisa menyiratkan dua hal penting: pertama, walaupun Muktazilah kerap mendebat Jabariyyah dan Râfidlah, akan tetapi mereka juga mendebat penentang Islam yang kerap mengkritik konsep teologi Islam. Sehingga pada masa kekuasaan Hârûn al-Rasyîd, khalifah yang awalnya tak menyukai perdebatan dalam agama, tak ada kelompok yang mampu mendebat orang Samniyyah terkecuali dari Muktazilah—dan pada saat itu orang-orang Muktazilah dimasukkan ke penjara oleh al-Rasyid. Al-Jâhidz, misalnya, walaupun mendebat Zaydiyyah, akan tetapi juga turut meruntuhkan argumen-argumen Yahudi dan Nashrani. Sebab ini, banyak orang yang masuk Islam di tangan pembesar Muktazilah. Sebut saja, orang yang masuk Islam di tangan Abu Hudzail al-Allâf, menurut Qadli Abd al-Jabbâr, mencapai nominal tiga ribu lebih, dan masyarakat Khurasan yang diislamkan di tangan Abû al-Qasim al-Bulkhi; kedua, Muktazilah sangat keras dengan kelompok yang berada di luar kelompoknya. [20]

Faktor penentang Islam inilah yang membuat Muktazilah mempelajari dengan serius filsafat Yunani. Pembelajaran filsafat membuat khalifah al-Mansur, shahabat Amr bin Ubaid, merekomendasikan penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab. Hal ini pula yang kemudian membuat al-Makmûn meneruskan perjuangan al-Mansur untuk menerjemahkan buku-buku Yunani. Intelektual Muktazilah yang pertama kali dengan serius mempelajari filsafat Yunani adalah Ibrahim bin Sayyâr al-Nadzdzâm. Ia mengupayakan untuk mengharmoniskan pendapat Muktazilah dan tesis filsuf Yunani. Muktazilah, melalui upaya ini bukan hendak melindungi Islam dari serangan destruktif dari luar semata, akan tetapi juga mensosialisasikan Islam sebagai agama yang rasional. Bersamaan dengan masuknya filsafat ke tubuh Muktazilah, Muktazilah mengalami beberapa pergeseran: pertama, mereka kemudian mendewakan filsafat Yunani, dan mensakralkan pandangan filsuf selayaknya sabda Nabi. Menurut De Lace O’leary, Muktazilah menganggap filsafat sebagai penyempurna agama; kedua, perlahan mereka meninggalkan permasalahan teologis, dan bergelut hebat dalam tesis-tesis filsafat. Yang dibahas selanjutnya adalah murni permasalahan filsafat, seperti “gerak dan diam”, “wujud dan tidak wujud”, “partikel yang tak bisa terbagi”, dan selainnya. Oleh sebab itu, madzhab Muktazilah di era akhir lebih banyak terpengaruh filsafat Yunani dari periode-periode sebelumnya.[21]

Perjalanan Madzhab Kalam Muktazilah

Muktazilah perlahan memasuki jenjang keemasan dari tahun 100-198 H, atau 98 tahun merupakan persiapan menuju masa kegemilangan Muktazilah. Mereka dekat dengan Yazîd bin al-Walîd bin Abd al-Mâlik (w. 126 H). Menurut Zuhdi Jârullah mengutip al-Mas’ûdi dalam Murûj al-Dzahab, Yazid adalah seorang Qadariyah[22] dan menyeru umat Islam untuk mengimani pandangan tentang al-Qadar. Begitu pula dekat dengan Marwan bin Muhammad (w. 132 H), akhir khalifah Umawiyah, yang disebut sebagai “al-Ja’di”, karena pernah berguru pada Ja’d bin Dirham perihal kemakhlukan al-Qur’an dan penafian takdir.

Muktazilah mulai terasa lapang paska kekuasaan Umawiyah, dan diganti dengan dinasti Abbasiyyah, terutama pada kekuasaan Abû Ja’far al-Mansûr (136-158 H). Hal itu disebabkan, Amr bin Ubaid, salah seorang shahabat Wâshil bin Atha’, merupakan sahabat akrab al-Mansur sebelum ia menjadi khalifah. Selepas wafatnya Amr bin Ubaid pada tahun 133 H, kelompok Muktazilah yang condong terhadap pandangan Muktazilah Baghdad bersama Ibrahim bin Abdullah bin al-Hasan pada tahun 145 H lebih memilih di bawah kekuasaan al-Mansur. Fenomena ini agak kontras pada kekuasaan al-Mahdî bin al-Mansur (158-169 H). Pasalnya, Mahdi sangat keras terhadai Zindiq dan penentang Islam. Ia memerintahkan, pada tahun 167 H, untuk mencari mereka ke penjuru negeri. Shâlih bin Abdul Qadûs akhirnya terbunuh tahun 167 H, begitu juga Basysyâr bin Burd di tahun 168 H. Oleh karena itu, suara Muktazilah kurang begitu terdengar, sebab khalifah secara langsung melakukan dakwah Islam dengan tegas.

Memasuki kekuasaan Hârûn al-Rasyîd (170-193 H), Muktazilah perlahan bangkit. Awalnya, Rasyîd tak begitu menyukai perdebatan kalam, akan tetapi kelompok realis (al-Samniyyah) sangat gencar menyerang konsep teologi Islam. Muktazilahpun diberi porsi lebih untuk tampil di depan. Kita melihat Yahya bin Hamzah al-Hadlrami (w. 183 H) menjadi hakim di Damasqus. Al-Rasyid juga kerap meminta nasehat dan fatwa pada Ibnu Sammâk Muhammad bin Shubaih al-Kûfî (w. 183 H). Sedang di masa anaknya, al-Amîn bin Hârûn (193-198 H), Muktazilah tak begitu terdengar lagi suaranya. Masa al-Amîn ini hampir mirip dengan masa al-Mahdî bin al-Mansûr.

Muktazilah menuai masa keemasannya dari tahun 198-232 H, terutama di masa al-Makmûn (w. 218 H). Al-Makmûn besar di tangan pembesar Muktazilah, seperti Yahyâ bin al-Mubârak dan Tsumâmah bin al-Asyras. Di samping itu, al-Makmûn merupakan khalifah yang semangat keilmuannya sangat tinggi. Ia belajar debat pada Abû Hudzail al-Allâf. Begitupula di masa saudara al-Makmûn, al-Mu’tashim (218-227 H), dan selepas al-Mu’tashim, khalifah al-Wâtsiq (227-232 H). Di tangan tiga khalifah ini, Muktazilah menuai masa keemasannya dan memaksakan pada khalayak agar mengimani ideologi kemakhlukan al-Qur’an. Kejayaan Muktazilah terus berada di puncak, sampai al-Mutawakkil naik tahta khalifah pada tahun 232 H.

Al-Mutawakkil kemudian melakukan tiga langkah untuk menghilangkan taring Muktazilah: pertama, pada tahun 232 H diberlakukan larangan untuk berdebat tentang al-Qur’an. Ia juga melarang masyarakat untuk berdebat dan berdiskusi; kedua, Mutawakkil menghadirkan para pakar fikih dan hadis, memfasilitasi mereka, serta memunculkannya di tengah masyarakat. Kehadiran pakar fikih dan hadis di tengah masyarakat bertujuan untuk menyampaikan hadis-hadis yang berlawanan dengan ideologi Muktazilah. Langkah kedua Mutawakkil dilaksanakan pada tahun 234 H; ketiga, secara frontal Mutawakkil meneriakkan kebenciannya terhadap Muktazilah. Ia memenjarakan tokoh-tokoh Muktazilah yang masih tersisa, serta memulyakan tokoh-tokoh Ahl al-Hadis yang sempat terdzalimi di masa ketiga khalifah sebelum Mutawakkil. Hal ini dilaksanakan tahun 237 H.[23]

Dari internal Muktazilah sendiri sudah terjadi perpecahan signifikan. Muktazilah Bashrah mengkafirkan Muktazilah Baghdad. Tak hanya itu, beberapa pembesar Muktazilah saling mengkafirkan satu sama lain.[24] Ketika Muktazilah benar-benar melemah, beberapa tokohnya menyatakan keluar, seperti Abi Isa al-Warrâq (w. 247 H) yang bergabung dengan Râfidlah, Abi al-Huseyn Ahmad bin al-Rawandi (w. 298 H) yang juga bergabung dengan Rafidlah. Al-Syahrasytani menyebut, bahwa Abu ‘Ali al-Jubbâi (w. 303 H) dan anaknya, Abu Hasyim al-Jubbâi (321 H) berbeda-beda dalam permasalahan parsial. Di saat kritis ini justru muncul Abu al-Hasan al-Asy’ari (w. 330 H) yang secara telak menghantam Muktazilah. Uniknya, Asy’ari dibesarkan oleh ayah tirinya, Abu Ali al-Jubbai, yang juga pembesar Muktazilah dan mengikuti madzhab ini selama empatpuluh tahun lamanya.

Muktazilah Di Bawah Buwaihiyyah; Awal Pergumulan Dengan Syi’ah

Munculnya dinasti Buwaihiyyah (334-437 H) menjadikan Muktazilah kemudian melebur dengan dinasti Buwahiyyah—atau Syiah. Muktazilah di masa ini tidak ‘se-garang’ Muktazilah di awal kemunculan dan keemasannya. Zuhdî Jârullah dalam buku al-Mu'tazilah menyajikan dengan apik perubahan-perubahan sekte ini setelah berada dalam genggaman Buwaihiyyah: awalnya mereka menghendaki kebebasan berpikir, kemudian memerangi kebebasan berpikir. Ini adalah perubahan Muktazilah yang kedua kali setelah tragedi inkuisisi (mihnah) sebelumnya. Dengan kata lain, Muktazilah yang masuk ke Buwaihiyyah adalah Muktazilah yang sudah kehilangan taringnya. Syi'ah diuntungkan oleh Muktazilah bahkan memanfaatkannya, sebab mereka yang kemudian getol meruntuhkan doktrin-doktrin Ahlu Sunnah. Dan Madzhab Muktazilah kemudian dengan cepat menyebar ke Irak, Khurasan dan Transoxania. Dukungan Buwaihiyyah terhadap Muktazilah setidaknya karena dua faktor: pertama, madzhab Syiah pada masa itu belum mempunyai madzhab teologi yang mapan. Oleh karena itu mereka dengan sengaja mengadopsi metode Muktazilah untuk menyokong konsep teologi Syi’ah.[25] Sampai dikatakan, Syi’ah secara teologis merupakan ‘pewaris tahta’ Muktazilah; kedua, dalam banyak pandangan, Syi’ah tak berbeda dengan Muktazilah. Hal itu terlihat dari justifikasi ideologi Syi’ah yang mengambil dari pembesar Muktazilah sendiri: al-Nadzdzâm. Al-Nadzdzâm berpandangan bahwa konsensus bukan argumen, serta argumentasi yang sebenarnya berada di perkataan Imam Maksum, keduanya juga sama dari sudut pandang, Muktazilah dan Syi'ah yang tak terlalu banyak berargumen dengan hadis.[26]

Penuturan al-Maqdisi (w. 391 H), sarjana yang banyak melancong ke pelbagai negeri, bahwa mayoritas Syiah di negara selain Arab bermadzhab Muktazilah. Di Rayy sendiri banyak orang awam yang mengikuti pendapat sarjana yang berpendapat 'kemakhlukan' al-Qur'an. Di bawah Buwaihiyyah, Muktazilah memang mendapatkan kejayaannya. Mereka menyebarkan madzhabnya tanpa penentang. Pun muncul sarjana-sarjana baru: Abu al-Huseyn al-Bashri (w. 436 H), Qadli Abdul Jabbar (w. 414 H) yang menjadi hakim agung di Rayy. Pada masa Fakhr al-Dawlah, Rayy mirip Baghdad di masa al-Makmûn dan Mu'tashim. Dan di Rayy ini, Muktazilah mendapatkan legitimasi politisnya. Menurut al-Dzahabi, Muktazilah dan Syi’ah berjalan harmonis semenjak tahun 370 H.

Walaupun Muktazilah di tangan dinasti Buwaihiyyah mengalami masa kejayaan—dalam politik, akan tetapi kemudian mengalami kemunduran bersamaan dengan melemahnya Buwaihiyyah. Hal itu terjadi pada masa al-Khalifah al-Qadir Billah (381-422 H) yang menganggit kitab-kitab teologis untuk menghantam ideologi Muktazilah, serta menghantam ideologi Syi'ah bersamaan (permasalahan keutamaan Shahabat). Kitab tersebut dibacakan setiap Jum’at di Masjid al-Mahdi di Baghdad. Bersamaan dengan melemahnya Buwahiyyah, shultan Mahmud al-Ghaznawi (361-421 H) menguasai Rayy. Dengan ideologi Mahmud al-Ghaznawi yang Sunni-Syafi'i, maka ia mengasingkan Muktazilah dari Rayy ke Khurasan dan membakar kitab-kitabnya. Di Rayy pada saat itu terdapat perpustakaan besar yang berisi buku-buku filsafat dan kalam. Semua buku bercorak rasional di Rayy dibakar tanpa sisa.

Selepas itu, Muktazilah bisa melepaskan diri dari Buwaihiyyah—atau lepas dari Syiah—dan berpindah ke Khawarizmi, dan penyebaran Madzhabnya di tangan Abi Mudlar Mahmud bin Jarir al-Asbhihani (w. 507 H). Dari sini terlahir ulama-ulama besar Muktazilah, di antaranya adalah Mahmud Zamakhsyari (w. 538 H). Ia mempunyai murid Abu al-Fath Nashir bin Abd al-Sayyid al-Mathrazi (w. 610 H). Kepemimpinan terakhir Muktazilah di Khawarizmi ada di tangan Abdul Jabbar bin Abdillah (w. 805 H).

Muktazilah dengan hegemoni Sunni di jagad Islam, tidak musnah sama sekali. Akan tetapi yang tersisa adalah orang Syiah yang 'termu'tazilahkan'. Sebab orang-orang Syiah di Yaman, sebagaimana dikatakan al-Maqrizi—seperti dikutip Zuhdi Jarullah—sepakat dengan konsep-konsep Muktazilah: terkecuali masalah Imamah. Di antara sekte Syiah yang terdekat dengan konsep Muktazilah adalah Syiah Zaidiyyah—sekte ini menurut kelompok Sunni adalah sekte yang paling moderat di antara yang lain. Menurut Syaikh Qâsimî, sekarang yang dinamakan Syiah adalah Muktazilah; Syi'ah Irak, India, Persia, serta Zaidiyyah di Yaman. Bahkan Syi’ah di Irak merupakan Muktazilah secara mutlak.[27] Sedang di India, ada Muktazilah baru yang dibentuk oleh Sayyid Ahmad Khan.[28]

Akan tetapi, menurut penulis, yang perlu menjadi catatan, Muktazilah dari masa ke masa mengalami degradasi pemikiran. Dr. Zuhdi Jarullah menyebutkan, Muktazilah sudah kehilangan nalar debatnya dan 'mandul' pada masa Abu Ali al-Jubbai. Sarjana besar terakhir—menurut Zuhdi Jarullah—yang dimiliki Muktazilah adalah Abu Hasyim al-Jubbai. Selepas ini, tidak terdengar lagi nama-nama besar sarjana Muktazilah seperti al-Nadzdzâm, Bisyr, Muammar, dll. Dengan kata lain, Muktazilah di era akhir tidak mempunyai inovasi atau capaian baru. Mereka banyak menjiplak metode berpikir sarjana klasiknya.

Penutup

Kajian sejarah di atas merupakan pintu masuk bagi percampuran Muktazilah-Syi’ah. Sebab persinggungan keduanya tak akan mungkin terlihat tanpa masuk melalui kajian sejarah. Jika sepakat bahwa Syi’ah yang ada sekarang secara ideologi merupakan Muktazilah[29], maka kemajuan Syi’ah, terutama dalam disiplin filsafat[30] tak bisa dilepaskan sepenuhnya dari Muktazilah.[31] Murtadla Mutahhari mengatakan, buku-buku filsafat Barat pernah diterjemahkan secara massif ke Persia. Salah satunya adalah buku al-Maqâl fî al-Manhaj karya Descartes.[32]Tak hanya itu, kemajuan Iran dalam teknologi yang sekarang menjadi satu-satunya negara yang mampu menandingi Barat, merupakan satu bukti spirit rasionalitas Muktazilah mampu berperan besar di sana.


Referensi:

[1] Beberapa peneliti menyibak relasi antara Jahm bin Shafwan dan kedua tokoh Muktazilah: Wâshil bin Atha’ serta Amr bin Ubaid. Jahm bin Shafwan meninggal tahun 128 H, sedang Wâshil tahun 131 dan Amr bin Ubaid tahun 144 H. Ini artinya, ketiganya adalah tokoh semasa. Ali Sami Nasyar mempunyai tesis, keduanya (Muktazilah dan Jahmiyyah) bertemu di permasalahan pentakwilan rasional (al-ta’wîl al-‘aqlî), serta rasio merupakan sumber pengetahuan, bahkan Muktazilah berpandangan penafian atribut Tuhan dan al-Qur’an merupakan makhluk—dan kita tahu, bahwa Ja’d bin Dirham dan Jahm bin Shafwan merupakan orang pertama yang berbicara hal tersebut. Akan tetapi, Muktazilah dan Jahmiyyah berbeda pula di permasalahan prinsipil: al-Qadar. Oleh sebab itu, terkadang Muktazilah disebut dengan Qadariyah, terkadang pula disebut Jahmiyah. Lihat Alî Sâmi al-Nasyâr, Nasy’at al-Fikr al-Falsafî fi al-Islâm, Kairo: Dar al-Ma’ârif, cet. VIIII, tt, hlm. 313, 330, 359, dan 373.

[2] Muktazilah muncul sebab perdebatan antara Wâshil bin Atha’ dan gurunya, al-Hasan al-Bashri terkait permasalahan pelaku dosa besar: apakah di neraka ataukah di surga? Wâshil berpandangan, pelaku dosa besar tidak berada di surga, tidak pula di neraka. Akan tetapi ia berada di antara dua tempat: antara surga dan neraka, atau yang kerap disebut al-Manzilah bayn al-Manzilatain. Sebenarnya cerita penyematan Muktazilah beragam. Alî Sâmi al-Nasyâr dengan baik sekali menghindangkan pertentangan cerita ini dalam dua bentuk: baik yang memberikan predikat (subjek) ataupun yang diberi predikat (objek). Berdasarkan versi al-Syahrasytânî (al-Milal wa al-Nihal) dan al-Baghdâdî (al-Farq baina al-Firaq), objeknya adalah Wâshil bin Atha. Sedang al-Maqrîzî dan al-Sam’âni berpandangan, objeknya adalah Amr bin Ubaid. Versi lainnya, yang memberi predikat Muktazilah bukan al-Hasan al-Bashrî, akan tetapi Qatâdah bin Di’âmah al-Sadûsi (w. 118 H). Sedang Ibnu Murtadla dalam al-Maniyyah wa al-Amal, menyebut cerita dengan pelbagai versinya itu. Lihat Alî Sâmi al-Nasyâr, Nasy’at al-Fikr al-Falsafî fî al-Islâm, Op.Cit.,hlm. 375

[3] Banyak Manuskrip-Manuskrip Muktazilah yang sampai sekarang masih tersimpan rapi di perpustakaan-perpustakaan Syi’ah di Yaman, atau India. Penulis, di tulisan ini akan memerinci percampuran Muktazilah dan Syi’ah di beberapa Negara.

[4] Dr. Zuhdi Jârullah, al-Mu’tazilah, Beirut: al-Ahliyyah li al-Nasyr wa al-Tawzî’, 1974, pada muqaddimat al-kitâb

[5] Relasi Muktazilah dan Syi’ah akan penulis jabarkan di beberapa baris berikutnya

[6] Lihat Ahmad bin Yahyâ bin al-Murtadlâ, Thabâqat al-Mu’tazilah, Lebanon: Beirut, cet. II, 1987

[7] ‘Pemaknaan terminologis’ yang dimaksud adalah paska Muktazilah mengkodifikasi ajaran mereka.

[8] Periode pertama adalah al-Khulafâ’ al-Rasyîdûn, Abdullah bin al-Abbâs, Abdullah bin Mas’ûd, dll; periode kedua, al-Hasan, al-Husein, Muhammad bin al-Hanafiyyah, Sa’îd bin al-Musayyab, Thâwûs al-Yamânî, Abû al-Aswâd al-Du’âlî, dll; periode ketiga, al-Hasan bin al-Hasan, Abdullah bin al-Hasan, Abû Hâsyim Abdullah bin Muhammad bin al-Hanafiyyah, dll; periode keempat, Ghaylan bin Muslim al-Dimasyqî, Wâshil bin Athâ’, Amr bin Ubaid, dll; periode kelima, Utsmân bin Khâlid al-Thawîl, Hafsh bin Sâlim, al-Qâsim bin Sa’dî, Khâlid bin Shafwân, Hafsh bin al-Qawwâm, dll; periode keenam, Abû Hudzail Muhammad bin al-Hudzail al-Ubadi, Abû Ishaq al-Nadzdzâm, Bisyr bin al-Mu’tamir, dll; periode ketujuh, Amr al-Jâhidz, Isâ bin Shubaih, Muwais bin Imrân, Muhammad bin Syubaib, dll; periode kedelapan, Abû Alî al-Jubbâi, Ahmad bin al-Husein al-Baghdâdî, Abû al-Husein al-Khayyâth, dll; periode kesembilan, Abû Hâsyim al-Jubbâi, Muhammad bin Umar al-Shumayri, Abû Umar, al-Bâhilî, dll; periode kesepuluh, Abû Alî bin Khallâd, Abû Ishaq bin Iyyâsh, Abû al-Qâsim al-Sayrafi, Abû al-Husein al-Azraq, dll; periode kesebelas, Abdul Jabbâr al-Hamadânî, Ismâil bin Hammâd al-Jawharî, Abû Ahmad bin Abi Allân, dll; periode kedua belas, Abû Rasyîd Sa’îd bin Muhammad al-Naysabûri, al-Syarîf al-Murtadlâ, Ibnu Sa’îd al-Labbâd, dll. Lihat selengkapnya pada Abdurrahman Badawi, Madzâhib al-Islâmiyyîn; al-Mu'tazilah wa al-Asyâ'irah, Beirut: Dar al-Ilm al-Malâyiin, 1997, hlm. 40-43

[9] Dr. Rasyid al-Khayyun, Mu’tazilah al-Bashrah wa Baghdâd, London: Dar al-Hikmah, cet. I, 1997, hlm. 7

[10] Penulis tidak akan membahas secara detil kelima pilar pokok Muktazilah. Buku yang secara komprehensif membahas ini adalah Syarh al-Ushûl al-Khamsah, karangan al-Qâdlî Abd al-Jabbâr al-Hamadânî. Kairo: Maktabah Wahbah, peny. Ahmad bin al-Husein Ibn Abî Hâsyim, cet. III, 1996

[11] Dr. Rasyid al-Khayyûn, Mu’tazilah al-Bashrah wa Baghdad, Op.Cit.,hlm. 302

[12] Ali Sami al-Nasysyar mengatakan, Yahudi di awal mula merupakan kelompok yang irrasional. Ia juga menuliskan menuliskan beberapa lembar sisi keterpengaruhan Yahudi dari Islam: khususnya dari kaum tekstualis (al-Qurra’ûn). Bahkan al-Mas’udi menyebut al-Qurra’ûn ini dengan predikat Muktazilah: Ahl al-Adl wa al-Tawhid. Bagi al-Nasysyar, awal isu awal mula yang dimunculkan oleh Yahudi adalah terkait Imamah. Kemudian para sarjana Islam ramai untuk mengorek konsep teologi serta metafisik Islam yang sebenarnya melalui kedua sumber primer Islam. Lihat Ali Sâmi al-Nasysyâr, hlm. 79-89

[13] Dr. Zuhdi Jârullah, al-Mu’tazilah, Op.Cit., hlm. 33

[14] Tidak jelas bagaimana persambungan mata rantai Ja’d ke Yahudi. Akan tetapi Sâmi Nasyâr menyebut, Ja’d bin Dirham mengutip pendapatnya dari Bannân bin Sam’ân, Bannân dari Thâlût, anak saudara perempuan Labîd, anak saudara perempuan A’sham. Labîd ini mengambil perkataan kemakhlukan al-Qur’an dari Yahudi di Yaman. Lihat Alî Sâmi Nasyâr, hlm. 330

[15] Yahyâ al-Dimasyqî mempunyai kitab bertajuk al-Îman al-Urtûduksî, yang menggambarkan kedudukan laki-laki ini dalam ilmu kalam. Ia, dalam kitabnya ini berupaya untuk mengukuhkan konsep ketuhanan Kristen dengan dalil-dalil rasional yang diadopsi dari logika Aristotelian. Kitabnya ini tak hanya berpengaruh untuk teritorial Kristen saja, akan tetapi juga dipelajari dan diterjemahkan oleh Thomas Aquinas. Zuhdî Jârullah, hlm. 24

[16] Ibid.,hlm 27-30

[17] Abdurrahman Badawi, Madzâhib al-Islâmiyyîn, Op.Cit.,hlm. 81

[18] Abid al-Jabiri–dalam pengantar al-Kasyf 'an Manâhij al-Adillah–-mengatakan bahwa kodifikasi madzhab dalam sekte Muktazilah di awal terbentuknya masih belum terlaksana. Sehingga teori-teori mereka masih tercecer. Setelah muncul Abû Hudzail al-'Allâf (w. 235H), kodifikasi madzhab mulai dilaksanakan. Artinya teori-teori ilmu kalam sekte ini baru disusun dengan sistematis pada masa Abû Hudzail al-'Allâf. Namun sistematisasi oleh Abû Hudzail tidak menafikan teori-teori individu yang sudah dibukukan, seperti Wâshil bin Atha' yang menganggit kitâb al-Tawhîd, kitâb al-Futyâ, atau 'Amr bin Ubaid yang menjawab sekte Qadariah dalam al-Rad 'ala al-Qadariyah. Abû Hudzail mengambil teori Muktazilah dari Wâshil bin Athâ'. Buku-buku filsafat teramat akrab dengan Abu Hudzail, disebabkan, ia hidup pada masa penerjemahan ('ashr al-tarjamah). Darinya dikenal istilah al-Jawhar al-Fard (atomisme), yang kelak menjadi pondasi kuat bagi teolog di masa setelahnya. Al-jawhar al-Fard, oleh para teolog, diimplementasikan pada masalah pengetahuan Allah terhadap partikular kehidupan ('ilm Allah bi al-juziyyât). Disusul dengan keberawalan Alam. Ketika Alam berawal, maka membutuhkan pada pencipta, yang dalam hal ini adalah Allah. Jadi peran al-Jawhar al-Fard dalam ilmu kalam sangat signifikan karena mencakup pembahasan inti ilmu kalam, yaitu pembuktian adanya Tuhan. Abu al-Walîd Ibnu Rusyd, al-Kasyf 'an Manâhij al-Adillah, Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-Arabiyyah, cet.I, pengantar M. Abid al-Jabiri, hlm. 20

[19] Zuhdî Jârullah, hlm. 123

[20] Ibid.,hlm. 42-46

[21] Ibid.,hm. 50

[22] Jika menurut Sami Nasyar, Muktazilah dan al-Qadariyyah tidak bisa disamakan, Zuhdi Jarullah berpandangan bahwa Qadariyah, paska munculnya Muktazilah melebur ke mereka. Oleh karena itu banyak sejarawan klasik yang menyebut Muktazilah dengan Qadariyah. Zuhdî Jârullah, hlm. 158

[23] Ibid., hlm. 183-184

[24] Sebelum melemahnya Muktazilah, fenomena pengkafiran ini sebenarnya sudah terjadi. Al-Baghdadi menyajikan beberapa fenomena pengkafiran ini; Abû Hudzail al-Allâf mengkafirkan muridnya al-Nadzdzam dalam bukunya al-Radd ala al-Nadzdzam, begitu pula Jakfar bin Harb, al-Jubba’i, al-Iskafi. Jakfar bin Harb mengkafirkan gurunya, Abû Hudzail al-Allâf dalam kitab Tawbîkh Abi Hudzail sebab pendapatnya kerap menyerupai ateis. Al-Ka’bi mengkafirkan al-Khayyath dan beberapa pembesar Muktazilah lainnya karena tidak berargumen dengan khabar ahad. Muktazilah juga mengkafirkan Abd al-Salam al-Jubbâi, al-Iskafi, Bisyr bin al-Muktamir. Perlahan pengikut Muktazilah melemah, bahkan beberapa tokoh Muktazilah menyatakan keluar dari madzhab besar ini. Awal mula tokoh yang menyatakan pemisahan dirinya adalah Basysyar bin Burd (w. 168 H).

[25] Misalnya, Ibnu Babaweh yang mengadopsi secara mutlak pencarian ratio-legis dalam kitabnya ‘al-Ilal’. Lihat Zuhdî Jârullah, hlm. 205

[26] Ibid., hlm. 206

[27] Jamâl al-Dîn al-Qâsimî al-Dimasyqî, Târîkh al-Jahmiyyah wa al-Mu’tazilah, Beirut: Muassasah al-Risâlah, cet. I, 1979, hlm 56

[28] Bagi penulis sendiri, pendakuan terhadap Muktazilah tanpa mengambil lima pilar (al-ushûl al-khamsah) yang disepakati oleh sarjana Muktazilah klasik, bukanlah Muktazilah dalam pemaknaannya secara terminologis. Seperti yang dilakukan oleh Sayyid Ahmad Khan di India, atau Muhammad Abduh di Mesir, bahkan yang baru-baru ini muncul, Jaringan Islam Liberal di Indonesia. Mereka lebih bisa dikatakan ‘neo-Muktazilah’, sebab mengambil spirit rasionalitas Muktazilah untuk diaplikasikan dalam konteks mereka.

[29] Dr. Rasyid al-Khayyun mengatakan bahwa Syi’ah Zaidiyyah juga mengimani pandangan penafian takdir dan atribut Tuhan. Akan tetapi Zaidiyyah memasukkan “al-manzilah baina al-manzilatain” dalam sub Imamah, sedang Muktazilah memasukannya dalam terma “al-adl”. Menurut Rasyid al-Khayyun, hal itu disebabkan karena hubungan antara Wâshil bin Athâ’ dan Zaid bin Ali yang sudah terjalin semenjak dulu. Kemudian Muktazilah Baghdad dan Syi’ah Zaidiyyah sama-sama mengimani kepemimpinan “al-mafdlûl” walaupun ada “al-fâdlil”: legalitas kepemimpinan Abu Bakr al-Shiddîq walaupun ada Ali bin Abî Thâlib. Lihat Dr. Rasyîd al-Khayyûn, Mu’tazilah al-Bashrah wa Baghdad, Op.Cit.,hlm. 11

[30] Untuk membaca capaian kaum Syi’ah terhadap filsafat di abad 11 H, bisa dibaca pada pengantar Murtadla Mutahhari di buku Sayyid Husein Thabathaba’i dalam Usus al-Falsafah. Murtadla Mutahhari mengatakan, pada saat Mulla Shadra mensistematisasikan capaian filosofisnya, di Eropa muncul gerakan pencerahan yang teramat besar. Usus al-Falsafah wa al-Madzhab al-Wâqi’î, Beirut: Dar al-Ma’ârif li al-Mathbû’ât, Juz. I, tt, pengantar Murtadla Mutahhari, hlm. 19

[31] Muhammad Abdul Hâdî Abû Raydah mengarang sebuah buku yang bertajuk Ibrâhîm bin Sayyâr al-Nadzdzâm Wa Ara’uhu al-Kalâmiyyah al-Falsafiyyah. Di sana disebutkan, salah satu tokoh Zaydiyyah yang paling kentara terpengaruh oleh al-Nadzdzâm adalah al-Qâsim bin Ibrahîm al-Hasanî (w. 246 H). Ia mengarang buku tentang keadilan dan ketuhanan, penafian takdir dan tasybîh. Lihat Ibrâhim bin Sayyâr al-Nadzdzâm wa Arâ’uh al-Kalâmiyyah al-Falsafiyyah, Kairo: al-Hay’ah al-Mishriyyah al-Âmah, pengantar. Fayshal ‘Aun, 2010, hlm. 185

[32] Sayyid Husein Thabathabâ’i, Usus al-Falsafah wa al-Madzhab al-Wâqi’î, Op. Cit.,hlm. 21
Selengkapnya...

Sunday, 3 June 2012

Rajam Sebagai Takzir

Ketika para pakar fikih berbicara tentang praktek hudud (red. hukuman tertentu yang sudah ditetapkan oleh Allah untuk bentuk pelanggaran tertentu), maka pembaca seolah dihadapkan pada praktek hukuman yang sudah benar-benar final dan tak bisa “diotak-atik”—jika meminjam redaksi pakar fikih klasik, hudud termasuk “hukuman yang sudah diatur” (al-uqûbah al-muqaddarah). Hudud dibedakan dari takzir sebab takzir hukumannya kondisional (melalui kebijakan hakim), dan dibedakan dari kisas sebab kisas hak adami. Di antara hukuman yang dikategorikan had adalah hukuman bagi pelaku zina yang sudah pernah menikah (muhshan). Dalam buku-buku fikih klasik masyhur dikatakan, hukuman bagi pelaku pelanggaran tersebut adalah dirajam sampai meninggal.

Sebuah informasi menarik saya temukan bukan dari buku Jamal al-Banna, Hasan Hanafi, atau seabreg pemikir kiri lainnya. Akan tetapi dari fatwa syekh Musthafa Zarqa, pakar fikih dari Syiria, dalam bukunya yang bertajuk Fatawa Musthafa Zarqa (2004), sebuah kompilasi fatwa yang dikumpulkan oleh muridnya, Ahmad al-Makki. Dalam buku tersebut dituliskan, Abu Zahrah, pakar fikih kenamaan dari Mesir, menyimpan “unek-unek” selama dua puluh tahun mengenai hukuman rajam bagi pelaku zina muhshan. Sampai kemudian “unek-unek” nya itu disampaikan secara oral dalam Muktamar yang dilaksanakan di Libia. Menurut pengarang buku Târikh al-Madzâhib al-Islâmiyyah ini, hadis-hadis yang menyiratkan bahwa Nabi memerintahkan pelaku zina muhshan untuk dirajam, perlu diragukan validitasnya. Titik pijak tesis tersebut, rajam merupakan hukuman terberat yang tidak tergambarkan diperintahkan oleh seorang Nabi yang mempunyai jiwa lembut.

Argumen yang diberikan oleh Abu Zahrah cukup rasional: hukuman pelaku zina dalam al-Qur’an hanya ada satu. Hukuman tersebut adalah cambuk seratus kali, serta tidak ada pembedaan antara perawan maupun yang sudah pernah menikah. Ayat yang menopang argumen Abu Zahrah adalah, “bagi mereka (budak), hukumannya separuh hukuman perempuan yang sudah menikah” (al-Nisa: 25). Jika benar hukuman bagi pelaku zina muhshan adalah dirajam sampai mati, hal itu tidak logis. Sebab, menurut Abu Zahrah, kematian tidak bisa ditakar dengan kalimat “setengah” (uqûbat al-mawt rajman la taqbal al-tansîf). Abu Zahrah memandang bahwa rajam adalah hukuman kaum Yahudi, dan terhapus (mansûkh) dengan datangnya Islam. Menurut Yusuf Qardlawi, Abu Zahrah tidak pernah menuliskan pendapat “kontroversial”nya ini.

Bagi Musthafa Zarqa, pendapat Abu Zahrah itu cukup apatis sebab mengabaikan teks-teks hadis yang berbicara rajam. Akan tetapi bukan berarti rajam harus tetap dilaksanakan tanpa ada celah sama sekali di sana. Ia memberikan beberapa celah yang tak kalah menarik: perintah Nabi untuk merajam pelaku zina muhshan bisa dikategorikan sanksi yang kebijakannya ditentukan oleh hakim. Dalam diskursus fikih, sanksi tersebut diistilahkan dengan ta’zîr. Konsekuensi apabila kebijakan di tangan hakim, si hakim punya wewenang untuk merajam atau hanya dicukupkan dengan cambuk saja. Atau penggabungan cambuk sebagai had, dan hukuman lain (selain rajam) sebagai takzir. Dengan kata lain, Musthafa Zarqa memandang bahwa cambuk (al-jald) merupakan hukuman sebenarnya dari pelaku zina muhshan (al-hadd), sedang rajam adalah takzir yang hukumannya bisa berubah-ubah. Lalu apa landasan fikih Musthafa Zarqa?

Hadis Nabi sebagai “teks primer” awal pensyariatan rajam adalah riwayat Ubadah bin Shamit, “perawan yang berzina dengan perjaka dicambuk seratus kali dan diasingkan satu tahun, sedang duda dan janda yang berzina dicambuk seratus kali serta dirajam dengan batu”. Dalam hadis ini, Nabi menambahkan hukuman cambuk yang tertulis di dalam al-Qur’an dengan pengasingan satu tahun bagi perawan, serta hukuman cambuk dengan rajam bagi janda. Oleh sebab itu, dari riwayat yang disampaikan oleh Ali dikatakan, “pelaku zina muhshan dicambuk dengan (melalui argumen) al-Qur’an, dan dirajam dengan (melalui argumen) sunah”. Dari sini muncul pembedaan di kalangan ulama Islam. Bahwa di teks hadis tersebut terdapat dua praktek hukuman berbeda untuk masing-masing kasus: hukuman cambuk dan hukuman diasingkan untuk kasus perawan yang berzina, serta hukuman cambuk dan hukuman rajam untuk kasus janda yang berzina.

Nah, melalui riwayat Ubadah bin Shamit di atas, ulama-ulama dari Madzhab Hanafi menganggap “diasingkan” (al-taghrib) untuk hukuman pelaku zina perawan bukan bagian dari “hadd”, akan tetapi hanya sanksi yang kebijakannya ditentukan oleh hakim. Jika demikian, menurut Musthafa Zarqa, rajam juga seharusnya dimasukkan dalam kriteria takzir, sebab keduanya mempunyai redaksi yang sangat mirip dan berada dalam satu teks hadis. Walaupun pendapat ini tidak dituliskan oleh para pemuka Madzhab Hanafi, tapi, menurut Zarqa, itulah konsekuensi dari tesis mereka yang mengatakan bahwa hukuman sebenarnya bagi pelaku zina adalah cambuk—pengasingan hanya takzir. Kategori rajam yang dimasukkan dalam kriteria takzir pernah disuarakan oleh Mahmoud Syalthout, kemudian diamini oleh Yusuf al-Qaradlawi. Namun, baik Mahmoud Syalthout dan Yusuf al-Qaradlawi juga tidak pernah berani menulis pendapatnya ini.

Baik Mahmoud Syalthout, Musthafa Zarqa serta Yusuf al-Qaradlawi adalah tokoh-tokoh yang sangat diperhitungkan dalam dunia Islam. Mahmoud Syalthout merupakan mantan Syaikh al-Azhar yang dikenal inklusif. Ia yang menyuarakan untuk mengikis perbedaan di kalangan umat Islam melalui pengenalan ajaran-ajaran madzhab di luar Sunni di dalam al-Azhar. Mahmoud Syalthout juga pernah memfatwakan kebolehan memanfaatkan madzhab Syi’ah Itsna ‘Asyariyyah dalam beragama. Sedangkan Musthafa Zarqa, beliau adalah putra Ahmad Zarqa, sekaligus cucu Muhammad Zarqa. Tiga generasi ini—oleh Ali Thantawi—disebut dengan silsilat al-dzahab, sebab kakek, ayah dan cucu ini sama-sama terlahir menjadi pakar fikih yang sangat diperhitungkan kemudian.
Selengkapnya...

Saturday, 10 March 2012

Tafsir Dan Takwil; Upaya Memahami Kitab Suci

Oleh Ahmad Hadidul Fahmi, Lc

Bagaimanapun, al-Qur'an sebagai kalam suci telah menyita perhatian banyak pihak. Sebab, selain al-Qur'an mencakup aspek ritual, al-Qur’an juga tidak hadir sekonyong-konyong menjadi teks dengan lekukan-lekukan rapi di tengah cover mahal yang mengitarinya. Ada bentangan sejarah panjang semenjak masa diturunkannya wahyu sampai menjadi seperti sekarang. Dari para sarjana Islam klasik, modern, dan bahkan orientalis[1], telah melakukan kajian mendalam terhadap kitab agung ini. Tak terkecuali jika berbincang sejarah penafsiran al-Qur’an. Dalam sejarahnya, hierarki capaian akal yang membentuk perbedaan perspektif manusia terhadap suatu fenomena, meniscayakan pengaruh besar terhadap pola interpretasi terhadap al-Qur’an. Keanekaragaman tersebut ditunjang pula oleh al-Qur'an itu sendiri, seperti dikatakan oleh Abdullah Darraz, "layaknya berlian yang setiap sisinya memancarkan cahaya yang tak seragam: yang berbeda dengan sisi-sisinya yang lain".[2]

“Terhadap Injil, setiap orang meminta keyakinannya, dan di dalamnya pula, setiap orang mendapatkan apa yang ia pinta.” Tampaknya, ungkapan Peter Werenfels ini, ujar Goldziher, selain sesuai dengan konteks pembaca Injil, pun menemukan relevansinya dengan umat Islam terhadap al-Qur’an.[3] Dalam perjalanannya, teks suci selanjutnya mirip ‘mainan’: ditarik ulur untuk menopang kepentingan politik atau ideologi sekte tertentu. Dari sini muncul pertanyaan menarik, sejauh mana “batasan” interaksi umat Islam dengan al-Qur’an?

Sisi Historis Tafsir; Analisa Atas Sebab Perbedaan

Peneliti perkembangan tafsir sepakat bahwa upaya untuk memahami dan menjelaskan kandungan al-Qur’an sudah muncul semenjak masa nabi SAW: terutama saat beberapa shahabat merasa kesulitan mengungkap maksud suatu ayat.[4] Yang membedakan penafsiran pada masa Nabi dan generasi setelahnya pada implikasi perbedaan memahami teks. Dalam arti, masa Nabi belum membuahkan banyak perbedaan, karena Nabi mempunyai otoritas mutlak ketika menjelaskan maksud al-Qur'an, juga permasalahan pada masa itu belum kompleks serta belum mengalami perkembangan signifikan. Baru selepas wafatnya Nabi SAW, di saat perkembangan masalah semakin melebar, beberapa pembesar shahabat mengambil inisiatif untuk melaksanakan ijtihad menginterpretasi ayat.[5] Oleh para ulama, pada masa ini dianggap sebagai "embrio" munculnya beberapa model penafsiran yang beraneka ragam yang muncul di kemudian hari.

Huseyn al-Dzahabi menyebutkan dalam bukunya al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, shahabat dalam memahami ayat tidaklah seragam: di antara mereka ada yang kuat pemahamannya terhadap bahasa Arab, atau yang kerap mendampingi Nabi hingga mengetahui sebab turunnya ayat (asbâb al-nuzûl) secara langsung, dan tak jarang pula di antara mereka yang lemah pemahamannya terhadap bahasa Arab.[6] Dengan demikian, keanekaragaman bentuk penafsiran yang terjadi setelahnya tidak bisa lepas dari perbedaan pandangan yang sudah terjadi di kalangan shahabat. Adalah Ibnu Mas'ud yang cenderung dominan pada daya nalarnya, Ibnu Abbas yang lebih mencolok penafsiran melalui periwayatan (riwâyah). Menurut Huseyn al-Dzahabi, sumber penafsiran al-Qur’an pada masa ini berkisar pada al-Qur’an itu sendiri, sabda Nabi[7], ijtihad, dan Ahl al-Kitab. Ada karakter yang membedakan penafsiran di masa shahabat dengan generasi setelah mereka: penafsiran pada masa ini tidak mencakup keseluruhan ayat, dan hanya ditafsirkan secara global.

Ibnu 'Abbas kemudian mempunyai murid dikalangan tabi'in—generasi setelah shahabat, di antaranya Mujahid (w. 104 H), Atha’ bin Abi Rabbah (w. 114 H), Ikrimah (w. 104 H), Thawus (w. 106 H), Sa'id bin Jubeir (w. 95 H), dll. Sedang ‘Alqamah bin Qays (w. 61 H), Masruq bin Abd al-Rahman (w. 63 H), al-Aswad bin Yazid (w. 74 H), adalah periwayat dari Ibnu Mas’ud. Abu al-Aliyah (w. 90 H), Zaid bin Aslam (w. 136 H) dan Muhammad bin Ka’b (w. 118 H) meriwayatkan dari Ubay bin Ka’b. Ibnu Taymiah dalam Muqaddimah fî Ushûl al-Tafsîr menyatakan, tokoh-tokoh tersebut kemudian yang mendominasi berdirinya tiga madrasah penting dalam sejarah perkembangan tafsir di era tabi’in: madrasah di Mekah yang didirikan oleh Ibnu Abbas, di Iraq yang didirikan oleh Ibnu Mas’ud, dan di Madinah yang didirikan oleh Ubay bin Ka’b. Metode tafsir yang diriwaytkan (transmisional) dari Nabi, shahabat, serta tabi'in ini yang kemudian diistilahkan dengan al-Tafsîr bi al-Ma'tsûr.[8]

Pada tahap ini tafsir al-Qur’an sudah banyak tercampur dengan riwayat Judeo-Kristiani (isrâiliyyât) sebab semakin banyaknya Ahli Kitab yang masuk Islam.[9] Tafsir pada tahap ini juga ditandai dengan banyaknya perbedaan yang diakibatkan kompleksitas masalah yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Akan tetapi, tafsir pada generasi Nabi, shahabat dan tabi’in masih sebatas disampaikan secara oral.

Secara sederhana, setelah masa ini, pembukuan tafsir (al-Tadwîn) mulai digalakkan. Dr. Rumzi al-Na’na’ah memetakan sejarah kodifikasi tafsir dalam empat fase; pertama, bersamaan dengan kodifikasi hadis. Pada fase ini tafsir dikodifikasi secara tematik disesuaikan dengan tema hadis. Tafsir di fase ini tidak berperan menginterpretasi al-Qur’an per-kata, namun hanya mengandalkan interpretasi transmisional yang dinisbatkan pada nabi, shahabat serta tabi’in secara global. Tokohnya adalah Yazid bin Harun al-Silmi (w. 206 H), Syu’bah bin al-Hajjaj (w. 160 H) serta Sufyan bin ‘Uyainah (w. 198 H); kedua, independensi tafsir dari hadis. Tafsir pada fase ini menginterpretasi kata per-kata sesuai dengan urutan mushaf. Corak tersebut dapat dijumpai dari Ibnu Majah (w. 273 H), Ibnu Jarir al-Thabari (w. 310 H), serta Ibnu Abi Hatim (w. 327 H). Sebagai catatan penting, model tafsir ini pun mengandalkan riwayat-riwayat dari Nabi, shahabat, serta tabi’in (transmisional), terkecuali tafsir Ibnu Jarir al-Thabari. Al-Thabari mengupas banyak pendapat, kemudian melakukan seleksi dari sekian pendapat tersebut, terkadang pula menginferensi suatu hukum dari ayat terkait.

Ketiga, tafsir dengan corak transmisional (al-ma’tsûr) disertai mata rantai lengkap. Namun ada beberapa penafsir yang mencukupkan pada rantai tanpa menyebut pengucapnya. Model demikian yang disinyalir sebagai akar kemunculan riwayat Judeo-Kristiani dalam buku-buku tafsir. Hal itu disebabkan tidak jelasnya kualifikasi terhadap riwayat yang datang; keempat, tafsir mengalami perkembangan secara massif. Di samping mengandalkan riwayat transmisional (al-ma’tsûr), corak tafsir rasional (al-‘aqlî) pada masa ini pun menggema. Tafsir yang berdimensi rasional kemudian semakin melebarkan sayapnya tatkala pemerintahan Abasiyah mulai membuka “kran” dengan peradaban luar Islam: Yunani. Corak rasional murni dapat kita jumpai pada Mafâtîh al-Ghaib, karya Fakhr al-Din al-Razi, atau al-Bahr al-Muhîth, karangan Abu Hayyan al-Tawhidi.[10]

Secara umum, para penafsir memulai uraiannya—terhadap suatu ayat—ditopang dengan riwayat yang bersumber dari Nabi. Seandainya tak menjumpai, mereka berpindah menuju perkataan para shahabat, kemudian tabi’in. Karakter para penafsir sendiri berbeda; ada beberapa penafsir yang mendasarkan pendapatnya—secara paripurna—terhadap riwayat transmisional, namun terdapat pula yang bercorak rasional murni. Atas dasar ini, buku tafsir klasik kemudian dijumpai seperti “lautan ilmu”. Jamal al-Banna memetakan dengan apik tipologi penafsir klasik dalam tiga corak; pertama, yang berorientasi terhadap bahasa (al-lughawiyyun); kedua, orientasi sektarian (al-madzhabiyyûn); ketiga, orientasi menafsirkan al-Qur’an mempergunakan riwayat (al-ikhbâriyyûn).[11]

Bagi Jamal sendiri, ketiga corak tafsir ini mempunyai kecacatannya tersendiri. Untuk yang pertama, penyebabnya adalah perbedaan metode antar penafsir yang didasarkan pada unsur bahasa. Mereka terlalu masuk dalam pada persoalan pelik bahasa; entah itu gramatika (al-nahw wa al-sharf) atau keindahan bahasa (balâghah). Imbasnya, al-Qur’an ditundukkan pada kaidah-kaidah gramatika, atau balaghah. Sebagai misal, dalam perbincangan gramatika, struktur asal suatu kalimat tersusun dari tiga unsur: subyek (al-fâ’il), predikat (al-fi’l), dan obyek (al-maf’ûl) yang terangkum dalam susunan “fi’il-fa’il” atau “mubtada-khabar”. Jika tidak terdapat salah satu dari ketiga unsur ini, maka yang bermain kemudian “spekulasi”—atau dibahasakan dengan “taqdîr”. Mari kita simak penuturan Jamal al-Banna—mengutip Abd al-Sattar al-Jawari--terkait hal ini,

“Firman Allah dalam surat al-Nisa: “dan keinginanmu untuk mengawini mereka” (targhabûna an tankihûhunna). Kata kerja “raghiba” akan sampai pada dua obyek dengan dua kata (‘an serta fî), dan akan menghasilkan dua makna yang kontradiktif; apabila mempergunakan “raghiba fî” akan sampai pada makna positif, jika mempergunakan “raghiba ‘an” akan menghasilkan makna negatif […]. Oleh karena itu, Zamakhsyari, ketika mengurai masalah ini mengatakan: “kemungkinan maknanya adalah menyukai, hingga berkehendak menikahinya karena cantik, atau membenci, sehingga tidak mau menikahinya karena jelek”. Namun beberapa pakar dalam permasalahan ini mengatakan: raghbah dalam kalimat ini, entah itu mempergunakan fî atau ‘an sama saja, sehingga tidak dicantumkan. Menurut saya (‘Abd al-Sattar al-Jawari), perkaranya tak sesulit itu. Karena makna kata kerja itulah yang harus dijadikan pegangan. Adapun huruf tambahan hanya untuk membatasi relasi dengan obyek: negatif atau positif. Kata raghbah yang membatasi relasi (negatif atau positif) dengan obyek adalah raghbah fî syain (menyukai suatu hal). Adapun makna negatif (raghbah ‘an syain) merupakan cabang (al-far’) yang tak diketahui terkecuali dijumpai huruf ‘an secara tersurat”.[12]

Al-Qur’an sendiri, dari kacamata gramatika, dapat diklasifikasi pada dua bagian; pertama, bagian yang selaras dengan kaidah-kaidah gramatika; kedua, bagian-bagian yang berbenturan dengan kaidah-kaidah gramatika. Untuk yang kedua ini, sikap penafsir terpetakan mejadi tiga; pertama, secara frontal menyatakan ketidakcocokannya; kedua, masih berupaya mendamaikan walaupun kemudian “mengalahkan” al-Qur’an; ketiga, mentakwil ayat-ayat yang tak selaras dengan kaidah gramatika.[13] Sebagai misal, dalam kaidah nahwu, "la yajûzu wuqû' al-istisnâ al-mufarragh ba'da al-îjâb." Padahal dalam al-Qur'an ada delapan belas “al-istisna al-mufarragh” yang jatuh dalam kalimat postif. Di antaranya lagi, “la yajûzu 'athf al-ismi al-dzâhir 'alâ al-dlamîr al-makhfûdz illâ ba'da i'âdat al-khâfidz." Padahal firman Allah berbunyi (Qira’at Hamzah), "wattaqullah al-ladzî tasâalûna bihi wa al-arhâmi." Lafadz “al-arhâm” dibaca kasrah dan diikutkan ('athaf) pada isim dlamir tanpa mengembalikan khâfidz—dalam qiraat Hamzah. Padahal bacaan ini adalah dari sebagian besar tabi'in, shahabat. Dan menurut Abu Hayyan al-Tawhidi, itu adalah bacaan mutawatir dari Nabi. Oleh karena itu, pakar nahwu jika menjumpai ayat yang tak cocok dengan kaidah nahwu mengatakan, “ini kesalahan penulis”.

Kedua; orientasi sektarianistik (al-madzhabiyyûn). Contoh yang paling kentara ketika al-Qur’an berbicara tentang atribut Tuhan. Sebagaimana dalam tafsir al-Kasysyâf, karangan Zamakhsyari dari sekte Muktazilah, yang terkadang berlebihan menafsirkan suatu ayat agar selaras dengan ideologi sektenya: penafian sifat. Kita melihat bagaimana saat Zamakhsyari memaknai kalâm (berbicara) dengan al-kalmu (luka), sehingga—menurut Muktazilah--maknanya: “Allah menguji Nabi Musa dengan pelbagai macam fitnah.” Karena memang, menurut Zamakhsyari, pada praktiknya al-Qur’an mendedah argumen eksistensi Tuhan hanya melalui “kontemplasi” terhadap keindahan alam raya. Dan penafian “pembicaraan” ini berakibat pula penafian sifat—sebagaimana ideologi Muktazilah. Begitu pula dari sekte Khawarij ketika menafsirkan ayat: “fa minkum kâfir wa minkum mu’min”, bahwa manusia hanya pada dua jalur: mukmin dan kafir. Yang demikian itu karena mereka menganggap bahwa pelaku dosa besar—jika tidak bertaubat—masuk pada golongan kafir.

Ketiga; orientasi menafsirkan al-Qur’an mempergunakan riwayat (al-ikhbâriyyûn). Metode yang ditempuh mempergunakan riwayat transmisional, sehingga kemudian dinamakan “al-Tafsîr bi al-Ma’tsûr”. Faktanya, menurut Jamal al-Banna, riwayat dari Nabi terhadap ayat al-Qur’an sangat sedikit sekali. Bahkan, tafsir terhadap suatu ayat yang datang dari Nabi bukan dari Nabi sendiri, melainkan Nabi hanya mempergunakan ayat al-Qur’an yang lain untuk menafsirkan (tafsîr al-Qur’an bi al-Qur’ân). Sampai riwayat yang dari shahabat serta tabi’in pun kemudian dipakai, jika tak ditemukan pernyataan dari Nabi terhadap ayat tertentu. Bahkan ada yang menuliskan semua riwayat yang datang dari Ibnu ‘Abbas dalam sebuah buku dengan tajuk “Tafsîr ibni ‘Abbas”.[14] Padahal, mayoritas riwayat yang ada dalam kitab tersebut diriwayatkan oleh al-Kalbi, al-Sadiy, serta Muqatil bin Sulaiman. Mereka adalah nama-nama yang sudah mendapat predikat pemalsu. Imam Suyuthi sendiri—yang telah didahului oleh Ibnu Taymiah—berujar, bahwa perkataan Ahmad bin Hanbal, “tiga kitab yang tidak bisa dipertanggungjawabkan; peperangan, mimpi, serta tafsir,” ditujukan untuk periwayat dalam tafsir Ibnu ‘Abbas. Rasyid Ridla meneruskan pernyataan Ahmad bin Hanbal tersebut hingga sampai pada nama-nama buku tafsir yang di“black list” karena berisikan riwayat yang tak dapat dipertanggungjawabkan: al-Wahidi, al-Tsa’labi, Zamakhsyari, Baidlawi. Ada tiga karakter perbincangan corak tafsir model ini; pertama, berbincang tentang para Nabi secara spesifik, Bani Israil, hari Akhir, surga, neraka; kedua, mengerucutkan pembahasan yang disamarkan oleh al-Qur’an (ta’yîn al-mubhamât); ketiga, memaparkan sebab diturunkannya suatu ayat (asbâb al-nuzûl).

Tafsir dan Takwil; Upaya Menumbuhkan Toleransi Penafsiran

Nashr Hamid Abu Zaid, mewakili para pengkaji tafsir dan tafsir al-Qur’an saat mencari legitimasi takwil, mengatakan bahwa tafsir dan takwil sebagai dua terma yang bersinonim telah dinyatakan oleh generasi awal Islam. Ibnu Jarir al-Thabari mempunyai kitab tafsir yang bertajuk Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ay al-Qur’an. Takwil dari penamaan Ibnu Abbas untuk tafsirnya—menurut banyak pengkaji tafsir—mempunyai makna “tafsir”. Begitu pula Nabi saat mendoakan Ibnu Abbas mengatakan, “allahumma faqihhu fi al-dîn wa allimhu al-takwil”—semoga Allah menjadikan dia orang yang memahami agama dan mengerti tentang tafsir. Akan tetapi sinonimitas tidak lantas mempunyai implikasi tak berbeda. Sebab belakangan, terma takwil lebih diidentikkan untuk penjelasan alegoris dan metaforis terhadap al-Qur’an, sebagaimana yang sering dipraktikkan oleh sebagain tokoh-tokoh sufi, teolog dan filsuf. Pada tataran praksis, muncul model-model takwil-an “liar” melalui penjelasan alegoris, hingga memaksakan gagasan-gagasan nakal ke dalam teks literal al-Qur’an. Sebab itulah terma takwil menjadi tidak begitu mendapat apresiasi di kalangan ortodoksi Islam. Walaupun begitu, takwil tetap dinilai sebagai salah satu unsur keindahan bahasa al-Qur'an.[15]

Takwil sendiri sebenarnya terminologi yang problematis dalam babakan sejarah Islam: sebab antar sarjana kerap berbeda-beda memaknai takwil dari masa ke masa. Jika di awal Islam takwil diposisikan sinonim dengan tafsir, selanjutnya berkembang definisinya menjadi “maksud dari sebuah perkataan”. Sedang tafsir merupakan penjelasan terhadap maksud redaksi. Dengan kata lain, jika terdapat redaksi, “Matahari muncul”, maka takwilnya adalah realisasi di alam riil bahwa matahari muncul. Sedang tafsir menjelaskan dan menjabarkan bagaimana kronologis kemunculan serta waktunya. Pun berkembang definisi bahwa definisi tafsir lebih ke transmisi (al-naql) sedang takwil lebih ke penjelasan eksploratif (ijtihâdî) yang didasarkan pada perenungan dan kontemplasi. Sebagai misal, diferensiasi yang dilontarkan oleh al-Raghib al-Ishfahani, bahwa tafsir lebih ke redaksional, berhubungan dengan struktur kalimat, sedang takwil lazimnya berelasi dengan makna susunan kalimat.[16]

Perkembangan takwil juga erat kaitannya dengan implikasi-implikasi ayat yang sebenarnya tak tunggal. Misalnya, jika kita tengok bagaimana Syihab al-Din al-Lusi dalam pengantar tafsirnya, Rûh al-Ma’âni, memberikan argumen untuk pengukuhan makna-makna ayat esoterik. Menurut al-Lusi, makna ayat esoterik bukan hendak meniadakan makna eksoterik. Sebab, keyakinan yang demikian merupakan keyakinan orang-orang murtad. Akan tetapi pemaknaan esoterik berupaya menyibak rahasia-rahasia yang terlampau agung di dalam al-Qur’an. Tanpa melihat ke pemaknaan esoterik, maka mustahil melihat rahasia agung kitab suci ini. Al-Lusi mendasarkan pandangannya, misalnya, pada riwayat, “setiap ayat mempunyai enampuluh ribu pemaknaan.”[17] Contoh yang sama juga bisa kita lihat dari pernyataan al-Razi di Mafâtih al-Ghayb—penafsir al-Qur’an yang bisa menafsirkan surat al-Fatihah sampai tiga ratus halaman. Ia mengatakan di awal kitabnya,

“saya sudah mengatakan dalam beberapa kesempatan, bahwa dari surat ini mampu disimpulkan sepuluh ribu permasalahan. Akan tetapi orang-orang yang bodoh tidak mempercayainya. Dan mereka mengomentari surat al-Qur’an ini dalam buku-bukunya dengan komentar kosong tanpa arti, dan kalimat yang tidak bisa memberikan substansi. Ketika aku menganggit kitab ini, aku mengajukan kata pengantar ini sebagai pengingat bahwa apa yang sudah aku sampaikan sesuatu yang bisa dan dekat kemungkinan terjadi."

Dengan demikian, argumen takwil, disamping mempergunakan riwayat-riwayat yang datang, sebenarnya erat pula kaitannya dengan argumen interpretasi jamak terhadap al-Qur’an: bahwa satu ayat al-Qur’an maknanya tidak tunggal, dan bisa bermacam dengan pelbagai sudut pandang. Berbeda di tangan para teolog, takwil acapkali dipergunakan untuk mentakwilkan ayat-ayat yang secara rasional tidak mungkin dimaknai secara literal. Pemaknaan rasional mempergunakan takwil untuk menghindari inklinasi penyerupaan Tuhan dengan manusia. Jika bagi sebagian teolog porsi takwil tidak begitu besar, di tangan Muktazilah, takwil terhadap ayat sangat berlebihan, sehingga memunculkan bermacam resistensi yang cukup tajam dari sarjana-sarjana Asy’ariyyah. Permisalan yang paling kentara, sebagaimana disebutkan di muka, adalah penafsiran Zamakhsyari, penafsir otoritatif Muktazilah yang memaknai “kalam” (berbicara) dengan “al-kalmu (luka). Yang demikian karena Muktazilah hendak menafikan sifat-sifat yang tak berawal (qadîm) Allah—atau Shifat al-Ma’âni. Sebab, prinsip fundamental dalam teologi Muktazilah dikatakan, segala yang tak berawal tak mungkin mempunyai keserupaan yang tak berawal. [18]

Oleh karena itu, sebenarnya justifikasi takwil bisa dipergunakan untuk legitimasi pemahaman ayat yang multi-interpretatif. Para ulama memberikan batasan-batasan pada takwil yang bisa diterima dan ditolak. Di antaranya, takwil yang bisa diterima harus memperhatikan aspek lafadz melalui kemungkinan-kemungkinan makna lain dengan meneliti struktur kalimat, kosakata, redaksi secara umum, relasi antara satu ayat dan lainnya (munasâbat al-ayât), dan lain sebagainya. Sebenarnya bisa dibahasakan juga, bahwa penerimaan takwil dengan catatan jika masih berada dalam koridor “tafsir”—sebab pensyaratan takwil yang diterima tak jauh berbeda dengan tafsir. Oleh karena itu, Abu Ashi menyebut, setiap bentuk takwil pasti termasuk tafsir, tetapi belum tentu semua tafsir adalah takwil, karena takwil dimaksudkan untuk menjelaskan suatu hal dengan kontemplasi dan perenungan secara mendalam.[19] Bagi penulis, jelas ketetapan ini bisa ditarik dalam batas interaksi antar umat Islam untuk saling menghargai penafsiran masing-masing sekte terhadap al-Qur’an.

Penutup

Ini hanyalah usaha kecil yang tidak komprehensif untuk sekedar menuliskan babakan sejarah yang cukup panjang tentang tafsir dan takwil. Sebetulnya ada yang absen dari tulisan kali ini: muncul madzhab-madzhab baru dalam tafsir di era modern yang belum penulis sebutkan di sini. Pada praktiknya, sebuah pembacaan terhadap terhadap “teks” akan selalu memunculkan pandangan dari pelbagai sudut pandang. Menurut Imam ‘Ali, “al-Qur’an hammâl awjah; kâin mayyit, wa innamâ yuntiquhu al-rijâl”. Dan hal itu pula yang mengantarkan merebaknya varian metode pembacaan, baik pada masa klasik ataupun kontemporer. Semoga tulisan ini bermanfaat.[]


Catatan Kaki
[1] Studi Orientalis terhadap al-Qur’an ditujukan pada dua aspek penting: pertama, “lingkungan sektarian”, atau lingkungan yang turut membentuk al-Qur’an. Kajian terhadap aspek ini berkesimpulan, banyak doktrin, konsep hukum dalam Islam yang sebetulnya tidak otentik; kedua, proses kodifikasi al-Qur’an, untuk melacak sejauh mana sumber-sumber primernya dapat dipercaya. Sedangkan tipologi Orientalis dalam mengkaji al-Qur’an juga terpetakan menjadi dua: pertama, rasionalis-analitis, di mana mengkaji al-Qur’an dengan kacamata Barat, baik melalui sudut pandang Yahudi-Kristen maupun humanis-sekular. Di antaranya, Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, William Montgomery Watt, Kenneth Cragg, Patricia Crone, dll; kedua, kaum mistis-romantis. Di antaranya Martin Lings, Henry Corbin, Titus Burckhardt, Toshihiko Izutsu, dll. Kajian kedua ini umumnya lebih disukai oleh orang Islam. Lihat Ulil Abshar Abdalla, Luthfi Assyaukani, Abd. Moqsith Ghazali dalam Metodologi Studi al-Qur’an, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009, hlm. 31-35

[2] Abdullah Darraz, al-Naba' al-'Adzîm, Kairo: Dar al-Urubah, 1960, hlm. 111

[3] Ignaz Goldziher, Madzâhib al-Tafsîr al-Islâmî, Kairo: Maktabah al-Khonji, peny. Dr. ‘Abdul Halim al-Najjar, 1955, hlm. 15

[4] Lazimnya, penafsiran Nabi terhadap suatu ayat direkam dalam kitab-kitab hadis dengan judul Kitâb al-Tafsîr yang disusun mengikuti susunan mushaf Utsmani. Bisa dilihat misalnya pada Shahih Bukhari/Muslim, serta Sunan Turmudzi. Satu contoh yang masyhur saat nabi menafsirkan kata al-dzulm (6:82) dengan syirik (31:13).

[5] Di antaranya adalah 'Umar bin al-Khattab, Ali bin Abi Thalib, Ibnu 'Abbas, Ibnu Mas'ud, dan selainnya. Pada masa ini, penafsiran shahabat terhadap al-Qur'an banyak menjadikan syair pra-Islam (jahiliyyah) sebagai rujukan. Satu contoh, Ibnu Abbas saat menterjemahkan kata haraj dalam 22:27, beliau berkata: “Jika terlihat kata di dalam al-Qur’an yang terlihat asing, maka jawabnya di dalam syair…”. Lihat Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ây al-Qur’an, peny. Mahmud Muhammad Syakir dan Ahmad Muhammad Syakir, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1966. surat 22:78

[6] Muhammad Huseyn al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Kairo: Maktabah Wahbah, juz I, cet V, 2000, hlm. 30

[7] Para sarjana berbeda pendapat mengenai nominal ayat yang ditafsirkan oleh Nabi: menurut Ibnu Taymiah, Nabi menjelaskan semua makna dan lafadz al-Qur’an. Akan tetapi sebagian yang lain memandang, bahwa Nabi tidak menjelaskan seluruh ayat al-Qur’an, hanya sedikit yang dijelaskan oleh Nabi. Pendapat ini dianut oleh Imam Jalal al-Din al-Suyuthi, dan al-Khuwwi. Tetapi Huseyn al-Dzahabi memandang dua kelompok ini terlalu berlebihan: yang tepat adalah Nabi menafsirkan banyak ayat, walaupun tidak semua ditafsirkan oleh Nabi.

[8] Ada perbedaan signifikan antara tafsir pada masa shahabat dan tabi’in. Pada masa shahabat, tafsir lebih merupakan penjelasan terhadap ayat-ayat yang belum jelas. Itupun tidak seluruhnya, lebih bersifat global dan banyak merujuk pada pendapat Ahl al-Kitab. Sedang pada masa tabi’in, pembahasan menjadi lebih detail, ditandai dengan banyaknya ayat-ayat yang ditafsirkan.

[9] Judeo-Kristian (al-Isrâiliyyât) sendiri merupakan istilah yang merujuk pada umat Yahudi dan Nashrani. Bani Israil merupakan keturunan Ya’qub, sampai pada umat Musa, kemudian ‘Isa. Sedang Nashrani sendiri adalah umat Nabi ‘Isa. Masuknya riwayat Nashrani dalam peradaban Islam sejatinya karena pergumulan Yahudi dan Nashrani yang sudah terjadi sebelum datangnya Islam. Di Madinah, kala itu, terdapat perkampungan murni Yahudi. Sebagian bertempat di Madinah, seperti Bani Qainuqa’, Bani Nadlir, Bani Quraidlah, dan sebagian lagi bertempat agak jauh dari Madinah, seperti Yahudi Khaibar, dan Wadi Qura’. Mereka, kaum Yahudi, membawa tradisi pendahulu; mereka adalah Yahudi dari segi agama, kebiasaan, ataupun etika. Terdapat perdebatan waktu pasti kedatangan Yahudi ke Arab; sebagian berpendapat, Yahudi hijrah ke Arab pada masa Nabi Dawud, sebagian lagi berasumsi pada masa Nabi Yehezkal (Zulkifli). Namun tidak ada argumen valid yang menopang kedua pandangan tersebut, oleh karenanya tidak dipakai oleh para sejarawan. Pendapat yang menjadi konsensus sejarawan, kedatangan Yahudi ke tanah Arab adalah antara abad ke II dan ke III M. Yahudi pra Islam mempunyai tempat untuk belajar berdiskusi yang dinamakan “Midras”. Terdapat riwayat valid yang menyatakan bahwa Nabi dan Abu Bakr serta Umar pernah mengunjungi Midras untuk mengajak kaum Yahudi memeluk Islam. Dalam al-Qur’an pun banyak ayat yang mengutip perdebatan Yahudi dan Umat Islam. Sampai kemudian beberapa pemuka Ahli Kitab masuk Islam, semisal Ka’b al-Ahbar, ‘Abdullah Ibnu Salam, serta Wahb bin Manbah. Interaksi umat Islam dengan kaum Yahudi yang terejawantahkan dalam pertanyaan seputar cerita dalam al-Qur’an secara detail; nama orang, tempat, dan kronologi cerita, merupakan embiro riwayat Judeo-Kristiani dalam tafsir al-Qur’an. Faktor dominan pengadopsian cerita-cerita Ahli Kitab yang diterapkan dalam al-Qur’an karena al-Qur’an pada hakikatnya diturunkan sebagai “pembenar”, sehingga ada kesamaan cerita dengan kitab-kitab sebelumnya. Yang demikian karena cerita di dalam al-Qur’an bersifat umum. Sebagai misal, cerita tentang Nabi Adam, seperti disebutkan dalam al-Qur’an, pun dicantumkan dalam Taurat. Perbedaannya, cerita tentang Nabi Adam dalam al-Qur’an bersifat global; tidak mencantumkan nama tumbuhan yang dimakan oleh Adam, nama sorga, perincian dialog Tuhan dengan Adam, tempat diturunkannya Adam dari sorga, dll. Namun semuanya ini dijelaskan secara spesifik dalam Taurat. Dapat dilacak pada Tafsir Thabari dan Tafsir Muqatil bin Sulaiman ketika menjelaskan peristiwa ini. Thabari dan Muqatil terkadang meriwayatkan dari Wahb bin Manbah, terkadang pula dengan mata rantai: dari Israil dari Asbath, dari al-Sadi. Bahkan riwayat Judeo-Kristiani tak hanya menghiasi buku tafsir klasik, namun merambah pula ke buku sejarah, seperti perbincangan sejarah Bani Israil dan para Nabinya (târîkh banî isrâîl wa anbiyâ’ihim), sebagaimana dituliskan oleh Ibnu Jarir al-Thabari dan Ibnu Ishaq dalam Târîkhnya, serta Ibnu Qutaibah dalam al-Ma’ârif. Lihat Abu Syuhbah, al-Isrâiliyyât wa al-Maudlû’ât fî Kutub al-Tafsîr, Kairo: Maktabah al-Sunah, cet. IV, 1408 H, hlm. 12. Untuk lebih mengetahui efek dari keterpengaruhan ini, bisa dilihat di Musthafa Bouhindi, al-Ta’tsîr al-Masîhî fî Tafsîr al-Qur’an, Beirut: Dar al-Thali’ah, cet. I, 2004

[10] Dr. Rumzi Na’na’ah, al-Isrâ’iliyyât wa Atsaruhâ fî Kutub al-Tafsîr, Beirut: Dar al-Dliya’, cet. I, 1970, hlm. 19-20

[11] Jamal al-Banna, al-Tafsîr baina al-Qudâmâ wa al-Muhditsîn, Kairo: Dar al-Fikr al-Islami, tt, hlm. 58

[12] Ibid., hlm. 64-65

[13] Ibid., hlm. 71

[14]Terdapat fakta menarik seputar buku Ibnu ‘Abbas ini, tutur Nashr Hamid Abu Zaid, untuk melegitimasi “sikap hermeneutis”nya. Asumsi bahwa tafsir Ibnu ‘Abbas ini hanya berisi riwayat transmisional tidak sepenuhnya tepat. Karena Ibnu Abbas sendiri dalam tafsirnya sepakat dengan pentakwilan Khawarij yang kontradiktif dengan riwayat-riwayat yang terdapat dalam buku tafsir. Karena memang, faktanya, diferensiasi terminologi tafsir dan takwil baru muncul pada kurun belakangan. Bahkan Ibnu Jarir al-Thabari, dalam tafsirnya Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl al-Qur’an, tidak membedakan antara terminologi tafsir dan takwil. Nashr Hamid Abu Zaid, Falsafah al-Ta’wîl; Dirâsah fî Ta’wîl al-Qur’ân ‘indâ Muhyiddîn Ibn ‘Arabî, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, cet. VI, 2007, hlm. 12-13

[15] Lihat Jalal al-Din Suyuthi, al-Itqân fî 'Ulûm al-Qur'an, Kairo: Dar al-Hadis, peny. Ahmad bin Ali, juz II, 2004, hlm. 36

[16] Lihat Al-Raghib al-Ishfahani, Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, Kairo: Mushthafa el-Babi al-Halabi, 1961, hlm. 31.

[17] Lihat Abu al-Fadl Syihab al-Din Mahmud al-Lusy, Rûh al-Ma'ânî fî Tafsîr al-Qur'an al-'Adzîm wa al-Sab' al-Matsânî, peny. Sayyid Muhammad Sayyid dan Ibrahim ‘Imran, Kairo: Dar al-Hadis, juz 1, 2005, hlm. 28-29

[18] Muhammad bin Muhammad al-Amir, Hâsyiah al-Amîr ala Syarh Abd al-Salâm bin Ibrâhîm al-Mâlikî li Jawharat al-Tawhîd, Mesir: Musthafa el-Babi el-Halabi, 1948, hlm. 26-27

[19] Muhammad Salim Abu al-Ashi, Maqâlatâni fî al-Ta’wîl: Ma‘âlim fî al-Manhaj wa Rashd li al-Inhirâf, Kairo: Dar al-Bashair, cet. I, 2003, hlm. 13
Selengkapnya...

Thursday, 8 March 2012

Penolakan FPI, Toleransi Dan Relevansi Kafir Harbi

Oleh Ahmad Hadidul Fahmi, Lc

Penolakan masyarakat Dayak terhadap FPI yang hendak membuka cabang di Kalimantan Tengah adalah sikap tegas yang patut diapresiasi. Bahwa Indonesia menjamin kebebasan warganya untuk berorganisasi dan membolehkan setiap organisasi untuk membuat cabang, memang betul—tentunya dengan catatan, selama aktivitas sebuah organisasi tidak mengarah pada aksi anarkis. Faktanya jika melihat aksi-aksi anarkis atau kekerasan atas nama agama yang kerap terjadi di Tanah Air, nama FPI selalu ada di balik itu semua.

Penolakan tersebut membuahkan respon balik dari ketua bidang Amar Makruf Nahi Munkar DPP FPI, Munarman, bahwa aksi penghadangan terhadap kelompok Rizieq Syihab yang bermaksud dakwah, pelakunya bisa dikategorikan kafir harbi—non Islam yang bisa diperangi, halal darahnya. Entah atas dasar apa penghukuman tersebut, yang jelas kafir harbi sudah kehilangan relevansi sejak lama.

Organisasi Intoleran
Dalam perbincangan kerukunan antar umat beragama, Mohammad Abed al-Jabiri menyatakan bahwa toleransi mempunyai cakupan ke “dalam” (dalam konteks sepaham) dan ke “luar” (konteks yang tak sepaham) bersamaan. Cakupan yang sifatnya internal wujud dari sikap penerimaan terhadap segala aktivitas keagamaan kelompok yang berbeda interpretasi keagamaannya. Sedang jika ke “luar”, merupakan perwujudan dari penerimaan segala aktivitas pemeluk agama lain dengan perbedaan prinsip-prinsip fundamentalnya. Dengan kata lain, toleransi merupakan penerimaan “the other” dalam batas pengertian toleran itu sendiri.

Oleh sebab itu, toleransi meniscayakan “pemberangusan hegemoni” sampai pada batas yang paling bisa dilakukan oleh madzhab mayoritas dalam internal agama mereka (dalam konteks yang sepaham), atau toleransi agama mayoritas terhadap agama minoritas dalam sebuah kelompok masyarakat (konteks tak sepaham). Dalam tataran aplikatif, Jabiri mencoba membawakan sampel Ibnu Rusyd sebagai representasi tokoh toleran ketika memandag keanekaragaman pendapat dalam bingkai ‘keadilan’: dua kelompok harus sama-sama bisa menerima eksistensi kelompok lain dalam batas yang sama. Karena menurut Jabiri, toleransi bisa benar-benar maksimal dalam batas interaksi yang didasari ‘keadilan’, bukan suara mayoritas yang memberikan “rambu-rambu” tertentu pada kelompok lainnya. Atau hanya sebatas toleransi dalam batas-batas yang diyakini kewajarannya oleh kelompok mayoritas. Dalam tahap ini, al-Jabiri membawa pemaknaan toleransi dalam prinsip filosofis.

Lalu apakah penolakan terhadap FPI oleh masyarakat Dayak merupakan sikap yang intoleran?

Dasar keadilan—dalam toleransi—bukan lantas menerima eksistensi “the other” secara mutlak. Jabiri memberikan garis pembatas mengenai aplikasi toleransi itu sendiri: bahwa ia akan selalu berlawanan dengan “keberlebihan dalam beragama” (al-ghuluww fi al-din). Sebab historisitas toleransi merupakan respon dari keberlebihan dalam agama. Pada akhirnya keberlebihan dalam agama ini menghasilkan sikap yang intoleran: kekerasan. Walaupun al-Jabiri juga memberikan diferensiasi ekstremis (muthatarrif) dan fundamentalis (ushûlî). Keduanya berbeda dari cara mensosialisasikan keyakinan terhadap yang tak sepaham; ekstremis kerap mempergunakan kekerasan agar keyakinannya juga dianut oleh yang tak sepaham. Banyak kelompok disebut fundamentalis akan tetapi mereka bukan ekstremis.

Track-record FPI semenjak tahun 12 tahun terakhir, terutama saat menjelang Bulan Ramadhan, mengukuhkan tesis bahwa organisasi garis keras ini jelas akan menimbulkan kekacauan di belahan bumi Indonesia lainnya. FPI dengan sendirinya adalah ekstremis, atau berusaha memaksakan interpretasi terhadap agama dengan jalur kekerasan. Penolakan terhadap FPI tidak lantas menegasi substansi toleransi, sebab akan ada efek-efek yang tak baik jika FPI sampai “mengukir nama” di Kalimantan Tengah.

Keyakinan yang selama ini dianut oleh kebanyakan, dan bagi penulis kurang tepat, adalah pengakuan eksistensi “yang lain” (the other) merupakan ekses dari pengakuan terhadap lurusnya keyakinan yang bersangkutan. Padahal sejarah berbicara lain. Majusi dianggap sebagai “ahlu dzimmah”—penduduk kafir yang mendapat perlindungan dari orang Islam dengan kriteria tertentu—pada masa Nabi, sedang Zoroaster masuk sebagai “ahlu dzimmah” di masa Abbasiyyah. Akan tetapi perlindungan ini bukan lantas menyepakati keyakinan mereka. Sebab prinsip-prinsip fundamental dalam Islam jelas berbicara sebaliknya. Bahkan dalam al-Durr al-Mukhtar, jika seorang muslim menghilangkan kebebasan non muslim meminum khamr atau makan anjing, maka orang Islam mempunyai tanggung jawab untuk menggantinya. Non muslim juga bebas untuk memproduksi khamr.

Al-Qur’an dan al-Hadis sendiri kerap mengajarkan toleransi, bahkan pada agama lain. Lihatlah ayat yang berisi larangan mencaci agama lain yang sudah terang tidak sesuai dengan prinsip fundamental Islam, “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan” (QS: Al-An’am: 107). Dr. Ali Gomah Mohammad, mufti Mesir, mengatakan, ayat ini berbicara tentang bahaya yang ditimbulkan oleh sebagian umat Islam yang menyangka dirinya sedang melakukan kebaikan, akan tetapi justru menimbulkan efek negatif yang sangat besar bagi diri dan agamanya. Ia mencontohkan bagaimana para shahabat Nabi menguasai Mesir, tetapi tanpa menghancurkan bangunan-bangunan bersejarah warisan Mesir Kuno, seperti patung Sphinx, misalnya.

Meninjau Ulang Istilah “Kafir Harbi”
Fahmi Huwaidi dalam bukunya Muwathinûn lâ Dzimmiyyûn mengatakan, pemberian kebebasan terhadap non muslim sesungguhnya levelnya setingkat dengan pentingnya umat Islam berakidah secara baik. Menurutnya, interaksi toleran tersebut harus lebih dari sekedar berbuat baik atau etika terhadap minoritas, akan tetapi naik pada level ideologi: bahwa interaksi yang demikian memang tertuang secara eksplisit di dalam al-Qur’an. Jika sampai berbuat aniaya terhadap minoritas, maka sama saja melakukan aniaya terhadap al-Qur’an.

Yang paling menarik dari tesis Fahmi Huwaidi ini, ia berusaha merentet historisitas “kafir dzimmi”, pembagian negara yang dikuasai oleh umat Islam (Dar al-Islam) dan negara yang dikuasai non muslim (Dar al-Harb) bersamaan—di mana sampai pada kesimpulan, bahwa “kafir dzimmi” untuk sekarang telah hilang diganti warga negara yang disatukan oleh nasionalisme (muwathin). Tentunya ini akan berakibat hilangnya istilah yang menyertai kafir dzimmi: Dar al-Islam, Dar al-Kufr atau Kafir Harbi. Baginya, awal kemunculan Islam yang mendapat resistensi dari internal Jazirah Arab maupun luar Arab: siksaan Musyrik Mekah terhadap umat Islam, konspirasi Yahudi Khaibar, Bani Nadlir dan Bani Qaynuqa’, dan selainnya—memberikan pengaruh besar terhadap sarjana fikih dalam merumuskan interaksi dengan “the other”. Terminologi Dar al-Islam sendiri muncul semenjak Nabi berhijrah ke Madinah. Dan selain Madinah, seperti disebutkan oleh Ibnu Hazm, dihitung sebagai negara kafir yang bisa diperangi. Kemudian terminologi “Dar al-Harb” dan “Dar al-Islam” menghiasi buku-buku fikih, sejarah, sampai muncul kesan, parameter yang dipergunakan untuk berinteraksi dengan “the other” adalah berdasar keyakinan mereka: Islam atau bukan Islam.

Akan tetapi, neraca “keyakinan” ini bukan satu-satunya parameter yang harus diimani. Beberapa pemuka Hanafiyyah dan Zaydiyyah mempergunakan parameter “aman” untuk sebuah negara disebut “Dar al-Islam” atau bukan: jika aman untuk orang Islam, maka bisa disebut Dar al-Islam, jika tidak aman, maka Dar al-Harb. Beberapa sarjanapun merumuskan ijtihad mutakhir: jika sebuah negara bisa dihuni oleh orang Islam dan mayoritas bisa melakukan aktivitas keagamaan mereka—walaupun nominal umat Islam di negara tersebut termasuk minoritas, status negara tersebut tetap dikatakan “Dar al-Islam”. Di antara yang berpendapat demikian adalah Abdul Wahhab Khalaf, sarjana fikih kontemporer Mesir, kemudian Dr. Subhi Mahmashani. Pandangan ini ditopang dari banyak data sejarah. Di antaranya perjanjian Nabi dengan Yahudi Bani ‘Auf: bahwa Yahudi dan umat Islam merupakan umat yang satu. Pun “Dar al-Islam” setelah masa Nabi mengalami pergeseran istilah: di mana negara-negara jajahan Islam mulai diberlakukan syariat. Atas dasar ini, Imam al-Sarkhasi, sarjana yang dijuluki “bapak Undang-Undang” mengatakan, “negara Islam adalah negara yang menerapkan syariat Islam. Tandanya, di tempat tersebut merupakan tempat yang aman bagi umat Islam.” Ini artinya, ijtihad fikih yang muncul belakangan sangat didominasi oleh konteks masa itu.

Yang kemudian menjadi catatan, bahwa klasifikasi “Dar al-Islam” atau “Dar al-Harb” merupakan produk ijtihad yang tidak didasarkan pada teks yang jelas, akan tetapi didasarkan “realitas”. Dan eksistensi Dar al-Islam yang dibicarakan oleh para sarjana fikih sekarang hanya di buku-buku sejarah. Untuk mengukuhkan tesisnya itu, Fahmi Huwaidi berusaha meruntut redaksi “dzimmi” dalam al-Qur’an dan al-Hadis. Di dalam al-Qur’an, “dzimmah” hanya disebutkan dua kali. Adapun untuk menyebut “the other”, lazimnya dengan redaksi “Ahl al-Kitab” dan “Musyrikin”. Sedang di hadis, redaksi “dzimmi” merupakan redaksi yang dipergunakan oleh Nabi sebatas pada interaksi dengan “the other” yang sudah ada akarnya semenjak masa Jahiliyyah. Dengan kata lain, “dzimmi” sebatas penyebutan “sifat—yang diadopsi dari interaksi Arab pra Islam dengan “the other”, bukan istilah yang lazim dipergunakan oleh sarjana fikih dalam kitab-kitab mereka.

Lalu, apakah “ahli dzimmah” bisa dianggap sebagai warga negara?

Menurut Fahmi Huwaidi, non muslim yang berdomisili di suatu negara yang mayoritas dihuni oleh umat Islam merupakan warga negara resmi, bukan berstatus kelompok minoritas yang “numpang” di daerah orang Islam. Teks sejarah memang berbicara demikian: pernyataan Nabi dan empat khalifah setelahnya. Redaksi “ahlu dzimmah” sendiri dalam Undang-Undang dinasti Utsmani tahun 1876 dihapus, sekaligus menegaskan persamaan hak di antara warga Negara. Jika kemudian ulama Syafi’iyyah memandang Ahlu Dzimmah harus membayar “jizyah” (upeti) sebagai “ganti” untuk tinggal di Negara Islam, utamanya adalah al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Shulthaniyyah, maka hal itu harus dipahami sebagai ijtihad yang disesuaikan dengan konteks. Nyatanya, upeti ini bukan hukum paten, sebab, ia bisa gugur dengan beberapa kriteria: masuk Islam, meninggal, ada alasan rasional, negara tidak bisa melindungi eksistensi “kafir dzimmi”, dan keikusertaan kafir dzimmi untuk melindungi negara Islam. Tesis ini dikukuhkan dengan pandangan Syibli al-Nu’mani dan Rasyid Ridla: upeti sudah ada semenjak pra Islam, dan berasal dari Persia. Al-Thabari dalam Tarikhnya juga berpandangan serupa.

Sedang untuk konteks sekarang, di mana sudah tidak ada yang disebut negara Islam—dalam pengertian mayoritas pakar fikih klasik, menurut Dr. Isma’il al-Faruqi, pakar perbandingan agama Palestina, Undang-Undang sebuah negaralah yang menjadi rujukan bagi umat Islam ataupun non Islam. Artinya, penyematan predikat kafir harbi pada non muslim apabila terjadi konflik antar agama kehilangan konteks, seakan umat Islam masih hidup berpuluh abad silam.

Lantas atas dasar apa kemudian orang Islam boleh untuk berperang dengan orang non muslim, bahkan membunuhnya? Pertanyaan ini menimbulkan perbedaan di kalangan sarjana fikih. Ulama Syafi'iyyah memandang, non muslim wajib diperangi sampai memeluk Islam. Akan tetapi mayoritas pakar fikih, termasuk pakar fikih Maliki, Hanafi dan Hanbali, non muslim bisa diperangi dan dibunuh jika mereka mulai memerangi orang Islam.

Dalam kasus penyematan kafir harbi oleh Munarman, siapa yang diperangi dan siapa yang memerangi? Jawabannya sudah bisa ditebak. FPI tidak mewakili Islam. Penolakan terhadap FPI juga tidak bisa dikategorikan penolakan terhadap umat Islam—apalagi dianggap memerangi umat Islam. Penolakan FPI disebabkan karena aksi-aksi anarkis mereka. Bukan yang lain. Meminjam redaksi Gus Shalah, FPI seharusnya introspeksi.
Selengkapnya...

 

© free template by Blogspot tutorial