Thursday 9 December 2010

Kritik Atas Kritik Sastra Pra Islam

Oleh Ahmad Hadidul Fahmi

Theodor Nôldeke dalam bukunya Min Tarikh wa Naqd al-Syi’r al-Qadîm berujar, bahwa menentukan ‘batas akhir’ (nihâyah) sastra pra-Islam lebih mudah dari menentukan awal kemunculannya (bidâyah). Benarlah apa kata Nôldeke, menelusuri akar genealogis sastra pra-Islam merupakan permasalahan yang memunculkan perdebatan sengit diantara peminat kajian sastra. Ia disebut-sebut tak ditemukan akar kemunculannya. Faktornya pun beragam. Sebut saja, penelusuran terhadap transmisi sastra pra-Islam hanya berujung pada riwayâh syafawiyyah (dari mulut ke mulut), dan tak didasarkan pada kualifikasi yang jelas.

Satu sampel, kodifikasi sastra pra-Islam berbeda sepenuhnya dengan kodifikasi hadis. Untuk mendaku validitas sebuah hadis harus melalui seleksi secara ketat. Berbeda dengan sastra pra-Islam; setelah periwayat hilang satu demi satu, syair-syair tersebut segera dikumpulkan sebanyak-banyaknya, baru kemudian diseleksi (al-jam’ tsumma al-tamhîsh). Padahal, signifikansi syair pra-Islam tak bisa dipandang sebelah mata, khususnya ketika berbicara bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur’an. Sebut saja sya’ir pra-Islam dipergunakan untuk menafsirkan lafadz al-Qur’an yang ambigu. Ia pun dijadikan standar bahasa Arab yang sah dan orisinil (fushâ).

Atas dasar riwayat dari mulut ke mulut tersebut, dan tidak jelasnya kualifikasi terhadap penyampai riwayat, konsekuensinya, nalar kritis yang tidak terikat oleh doktrin lampau akan meragukan eksistensi syair pra-Islam. Nampaknya ‘keraguan’ terhadap eksistensi syair pra-Islam sendiri sudah muncul semenjak abad ke-II H, dan semakin merebak saat babakan sejarah memasuki abad ke III dan IV. Namun baru dimunculkan lagi oleh Thaha Husein dengan fî syi’ir al-jâhilî-nya. Cacatnya transmisi sastra ini pun disinggung oleh Musthafa Shadiq Rafi’i. Walaupun kajian tersebut baru tenar belakangan, namun analisa ini sejatinya sudah dimunculkan oleh sarjana Islam klasik, Muhammad bin Salam al-Jamhi dalam thabaqât al-syu’arâ-nya, walaupun konklusi yang dihasilkan berbeda sepenuhnya. Begitu pula dari Orientalis Jerman, Theodor Noldeke yang bahkan telah 65 tahun mendahului Thaha mengkaji sastra pra-Islam dan menemukan konklusi serupa, tepatnya tahun 1891 M. Abdurrahman Badawi mengumpulkan kajian Orientalis terhadap sastra pra-Islam dalam arâ’ al-musytasyriqîn hawla al-syi’r al-jâhili.

Ilusi Sastra Pra-Islam

Mengencani lembaran buku-buku yang mengupas sastra, semisal al-Aghânî buah tangan al-Isfahani atau al-Mughnî buah karya Suyuthi serta al-Hammâsah karangan Abu Tamam, pastinya akan menemukan fakta menarik. Bahwa terkadang satu syair dinisbatkan kepada penyair yang berbeda. Hal tersebut wajar saja, karena kala itu penggunaan peralatan tulis-menulis sebagai sarana kodifikasi masih sangat minim. Dan jarak antara penyair dan era kodifikasi sendiri berkisar 150 tahun. ‘Kekacauan’ tersebut tampak kentara saat ditemukan satu sya’ir mempunyai penutup, namun pada saat yang sama, dari sumber lain tidak ditemukan penutup (khâtimah), atau susunan suatu syair berbeda satu dengan yang lain, padahal keduanya disuarakan oleh satu penyair. Wilhelm Ahlwardt, Orientalis Jerman, menuturkan, kekacauan penisbatan serta susunan pada syai’r terdahulu bisa dikembalikan pada analisa terhadap sejarah pengumpulannya. Perbincangan sejarah pengumpulan syair Jahili sendiri mengharuskan membincang dua tokoh penggerak pengumpulan ini. Mereka adalah Hammad bin Salamah bin Dinar (w. 167 H) dan Khalaf al-Ahmar (w. 180 H).

Nama pertama, Hammad bin Salamah, tutur Ibnu Salam, adalah orang pertama yang mengumpulkan syair pra Islam. Suyuthi dalam Thabaqât al-Nuhât menegaskan, Hammad bin Salamah adalah orang yang bisa menyanyikan 3000 ribu syi’ir jahili di luar kepala. Namun ia, hemat Wilhelm Ahlwardt, tidak terpercaya. Karena ada beberapa data yang menyebutkan bahwa Hammad bin Salamah tidak tahu sama sekali saat beberapa pertanyaan seputar syair pra-Islam dialamatkan padanya. Lebih jauh, pemuka madrasah Bashrah, salahsatu sekolah bahasa kala itu, telah melabeli Hammad dengan ‘pemalsu’. Nama kedua adalah Khalaf al-Ahmar. Ia, tutur Ibnu Qutaibah dalam al-Syi’r wa al-Syu’arâ’, adalah orang yang mempunyai kapasitas mencengangkan dalam sastra. Ia mampu mendendangkan beribu bait syair pra-Islam dengan dialek yang sama persis dengan mereka. Ia pula yang menisbatkan banyak syair terhadap Imru’ al-Qais, ‘Untarah, dll. Namun Khalaf mengalami permasalahan serupa dengan Hammad. Sampai di sini, Ahlwardt mencium ada konspirasi dari sarjana Islam terkait transmisisi syair pra-Islam yang sampai pada kita sekarang.

Menguatkan tesis Ahldwardt di atas, Thaha Husein dalam Fî Syi’r al-Jâhilînya mengungkapkan hal senada. Bahwa ada sederetan nama penyair pra-Islam, beserta syair-syairnya yang ditransfer dan ‘dipersembahkan’ oleh para sarjana Islam hingga sampai pada kita sekarang, namun data-data yang ada tidak valid. Deretan nama penyair beserta syairnya kian ‘sakral’ tatkala muncul era kodifikasi (‘ahsr al-tadwîn), yang kemudian terekam dalam sebuah tumpukan buku-buku sejarah. Bahwa ada nama Imru’ al-Qais, ‘Amru bin Kultsum, atau klasifikasi kaum Arab pada ‘âribah (Arab asli) dan musta’rabah (ter-arabkan), serta perkataan bangsa Arab yang mencakup natsar dan syi’ir, dan lain sebagainya, adalah konsumsi publik yang kian ‘membumi’. Ketetapan-sakral-sastrawi ini menghasilkan kubu kontra yang mengawali studinya dengan metode ‘skeptisisme’ ala Descartes terhadap konsensus sarjana Islam pada masa awal. Mereka akan mengkaji ulang –catatan yang dianggap oleh manusia—sebagai sejarah, bukan sebagai sejarah, atau bahkan akan merubah sejarah itu sendiri. Bahwa syair-syair yang selama ini disematkan pada penyair-penyair pra Islam; Imru’ al-Qais, ‘Untarah, Ibn Kultsum, Zuheir, dan lain sebagainya, ternyata –melalui aspek kebahasaan-- tidak mungkin berasal dari nama-nama tersebut. Melainkan sebuah varian dialek, mitos yang berlebihan, serta asumsi dan pemalsuan yang dilakukan oleh para sarjana tafsir, hadis dan kalam yang terlahir dari upaya apologetik. Dan ternyata tidak ada yang dinamakan sastra pra-Islam (syi’ir jâhilî), karena ia hanya produk penyair paska munculnya Islam.

Problematika dari sudut pandang lain adalah mengenai akar genealogis bahasa Arab itu sendiri. Sebab secara genealogis, bangsa Arab pra-Islam terklasifikasi menjadi dua kubu besar; pertama, Qahthaniyyah, kaum yang dinisbatkan pada Ya’rab bin Qahthan; keturunan Nabi Nuh, dan bermukim pertama kali di Yaman;kedua, ‘Adnâniyyah yang bermukim di Hijaz. Para sejarawan sepakat, bahwa Qahthan telah teristimewakan dengan bahasa Arab sebagai bahasa asli. Sedang bahasa kaum ‘Adnan adalah bahasa Ibrani. Interaksi dengan bangsa Arab membuat mereka perlahan mempelajari bahasa Arab. Keseriusan kaum ‘Adnan berbuah pada terhapusnya bahasa pertama; Ibrani. Oleh karena itu, kaum Qahthân disebut al-‘Arab al-‘Âribah, sedang ‘Adnân disebut al-‘Arab al-Musta’rabah. Kaum ‘Adnan inilah yang dikenal sebagai keturunan Isma’il bin Ibrahim. Pada kenyataannya, setelah melalui riset serius, kedua bahasa yang dipergunakan oleh bangsa asli Arab (al-‘âribah), dan yang ter-arabkan (al-musta’rabah) berbeda dari sudut pandang kaidah-kaidah gramatika yang dipergunakan. Perbedaan ini diakui oleh Abu ‘Amru bin al-‘Ala, sembari berujar: “Mâ Lisânu Himyar (al-‘âribah) bi Lisânina, wa lâ Lughatuhum bi Lughâtinâ”. Jika demikian, maka keganjilan ditemukan di sini. Bahwa kaum Qahthan dan ‘Adnan tidak pernah berinteraksi. Atau kemungkinan lain, kaum ‘Adnan membuat bahasa tersendiri yang berbeda dengan yang dipergunakan oleh kaum Qahthan. Konsekuensinya, sekarang ditemukan dua bahasa yang berbeda.

Sedangkan nama-nama penyair yang didaku sebagai penyair pra-Islam berasal dari tanah Yaman; kaum Qahthân. Jika didasarkan pada riwayat Abu ‘Amru bin al-‘Ala --antara Qahthan dan ‘Adnan mempunyai pola bahasa yang berbeda, maka syair pra-Islam yang sampai kepada kita pun harus mempunyai pola bahasa yang berbeda dengan bahasa Arab yang dipergunakan sekarang. Namun kenyataannya tidak demikian; syair pra-Islam yang ada sekarang justru didaku sebagai bahasa orisinil kaum Arab. Oleh karenanya dipergunakan sebagai ‘panduan’ dalam menyibak kerumitan bahasa al-Qur’an, atau bahkan sebagai standar umum jika terdapat pertentangan dalam kaidah-kaidah gramatika. Maka tak salah jika kemudian muncul statement, syair-syair yang dinisbatkan pada kaum Qahthan sejatinya bukan dari mereka. Namun merupakan plagiasi yang dilakukan oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab karena sebab politik, agama, ataupun persengketaan antar kabilah.

Kritik Pijakan Referensial Ilusi Sastra pra-Islam

Seperti yang sudah penulis singgung di atas, kajian terhadap syair pra-Islam cukup menyita perhatian pemikir, baik Arab-Islam, atau Orientalis, semisal, Theodor Noldeke (w. 1931 M), Wilhelm Ahlwardt (w. 1909 M), D. S. Margoliouth (w. 1940 M). Di kalangan Arab-Islam, kajian progresif terhadap sastra pra-Islam dimunculkan dikembangkan oleh Thaha Husein dalam bukunya yang menuai banyak kontroversi, Fî Syi’r al-Jâhilî. Metode yang dipergunakan untuk mengkritik sastra pra-Islam adalah sama; “skeptisisme”. Di Barat sendiri, Ernest Renan (w. 1892), sang filsuf Perancis, dalam bukunya Histoire générale et système comparé des langues sémitiques, adalah orang pertama yang mempergunakan “metode” ini untuk menganalisa seputar sastra pra-Islam. Ia, misalnya, mengawali sikap skeptisnya dengan pertanyaan, apakah bahasa sastra ini telah mendahului bahasa al-Qur’an? Sedang Thaha Husein, apakah syair pra-Islam memang benar ada? Noldek meragukan turats, transmisi, serta pembawa berita (ruwât); Margoliouth menyoal mukjizat al-Qur’an –dari aspek kebahasaan—jika didahului oleh bahasa serupa. Semuanya kemudian berpusat pada satu konklusi menarik; sastra pra-Islam muncul setelah al-Qur’an diturunkan.

Kritikus sastra pra-Islam di atas mendasarkan tesisnya pada bahasa baku yang dipergunakan oleh kaum Arab sekarang sama persis dengan syair pra-Islam. Sedangkan bahasa Arab sendiri baru dibakukan dengan dialek Quraisy. Jika sastra pra-Islam baru dikodifikasikan pada masa dinasti Umawi, maka hal ini bermuara pada dua kemungkinan; pertama, bahasa baku sastra pra-Islam adalah dialek Quraisy; kedua, sastra pra-Islam yang ada sekarang bukanlah bentukan peradaban pra-Islam. Tampaknya kritikus sastra pra-Islam, dengan beberapa argumen di atas lebih condong pada kemungkinan kedua. Ahmad ‘Ustman dalam bukunya Fî Syi’r al-Jâhilî wa al-Lughahatsar menuturkan, Thaha Husein tidak total mempergunakan metodenya. Dalam arti, jika ada konsistensi dengan metode Descartes, seharusnya ia mempertanyakan dialek Quraisy sebagai bahasa Arab baku. Faktanya, bahasa Arab baku yang dipergunakan semenjak zaman dahulu (abad ke 14 SM) –sebagaimana Homerus, dialek sastrawan Yunani, dan Qibti Mesir-- merupakan bahasa sastra dan tulisan, bukan bahasa lisan. Dan ia mencakup unsur-unsur bahasa dari bermacam dialek yang berbeda-beda, sebagaimana yang terekam dalam ‘Surat Imaranah’ –sebuah surat yang ditulis oleh raja Palestina, Fenisia, dan Suria, walaupun secara resmi penulisannya mempergunakan Akkadia. Nah, bahasa Arab baku yang berkembang sekarang merupakan perpanjangan dari percampuran dialek ini. Tutur Ahmad ‘Utsman, sastra-satra pra-Islam ditulis mempergunakan bahasa ini. Hal senada juga diungkapkan oleh Dr. Khalid al-Tuwaijiri yang menegaskan, dakwa bahwa bahasa Arab yang baku adalah dialek Quraisy tidak sepenuhnya benar. Karena faktanya dalam bahasa Arab yang baku ditemukan bahasa Yunani serta Persia. Hal tersebut wajar saja, karena akar historis bahasa Arab sendiri erat kaitannya dengan perbincangan sejarah Mesir kuno.

Jika terekam dalam catatan sejarah, pemimpin dan raja-raja terdahulu melakukan standarisasi penulisan mempergunakan bahasa Akkadia, maka dalam dunia Arab-Islam, para penyair pra-Islam lah yang melakukan standarisasi bahasa Arab dalam penulisan syair mereka. Standar ini yang seterusnya menjadi bahasa Arab baku. Unsur-unsur yang melingkupi bahasa baku tersebut –sebagaimana disinggung di atas—tersusun dari bermacam dialek yang berbeda. Adalah Abu ‘Ubaid al-Qasim Ibnu Salam (w.838 M) salah satu pengkaji bahasa Arab yang mengumpulkan dialek-dialek bahasa Arab baku, serta menelusuri akar dialeknya dari berbagai macam suku. Ia mengupas hal ini dalam tiga bukunya yang bertajuk gharîb al-musannaf, gharîb al-qur’an, dan gharîb al-hadîts. Walaupun bahasa Arab baku sekarang tersusun dari bermacam dialek, namun ada satu karakter dominan, yakni dialek Najd, karena fushâ disusun oleh penyair-penyair dari tanah Najd. Sebagai misal, kata “hal”, “kadzalik”, serta “in” hanya dipergunakan di daerah Selatan Najd, walaupun ada pula yang merupakan serapan dari non-Arab, suku Barbar, Utara Afrika; seperti lafadz “ghad”.

Selain itu, penyematan ‘Arab asli’ (‘Aribah) pada kaum Qahthan dan ‘ter-arabkan’ Musta’rabah pada kaum ‘Adnan cukup tak berdasar, sehingga kemudian ada asumsi, bahwa bahasa Arab kaum Qahthan harus mempunyai kesamaan dialek dengan bahasa Arab yang baku sekarang –atas dasar pertimbangan, kaum ‘Adnan pernah ‘belajar’ bahasa Arab Qahthan. Hal itu menimbang, tidak ada data sejarah valid yang menyebut demikian, selain dari mitos-mitos dalam Taurat yang menisbatkan Ibrahim pada negara Kaldani. Dan mitos ini tidak didasarkan pada data historis yang kokoh. Karena rata-rata penulis Taurat pada abad ke-6 SM adalah kaum Yahudi dari Babilonia yang hendak menisbatkan Ibrani pada negara tersebut, atas dasar, di sanalah terbentuk “peradaban” pertama kali. Oleh karena itu muncul opini kemudian, Babilonia merupakan kota pertama yang dibangun oleh manusia. Padahal faktanya, Ibrahim berasal dari Madyana, sebuah suku di Sina’ yang juga merupakan bagian dari Arab. Luthfullah Qari menuturkan, belakangan terungkap, bahasa Arab di Yaman dijumpai telah tertulis menggunakan “khath musnad”, penulisan gaya kaum Himyar. Sedang bahasa Arab di Najran sendiri mempergunakan bahasa Arab sebagaimana yang dikenal selama ini. Najran sendiri –berdasar klasifikasi Musthafa Shadiq Rafi’i dalam Târikh al-Adâb al-‘Arabî—termasuk daerah Yaman pada masa pra-Islam. Artinya adalah, antara beberapa suku Qahthan dan ‘Adnan sejatinya tidak ada perbedaan dialek. Juga ditemukan –mempergunakan “khath” serupa-- bahasa Arab yang sama di Saudi yang berasal dari abad ke II dan ke III SM. Qahthan sendiri –menurut Khudlari Beik dan analis belakangan-- merupakan percampuran dari banyak rumpun. Misalnya saja, Qahthan banyak mengadopsi lafadz-lafadz Finisia yang dipergunakan dalam praktek penulisan mereka. Hingga berlebihan jika mengatakan Qahthan merupakan bahasa Arab baku yang dipergunakan selama ini. Baku dan tidak baku dalam bahasa Arab hanyalah standarisasi yang dilakukan oleh penyair pra-Islam guna menulis syair-syair mereka. Dari sini kita bisa memahami secara lebih jernih perkataan Abu ‘Amru bin al-‘Ala terkait bahasa kaum Himyar yang dikatakan tidak sama dengan bahasa Arab baku yang sekarang.

Namun begitu, penulis sendiri tidak mengingkari ada upaya pemalsuan yang dilakukan oleh beberapa oknum. Namun pemalsuan itu tidak mesti berimbas pada penafian eksistensi syair pra-Islam. Ibnu Salam al-Jamhi, ataupun Muhammad Shadiq Rafi’i, walaupun mengamini indikasi pemalsuan, namun tidak bisa ditarik pada kesimpulan, bahwa Ibnu Salam al-Jamhi misalnya, sebagaimana asumsi Abdurrahman Badawi, menafikan pula eksistensi syair pra-islam. Pemalsuan hadis oleh beberapa oknum yang tidak bertanggung jawab untuk mengukuhkan golongannya, sebagai sample, tidak mesti menghilangkan eksistensi hadis Nabi dalam sejarah.

No comments:

Post a Comment