Al-hamd li Wâhib al-‘Aql wa Mubdi’ih, wa Mushawwir al-Kull wa Mukhtari’ih, Kafâ Ihsânuh al-Qadîm wa Ifdlâluh, wa al-Shalah ‘alâ Sayyid al-Anbiya’ wa Ashabih
--Abi Nashr al-Farabi—
Memahami Tuhan, merupakan keniscayaan yang bermula dari argumen eksistensi Tuhan. Karena kedua hal tersebut merupakan “fase”, dimana tak akan mampu memahami esensi Tuhan, sebelum meyakini bahwa Tuhan ada. Argumen pembuktian eksistensi Tuhan sendiri terklasifikasi menjadi tiga; kosmologi (al-dalîl al-kawnî), ontologi (al-dalîl al-wujûdî), dan teleologi (al-dalîl al-thabî’i al-Lâhûtî). Ada argumen keempat yang tidak dimasukkan pada daftar argumen, karena ia berdasar pada kesepakatan universal dan tidak didasarkan pernyataan logis; bahwa Tuhan ada, namun tanpa disokong oleh argumen lain. Tak pelak, terdapat perdebatan yang cukup akut bahkan dalam setiap macam argumen tersebut. Saling kritik dan menunjukkan kelemahan. Lebih jauh, Hume menyatakan kegagalan tiga argumen tersebut, yang pada akhirnya mengantarkan pada skeptisisme. Penulis di sini bukan ingin mengetengahkan perbedaan paradigma terhadap pembuktian eksistensi Tuhan. Hanya ingin berangkat dari sebuah pijakan, Tuhan itu ada. Aksioma yang tentunya kita sepakati bersama.
Merupakan hal yang naluriah, seperti ungkap Ramadhan al-Bhouti, manusia pasti berupaya untuk mengetahui hakekat Tuhan. Mengimani zat yang “Ada” namun tak diketahui (majhûl), bagi sebagian orang tentu akan menjadi beban. Apalagi untuk iman yang menuntut totalitas. “Sebagian orang” yang merasa terbebani akhirnya memilih menggunakan akalnya untuk menyelami esensi Tuhan. Ketika menelusuri beberapa buku teologi, penulis hampir tidak menemukan penjelasan hakekat Allah. Allah hanya didefinisikan sebagai zat tunggal, transenden (al-Muta’âlî), serta yang menciptakan segala hal. Ia juga yang diistilahkan --seperti bahasa Aristoteles-- sebagai al-Muharrik al-Awwal (penggerak pertama). Atau sebuah definisi komunal, Allah adalah sesembahan semua manusia (ma’bûd al-jamâ’ah). Descartes mengatakan, Allah adalah wujud sempurna (al-Wujûd al-Kâmil). Namun semuanya ini berlaku tatkala dibenturkan pada segala hal selain Allah yang berfungsi sebagai pembanding. Ketika manusia berawal (hâdis), maka Allah tak berawal (qadîm). Atau saat Alam raya tersusun dari jism(corpuscle), maka Allah tak mungkin tersusun dari jism. Dan seterusnya.
Tuhan yang “majhûl” berkonsekuensi memunculkan perbedaan pemahaman terhadap hakekat Tuhan. Tuhan, menurut Mujassimah, adalah Tuhan yang berupa jism (corpuscle). Perbuatan Tuhan diandaikan dengan fenomena yang terjadi pada manusia. Satu bukti konkret dipaparkan oleh al-Asy’ari dalam Maqâlât al-Islâmiyyin tatkala menyebut Hasyim bin Salim yang mengatakan Tuhan serupa dengan bentuk manusia, namun tak mempunyai darah dan daging. Perspektif semacam ini pertama kali muncul di tangan Syi’ah Rafidlah, kemudian diteruskan –menurut sebagian kalangan Asy’ariyah—oleh Ibnu Taymiah, dan yang kemudian menjelma menjadi Wahabiyah. Tuhan menurut Mu’tazilah adalah Tuhan yang tidak mempunyai atribut (al-sifhât) tanpa meneruskan untuk menyelami esensiNya. Pandangan ini pertama kali muncul dari mulut seorang Jahm bin Shafwan. Oleh karena itu Mu’tazilah kadang disebut dengan nama Jahmiyyah. Sedang Tuhan menurut Asy’ariyah adalah Tuhan yang mempunyai atribut dengan bermacam klasifikasinya, yang jika ditelusuri alur logikanya sangat mungkin sampai pada penyerupaan (tasybîh). Karena terlalu banyak berbicara tentang sifat dan hampir ke arah tasybîh, Asy’ariyah –oleh beberapa filsuf—dikatakan sebagai Shifâtiyyah. Jika kita lacak pada literatur Mu’tazilah ataupun Asy’ariyah, keduanya tak menawarkan konsep konkret tentang Tuhan. Namun hal ini dapat dimaklumi, karena latar munculnya kedua sekte tersebut lebih bersifat apologetik.
Fenomena sangat menarik pun terjadi di sini. Tuhan yang dikonsep melalui penalaran, namun selanjutnya disalahkan pula oleh penalaran. Penalaran Mu’tazilah terhadap Tuhan berani memfalsifikasi penalaran Asy’ari; Penalaran Asy’ari terhadap Tuhan berani memfalsifikasi penalaran Mujassimah atau Syi’ah; Lebih jauh, penalaran teologis berani memfalsifikasi penalaran filosofis. Pun sebaliknya. Ironisnya, falsifikasi penalaran terhadap penalaran yang lain kemudian dikemas dengan kata “kafir”. Padahal penalaran merupakan sebentuk konsepsi manusia yang tak berkaitan dengan agama. Jika masing-masing mendaku penalarannya selaras dengan agama sehingga berwenang mengemas falsifikasi penalaran yang lain dengan kata “kafir”, maka penulis pun layak untuk bertanya, apakah Tuhan pernah mendefinisikan diriNya sendiri? Paling jauh, jawaban yang nantinya muncul hanya berkutat pada “indikasi-indikasi” yang tersurat dalam dua teks otoritatif Islam. Padahal, ketika berbicara “indikasi”, baik Mu’tazilah, Mujassimah, Syi’ah, dll, telah merasa memakai “indikasi” tersebut guna menuju ke arah konsepsi yang lebih “jauh”.
Jikalau Tuhan yang “majhûl” dirupakan melalui cara pandang beberapa sekte dalam Islam, maka sejatinya esensi Tuhan ditundukkan oleh nalar tatkala keluar dari indikasi menuju ke arah yang lebih “jauh”. Tuhan yang tak pernah menggambarkan esensiNya sendiri mencoba ditundukkan oleh nalar melalui “indikasi-indikasi” yang multi-interpretatif. Konsekuensinya, esensi Tuhan akan senantiasa berubah disesuaikan dengan varian penalaran manusia. Penalaran yang sampai pada titik tertinggi, untuk sementara waktu mungkin dengan bangga memegang “bendera kemenangan”: layaknya Mu’tazilah dan Asy’ariyah yang “pernah” sampai pada penalaran tertinggi keterpisahan antara zat Tuhan dengan Alam, yang selanjutnya sampai pada titik menolak Tuhan sebagai jism. Namun, penalaran ini sampai pada titik nadir tatkala Ibnu Rusyd muncul dengan mega proyek “dekonstruksi kalam Asy’ari”, yang secara khusus tertuju pada al-Ghazali. Sampai akhirnya muncul Ibnu ‘Arabi yang mencoba “menyelami” Tuhan menggunakan argumen demonstratif-empirik. Kemunculan Ibnu ‘Arabi dalam percaturan polemik tersebut, hemat Hendry Corbin, mencoba menyatukan Ghazalian-sentris dan Rusydian-sentris. Namun lagi-lagi alur pemikiran Ibnu ‘Arabi dan beberapa pandangannya, hanya memahami Tuhan secara ontologis; keberadaan Alam dan manusia sebagai badan “otonom” yang “diperlukan” Tuhan untuk merealisasikan Zat.
Konsekuensi logis dari varian penalaran semacam ini, akan memunculkan Tuhan ala Mu’tazilah, Tuhan ala Asy’ariyyah, atau “versi-versi” yang lain. Fenomena ini boleh jadi akan mengantarkan kita pada satu konklusi penting; Tuhan tak bisa ditembus oleh akal. Maka, tepatlah jika ada sabda Nabi SAW: Tafakkarû fî khalqillah, wa lâ tafakkarû fil-Lah (bolehlah kalian berpikir tentang ciptaan Allah, namun jangan sekali-kali memikirkan tentang (hakekat) Allah). Oleh karena itu, sebenarnya keberagamaan manusia –meminjam istilah Assyaukani-- tidak lebih dari “dalam batas iman saja”. Namun boleh jadi hendak mengantarkan kita pada konklusi “lain” yang tak patut untuk disebutkan pada tulisan ini. Wallâh a’lam.
No comments:
Post a Comment