Thursday, 9 December 2010

Membumikan Sekularisme Mengubur Fundamentalisme

Oleh Ahmad Hadidul Fahmi

Mungkin Hasan Hanafi benar, saat modernisasi begitu pesatnya merasuki seluruh relung kehidupan masyarakat, maka pada saat itulah mereka berusaha mencari 'identitas' keagamaannya. Dan oleh karenanya, perjuangan merebut identitas dianggap sebuah kewajiban. Namun dalam pencarian identitas keagamaan tersebut, menurut al-Jabiri, ada perbedaan mencolok antara gerakan di masa lalu, dan di masa kontemporer. Gerakan ekstremis masa lampau saat melawan modernisme pada tataran akidah, sedang masa kontemporer pada tataran syariah. Pada tahap ini, primordialisme pun kiat menguat. Namun, rasa kebersamaan yang mencerminkan kebersamaan dan solidaritas sebagai pemeluk suatu agama pada akhrinya bergeser ke dalam bentuk radikalisme dan militanisme saat berhadapan dengan kelompok lain.

Implikasinya, kita secara tidak sadar menjumpai gugatan demi gugatan tentang wacana mengembalikan otentisitas (ashâlah) Islam yang semakin gencar. Bagi kalangan islam progresif, ide-ide mereka tentunya sangat kolot, konservatif. Mereka menganggap, otentisitas Islam hilang manakala dicampuri oleh unsur dari luar. Gugatan ini muncul tak hanya berbentuk ide dan gagasan, namun telah termanifestasikan dalam sebuah gerakan; ormas-ormas islam: ikhwân al-muslîmîn, Hizbut Tahrir, dan sebagainya. Dalam artian, gugatan-gugatan mereka telah masuk pada level praksis. Namun dibalik itu semua, apakah yang dimaksud dengan otentik dalam perbincangan ini? apakah yang dimaksud otentik harus ke-Arab-Araban? Menerima Islam pada masa Nabi sebagai ajaran yang transenden, stagnan, baku dan kekal tanpa mau melirik Islam dengan pehaman yang lebih substansial? Apakah islam otentik mesti "garang" terhadap semua yang bukan dari Islam; tradisi lokal dan modernitas?

Dari Fundamentalis Sampai Fikih Siyâsah ; Sebuah Telaah Kritis
Membincang otentifikasi, maka merupakan keharusan menilik konsep politik Abu al-A'la al-Maududi. Karena dari konsep ini terlahir istilah "politik identitas". Konsep yang oleh para pengikutnya dianggap satu-satunya kebenaran. Konsep tersebut –menurut mereka– paling representatif mencerminkan otentisitas Islam. Maka muncul trademark, konsep tersebut harus diaplikasikan oleh umat Muslim se-dunia secara paripurna. Dari al-Maududi pula terlahir konsep politik agama dan Negara yang tak terpisahkan (integrated). Dengan adagium al-islâm dîn wa dawlah, pemerintah Negara – dalam asumsi mereka – dilaksanakan atas dasar kedaulatan tuhan (divine sovereignity). Karena menurut catatan bingkai sejarah versi kelompok ini, pemisahan agama dari Negara (fashl al-dîn 'an al-dawlah) adalah tindakan yang tidak ditemukan dalam Islam. Pandangan demikian ini --yang oleh Fazl Rahman – diistilahkan revivalis-fundamentalis.

Pada hakikatnya, jika memasuki tataran praksis, terdapat kesulitan memilah antara otoritas agama dan politik. Namun kesulitan pemilahan itu bukan karena keduanya tak terpisahkan (integrated). Otoritas agama lebih cenderung subyektif, dalam arti, adanya seseorang dalam memegang kekuasaan atas nama agama diukur –menurut kacamata orang lain- dari tingkat seberapa jauh orang tersebut menjalankan agamanya. Sedang otoritas politik berangkat dari obyektivitas, karena penilaiannya berdasarkan kualitas dan kemampuan seseorang dalam menjalankan pemerintahan. Dengan demikian, ada perbedaan mencolok antara pemimpin yang berlatar belakang agamis dan politis, kaitannya dengan "jangkauan" mereka terhadap pengikutnya. Inilah yang akan penulis tuliskan dalam beberapa baris ke depan.

Tidak ada pembahasan lebih lanjut jika pemegang tampuk kekuasaan adalah nabi SAW. Hal itu karena selain beliau memang rajul siyâsî, juga pemegang amanat risâlah dari Tuhan. Namun akan berbeda jika khalifah di tangan empat sahabat setelahnya. Sebagai misal, sampai saat ini masih saja terjadi perdebatan panjang mengenai otoritas Abu Bakar sebagai khalifah; saat Abu Bakr memerangi orang yang tidak mau membayar zakat dan gerakan murtad, para sarjana Islam masih tumpang tindih untuk menginterpretasikan sikap Abu Bakr, sebagai khalifah pengganti nabi dalam artian agama? atau sebagai khalifah yang bertendensi politik? Namun pada prakteknya, memahami sikap Abu Bakr diatas masih terlampau sulit, karena Madinah pada masa itu belum bisa dikatakan sebagai institusi negara. Jadi mau tidak mau harus memahami otoritas politik Abu Bakr secara personal.

"Kabur"nya otoritas politik dan agama mencapai puncaknya saat Ali bin Abi Thalib terbunuh; memasuki kekuasaan dinasti Umayah. Gelar-gelar (al-alqâb) penguasa Umayah – semisal khalifatullâh – menunjukkan sangat besarnya otoritas keagamaan yang dimiliki oleh khalifah. Pada masa ini upaya politisasi agama sangat kentara. Semua yang keluar dari lisan penguasa –dengan berlandaskan al-Qur'an dan al-Hadis– hanya bentuk apologi semata. Memasuki kekuasaan dinasti Abbasiyyah, seperti kasus mihnah (inquisisi) Ahmad bin Hanbal, saat khalifah pada masa itu menganut ideologi Mu'tazilah, adalah satu contoh konkret sulitnya memilah otoritas agama dan politik. Praktek kepemimpinan yang bermuara pada satu pemerintahan, kemudian benar-benar hancur setelah pembunuhan al-Mutawakkil oleh para tentara bayaran Turki yang membantunya meraih kekuasaan.

Bagi penggemar Arkoun tentu terperanjat dengan pembacaan sejarah di atas. Karena interpretasi sejarah menurut Arkoun bisa dikatakan lebih radikal; baginya hubungan antara agama dan politik mengalami konversi semenjak berkuasanya dinasti Umayah dan Abbasiyah. Sebab dinasti Umayyah dan Abbasiyah murni terlahir di atas pertempuran tragis. Maka –menurut pembacaan Arkoun-- klaim agama dan politik sebagai entitas yang tak terpisahkan masih dapat diterima sepenuhnya hingga berakhirnya kekuasaan al-khulafâ al-rasyîdîn.

***

Sampai disini kita perlu untuk mengintip sejenak konsep para intelektual Islam dalam menilai corak perkembangan politik yang variatif. Walaupun tak se-radikal konsep al-Maududi, namun fikih siyâsi dijadikan salah satu rujukan untuk melegitimasi tindakan kalangan konsevatif. Hal ini merupakan paradoks-paradoks politik Islam yang tidak membaca Islam dalam pemahaman yang lebih substansial.

Terma politik dalam Islam, tak akan lepas dari tiga pendekatan; filosofis, juristik dan teologis, serta administratif. Pendekatan filosofis dalam politik –menurut Madjid Fakhri dalam A History of Islamic Philoshopy-- tak dapat dipisahkan dengan aliran filsafat Yunani kuno yang telah mengalami Helenisasi dalam bentuk Neo-Platonisme. Anggapan senada juga keluar dari lisan sarjana Islam klasik, bahwa pendekatan filosofis dalam politik merupakan adopsi tulen dari peradaban Yunani semata. Dalam corak ini, kita bisa menjumpai nama al-Farabi dengan arâ' ahl al-madînah al-fadlîlahnya, Ibnu Bajjah dengan tadbîr al-mutawahhid, serta Ibnu Sina dalam fî aqsâm al-ulûm al'aqliyyahnya.

Kitapun bisa menjumpai fikih politik dengan pendekatan adminstratif – seperti jika disusun oleh seorang wazir (perdana menteri) sebagai petunjuk untuk penguasa – jika penulis tidak mempunyai latar belakang teolog atau juris. Hingga kebanyakan buku-buku yang ditulis dengan corak administratif seakan tendensius; isinya kebanyakan berisi pujian dan sanjungan terhadap penguasa. Al-Jawhar al-Nafîs fi Siyâsat al-Raîs yang dianggit oleh Ibnu al-Haddad, serta al-Adâb al-Kabîr buah tangan Ibnu al-Muqaffa' merupakan salah satu buku politik dalam corak ini.

Sedang corak juristik dan teologis merupakan pure poltical. Dikatakan pure political karena – seperti Asumsi 'Abid al-Jabiri – memasukkan politik (al-siyâsah) dalam wilayah netral pengetahuan fiqh yang bernalar bayânî. Dan riset al-Jabiri - dalam takwîn al-'aql al-'arâbî – menunjukkan selama beberapa waktu yang lama, seluruh pengetahuan yang sifatnya bayânî –termasuk fikih– murni ditegakkan diatas sendi-sendi ortodoksi tekstual yang dibangun ulama, bukan diatas ortodoksi penguasa. Al-ahkâm al-shulthaniyyah buah tangan al-Mawardi serta Ghiyyâts al-umamnya al-Haramain cukup mewakili beberapa karya dalam bidang politik melalui pendekatan juristic, dan teologis dengan al-isryâdnya, sebab beliau menyinggung permasalahan al-Imâmah didalamnya.

Sejatinya, pendekatan politik juristic-teologis inilah yang merepresentasikan penyatuan agama dan politik. Walaupun berangkat dari konsep hubungan yang simbiotik (antara agama dan politik) --dalam arti Negara memerlukan agama dan sebaliknya– namun pada tataran praksis, yang ada malah Negara menelikung agama. Ajaran-ajaran agama yang seharusnya mengatur kehidupan bernegara, malah diatur oleh penguasa dan dibatasi ruang geraknya. Agama dieksploitasi sedemikian rupa, sehingga cenderung menuju konsep al-islâm dîn wa dawlah (islam adalah agama dan Negara).

Maka konsep politik al-Maududi (al-islâm dîn wa dawlah) dan konsep politik yang melalui pendekatan juristic-teologis –melalui buah tangan al-Mawardi misalnya-, tidak ditemukan perbedaan yang mencolok. Dalam arti, keduanya –pada akhirnya– sama-sama berjalan pada satu jalur. Sebagaimana keduanya masih menyisakan perbedaan yang signifikan; al-Mawardi melihat jabatan khalifah adalah penerus misi kenabian. Sedang Maududian tetap berpendapat kekuasaan yang absolut ada di tangan tuhan.

Konsep al-Mawardi yang mendengungkan hubungan simbiotik antara agama dan Negara, tidaklah terlahir begitu saja. Lahirnya ide hubungan simbiotik antara agama dan Negara sangat berkait-kelindan dengan corak politik melalui pendekatan administratif; mengambil sample Abdullah Ibnu al-Muqaffa', misalnya. Satu contoh, dalam bukunya al-Adâb al-Saghir, Ibnu al-Muqaffa' menjadikan muhâsabah al-nafs dan riyâdlah bersifat sosio-politis dari yang tadinya disakralkan oleh kalangan sufi. Dengan meminjam "cara pendekatan kaum sufi" tersebut, Ibnu Muqaffa' menggunakannya untuk menjamin stabilitas Negara dengan memanipulasi konsep-konsep agama, sehingga dari sana kalangan elit bisa terkontrol secara otomatis. Begitu pula ia memanipulasi al-'aqîl dzû al-fadl wa al-'ilm (sebutan untuk orang berilmu), dari yang tadinya bentuk ketaatan pada Tuhan, menjadi ketaatan kepada pengusa.

Dus, tidak terlalu berlebihan untuk mengatakan dari awal konsep politik dengan pendekatan juristik, sudah mulai tercium aroma politisasi agama, namun dengan ruak gerak yang berbeda. Anggapan seperti ini muncul, berangkat dari upaya manipulatif yang dilakukan corak konsep politik melalui pendekatan administratif. Dan yang ternyata mengilhami al-Mawardi dalam al-ahkâmnya. Oleh karena itu – menurut al-Jabiri dalam al-'aql al-siyâsî – penulis sekaliber al-Jahiz dalam al-tâj dan al-Tharthusyi – dalam sirâj al-mulûk menjadikan ketaatan penguasa merupakan manifestasi dari ketaatan pada tuhan (thâ'ath al-imâm min thâ'athillâh).


***

Namun dibalik itu semua, ada perbedaan yang signifikan antara tampuk kekuasaan pada masa Nabi dan generasi setelahnya. Hemat Ahmad an-Na'em dalam Islam and Secular State: Negotiating the Future of Syaria, yang juga sejalan dengan gagasan Abdurraziq dalam al-islâm wa ushûl al-hukmnya, kepemimpinan pada masa nabi – hampir – tidak bisa diinterpretasikan sebagai kepemimpinan politik. Sedangkan generasi setelah beliau – pada hakikatnya - lebih tepat untuk dimaknai sebagai kepemimpinan yang bersifat politis; bukan agamis. Oleh karena itu tindakan Abu Bakr dalam menumpas pemberontakan bisa diterima oleh para shahabat dengan memandang Abu Bakr sebagai pemegang otoritas politik. Juga penolakan beberapa shahabat – diantaranya Umar bin al-Khattab - saat Abu Bakr memerangi kelompok yang tidak mau membayar zakat membuktikan otoritas Abu Bakr bersifat politis, bukan agamis. Tentu kondisinya akan berbeda, jika jabatan khalifah saat itu dipegang oleh Umar.

Dan al-Maududi dengan pandangan politiknya, sebagaimana dikatakan oleh Abu al-Hasan al-Nadawi dalam al-Tafsir al-Siyâsî li al-Islâm, terlalu membatasi ajaran Islam terbatas pada hubungan Tuhan dan manusia semata. Jika konsep al-Mawardi sedikit banyak terpengaruh dengan upaya manipulatif Ibnu al-Muqaffa', al-Maududi – menurut penulis – telah jatuh pada kesalahan pemahaman; mengasumsikan kondisi politik pada zaman nabi dan generasi setelahnya sebagai satu kesatuan. Padahal keduanya sangat jelas berbeda. Bisa juga kita ambil perspektif Arkoun jika hendak menelaah secara kritis konsep al-Maududi, yaitu memahami format ideal politik islam sebagai satu-satunya model yang solutif serta otentik, adalah suatu sikap "abai" terhadap nilai-nilai historisitas (al-târikhiyyah). Dan hal itu berimplikasi pada pensakralan pemikiran keagamaan, dan dikukuhkan oleh makin kuatnya cara berpikir yang mengedepankan ortodoksi dan dogmatisme.

Adapun konsep politik yang diambil dari praktek politik nabi dan shahabat (juristik), sangat kentara sekali adanya unsur-unsur politisasi agama didalamnya (walaupun dengan ruang gerak yang berbeda), sebagaimana yang sudah penulis tuliskan di atas. Walaupun corak yang ada bersifat simbiotik, namun konsep-konsep Ibnu al-Muqaffa' juga cukup berperan dalam pembentukan fikih siyâsî model al-Mawardi pada umumnya. Padahal langkah-langkah Ibnu Muqaffa' yang manipulatif sudah tercium pada ide-idenya guna men"sakralkan penguasa" dimata rakyat. Pengaruh Ibnu Muqaffa' pada konsep fikih siyâsî terlihat jelas pada pengharaman kritik terhadap penguasa. Oleh karena itu al-Ghazali dan al-Mawardi menamakan buku mereka nashîhat al-mulûk (nasehat pada raja-raja), padahal didalamnya berisi kritik terhadap penguasa.

Problematika Hubungan Ulama dan Penguasa; sekularisme sebuah solusi
Adalah Sahl bin Salma al-Anshary, salah satu warga Baghdad yang mengalungkan kertas di lehernya menyeru al-amr bi al-ma'rûf wa al-nahy 'an al-munkar. Ia dengan tindakannya tersebut berhasil meraup banyak dukungan dari penjuru kota, tak terkecuali ulama sekaliber Ahmad bin Hanbal. Dalam orasinya, Sahl menyeru untuk kembali ke al-Qur'an dan al-Sunnah guna melawan dan menumbangkan otoritas Negara yang telah gagal menegakkan syariat islam. Dengan demikian, organisasi yang dibangun oleh Sahl mewakili kemunculan spontan sebuah pemerintahan bersifat keagamaan yang militan dan menolak otoritas khalifah secara terbuka. Kejadian ini tepatnya bersamaan dengan tragedi mihnah pada masa al-Makmun; independensi teologis Ahmad bin Hanbal dan pengikutnya.

Tindakan memisahkan diri sekelompok ulama, sebagaimana satu contoh diatas, bukanlah awal kalinya terjadi. Namun, sebelum itu, tidak sedikit ulama yang menilai otoritas politik penguasa sudah tidak bisa dipertanggungjawabkan melalui kacamata agama. Muhammad al-Ghazali dalam al-istibdâd al-siyâsî menuliskan kasus khalifah Abdul Malik bin Marwan yang melamar putri salah satu ahli fikih Madinah (fuqâha' sab'ah), Sa'id bin Musayyab (w.94H), untuk putra mahkotanya. Sa'id menolaknya dan buru-buru ia menikahkan putrinya dengan salah seorang muridnya yang miskin. Penganggit kitâb al-mihan, Abi al-'Arabi, menyebut "salah satu riwayat" penolakan Abu Hanifah untuk menjadi Hakim (al-Qadli ) menyebabkan khalifah Abu Ja'far al-Mansur meletakkan racun dalam minumannya, dan ia (Abu Hanifah) meninggal karena meminum racun tersebut. Abu Yusuf – sahabat karib Abu Hanifah– tidak diterima riwayatnya oleh ulama hadis (muhadditsîn) karena ia pernah menjadi Qâdli. Pada Abad ke 4 H, muncul asumsi dari para ulama bahwa antek penguasa setara dengan orang fasik. Lebih parah lagi, mereka harus segera diminta bertaubat (istitâb). Jika ada antek penguasa yang sudah melepaskan diri dari pemerintahan, kemudian ia kembali ke pemerintahan untuk kedua kali, maka para ulama menyebutnya dengan murtad. Dan seabreg kasus lain yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu di sini.

Jika Muhammad al-Ghazali menangkap fenomena tersebut sebagai al-istibdâd (kelaliman), penulis melihat, apa yang dilakukan oleh para ulama mencerminkan sikap preventif karena kesadaran mereka terhadap misi suci sebuah agama yang akan terkotori jika disatukan dengan institusi pemerintahan. Karena yang akan terjadi selanjutnya adalah upaya politisasi agama, atau melegimatasi tindakan penguasa atas nama agama. Oleh karena itu, sangat diperlukan upaya sekularisasi. Sekularisasi di sini bukan pemisahan agama secara total, namun ia bermakna –seperti yang sering ditulis oleh Nurcholis Majid– menduniawikan hal-hal yang memang bersifat duniawi, dan mengukhrawikan hal-hal yang memang bersifat ukhrawi. Atau memilih mana yang profan, dan mana yang transendental. Dengan begitu, tidak ada lagi upaya atau peluang untuk mempolitisasi isu-isu keagamaan, apalagi memanipulasinya secara tak bertanggung jawab.

Keberanian 'Ali Abdurraziq dalam menelorkan fatwanya yang kontroversial, seakan membuka pintu-pintu baru bagi pemikir Islam yang lain untuk mengeluarkan unek-unek mereka tentang pemisahan negara dan agama. Setelah Abdurraziq mengeluarkan karya monumentalnya, al-islâm wa ushûl al-hukm, tepatnya tahun 1925 M, satu tahun kemudian Thaha Husaen mengeluarkan buku yang bersisi tata cara pembentukan Negara sekular yang bertajuk mustaqbal al-tsaqâfah fî misr. Di waktu Ali Abdurraziq dan Thaha Husein mendapat kecaman keras dari pemerintah, Muhammad Husein Haikal Basya mendukung ide tersebut dengan tulisan-tulisannya di majalah-majalah ternama saat itu. Namun keadaan menjadi berubah, ketika Abdurraziq menarik pendapatnya disebabkan tekanan pemerintah pada saat itu. Setidaknya permasalahan akan lain, jika pemerintah tidak campur tangan dengan ide-ide Abdurraziq. Karena sekarang tulisan-tulisan Abdurraziq seakan sudah tidak bernilai, dengan apologi ia sudah menarik gagasannya kontroversinya.

Di balik itu, jika kita mencermati khazanah turats, gagasan sekularisme (fashl al-dîn 'an al-dawlah) sejatinya sudah bisa dijumpai pada tulisan-tulisan sarjana klasik. Sebut saja Ibnu Rusyd, yang menyinggung inklinasi sekularisme. Namun sayangnya --sebagaimana disebutkan oleh Arkoun dalam al-akhlâq al-siyâsahnya- ajaran tersebut tenggelam dalam sejarah yang didominasi oleh politisasi agama.

No comments:

Post a Comment